Chapter 1

I'm Sorry It Was You

 

 

 

 

 

 

Author :: Rijiyo [@MRijiyo]

Cast ::  [OC’s] Ryu Ara, [VIXX’s] Lee Jaehwan, [VIXX’s] Lee Hongbin

Support Cast :: [Red Velvet’s] Bae Joohyun, [Red Velvet’s] Kang Seulgi, [Red Velvet’s] Kim Yeri, etc

Genre :: School Life, Romance, Drama

Duration :: Multi Chapter

Rating :: Teen

 

 “Pertemuan pertamaku denganmu sangat indah. Saking indahnya, aku sampai ingin menguburmu hidup-hidup”

.

.

Bandara Gimpo, 08.30 KST

 

 

Suasana di sini begitu asing bagiku. Setelah hampir sebelas tahun tinggal di China, lalu mendadak menginjak tanah Korea memang terasa aneh. Perjalanan dari China ke Korea memakan waktu kurang lebih empat jam dan kini aku lelah. Sangat lelah. Aku duduk di kursi tunggu untuk menunggu Seol eonni datang. Sambil mengusir jenuh, aku mengeluarkan ponsel dan melihat fotoku dengan Zhang Lui—sahabatku—di Waduk Xujiahe di Changlingzhen sebelum keberangkatanku ke bandara Baiyun. Aku tersenyum tipis. Aku tidak tahu kapan akan kembali ke Guangzhou, itu karena ayahku harus menjalani hukuman penjara minimal lima tahun dan ayah baru memperbolehkanku pulang saat beliau sudah bebas.

 

Ayahku terlibat kasus korupsi Kantor CMB di Minsheng Bank Building cabang Guangzhou. Beliau beberapa hari yang lalu di eksekusi, dan setelah itu ayah langsung menghubungi eonni untuk merawatku beberapa waktu selama dirinya di penjara. Bahkan ayah juga sudah memilihkanku sekolah di Seoul dan membiayai semuanya. Memalukan sekali. Padahal ayahku itu orang yang cukup berpengaruh di Guangzhou. Bagaimana mungkin ayah bertindak sembrono dengan melakukan korupsi di bank-nya sendiri? Saking malunya, aku sampai tidak berani berjalan dengan kepala terangkat sepanjang perjalanan dari Guangzhou sampai bandara Baiyun. Kalau ayah sudah bebas, aku akan langsung bertanya banyak hal padanya. Kalau misalnya ibu masih hidup, aku pasti tidak akan susah-susah pergi ke Korea sendiri seperti orang gila begini.

 

Aku mengembalikan ponselku di saku celana setelah membalas pesan Lui di akun renren kalau aku sudah sampai di bandara Gimpo. Zhang Lui memang sahabat yang kelewat perhatian. Hah, lagipula kenapa di sini dingin sekali, sih? Aku yang hanya mengenakan sweater rajut tipis cuma bisa menggosok-gosokkan telapak tangan sambil terus berdoa semoga eonni segera datang.

 

“Ryu Ara!”

 

Seol eonni melambai padaku dari kejauhan. Aku tersenyum dan langsung berdiri. Kusambar koper dan agak berlari menghampiri wanita itu. Aku membungkuk beberapa derajat.

 

Zaoshang hao (selamat pagi).”

 

Seol eonni memukul kepalaku pelan. “Ingat, sekarang kamu sudah berada di Korea dan kamu pikir aku paham apa yang barusan kamu katakan, hah?”

 

Aku hanya terkikik geli.

 

“Astaga, kamu semakin cantik saja. Ah, aku jadi iri. Lihatlah, rambutmu juga sudah panjang dan halus.” Setelah memegangi rambutku dengan takjub, eonni memelukku erat. “Aku sangat merindukanmu, Ara. Kamu bahkan tidak pernah menghubungiku setelah pindah.”

 

“Maafkan aku. Oh iya, kamu juga semakin cantik, Seol eonni.”

 

“Wah, hangukmal-mu bahkan masih terdengar keren.”

 

“Ahahaha, aku kan memang orang Korea.”

 

“Ini. Pakai ini.”

 

Seol eonni tiba-tiba mengalungkan sebuah syal merah tua di leherku. Syal ini memang tidak terlalu tebal, tapi sudah lebih dari cukup untuk membuatku merasa lebih hangat.

 

“Kamu belum sarapan, kan? Bagaimana kalau kita makan gyeran ppang? Aku jamin, kamu pasti sudah melupakan rasanya.”

 

Gyeran ppang? Apa itu?”

 

“Nah, kamu benar-benar lupa, kan? Baiklah, kita berangkat sekarang. Makan gyeran ppang saat musim gugur seperti ini sangat menyenangkan, loh.”

 

“Di China, kami lebih suka makan shupian (keripik kentang) kalau sedang musim gugur.”

 

Kami berdua berjalan menuju depan bandara sambil bergandengan tangan. Pantas saja udaranya terasa dingin, karena kata Seol eonni di Seoul sedang memasuki akhir musim gugur. Orang-orang Korea ternyata tidak jauh berbeda dengan masyarakat China. Bandara Gimpo ini begitu padat, padahal sekarang masih kurang dari jam sepuluh pagi.

 

Aw!”

 

Aku memekik karena tiba-tiba ada seorang lelaki berseragam biru tua yang menabrakku hingga aku hampir terjatuh. Dia terlihat sedang bercanda, saling mengejar dengan ketiga temannya yang terlihat bandel itu. Mungkin dia terlalu bahagia hingga lupa kalau ini bandara, bukan taman bermain. Bukannya minta maaf, dia malah meneriakiku.

 

“Kamu tidak lihat, ya? Kalau jalan itu pakai mata!”

 

Aku terdiam. Kenapa dia kasar sekali, sih? Aku saja baru beberapa menit berada di Korea, tapi langsung mendapat kata makian seperti itu. Melihatku yang tidak bereaksi, Seol eonni maju lebih dulu.

 

“Dasar Pantat Ayam! Beraninya kamu memarahi adikku, jelas-jelas kamu yang menabraknya duluan!” teriak eonni dengan berkacak pinggang.

 

“Enak saja. Dia yang menabrakku duluan!” Lelaki itu membalas teriakan eonni dengan tak kalah sengitnya.

 

“Umurmu berapa, hah?! Seenaknya saja bicara informal padaku. Dengar, aku ini sudah lulus, tahu!” Setelah mengatakan kalimat yang penuh penekanan itu, eonni menjitak kepala lelaki itu hingga ia mengaduh. Teman-temannya ikut panik.

 

Lelaki itu terdiam sebentar. “Benarkah?” Setelah itu dia dan teman-temannya membungkuk di hadapan eonni dengan sopan. “Kalau begitu, maafkan aku, nuna. Katakan juga pada adikmu ini kalau jalan itu lihat-lihat. Jangan hanya menunduk. Memang apa bagusnya lantai.” Akhirnya dia bisa menstabilkan nada suaranya—tapi sambil menggumamkan hal yang menyebalkan.

 

“Ya sudah, sana pergi! Sekolah yang benar dan belajarlah yang rajin. Kamu pasti bolos, kan? Mana ada sekolah yang mengijinkan muridnya keluyuran di jam-jam seperti ini.”

 

“Sudahlah, eonni. Ayo kita pergi,” tukasku sambil menggamit lengan eonni supaya kami bisa segera pergi dari tempat ini. Aku sempat melihat tatapan lelaki itu sekilas. Tampak penuh kebencian. Padahal menurutku wajahnya tidak termasuk galak, tapi ucapannya terasa seperti sambal. Hah, untung aku ini bukan tipe gadis yang suka koar-koar. Dan yang paling penting, semoga ini adalah pertemuan terakhirku dengannya.

 

“Dunia benar-benar bahaya. Anak tadi itu mungkin masih kelas dua SMA, tapi kenapa dia sangat tinggi, ya? Wajahnya bisa dibilang lumayan, sih. Tapi sayang sekali sikapnya seperti anak anjing,” oceh eonni yang langsung membuatku tertawa.

 

Aku masuk ke mobil. Aku duduk di samping Seol eonni yang dengan fasih menyetir. Eonni juga menjelaskan padaku tentang Seoul karena—biar bagaimanapun—aku sudah lupa dengan beberapa lokasi dan suasana di kota kelahiranku ini.

 

“Kamu tidak ingin melihat Menara Namsan, Ara?” tanya Seol eonni sambil fokus menyetir.

 

“Menara Namsan? Aku sering melihatnya di drama. Kalau di China, Menara Namsan itu seperti Canton Tower.”

 

Canton Tower? Ah, aku tidak tahu. Mau ke sana? Atau kita sarapan gyeran ppang dulu?”

 

“Terserah.” Aku tersenyum. Seol eonni memang pandai membaca pikiran. Tahu saja kalau aku ini sudah sangat lapar.

 

“Kapan-kapan aku juga akan mengajakmu ke Dongdaemun. Aku suka sekali menghabiskan waktu di sana. Belanja, makan, bermain. Wah, pokoknya lengkap.”

 

“Sebenarnya, aku malah penasaran dengan Busan. Kemarin aku baru saja menonton film yang baru dibelikan ayah judulnya Train To Busan, dan kelihatannya Busan itu kota yang bagus.”

 

“Jadi kamu mau ke Busan? Oke. Kalau aku libur, kita akan ke sana. Sebenarnya aku juga ingin refreshing. Habisnya, susah sekali kalau mau ambil cuti di tempat kerjaku.”

 

Setelah berkendara selama hampir dua puluh menit, akhirnya kami turun dari mobil dan membeli makanan itu di pinggiran stasiun kereta Seohyeon. Kami duduk-duduk di bangku yang ada di sana. Astaga, ternyata gyeran ppang ini sangat enak, di tambah suasana di sini yang tenang membuatku merasa nyaman. Ini memang stasiun, tapi entah kenapa terkesan sejuk. Atau mungkin karena aku memang sudah merindukan suasana apa pun di Korea. Tak perlu waktu lama bagi Seol eonni untuk menghabiskan jajanan kaki lima ini, sedangkan aku masih menghabiskan separuh saat Seol eonni sudah melahap dua porsi. Dia terlihat lebih kelaparan daripada aku.

 

Eonni, nanti aku bersekolah di mana?” tanyaku di sela-sela kunyahan terakhir.

 

“Di SMA Jeguk. Aku sendiri tidak tahu bagaimana keadaannya dan baru mengetahui tempatnya kemarin sore, itu pun aku hanya melewatinya karena kebetulan aku sedang mengunjungi rumah temanku yang ternyata dekat dengan sekolah itu. Dari luar kelihatan sangat mewah, Ara. Katanya sih SMA Jeguk itu sekolah terbaik di Seoul,” jelas eonni. Untuk beberapa saat aku dibuat takjub dan sempat berkhayal tentang seberapa bagusnya sekolah itu. Apakah lebih elit dari SMA Hirai? Karena bagiku tidak ada yang bisa menandingi kemewahan SMA-ku di Guangzhou.

 

**********

 

Tongyeong

 

Mobil sudah memasuki area perumahan. Setelah mengelilingi Hongdae dan Menara Namsan, akhirnya eonni mengajakku pulang untuk istirahat. Setelah sampai, ternyata rumah eonni tidak sebesar yang kukira. Sebuah rumah sederhana bercat kuning mustar dengan jajaran semak rodhodendron dan pagar cokelat tua. Mobil masuk dengan mudah karena pagar itu tidak terkunci. Setelah menaruh mobil di garasi, eonni mengambil kunci rumah di bawah pot bunga dan membukanya dengan cekatan. Setelah pintu terbuka, dapat kulihat kondisi di dalam yang lumayan gelap karena semua korden ditutup dan lampu tidak dinyalakan. Aku melepas sepatu di rak yang sangat di sayangkan untuk menaruh sepatu, lalu berjalan mengikuti eonni. Memang tidak sebesar rumahku di Guangzhou, tapi tempat ini lumayan luas karena ada lebih dari empat ruangan.

 

“Maaf ya, tadi aku sempat terlambat menjemputmu. Bayangkan saja, aku harus bangun jam empat pagi dan langsung membersihkan seluruh ruangan di rumah ini, termasuk kamarmu.”

 

Aku memiringkan kepala. “Kenapa kita tidak satu kamar saja?”

 

Eonni menggeleng ringan. “Kamarku terlalu kecil dan kotor untuk seorang puteri sepertimu. Makanya, aku sengaja menggusur satu ruangan yang tadinya kubuat bersantai menjadi kamarmu.”

 

Eonni,” Aku jadi tidak enak, “aku bukan puteri. Kenapa eonni menganggapku seperti tamu, bukannya keponakan?”

 

“Siapa yang menganggapmu tamu? Aku hanya takut kamu tidak suka. Melihat bagaimana kehidupan mewahmu di Guangzhou, pasti akan berbanding terbalik kalau kamu sudah tinggal bersamaku di sini. Makanya, aku mau membuat kesan pertama yang bagus, yah meskipun kemungkinan besar rumah ini tidak ada apa-apanya dibandingkan rumahmu.”

 

Eonni, jangan begitu.” Aku cemberut. Sekali lagi, aku tidak mau dianggap berbeda. Aku tetaplah aku. Apa pun akan kuterima kalau itu baik. “Rumahmu bahkan lebih dari cukup untuk membuatku nyaman.”

 

“Kamu sangat rendah hati, Ara. Kupikir kamu akan menghina rumahku.” Eonni menepuk-nepuk pipiku dengan senyum lebar di wajah orientalnya.

 

“Memangnya aku terlihat sejahat itu, ya?”

 

“Karena biasanya orang kaya kan begitu.”

 

“Tapi kurasa tidak semuanya.”

 

Sekali lagi Seol eonni menepuk-nepuk pipiku. Setelah itu mengantarku ke kamar yang berada di sebelah ruang tamu. Setelah eonni menyalakan lampu, mataku terbelalak tidak percaya. Tepat di hadapanku saat ini, ada aneka poster boyband dan aktor kesukaanku yang tertempel di dinding pink pucat. Di samping meja belajar ada piano dan bermacam-macam buku nada. Aku yang antusias pun langsung melangkah masuk dengan mata berbinar. Seol eonni juga ikutan masuk dan duduk di kasur kingsize krem.

 

“Di Guangzhou, kamu bersekolah di SMA Hirai, kan? Ayahmu bercerita banyak padaku. Kata ayahmu, kamu sangat menyukai KPOP dan hobi menulis lagu dan membuat CD kompilasi. Aku juga sempat bertanya artis siapa yang paling kamu sukai. Makanya aku membeli beberapa poster artis faforitmu dan kutempel di kamar supaya kamu tetap bisa berkhayal. Hahaha.”

 

Aku menghampiri eonni dan memeluknya dengan erat. “Eonni bahkan menyiapkan ini semua hanya untukku. Maaf ya, sudah merepotkanmu.”

 

“Tidak, tidak. Aku sama sekali tidak keberatan, aku malah senang. Akhirnya aku tidak sendirian lagi di sini,” jawab eonni tanpa melepas pelukanku. Terasa hangat dan nyaman.

 

Setelah menata pakaian dan mandi, kami berdua duduk di ruang makan dan makan siang. Eonni membuat jajangmyeon dan miyeok guk. Aku makan lagi dengan lahap. Kami juga berbincang. Ternyata Seol eonni bekerja sebagai kasir supermarket di Apgujeong. Dan berhubung hari ini ia harus menjemputku, terpaksa eonni tidak bekerja. Kalau melihat Seol eonni secara intens begini, aku jadi bisa merasakan betapa cantiknya dia. Rambutnya lurus sebahu dan dia punya bentuk rahang yang kuat. Mata sipitnya tersorot tajam dan kulitnya agak sawo matang. Benar-benar kecantikan natural.

 

“Kenapa melihatku seperti itu? Kamu pikir aku ini monyet yang bergelantungan, hah?” sewotnya dengan nada galak. Ah, aku hampir saja lupa, Seol eonni kan memang galak. Dia tidak berubah.

 

Eonni cantik sekali,” pujiku, tulus.

 

“Ara, berbohong itu tidak baik. Sekarang cepat habiskan dan jangan banyak bicara. Kamu harus menghargai masakanku. Jarang-jarang aku mau memasak untuk orang lain,” omelnya dengan wajah ketus yang dibuat-buat.

 

“Ngomong-ngomong, kapan aku mulai sekolah?”

 

“Sebenarnya sih besok, tapi kalau kamu masih lelah juga tidak apa-apa. Kita bisa tunda jadi besoknya lagi,” ujarnya.

 

“Aku tidak lelah, kok. Aku ingin cepat-cepat sekolah. Aku ingin tahu bagaimana rasanya bersekolah di Korea lagi,” pungkasku bersemangat.

 

“Baiklah.” Seol eonni meneguk segelas air putih, lalu melanjutkan, “Besok aku akan mengantarmu dan mengurus semuanya.”

 

“Aku jadi tidak sabar.”

 

“Jangan lupa, kamu harus bangun pagi-pagi sekali. Kata ayahmu, kau adalah ratu tidur.”

 

**********

 

Keesokan harinya

 

Aku berdiri di depan cermin. Rambut panjangku kukuncir ke belakang. Karena aku masih belum punya seragam, aku harus memakai sweater biru pastel dengan celana jeans hitam dan sepatu Van’s Classic pemberian ayah beberapa bulan yang lalu. Tak lupa parfum vanilla yang menjadi aroma kesukaanku dan taburan bedak tipis. Ah, satu lagi, sentuhan lipbalm pink di bibir. Aku meraup ransel cokelat di kasur dan melihat sekali lagi penampilanku di cermin. Aku sungguh siap berangkat ke sekolah baru.

 

Aku segera menuju dapur untuk sarapan. Pagi ini Seol eonni memasak reamyeon dan dua gelas susu pisang. Seol eonni tampak cantik dengan memakai kemeja putih dan rok hitam sepaha yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Mungkin itu seragamnya untuk bekerja. Bahkan eonni juga memakai lipstick merah dan eyeliner di kedua mata tajamnya.

 

“Kamu cantik sekali, Ara. Sebulan ke salon berapa kali?” Eonni bertanya dengan nada usil sambil meletakkan panci  yang berisi miyeok guk di meja makan.

 

“Ayah melarangku pergi ke salon. Kalau eonni berapa kali pergi ke spa?” tanyaku dengan nada bercanda juga.

 

“Enak saja. Aku ini perawatan sendiri, loh. Lebih alami, lebih aman, lebih sehat.”

 

“Ajari aku, eonni. Aku juga ingin terlihat cantik sepertimu.”

 

“Hei, bocah. Berhentilah mengomel dan cepat makan sebelum reamyeon itu jadi dingin. Aku tidak mau memanaskannya lagi,” ujar eonni dengan muka datar.

 

Aku segera melahap semangkuk miyeok guk dengan antusias. Enak sekali. Saking enaknya, aku sampai terlihat seperti orang kerasukan.

 

“Hei, kunyah dulu sebelum ditelan. Kunyah. Kamu tidak bisa mengunyah, ya?”

 

Saat mendengar suara panik Seol eonni, aku langsung menghentikan tingkahku yang berlebihan dan langsung mengubahnya menjadi lebih pelan. “Habisnya makanan ini enak sekali.”

 

“Atau mungkin karena kamu memang lapar.”

 

“Yap, termasuk itu.” Aku nyengir seperti anak kecil.

 

Setelah sarapan selama beberapa menit, akhirnya kami berdua berangkat. Aku tidak sabar sekali dengan sekolah baru itu. Sepanjang perjalanan, aku bersenandung riang sambil melongokkan kepalaku ke jendela mobil. Suasana Seoul saat pagi hari ternyata masih tidak ada bedanya dengan kemarin. Padat. Benar-benar masyarakat yang disiplin.

 

Aku telah menemukan dirimu, tetapi aku kehilangan diriku. Aku ingin tahu bagaimana keadaanmu sekarang ketika kamu melihatku seperti ini. Kamu bisa memanggilku orang bodoh karena aku terlalu takut melepasmu. Aku selalu menunggumu untuk mengatakan apa yang ingin kudengar. Jangan merasa bersalah karena memang seperti inilah aku.

 

“Lagu siapa itu? Bagus sekali,” komentar Seol eonni. Aku tersenyum malu dan menyandarkan tubuhku di kursi dengan nyaman.

 

“Laguku,” jawabku. Setelah mendapat tatapan ‘benarkah’ dari eonni, aku melanjutkan, “di SMA Hirai, aku sering disuruh mengarang lagu, dan ini adalah lagu ciptaanku yang paling kusukai. Guru Wu juga memberiku nilai bagus saat aku menyanyikannya.”

 

“Astaga, kamu hebat sekali. Masih ada lanjutannya, kan?”

 

Aku mengangguk.

 

“Bernyanyilah untukku, Ara. Lagumu benar-benar bagus.”

 

Wajahku langsung merah padam. Sebenarnya aku malu kalau harus menyanyi di hadapan eonni, ini juga pertama kalinya aku menyanyi di depan orang selain guru Wu, ayah, dan Zhang Lui. Tadi pun aku tidak sadar kalau sedang bernyanyi. Setelah mengatur napas dan sedikit berdeham, aku melanjutkan laguku, “Hatiku menjerit dan mataku penuh air mata. Jika kamu mengalami hari-hari di mana hatimu terluka karena aku, maka aku akan segera pergi supaya kamu bisa menghapus luka itu. Kamu menyembunyikan kesedihanmu, tapi aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Siapa yang akan mengerti hal ini selain kita.

 

“Keren!” Eonni berjengit, ia bahkan masih bisa menyempatkan diri untuk bertepuk tangan. Mobil sempat lepas kendali, namun eonni dengan cekatan langsung menstabilkan hingga mobil kembali berjalan normal.

 

Eonni, apa masih jauh?”

 

“Tidak, kok. Sebentar lagi sampai.”

 

Aku kembali menatap jalanan hingga akhirnya aku menemukan sebuah gedung besar di pinggir jalan. Eonni semakin mempercepat laju mobilnya. Bangunan itu terlihat semakin dekat, membuat jantungku bertabuh kencang. Apakah itu sekolah baruku?

 

“Nah, sudah sampai.” Eonni membelokkan mobilnya dan memarkirkannya di garasi sekolah. Saat melewati gerbang, tertulis “Jeguk Senior High School” dengan huruf yang sangat besar.

 

Aku turun dari mobil dengan perasaan gugup yang tak berkesudahan. Aku berjalan di belakang eonni sambil memperhatikan sekeliling. Bangunan ini terbuat dari batu bata merah dengan balkon bundar berwarna hijau. Bangunan sekolah ini sangat jauh dari ekspektasiku, di mana ada lantai tingkat lima dan banyaknya pohon yang menjulang. Di sepanjang perjalanan menuju ruang guru, aku masih belum bertemu dengan murid-muridnya sama sekali. Kira-kira seragamnya seperti apa, ya? Sambil membayangkan seragam, aku dan eonni berjalan melewati kolam ikan besar di sudut lapangan sepak bola, green house, menaiki puluhan anak tangga, hingga melewati beberapa kelas. Nah, ini kesempatan bagus. Aku akan mengintip ke kelas dan melihat bagaimana seragamnya.

 

Kulihat papan nama kelas yang tergantung di sebelah pintu. Kelas pertama yang kulewati adalah kelas 2-1. Diam-diam aku mengintip dari balik jendela tanpa sepengetahuan Seol eonni. Para siswa itu terlihat serius mendengarkan guru yang sedang menjelaskan tentang kinematika. Suasananya hening—terlalu hening, malah. Mungkin kelas ini adalah tempat para murid-murid pintar. Dan—

 

HAH?! Seragam mereka biru tua? Aku mengedipkan mataku beberapa kali karena yakin kalau aku hanya salah lihat. Tapi saat aku melihatnya sekali lagi … persendianku langsung nyeri. Rasanya seperti ada yang menggigiti tulang-tulangku. Aku melihat satu-persatu siswa. Namun aku tidak menemukan sosok yang kumaksud. Anak kurang ajar kemarin itu tidak mungkin berada di kelas ini, kan? Dia tidak mungkin bersekolah di sini, kan? Semoga saja tidak. Semoga saja hanya seragamnya yang sama.

 

Kelas selanjutnya adalah 2-2. Suasananya tidak jauh berbeda. Juga, aku tidak menemukan anak kurang ajar itu. Syukurlah, mungkin dia memang tidak bersekolah di sini. Yah, meskipun kesimpulanku belum tentu benar karena aku baru melihat di dua kelas.

 

Hingga akhirnya aku melewati kelas 2-5. Angkatan kedua yang terakhir. Sejauh aku melewati kelas demi kelas, aku memang tidak menemukannya. Haaahh … semoga saja kelasnya tidak berada di kelas 2-5. Saat aku mengintip dari balik jendela dan melihat siswanya satu persatu, aku harus bahagia karena anak itu masih tidak ada. Eh, tapi siapa tahu dia masih kelas satu? Atau mungkin dia sudah kelas tiga? Atau dia memang kelas dua tapi hari ini tidak masuk. Ya, ada banyak kemungkinan. Tapi hatiku berusaha menyangkal semua kemungkinan itu dan tetap berpikir kalau dia tidak mungkin bersekolah di sini.

 

Saat aku dan eonni sudah sampai di ruang guru, aku hanya duduk manis di ruang tunggu karena eonni sibuk mengurusi kepindahanku. Memberikan data ini-itu dan berbicara ini-itu pada seorang guru berkaca mata dengan rambut panjang yang digelung ke atas. Beberapa saat kemudian, eonni menghampiriku dan tersenyum. Katanya, aku sudah resmi bersekolah di sini dan sekarang aku di suruh menghadap wali kelasku di meja guru nomor 26. Eonni langsung pamit pergi padaku karena ia harus segera bekerja. Setelah mengatur napas dan persiapan mental, akhirnya aku mencari meja guru yang dimaksud. Ketika sudah ketemu, aku dapat melihat seorang guru lelaki berambut cepak dengan kumis tipis yang sedang menatap laptop. Seolah mengetahui keberadaanku, guru itu mengalihkan perhatiannya dari laptop dan menatapku intens. Aku membungkuk beberapa derajat dengan sopan.

 

“Ada perlu apa?”

 

Aku menelan ludah. Benarkah ini wali kelasku? Kenapa terkesan dingin begini? Kenapa suaranya menyeramkan? Kenapa dia terlihat tua? Oh tidak, kenapa kakiku gemetar? Sepertinya mentalku runtuh lagi.

 

“Saya… saya murid baru.”

 

“Dari Guangzhou?”

 

Aku mengangguk. “Ya.”

 

Guru itu mengeluarkan sebuah data dari dalam lacinya. Membacanya sebentar sebelum menatapku lagi. “Ryu Ara dari Guangzhou. Pindahan dari SMA Hirai. Anak semata wayang dari Ryu Byung Hee—pemilik kantor CMB cabang Guagzhou,” ucapnya dengan fasih. Aku meneguk ludah lagi. Guru itu berdiri. Tersenyum tipis padaku. “Aku guru Kim. Wali kelas 2-4. Tapi mungkin aku tidak bisa mengantarmu ke kelas karena aku sangat sibuk hari ini.”

 

Saat aku akan mengatakan kalau aku tahu kelasnya, guru Kim malah meneriaki seorang siswa yang tengah melewati ruang guru.

 

“Lee Jaehwan!”

 

Pria yang dipanggil itu menoleh. Mulutku menganga beberapa senti. Kepalaku seperti ditembus peluru sebesar buah semangka. Jantungku seakan langsung rontok kemana-mana. Mungkin ini adalah hari sialku.

 

“Bisa saya bantu, guru Kim?” tanya pria itu dengan sopan. Dia sempat menatapku sekilas dan tampak sedikit terkejut. Benar, dia masih memakai seragam yang kemarin dipakainya saat di bandara. Harusnya aku percaya kalau di Seoul hanya ada satu sekolah yang memakai seragam biru tua.

 

“Antar Ryu Ara ke kelas kita. Sekalian perkenalkan pada teman-temanmu yang lain,” perintah guru Kim dengan tenang.

 

Untuk kesekian kalinya dalam beberapa menit ini aku menelan ludah. Sesudah membungkuk sopan pada guru Kim, aku berjalan di belakang anak itu yang berjalan mendahuluiku. Ngomong-ngomong, ucapan Seol eonni ada benarnya juga. Dia sangat tinggi. Dan, siapa namanya tadi? Lee Jaehwan? Namanya yang terdengar manis itu sangat tidak cocok dengan sikapnya. Kalau dia anakku, aku pasti sudah menamainya Won Sung Ah (monyet). Ya, nama itu baru terdengar cocok.

 

Eh, aku berada di kelas 2-4, kan? Bukankah tadi aku sudah melewatinya? Tapi kenapa aku tidak melihat anak itu, ya? Ah iya, bisa saja saat itu ia sedang ke toilet atau nongkrong di kantin. Kalau dilihat dari penampilannya, kurasa dia termasuk preman di sekolah ini.

 

Akhirnya kami sampai di kelas 2-4. Jaehwan membuka pintu perlahan dan keadaan di kelas itu seketika sunyi saat tahu kehadiranku. Tatapan tidak mengenakkan terus tertuju padaku saat aku berdiri di tengah kelas untuk memperkenalkan diri. Lee Jaehwan sudah duduk di kursinya dan mendengarkan musik di headset. Sialan anak itu. Padahal guru Kim tadi bilang supaya dia yang memperkenalkanku.

 

“Halo, namaku Ryu Ara. Aku pindahan dari SMA Hirai di Guangzhou.”

 

Masih sepi. Tidak ada yang merespon hingga akhirnya ada satu anak lelaki kurus yang tiba-tiba berdiri dari kursinya. “Guangzhou? Wah, kau dari China, ya?”

 

Aku mengangguk.

 

“Tapi kenapa namamu Ryu Ara?” Kali ini tanya seorang lelaki berambut cepak di dekat jendela.

 

“Hei Bambam, kalau dia bernama Ryu Paenti (celana dalam), nanti kamu bisa tergila-gila,” jawab lelaki yang duduk di sebelah anak yang ternyata bernama Bambam itu.

 

“Hei, Wonshik. Kalau dia bernama Ryu Solsa (mencret), aku yakin kalau hanya kamu yang akan menyukainya,” balas Bambam pada Wonshik.

 

Seisi kelas tiba-tiba tertawa. Lucunya itu di mana, sih? Tanpa terlalu memikirkan lelucon itu, aku segera melanjutkan perkenalanku.

 

“Sebenarnya aku orang Korea. Tapi aku pindah ke Guangzhou saat tujuh tahun.”

 

“Lalu kenapa kamu pindah lagi ke Korea?” Aku celingukan mencari siapa yang barusan bertanya. Ternyata seorang gadis berambut gelombang berwarrna agak kemerahan dan kalau aku tidak salah lihat, dia memakai lipstick yang cukup tebal di bibir tipisnya. Haruskah kupanggil Badut?

 

Aku meneguk ludah kering. Jawaban seperti apa yang harus kuberikan? Haruskah aku bilang kalau aku pindah ke sini karena di suruh ayahku yang sedang di penjara? Tapi aku takut nanti mereka akan berpikiran yang macam-macam tentangku. Aduh, bagaimana ini? Bahkan tatapan mereka sama sekali tidak berubah. Huh, kelas ini ternyata lebih menyeramkan daripada neraka.

 

“Karena,” Aku menutup mata sejenak, lalu membukanya lagi, “karena ayahku yang menyuruhku ke sini.”

 

Kali ini seorang gadis bermata sipit yang duduk di sebelah Badut itu angkat tangan. Ya Tuhan, kuharap dia tidak bertanya yang aneh-aneh.

 

“Maaf sebelumnya, apa nama ayahmu itu Ryu Byung Hee?”

 

Aku mengangguk gugup. Bagaimana dia bisa tahu?

 

“Apa ayahmu pemilik kantor CMB di Minsheng Bank Building?

 

Aku mengangguk lagi. Siapa gadis itu?

 

Gadis bermata sipit itu—atau mata kucing—itu sekarang malah bertepuk tangan dengan gembira seolah dia baru mendapat voucher liburan ke Hawaii. “Teman-teman, dia adalah anak koruptor!” serunya yang membuat seisi kelas jadi riuh.

 

Aku membelalakan mata tidak percaya. Bagaimana … bagaimana mungkin dia berkata seperti itu? Si Mata Kucing itu siapa, sih?

 

“Benarkah?” Si Badut kali ini bertanya pada teman sebangkunya itu dengan tatapan curiga.

 

Si Mata Kucing mengangguk semangat. “Pamanku salah satu dari nasabah khusus CMB di Guangzhou. Beberapa hari yang lalu beliau pulang ke Seoul  karena ada masalah dengan bank itu. Paman bercerita banyak padaku. Bahkan katanya, pamanku mengenal ayahmu.”

 

Mulutku sukses menganga. Aku melihat Jaehwan yang kini menatapku seolah ingin tahu. Aku memasang wajah seakan minta tolong. Dia tidak punya inisiatif untuk membantuku. Kalau seperti ini, dia mirip sekali dengan pantat ayam—seperti kata Seol eonni.

 

“Jangan-jangan kamu ke sini karena malu dengan reputasi ayahmu, ya?” tuduh seorang gadis berkuncir dua yang duduk di depan Badut. Rambutnya pirang sekali seperti jeruk. Haruskah kupanggil Rambut Jeruk?

 

Sebelum aku menjawab, kelas semakin gaduh. Mereka jadi mengataiku yang tidak-tidak. Aku menatap Jaehwan sekali lagi. Tolong bantu aku, dasar anak sial!

 

“Kamu sengaja merusak nama baik sekolah kami, ya?”

 

“Bagaimana mungkin anak koruptor bisa masuk ke sekolah kita?”

 

“Jangan-jangan, selain korupsi, ayahnya juga telah menyuap kepala sekolah kita?”

 

“Pindah ke Korea karena malu dengan ayahnya. Sungguh tidak tahu diri.”

 

Gigiku bergemeletuk. Telapak tanganku mengeluarkan keringat dingin. Aku hanya memandang lantai dengan tatapan kosong. Ya, aku mungkin salah ditaruh di kelas ini. Tidak, ini bukan kelas, melainkan neraka. Bahkan mereka ada yang melempariku dengan kulit kacang. Kalau aku tidak salah lihat, Badut dan Rambut Jeruk lah yang melempar benda itu. Setelah berpikir kalau aku memang salah berada di sini, aku melangkah menuju pintu. Aku harus segera keluar dan minta pindah karena tujuanku ke Korea bukan untuk melarikan diri. Bukan untuk menutupi identitas kalau aku adalah anak koruptor. Bukan untuk mencari pelampiasan. Tapi tujuanku ke sini hanya untuk belajar. Aku terus menelan setiap makian dari mereka. Saat aku akan membuka gagang pintu, ada sebuah tangan hangat yang tiba-tiba menggenggam lenganku.

 

Lee Jaehwan.

 

“Kamu mau ke mana?” tanyanya dengan muka antara bingung dan ingin tahu.

 

“Pergi.”

 

“Pergi? Kelasmu kan di sini.”

 

Aku melepas cengkeramannya. “Kelasku bukan di sini. Aku salah kelas.”

 

“Lalu kelasmu di mana?”

 

Aduh! Dasar lelaki tidak peka! Tadi saja tidak mau membantuku, tapi saat aku mau pergi malah dicegah.

 

“Sudahlah, pokoknya kelasku bukan di sini.”

 

“Kamu ini bodoh atau apa? Jelas-jelas guru Kim bilang kalau kelasmu di sini. Kelas 2-4 itu di sini,” ucapnya setengah membentak.

 

Jaehwan menggenggam tanganku lagi, lalu mendudukanku di bangku kosong yang ada di sebelahnya. Saat aku mau berdiri, dia menahan tanganku dan menyuruhku duduk kembali dengan ekspresi menyebalkan. Huh, dia benar-benar tidak bisa memperlakukan perempuan dengan baik.

 

“Hei, Jaehwan, biarkan saja dia pergi. Nama baik kelas 2-4 bisa tercoreng kalau dia ada di sini,” kata Badut. Awas kamu, ya.

 

“Iya, kenapa kamu menahannya, sih? Untuk apa membela anak koruptor?” tambah Mata Kucing.

 

“DIAM!” bentak Jaehwan dengan wajah serius, “kelasnya memang di sini. Tolong hargai dia dengan baik. Lagipula, yang korupsi kan ayahnya, kenapa kalian justru marah pada anaknya?”

 

Lee Jaehwan. Dia terlihat gagah sekali saat membelaku ♥

 

Rambut Jeruk berdecak. “Ketua kelas macam apa kamu ini?”

 

Hah? Jaehwan ketua kelas? Anak yang terlihat seperti preman ini ternyata ketua kelas? Benarkah?

 

“Sebentar lagi guru Kwon datang. Jangan berisik, terutama kalian bertiga.” Jaehwan menunjuk Mata Kucing, Badut, dan Rambut Jeruk dengan intens. Setelah itu, dia memasang headset lagi dan menatap ponselnya dengan tanpa ekspresi.

 

Tatapan penuh kebencian anak-anak yang lain perlahan mulai berkurang. Haaahhh … aku menaruh kepalaku yang berat di meja. Aku tidak menyangka hari pertamaku bersekolah di sini bisa begitu berat. Bahkan rasanya lebih berat daripada saat aku harus kehilangan ibu beberapa tahun lalu.

.

.

.

.

.

~To Be Continue

 

 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet