Chapter 1

Angel Who Continue To Grieve

Bagaimana perasaanmu jika kau punya seorang adik ?

 

Senang ?

 

Lalu bagaimana kalau itu adik angkat ?

 

Apa kau tetap senang ?

 

Aku tidak senang sama sekali.

 

Saat ini ibu memanggilku yang sedang belajar di kamar. Beliau menyuruhku  keluar untuk menemui seseorang. Di ruang tamu ada seorang pria yang mungkin usianya beberapa tahun lebih tua dari ibuku dan seorang gadis yang mungkin seumuran denganku. Aku benar-benar tidak tahu siapa mereke berdua. Mereka tampak begitu asing dimataku. Sesudah memberi salam sesopan mungkin, aku terus menunggu ibu untuk menjelaskan tentang orang-orang ini.

 

“Nah, dia adalah putriku yang sering kuceritakan pada kalian. Namanya Ra Hee.”

 

Apa ? Ibu sering menceritakan tentangku pada mereka ? Apa aku tidak salah dengar ?

 

“Dia sangat cantik. Berapa umurmu, Nak ?” Pria yang mungkin seumuran dengan ayahku itu bertanya dengan sopan.

 

“Sembilan belas.”

 

“Ah, putriku baru berusia tujuh belas tahun. Kuharap kalian bisa rukun, ya ?”

 

Sekali lagi pria itu membuatku bingung, “Maaf ? Aku tidak mengerti.”

 

“Kau tidak tahu ? Ibumu tidak pernah bercerita ? Sekarang kami adalah bagian dari keluargamu, Ra Hee.”

 

“APA ?!” Aku berdiri dengan spontan dari posisi dudukku. Apa maksudnya dia berkata begitu ? Menjadi bagian dari keluargaku ? Hah, yang benar saja. Amarahku sepertinya akan memuncak, tapi aku menahannya susah payah dan menunggu orang-orang ini untuk menjelaskan lebih rinci dari maksud perkataannya yang tidak logis itu.

 

“Tenang, Ra Hee. Biar ibu ceritakan. Duduklah.” Ibu menggenggam tanganku. Aku kembali duduk tanpa mengalihkan pandanganku dari pria asing itu. “Ra Hee… maafkan ibu yang mungkin sudah sangat terlambat mengatakannya. Jadi… pria itu adalah Han Dong Hoo, dan gadis itu adalah putrinya, namanya Han Ye Rin.”

 

“Lalu ?” Entah kenapa tenggorokanku tiba-tiba tercekat.

 

Ibu menghla napas berat sebelum menjawab pertanyaanku, “Han Dong Ho, dia adalah… suamiku. Dan Han Ye Rin adalah putriku. Dia adikmu, Ra Hee.”

 

“Hah ?”

 

Bagaimana perasaanku saat ini ya ? Mungkin kata ‘Hah’ sudah cukup menjelaskan segalanya. Aku….aku benar-benar tidak paham. Suami ? Adik ? Han Dong Ho ? Han Ye Rin ? Apa-apaan ini ? I…ibu… apa yang dia lakukan ? Perkataannya tadi tidak serius, kan ? Tadi dia hanya bercanda, kan ? Ah, benar juga. Mungkin aku hanya salah dengar. Telingaku mungkin agak bermasalah saat ini.

 

“Benar, Nak. Ibu tahu selama ini kau kesepian. Dulu kau selalu menghabiskan waktu bersama ayahmu. Dan saat ayahmu meninggal, kau sering merasa sendirian, bukan ? Ibu sudah mencari seorang ayah yang baik, bahkan dia juga punya seorang putri yang cantik. Kau bisa bermain bersamanya dan—“

 

“—Kenapa ibu tidak pernah bercerita padaku ?!” Kali ini amarahku benar-benar memuncak. Kepalaku berdenyut dengan kencang. Seluruh tubuhku rasanya seperti terdapat lubang kecil yang bisa membuat nyeri. Apa yang barusan kudengar ??, “Aku tidak pernah kesepian! Aku punya banyak teman, dan aku tidak membutuhkan seorang adik ataupun ayah! Aku tidak membutuhkan mereka berdua! Kenapa ibu baru cerita sekarang ? Kenapa tidak menanyakan dulu padaku, bu ? Aku tidak mengenal mereka, dan bagaimana bisa aku menerima mereka untuk menjadi bagian dari keluarga kita ?! Jelasakan, bu!”

 

“Ibu ingin memberimu kejutan. Ibu pikir, kau akan senang jika punya keluarga baru.”

 

“Kejutan ? Ibu pikir ini sebuah permainan ?” Amarahku masih memuncak. Mungkin dosaku telah bertambah karena daritadi membentak-bentak ibu.Dan entah kenapa, mataku memanas. Aku ingin menangis keras karena kecewa. Kenapa ibu ingin menggantikan ayah ? Apa ayah sudah tidak berarti baginya ? Lalu bagaimana denganku ? Aku bahkan tidak pernah berpikir untuk mempunyai seorang ayah baru. Ayah meniggal karena serangan jantung mendadak dua tahun yang lalu. Kejadian itu membuatku sedih, apalagi aku sangat dekat dengan ayah daripada ibu. Jadi bagaimana mungkin aku bisa menerima Han Dong Ho untuk jadi ayah baruku ?

 

“Eonni, kenapa kau kasar sekali pada ibu ?” Kali ini, seorang gadis sok tahu yang bernama  Han Ye Rin atau siapalah itu mencoba menasehatiku. Cih, dia pikir dirinya itu siapa ? Aku tidak akan pernah sudi mengakuinya sebagai adikku!

 

“Diam kau! Memangnya kau tahu apa tentang aku ?!” Kini aku hamburkan amarahku pada bocah itu. Tapi rasa jengkel itu masih tetap ada, “Jangan pernah memangilku eonni! Aku bukan kakakmu dan kau bukan adikku! Pergi sana!”

 

“Ra Hee… putriku…”

 

“Ibu sudah membuatku kecewa. Kenapa ibu melakukan hal ini padaku ? Coba katakan sekali lagi, aku pasti sedang bermimpi kan, bu ?”

 

“Kenapa kau mengusir kami ? Aku tahu, pasti tidak mudah bagimu menerima seorang ayah baru. Tapi, aku berjanji akan menjadi ayah yang baik, Nak.”

 

“Tolong jangan usir kami, eonni. Kami sudah jauh-jauh datang dari Busan untuk menemuimu. Aku mohon biarkan aku jadi adikmu…”

 

“Apa ? jadi kalian tidak mau pergi ? Ya sudah, biar aku yang pergi. “

 

Aku berlari sekencang-kencangnya. Berlari sambil menahan air mata yang terus membuncah. Kenapa  ibu ingin menggantikan ayah ? Aku masih tidak mengerti. Apa salah ayah ? Aku benci pada mereka semua! Benci! Padahal, aku sudah lama tidak menagis, tapi sekarang aku menagis lagi. Aku tidak peduli tentang Han Dong Ho dan Han Ye Rin. Mereka hanya dua orang asing yang mengaku baik. Mereka sebenarnya jahat! Bagaimana mungkin mereka akan menjadi keluargaku ? Aku lebih baik hidup seorang diri darpida harus bersama mereka!

 

Aku terus berlari di tengah salju yang berjatuhan, menempel di kulit hingga membuatku merinding karena dingin. Wajahku sudah basah oleh air mata. Dadaku rasanya sesak karena terus menahan rasa sakit. Kenyataan ini serasa menghantamku dengan beton berkali-kali. Aku membuat hatiku yang kuat menangis dengan lebih sedih.

 

Aku menghentikan langkahku di sebuah lembah. Entah ini di lembah apa dan dimana, aku tidak peduli. Aku berjongkok, menangis sambil menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Hatiku masih sakit. Selain itu suasana juga sudah hampir gelap, dan tak bisa dipungkiri kalau aku mulai merasa takut. Mungkin aku tersesat dan sebentar lagi akan di makan binatang buas. Ah, biarkan saja. Aku lebih baik mati daripada harus menerima kenyataan keji ini.

 

Benar. Mati.

 

Saat ini bukankah aku ada di lembah ? Aku tinggal mencari jurang lalu bunuh diri.

 

Aku berjalan dengan perlahan di lembah yang sunyi itu. Tempat ini benar-benar menyeramnkan. Tapi untunglah tak sampai sepuluh menit aku menemukan sebuah jurang yang lumayan curam. Aku melangkahkan kakiku menuju ujung jurang itu. Aku menutup mata, aku benci jadi orang cengeng. Aku sudah lelah menangis.

 

Selamat tinggal ibu… maaf aku masih tidak bisa membahagiakan ibu. Aku benar-benar masih tidak bisa menggantikan sosok ayah. Kumohon maafkan putrimu yang keras kepala ini, bu. Selama ini aku memang selalu sendirian, tapi aku tidak pernah merasa kesepian. Ayah sering hadir di mimpiku,bu. Ayah tidak pernah pergi. Ayah selalu ada di hatiku sampai kapanpun. Selamat tinggal, bu. Kuharap ibu bisa hidup lebih baik bersama keluarga barumu. Aku menyayangimu…

 

“Hei! Apa yang kau lakukan ?!”

 

Aw ! Aduh, tanganku di tarik seseorang ! Siapa, ya ? Saat aku membuka mata, tahu-tahu aku tengah menindih…. Tubuh! Pria ! Aku memandangi wajahnya beberapa saat. Rambutnya hitam berkilau. Matanya bersinar seperti permata. Bibirnya sedikit tebal dan berwarna merah jambu. Hidungnya sangat mancung bak dasun tunggal. Ya Tuhan, apakah dia manusia ? Kenapa tampan sekali ?

 

“Kau tidak mau bangun ?”

 

Ups! Karena terlalu serius memperhatikan wajahnya, membuatku sampai melupakan keadaan. Aku pun bangun, lalu merapikan rambut dan bajuku. Pria itu juga bangun, kemudian membersihkan rumput di bajunya, dan tersenyum padaku. Ya, tersenyum. Sebuah senyum yang manis dan menyejukkan. Dan entah kenapa jantungku jadi berdebar begini.

 

“Berapa umurmu ?” Tanyanya dengan lembut sambil menatap mataku.

 

“Sembilan belas.”

 

“Sungguh ? Wah, kita seumuran rupanya.” Ia tertawa. Giginya sangat putih dan rapi. Ya ampun, kenapa dia begitu sempuna ?, “Namaku Jimin. Park Jimin. Siapa namamu ?”

 

Aku menelan ludah, berusaha menahan debaran jantung yang tak bisa berhenti, “Woo Ra Hee. Panggil saja Ra Hee.”

 

“Begitu, ya. Senang bertemu denganmu, Ra Hee.”

 

Oh, jadi ternyata namanya Park Jimin ? Nama yang sangat manis, seperti orangnya. Dia terus tersenyum, membuatku semakin kesulitan menghentikan debaran jantungku. Aku terpana-pana untuk beberapa waktu.

 

“Kenapa kau ada disini ? Ayo biar kuantar pulang..”
 

Pulang ? “Aku tidak mau.” Aku berjongkok. Kembali air mata menggenang di pelupuk mata, kemudian tumpah membasahi pipi. Lalu dapat kurasakan ada sebuah tangan yang dengan lembut mengelus rambutku yang terjuntai. Saat aku mengangkat kepala, ternyata itu Jimin. Entah kenapa, aku dapat merasakan sebuah perhatian besar dari seseorang yang baru saja kukenal.

 

“Jangan menangis.” Hiburnya, “Mau kuajak ke suatu tempat ?”

 

Aku sempat berpikir sejenak. Aku baru mengenal Park Jimin beberapa menit yang lalu. Jadi, bisakah aku langsung mempercayainya ? Jika dilihat dari fisik, Jimin tidak tampak seperti seorang penjahat. Dan jika dilihat dari tindakan, Jimin tampak seperti orang baik-baik. Lagipula, aku juga malas kalau harus kembali ke rumah. Aku masih butuh ketenangan, dan tempat yang Jimin maksud sama sekali belum masuk dalam pikiranku. Aku pun segera mengangguk dan menghapus air mataku. Karena suasana mulai gelap dan lembah ini lama-lama terlihat menyeramkan, aku bersembunyi di belakang tubuh Jimin sambil memegangi lengannya yang kekar. Kuharap tempat yang ia maksud itu cukup bisa menenangkan hatiku. Semoga saja.

**********

“Wah, tempat apa ini ?”

 

Kami berdua berdiri di atas sebuah batu besar di ujung bukit. Suasana malam  terasa agak mencekat dan bintang sudah mulai terlihat berhamburan di langit. Aku merentangkan kedua tanganku seolah sedang memeluk alam dengan bahagia. Baru kali ini aku merasakan sebuah sensasi kebebasan. Bisa berdiri di atas batu yang langsung menghadap pegunungan bersalju sekaligus bisa melihat ribuan bintang di langit seperti ini benar-benar membuatku merasa ringan.

 

“Bagus, kan ? Ngomong-ngomong, ini tempat kesukaanku…” Jimin duduk di batu itu sambil ikut memandangi langit. Aku hanya mengangguk, lalu ikutan duduk di sampingnya. Jimin mendekatkan tubuhnya hingga bahu kami saling bersentuhan. Jantungku jadi kembali berdetak tidak karuan. akhirnya—walaupun sangat tidak pantas—aku terus berpura-pura batuk.

 

“Kau sakit ?” Tanya Jimin sambil memegangi pipiku. Tangannya yang besar dan hangat itu malah semakin membuat wajahku terbakar. Untung ini sudah malam, jadi kemungkinan besar dia tidak akan bisa melihat wajahku yang sudah memerah seperti kepiting rebus.

 

Kami berdua terdiam. Memandangi langit yang mulai terang karena kemunculan bulan. Di Seoul, aku tidak pernah melihat bintang sampai sebanyak ini, mungkin hanya tiga atau empat. Suasana pergantian musim dingin juga mulai terasa. Untuk beberapa saat aku menyesal karena tidak membawa jaket. Jimin yang—sepertinya—memahami gelagatku yang menggigil pun semakin menempelkan bahunya di bahuku. Dia juga mengalungkan tangannya yang besar itu di leherku. Dia merangkulku. Sensasi aneh kembali bermunculan. Jantungku… kenapa kau tidak lelah berdetak ?

 

“Eh, jangan begini.” Aku melepas tangan Jimin dengan wajah yang sangat terbakar.

 

Jimin tersenyum, lalu menatap langit lagi, “Maaf. Aku selalu melakukan hal itu kalau ada seseorang yang sedang kedinginan.”

 

 

Aku menelan ludah dengan susah  payah. Aku mau-mau saja kau peluk, karena pelukanmu bahkan bisa menghangatkan hatiku. Tapi aku tidak mau kalau nanti kau bisa merasakan debaran jantungku yang daritadi tidak mau diam ini. Aku tidak mau kalau kau sampai mendengar detakan jantungku yang sedari tadi bertabuh kencang setiap kali kau menyentuhku. Perasaan aneh yang tengah kurasakan ini tak mampu kukatakan padanya. Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku ?

 

“Oh iya, kalau aku boleh tahu, kenapa kau tadi mau bunuh diri ? Kau pemakai narkoba, ya ?”

 

Aku tertegun, lalu memukul pelan punggungnya, “Enak saja. Kau pikir aku terlihat seperti gadis nakal ?”

 

“Lalu ?”

 

Aku menghela napas berat. Kira-kira apa aku perlu bercerita pada Jimin ? Ini masalah pribadi, dan aku tidak pernah menceritakan masalahku pada orang lain. Tapi kata orang, menceritakan masalah pada orang lain itu bisa meringankan 50% beban kita. Lagipula bukankah Jimin orang yang baik ? Dia pasti bisa di percaya. Iya, kan ?

 

“Aku sedang ada masalah dengan keluargaku. Ayahku meninggal beberapa tahun yang lalu, dan tadi ibuku tiba-tiba membawa orang asing yang katanya ingin menjadi ayahku. Aku sangat kecewa pada ibuku karena dia tidak bertanya dulu padaku kalau akan mencari seorang pendamping baru. Tentu saja aku marah dengan sikapnya yang egois. Dia pikir tindakannya ini bisa membuatku senang, tapi nyatanya aku malah sedih.

 

“Aku sangat menyayangi ayahku, bahkan sampai sekarangpun aku masih tidak percaya kalau ayahku sudah tiada. Setiap hari aku selalu berdoa supaya ayahku di tempatkan ke tempat yang paling baik di surga. Ayahku juga sering datang di mimpiku. Dia selalu bilang kalau aku adalah gadis yang kuat, dan aku pasti bisa melewati setiap masalah dengan benar.

 

“Ayahku adalah orang yang hebat. Kami sangat dekat, kau tahu ? Saat aku bangun tidur, ayah selalu membuatkanku nasi goreng yang sangat enak. Dia juga selalu mengantarku sekolah dan bersedia membantu saat aku sedang mengalami kesulitan. Tapi sekarang sudah berbeda. Tidak ada yang membuatkanku nasi goreng lagi. Tidak ada yang mengajariku bermain sepeda lagi. Tidak ada seseorang yang bisa kuajak bercerita lagi. Dan tidak ada seseorang yang bisa mengerti diriku lagi.

 

“Ayahku selalu berharap semoga aku jadi gadis yang bisa tumbuh dengan baik dan tidak cengeng. Tapi aku selalu berpikir kalau aku masih tidak mampu memenuhi harapannya. Seperti sekarang, bukankah aku sedang menangis ? Aku sangat cengeng, kan ? Ayahku pasti akan kecewa jika melihatku. Kalau saja ayahku masih hidup, aku pasti akan memeluknya dan bilang kalau putrinya ini sudah tumbuh menjadi gadis yang baik. Aku… aku pasti juga tidak akan memutuskan untuk bunuh diri dengan keadaan menyedihkan seperti ini…”

 

Air mataku yang sedari tadi tumpah serasa tidak bisa terhenti mengalir. Aku menyudahi ceritaku dengan hati yang bagai dihujam pedang. Ayah ingin aku menjadi gadis yang kuat dan tidak mudah menangis. Tapi apa yang bisa kuperbuat ? Aku bahkan tidak bisa menahan rasa sakit terlalu lama dan selalu menangis seperti anak kecil saat marah. Maafkan aku ayah, aku masih tidak bisa memenuhi harapanmu. Nampaknya, aku masih belum tumbuh dengan baik selama ini.

 

“Jangan menangis lagi.” Jimin menghapus air mataku, lalu memelukku dengan erat, “Ibuku bilang, saat ada orang yang sedang menangis, hal yang perlu dilakukan adalah memeluknya.”

 

Air mataku berhenti mengalir. Tubuh Jimin yang lebih besar itu serasa membungkusku. Aku merasa hangat. Tenang. Nyaman.

 

Kenapa Jimin bisa melakukan hal ini ?

 

“Kau pasti bisa, Ra Hee. Ayahmu pasti bangga punya seorang putri yang mandiri sepertimu…” Kata Jimin sambil mengelus-elus rambutku.

 

Apa ini sentuhan sihir ? Atau benar-benar dirimu ?

 

Apa ini hujan bunga ? Atau benar-benar dirimu ?

 

Apa ini malaikat ? Atau benar-benar dirimu ?

 

Jimin melepas pelukannya, “Mau kuantar pulang ? Rumahmu dimana ?”

 

Pulang ? Ah, pulang. Sebenarnya aku masih tidak mau pulang. Aku  tidak  mau bertemu orang-orang yang ada di rumah. Aku masih mau disini, bersama Jimin.

 

“Tidak mau.”

 

“Kenapa ? Ibumu pasti mencarimu.”

 

“Tidak mungkin.”

 

“Ayo, biar kuantar pulang. Aku sangat hapal jalanan di lembah ini, jadi kau tidak perlu khawatir akan tersesat.”

 

Untuk apa aku takut tersesat selama ada kau di sampingku, Park Jimin ? Ah, lagi-lagi perasaan aneh ini muncul. Lalu daripada aku sibuk mengalihkan pikiranku dari Jimin, dengan terpaksa aku memutuskan untuk pulang.

 

Kami berdua berjalan sejajar. Saat lengan Jimin tak sengaja menyentuh bahuku—lagi, aku dapat merasakan kalau Jimin punya otot yang sangat kuat. Kembali jantung ini berdebar. Kumohon berhenti menyiksaku, dasar jantung sialan!. Suasana gelap di lembah tampak tak terasa karena senyuman Jimin mampu menerangi segalanya, termasuk hatiku. Aku tidak tahu kenapa aku bisa bersikap berlebihan begini saat bertemu dengannya, aku juga tidak tahu kenapa sekarang jantungku sangat suka berdetak cepat secara tiba-tiba.

 

Drrtt…Drrtt… Ponselku yang ada di saku bergetar. Saat kulihat di layar, ternyata ibu yang menelponku. Aku hanya menghela napas berat, setelah itu melepas baterainya dan kusimpan lagi di dalam saku. Ibu pasti menyuruhku pulang. Hah, sudah hampir tiga jam aku tidak kembali dan Ibu baru menelponku sekarang ? Maka dari itu aku lebih memilih untuk mengabaikan panggilannya. Kalau baterainya tidak kulepas, kemungkinan besar Ibu akan menelponku lagi sampai seratus kali.

 

“Kenapa tidak kau angkat ? Siapa tahu ada hal penting.”

 

“Di dunia ini tidak ada hal yang penting bagiku, kecuali ayah.”

 

Jimin langsung terdiam. Kami melanjutkan berjalan dan nampaknya jalan raya sudah mulai terlihat. Wah, ternyata lumayan jauh juga jaraknya menuju ke lembah ini. Kenapa aku tadi begitu nekat memasukinya ? Ah, tapi kalau aku tidak nekat, mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan Park Jimin.

**********

Saat sudah sampai di depan rumah, aku sempat menawarkan Jimin untuk sekedar mampir, tapi pria itu menolak dengan halus dengan bilang kalau waktu untuk bertamu sudah terlalu larut. Jimin sangat gentleman. Dia sangat mempesona bahkan pada saat batuk.

 

“Kalau begitu, aku pulang dulu. Selamat malam.”

 

“Iya, selamat malam. Hati-hati, Jimin…”

 

Kami saling melambaikan tangan dengan tersenyum. Ini benar-benar kali pertama bagiku merasakan perasaan yang sama dalam setiap detik saat bersama Jimin. Senang, berdebar, gugup, malu, bahkan rasa tidak rela melihat Jimin pergi pun dapat kurasakan saat ini. Aku ingin bisa bersamanya lebih lama lagi. Entah kenapa saat berada di sampingnya, waktu terasa berputar sepuluh kali lebih cepat.

 

“Ra Hee!”

 

Aku terlonjak kaget ketika mendengar suara ibu. Kenapa suaranya seperti itu ? Sebelumnya, ia tidak pernah berteriak padaku seperti ini.

 

“Kau darimana, hah ?!” Ibu berbicara dengan suara lantang di depan wajahku.

 

“Kenapa Ibu marah-marah ? Aku kan hanya pergi bermain.” Jawabku dengan santai. Aku berjalan dengan tergesa-gesa ke dalam rumah. Disana ada Ye Rin yang sedang duduk sambil memandangi lantai di depan televisi, sedangkan Han Dong Ho entah ada dimana.

 

Ye Rin berdiri menatapku, “Eonni, kenapa Eonni pulang larut malam ? Daritadi ibu sibuk mencarimu…”

 

“Apa urusanmu ?” Aku balas menatapnya dengan sinis. Gadis seperti ini benar-benar ingin jadi adikku ? Cih!

 

“Maaf. Aku tidak bermaksud mengaturmu. Aku hanya kasihan pada Ibu.” Ye Rin menunduk.

 

“Ya sudah. Kalau kasihan, sana buatkan teh panas dan ajak menonton film!”

 

“Jaga bicaramu, Ra Hee!” Ibu membentakku lagi. Aku tidak suka dibentak!!!!!, “Masuk ke kamarmu dan cepat tidur!”

 

“Jangan membentakku lagi! Ibu pikir aku ini gadis macam apa ?!” Karena merasa air mata ini akan tumpah, aku pun berlari menuju kamar dengan menahan perasaan sakit. Nampaknya esok hariku tidak akan berjalan seperti biasanya. Terkesan mengerikan dan suram. Aku takut membayangkan kalau besok di pagi hari Ibu sudah menyambutku dengan bentakan seperti tadi. Kenapa saat gadis itu datang, Ibu jadi semakin kasar kepadaku ? Apa hebatnya gadis itu sampai berani membuatku dimarahi Ibu ? Begitukah seorang adik ? Senang jika melihat kakaknya menderita ?

 

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Air mataku tidak jadi tumpah karena aku terlalu lelah. Aku pun segera memejamkan mata setelah melamunkan ayah dan Jimin dalam waktu bersamaan selama beberapa menit.

 

Selamat tidur, Ayah. Tetap lindungi aku di sisimu dan jangan sampai kau meninggalkanku satu detik saja. Suruhlah para malaikat untuk memberikanku sebuah mimpi indah supaya esok jika aku sudah terbangun, aku bisa merasa jauh lebih segar. Bisikanlah pada Ibu supaya dia tidak membentakku lagi. Ayah pasti tahu bagaimana karakterku yang sangat sensitif ini, kan ?

 

Selamat tidur, Jimin. Aku memang baru mengenalmu, tapi aku bisa merasakan getaran aneh setiap kali berada di sampingmu. Sebenarnya kau siapa ? Kenapa kau membuatku jadi begini ? Apa esok kita bisa bertemu lagi ? Apa saat ini kau sudah sampai di rumahmu dengan selamat ? Apa kau masih ingat dengan wajahku ? Kalau misalnya kita bertemu lagi—entah kapan, akankah kau mengenaliku dan menyapaku lebih dulu ?

 

Bisakah kita bertemu lagi ? Aku benar-benar ingin bertemu denganmu, Park Jimin…

 

Tidakkah kau merasakan hal yang sama ?

 

Apa saat ini kau sudah tidur ? Cepatlah istirahat dan jangan tidur larut malam. Semoga kita bisa bertemu lagi, Jimin. Selamat malam…

 

 

 

_Angel Who Continue To Grieve_

To Be Continue~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet