UNKNOWN

Description

Original story by Everahh and Kang Jae Hee  
Fantasy, psyco, struggle, friendship || Chaptered || BTS's Member etc || PG-13 


[WARNING! Mengandung  perkataan kasar dan adegan kekerasan]



Mereka nyata. Mereka hidup di antara manusia. Mereka ada, dan melenyapkan nyawa.

Mereka tak diketahui. Mereka bukan manusia. Bukan hewan. Bukan monster. Bukan pula makhluk tak kasat mata. 

Lalu apa?

Sebut saja mereka ... UNKNOWN.

Foreword

Title : Unknown [Prolog : Love Live Kill Dead]

Author : Everahh (Eva Rahmawati) and Kang Je Hee (Tika Mutiara)

Genre : Fantasy, psyco, struggle, friendship

Length : Chapter
Cast : Kim Taehyung, J-Hope, Jungkook, Jin, etc
Rating : PG-12
(Warning!!! Yang merasa gampang jijik, disaranin jangan baca sambil makan. Yang merasa FF ini ga asik, asik-asikin aja ya gaiss.. kekeke :3)

 

 

 

 

 

 

Korea Selatan, 2015

 

Negara igar-bingar yang belakangan menarik perhatian dunia dengan kegencarannya memperkenalkan budaya dan adat-istiadatnya melalui berbagai bidang. Melalui musik, dunia sinema, destinasi wisata, fesyen hingga kuliner disentuh demi mengangkat kehormatan dan perekonomian Korea Selatan.

 

Perekonomian? Ya. Jauh dari pusat keramaian, di sebuah hutan terpencil yang terasing terdapat ratusan keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

 

Tak ada yang tahu apalagi peduli, semua orang tengah digegerkan oleh kasus pembunuhan jajaran-jajaran petinggi negara yang hidup layak dari mereka, tapi tak lebih layak hidup dari mereka.

 

***

 

Seoul, Oktober 2015

 

[JEON JUNGKOOK POV]

 

Langit mendung diiringi gelegar petir mengiringi penelusuran timku. Bising mesin kapal laut yang kutumpangi membuat hasratku mengungkap kasus ini semakin menggebu.

 

Pagi tadi, seorang nelayan melaporkan temuannya yang disebut sebagai jasad mengapung-ngapung dalam derasnya aliran Sungai Han.

 

Sepanjang penelusuran sungai yang sangat luas ini, masih belum kutemukan petunjuk secuilpun yang mengacu pada keberadaan jasad tersebut.

 

"Ah, ini mengesalkan!" Namjoon menghentakkan kakinya dan menggesek kedua matanya yang perih menelisik luasnya sungai melalui sebuah teropong.

 

"Hei, apa mungkin ini laporan palsu?"

 

Kutolehkan pandanganku pada Namjoon.

 

"Palsu?" Teropong dalam genggamanku mengerat. Jika pernyataan Namjoon barusan bukan sekedar ocehan belaka, kupastikan si pelapor berakhir di jeruji besi.

 

"Ya! Jangan pasang tampang seperti itu!" Namjoon merangkul pundakku.

 

"Santai saja, mungkin bukan laporan palsu, hehe."

 

Bukan waktu liburku yang terbuang percuma yang kusesali jika ini hanya lelucon, tapi waktu pembalasan dendamku yang tertunda dan menjadi lebih lama. Dendam? Ya, dendam yang hanya Tuhan dan aku yang tahu.

 

Tak masalah, bukan? Semua orang memiliki masa lalu dan rahasia.

 

"Tuan, itu disana! Lihat itu! Sepertinya, itu mayatnya!" Sebuah teriakan membangunkanku dari lamunan. Aku berdiri dan mendekati lelaki paruh baya, si pengemudi kapal.

 

"Dimana?" Kutempatkan teropong dihadapan kedua mataku dan mulai mengikuti arahan lelaki tua itu dengan pandangan memburu.

 

Ini pemburuan pertamaku setelah sekian lama kupalingkan wajah dan menutup diri terhadap hal-hal yang merepotkan seperti ini.

 

"Itu dia! Penyelam, siaga! Dan kalian, tetap awasi!" Perintahku pada anggota penyelam, dan mengisyaratkan anggota penelusur untuk tetap mengawasi jasad agar tidak terombang-ambing lebih jauh.

 

"Siap, Pak!" jawab mereka.

 

Tugasku terlihat mudah, bukan? Cukup gerakkan telunjuk dan ucapkan kalimat perintah, maka mereka akan menurut.

 

Tapi urusan tanggung jawab? Percayalah, tanggung jawab yang kupikul lebih berat.

 

Tim penyelam berhasil membawa jasad mendekat ke kapal. "Angkat perlahan! Jangan biarkan tubuhnya tergores!"

 

Jasad yang memutih dan jari-jemarinya yang mengerut cukup menggambarkan betapa lamanya jasad tersebut berada di dalam air.

 

"Pak, kembali ke daratan!" pintaku pada pengemudi kapal.

 

Di tepi sungai, masyarakat sudah berkumpul dan menunggu temuan apa yang kami bawa.

 

"Hyung, wajahnya tak asing." ucapku pada Namjoon setelah membaringkan jasad pria kira-kira berumur lima puluhan lebih, terlihat dari beberapa helai uban yang tumbuh diantara helaian rambut lainnya yang hitam.

 

"Kau benar. Rasanya aku pernah melihatnya ... di televisi?"

 

Jas kantoran, lengkap dengan kemeja putih dan dasi biru bermotif garis merah membalut jasad. Cukup untuk merepresentasikan status sosialnya yang tinggi.

 

"Apa dia bos perusahaan ternama? Ah, atau aktor, ya?" tebak Namjoon. Hanya ada satu cara untuk menjawab pertanyaan Namjoon.

 

Dibantu tim medis, kulepas pelampung yang dikenakan jasad. Setelah pelampung ditanggalkan, terlihat tanda pengenal jasad yang masih melekat pada kemejanya.

 

Kim Myungjun.

 

"Hyung, kau tahu? Tangkapan kita kali ini ... ikan yang besar."

 

"Hm? Apa?" Namjoon mengerutkan kening. Ketika ia mengetahui maksud ucapanku, ia kembali dibuat terkejut.

 

Orang awam akan berpikir korban merupakan wisatawan yang tanpa diketahui terjatuh dari kapal pesiar, lalu terombang-ambing dan tewas karena hipotermia.

 

Atau analisis kedua, korban yang tidak bisa berenang didorong oleh seseorang, dan kasus yang semula kecelakaan berubah menjadi kasus pembunuhan.

 

Satu-persatu kancing jas jasad kulepas, dan memperlihatkan kemeja putihnya yang memerah.

 

Tanganku bergetar. Keringat dingin bercucuran. Lagi, isi kepalaku lagi-lagi memutar peristiwa yang selalu berhasil menggoyahkan keberanianku.

 

"Hei, aku saja. Biar aku yang periksa." Namjoon menepuk bahuku lalu berjongkok, menggantikan posisiku melanjutkan pemeriksaan.

 

Namjoon membuka seluruh kancing kemeja jasad. Seketika bau darah menyeruak mengganggu pernapasan. Darah segar yang membanjiri sekujur tubuh, bersumber dari dada sebelah kiri korban.

 

"Ya Tuhan!"

 

"Mengerikan! Keji sekali!"

 

"Apa-apaan ini? Argh! Menjijikkan!" Respon masyarakat yang menonton.

 

Dada sebelah kiri korban tempat dimana seharusnya jantung berada, berlubang. Dada kirinya dilubangi. Jantungnya dilucuti.

 

"Ini ulah mereka.." lirihku.

 

***

 

[KIM SEOKJIN POV]

 

"Langit gelap dan petir bergemuruh menyertai kepanikan warga ibukota, Seoul, Korea Selatan. Sebuah jasad mengenakan pelampung ditemukan mengapung di tengah derasnya aliran Sungai Han. Masyarakat berbondong-bondong mengerumuni mayat yang akhirnya berhasil dievakuasi tim kepolisian,"

 

"Tak disangka, pelampung yang dikenakan korban berfungsi untuk menyembunyikan kondisi mayat yang sesungguhnya. Dada bagian kiri korban dengan keji dilubangi, bahkan organ jantungnya dilucuti."

 

"Pihak kepolisian masih melakukan penyeli-"

 

"Berhenti!" Kupotong perkataan ayahku dengan kesal.

 

"Ah, tidak adakah artikel yang lebih menyenangkan?" tanyaku padanya yang berada di meja makan dan tampak membenarkan letak kacamata bulatnya untuk membaca artikel lain di koran paginya.

 

"Abeoji, ada tidak?" Sambil menunggu ayah membacakan artikel lain, aku masih di sofa dan bergulung dalam selimut. Sebuah rutinitas pagiku sebelum ibu menyelesaikan masakannya.

 

"Berhenti bermalas-malasan dan baca ini sendiri!" Ayah melempar korannya ke meja.

 

Mau tak mau, kuhentikan aksi menghangatkan diriku, lalu mulai melancarkan aksi mendinginkan ayahku yang mudah tersulut emosi.

 

"Maafkan anakmu ini, ya? Abeoji? Hehe." Kupeluk leher ayahku dari belakang yang justru dibalasnya dengan sebuah pukulan yang mendarat di kepalaku.

 

"Aigo, anak ini pintar merajuk! Seokjin-ah, sampai kapan kau mau menganggur di rumah?" tanya ibu yang sekarang sibuk menata meja makan.

 

"Hmm ... sampai ayah memasukkanku ke production house ternama?" Aku mengambil apel dan memerhatikan reaksi apa yang akan ayahku keluarkan.

 

Kali ini, ayah tak melayangkan koran itu ke hadapanku yang selalu berhasil kutangkis, ia hanya menghela napas.

 

"Apa yang akan kau lakukan disana?" tanyanya, tampak serius.

 

"Kau ingin menjadi aktor? Membaca pesanku saja kau malas, bagaimana bisa kau menghapal skenario?"

 

"Itu karena pesan ayah isinya cuma omelan-omelan saja." jawabku santai seraya menyuapkan sesendok penuh bibimbap ke dalam mulut.

 

"Kau sungguh ingin menjadi pemain film? Atau jangan-jangan kau ingin menjadi penulis skenario?" Ayah melipat kedua tangannya di depan dada. Aku menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaannya yang tak kreatif.

 

"Profesi yang berhubungan dengan production house itu bukan hanya aktor, aktris atau penulis skenario saja. Aku ingin lebih dari mereka,"

 

"Oh! Sutradara? Kau ingin menjadi sutradara?" Ibuku memberi potongan-potongan bulgogi dan kimchi ke mangkukku. Sosok ibu yang sempurna.

 

Ayah yang duduk diseberangku menatap hambar mangkuk nasinya yang masih kosong.

 

"Eomma, aku bukan mau jadi sutradara. Ah, tolong tambahkan kimchinya!" Aku menggoda ayah dengan merebut seluruh perhatian ibuku.

 

Ayahku yang merupakan pekerja keras bukan tipikal suami yang rela membuang waktu berharganya untuk sekedar mencemburui pria lain pengemis kasih sayang istrinya.

 

Ayahku gila kerja? Tidak juga. Jika libur, ayahku akan menghabiskan sepanjang liburannya bersama keluarga.

 

Ayahku tak mencintai ibuku?

 

Yang benar saja! Bukan pencemburu bukan berarti ia tidak mencintai orang terkasih, itu semua karena ibuku pintar menjaga jarak dengan pria lain. Kecuali diriku. Akulah satu-satunya orang yang selalu sukses memancing kecemburuan ayahku.

 

"Bukan sutradara. Eomma, aku ingin menjadi cameraman."

 

"Apa?!" Ayah menggebrak meja dengan mangkuk kosongnya. Ibu yang tersadar dari kelalaiannya mengabaikan ayah, mengambil alih mangkuk tersebut dan mengisinya dengan nasi dan lauk pauk.

 

Ayah menatapku remeh. "Kau bercanda? Bukankah sutradara di atas aktor, aktris, dan segala-galanya? Mengapa kau pilih juru kamera?!"

 

"Sutradara adalah goal terbesarku. Ayah pikir untuk mendapatkan gol, pemain baru sepertiku harus langsung mengambil alih posisi striker dan menyerang?"

 

"Tidak mudah mendapat kursi sutradara. Aku harus memulainya dari bawah. Juru kamera salah satu langkahku untuk merangkak hingga aku berhasil menduduki kursi sutradara." jelasku.

 

"Lalu, kau pikir pengangguran yang tak memiliki pengalaman syuting sepertimu akan diterima production house dengan mudah?"

 

"Ayah bisa menggunakan uang."

 

Ayahku tersentak. Ibuku sigap dan mengusap-ngusap lengan ayah, takut jika suaminya tak mampu lagi menahan amarah.

 

"Kau bilang apa, huh?! Katakan sekali lagi!"

 

Aku meletakkan sumpitku, dan menatap ayahku penuh keberanian.

 

"Kubilang, ayah bisa memasukkanku ke production house atau ke perusahaan papan atas manapun dengan uang. Apa yang harus kuralat?"

 

"Di zaman sekarang, apapun bisa didapat dengan uang. Mereka yang tidak memiliki penghasilan dan keterampilan diterlantarkankan. Yang punya uang yang berkuasa, yang tak punya uang yang celaka," ucapku panjang-lebar.

 

"Kau memandangku demikian? Maksudmu, jika aku tak menyuap orang production house, maka artinya aku menerlantarkanmu seperti mereka yang tak memiliki penghasilan dan membiarkanmu celaka dengan kesengsaraan?"

 

Ayah menatapku sengit, meski raut wajahnya yang mencoba menerka apa yang kupikirkan tak berhasil ia sembunyikan.

 

"Abeoji, mau membantuku, tidak? Mau melihatku hidup bahagia atau tidak?"

 

Ayah mengembuskan napas kasar dan dengan tegas berkata, "Tidak. Aku memang ingin melihatmu bahagia, tapi tidak dengan cara yang kotor."

 

Aku beranjak dari dudukku.

 

"Kau memang ayah yang kubanggakan!" Kupeluk ayahku dari belakang sama seperti sebelumnya. Bedanya, ini bukan pelukan permintaan maaf, tapi pelukan penuh rasa syukur.

 

Aku bersyukur memiliki kedua orang tua yang hebat.

 

"Mwoya? Apa yang sebenarnya kau lakukan, huh?" Ayah berontak dari dekapanku.

 

"Abeoji, jangan khawatir! Aku belum mendapat penghasilan, tapi aku memiliki keterampilan. Jadi kupastikan hidupku tak akan sengsara bahkan ketika kau melepas uluran tanganmu,"

 

"Impianku ada ditanganku. Aku sudah merancangnya dengan baik."

 

"Benarkah?" tanya ayah memastikan.

 

"Tentu saja."

 

Keesokan harinya, kukemasi barang-barangku. Perkataanku kemarin bukan bualan. Aku sudah merencanakan jalan mana yang akan kutempuh untuk menggapai impianku.

 

"Seokjin-ah," Ibu mengetuk pintu kamarku yang setengah terbuka.

 

"Kau yakin? Kami tidak memaksamu, tidak usah terburu-buru."

 

Ibu duduk diranjang, disampingku. Tangannya yang lembut membelai rambutku penuh kasih. Kuraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat.

 

"Eomma, aku sudah memikirkannya jauh sebelum Eomma dan Abeoji mempertanyakan masa depanku. Aku tidak ingin meraih anganku melalui jalan pintas. Aku ingin menikmati proses hingga nanti aku mencapai puncak tertinggi."

 

Manik kedua mata ibuku berair, siap menuruni pipi tirusnya.

 

"Eomma, makanlah tepat waktu! Jangan menunggu abeoji pulang larut, baru makan, eoh?"

 

Tautan ibuku menguat, air matanya tak terbendung.

 

"Berapa lama kau akan pergi? Sudah mendapat tempat menginap?"

 

Ayah yang sejak awal kusadari bersembunyi di balik pintu, akhirnya menampakkan diri. Tak ingin merusak momen yang mengharu biru, kuurungkan niatku untuk menggodanya.

 

Aku mengangguk. "Kurasa itu bukan hotel, mungkin hanya rumah warga biasa."

 

"Begitu? Tapi, kenapa tidak penulis skenario saja?"

 

"Abeoji~" keluhku lemas.

 

Ayahku keras kepala. Itulah sebabnya aku menjadi lebih keras kepala darinya.

 

"Setidaknya, jika penulis skenario, kau tidak perlu pergi jauh-jauh untuk mendapat inspirasi. Kasihan ibumu, tidak ada yang menemani. Atau kau ambil gambar di sekitar sini saja!"

 

"Abeoji, juru kamera tidak seperti penulis yang bisa menulis kapanpun dan dimana saja. Juru kamera merealisasikan tulisan melaui visual, dan agar visualisasi semua orang sama, juru kamera dituntut merekam gambar yang akan membantu orang memahami pesan apa yang ingin disampaikan tanpa harus dijabarkan dengan kata-kata,"

 

"Tidak bisa mengambil gambar di sembarang tempat." sambungku.

 

"Wah, darimana kau mengutip kalimat barusan, huh?"

 

"Abeoji! Argh~ jinjja! Kutendang-tendang koperku yang sudah tersusun rapih.

 

"Arasseo, arasseo. Lakukan apa yang kau mau!"

 

Ayah menggaruk tengkuk, dan membalikkan badan untuk menyembunyikan rasa malu atas kekalahannya.

 

Senyumku mengembang. Ya, tekadku sudah bulat.

 

Caci, cerca, maki saja diriku. Aku tidak akan berbalik, karena aku berjalan di jalanku sendiri.

 

"Abeoji, aku ingin memelukmu!"

 

"Sirheo!"

 

***

 

[J-Hope POV]

 

Burung gagak yang terbang mengitari mansion besar ini membangunkan tidurku yang singkat.

 

Kubuka tirai yang terletak di samping ranjang, dan sinar rembulan menelusup masuk melalui celah-celah jendela. Sinar itu tak sedikitpun mengusik dirinya.

 

"Kapan kau akan bangun?" Kutatap lekat sebuah tubuh yang terbaring lemah diranjangku. Sudah dua hari laki-laki itu tak sadarkan diri.

 

Apa benar yang kulakukan?

 

Pertanyaan itu meluap setiap kali kulihat ekspresi wajahnya yang tak berdosa. Luka pada pelipis dan sudut bibirnya yang mencoreng paras tampannya itu tak sebanding dengan sakit hati yang akan dideritanya kelak, ketika ia terbangun.

 

Kutolehkan kepalaku keluar jendela. Dari lantai teratas mansion ini, bisa kulihat pepohonan tinggi yang berbaris tegap melindungiku dan ... dirinya?

 

Aku mengembuskan napas sesal, dan kembali menghempaskan diri di sebuah kursi yang bekalangan beralih fungsi menjadi tempatku mengawasi.

 

Malam bagai pintu masuk dimana mimpi buruk siap menjelma menjadi nyata.

 

Tiba-tiba pintu kamarku bergetar. Telingaku berdengung. Segera kututup tirai yang mungkin akan memicu hal-hal membahayakan lelaki itu. Dan ketukan pada pintu kamarku mengeras. Begitu pintu terbuka ...

 

"Kejutan~!" Tiga anak kecil menyeringai riang gembira melunturkan kegelisahanku. Mereka tertawa lebar melihat penampilanku yang bagi mereka terlihat lucu.

 

"Apa itu yang kau pakai, Paman?" tanya anak terkecil. Anak perempuan itu berjinjit dan mengangkat dagu seakan menunjuk-nunjuk sesuatu yang kupakai dimulutku.

 

"Ini? Ini namanya masker, Namgyeong-ie.."

 

Anak perempuan itu mengangguk-anggukan kepalanya. Tangannya hampir terulur untuk menyentuh masker hitam yang masih kugunakan, tapi segera ia sembunyikan lagi tangannya ke belakang.

 

"Ada apa? Kau mau menyentuhnya?" Aku berjongkok, menyejajarkan diri dengan tinggi badannya yang pendek.

 

"Tidak, Paman. Namgyeong tidak jadi menyentuhnya." Namgyeong menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tersenyum dan menatap kedua kakaknya yang juga tersenyum-senyum menyembunyikan sesuatu.

 

"Paman, lihat baik-baik, ya? Hana, dul, set!" Anak tertua yang umurnya belum genap sepuluh tahun mengomandoi adik-adiknya, termasuk dirinya sendiri untuk memperlihatkan apa yang mereka sembunyikan di balik punggungnya masing-masing.

 

"Tara~!" Tangan mereka berlumuran darah. Mereka memamerkan tangannya dan tersenyum seakan membanggakan diri.

 

"Apa yang kalian lakukan?!!"

 

Senyum mereka menghilang ketika teriakkanku menggema di sepanjang lorong mansion lantai tujuh ini.

 

"Maafkan kami, Paman. Kami melumuri tangan kami dengan darah hewan-hewan hasil pemburuan teman-teman di desa, iya kan, Hwanhee?" Si anak tertua meminta dukungan adik laki-lakinya.

 

"Iya, Paman. Hoshi hyung benar. Kami kesini untuk meminta paman menebak darah apa yang melumuri tangan kami," Hwanhee menjelaskan maksud kedatangan mereka.

 

Mereka saling menyikut, tak berani menatapku dan berbicara sambil menunduk.

 

Kulepas maskerku, kuraih satu-persatu tangan mereka, lalu mulai mengendus-endus. Aroma tangan-tangan mereka membuatku sedikit mual.

 

"Jilat saja, Paman!" saran Hoshi yang kini bisa mengembangkan senyumnya lagi.

 

"Ayo, Paman! Ayo, tebak!" Namgyeong semakin mendekatkan tangannya ke hidungku.

 

"Baik, baik. Tapi setelah ini, berjanjilah kalian tidak bermain-main lagi dengan darah!"

 

"Darah apapun itu!" sambungku ketika melihat Hwanhee mengangkat tangan untuk bertanya.

 

Aku memejamkan mata, mengingat bau darah yang tertempel di telapak tangan Namgyeong.

 

"Biri-biri? Ah, bukan. Kelinci?"

 

"Paman, kesempatanmu tiga kali. Jika sekali lagi kau salah, kau harus mengajak kami ke kota!" ucap Hwanhee yang bagiku terdengar seperti ancaman.

 

Kota bukan tempat yang aman. Tak mungkin kupertaruhkan nyawa, kuputuskan menjilat tangan Namgyeong yang berlumuran darah untuk dapat menebak teka-tekinya dengan benar.

 

"Ini darah rusa. Berikutnya.."

 

Namgyeong bersedih, lalu Hwanhee menjulurkan tangannya.

 

"Coba endus dulu saja, pa-" Bocah itu terkejut melihatku yang tak segan menjilat langsung tangannya yang anyir.

 

"Babi hutan?" Hwanhee menganguk dan berdecak sebal.

 

Terakhir adalah tangan Hoshi. Anak itu begitu percaya diri dengan tetap mempertahankan seyumnya yang mengembang.

 

Kutahan rontaan perutku yang ingin muntah menjilati darah hewan yang sungguh sama sekali tak enak ditelan.

 

Kujilati tangan Hoshi.

 

"Kelinci?"

 

"Bukan. Dua kesempatan lagi!"

 

Tangan kiri Hoshi telah bersih kujilati. Aku beralih menjilati setiap lekuk jari-jemari tangan kanannya.

 

"Sebenarnya, darah apa ini? Biri-biri?"

 

"Memangnya biri-biri berkeliaran di hutan?" celoteh Hoshi.

 

"Gagal! Gagal! Gagal!" Hwanhee dan Namgyeong kompak mendukung kekalahanku.

 

"Tunggu! Tunggu sebentar!" Kutarik lagi tangan berdarah Hoshi dan menjilatnya lebih intensif.

 

Mulai dari sela-sela jari-jemari, bahkan darah yang menyempil di kuku-kukunya pun tak luput dari jilatan lidahku. Tapi tetap tak kukenali darah apa yang melumuri tangannya.

 

"Kuda?" Serentak mereka gaduh dan berseru heboh mendengarkan jawabanku.

 

"Besok paman harus mengajak kami ke kota! Yeah!" Ketiga anak kecil itu berjingkrak dan meninggalkanku.

 

"Tunggu dulu! Memangnya darah apa itu?" Hampir seluruh darah hewan telah kucicipi. Terutama darah hewan yang berhabitat di sekitar hutan yang membentengi mansion ini.

 

"Itu darah tikus!" teriak Namgyeong dari kejauhan.

 

"Tikus? Hewan pengerat yang berwarna hitam itu?"

 

"Iya, Paman! Tikus rumah kita ini besar-besar, lho!" ujar Namgyeong sebelum tubuhnya menghilang di ujung koridor.

 

Perutku bergejolak. Tinggal menghitung menit untuk kumuntahkan isinya. Tapi saat kumasuki kembali ruanganku, tercium sesuatu yang sedap.

 

Aroma lezat memenuhi udara dalam ruanganku.

 

Bau yang kurindukan.

 

"Oh, kau rupanya. Aromamu menggiyurkan," Aku menelan ludah dan tanpa sadar melangkahkan kakiku mendekati ranjang.

 

Perlahan, kusentuh dahi lelaki itu yang menyisakan darah kering disana. Sumber dari aroma menggairahkan itu.

 

"Hyung!" Pintu kamarku terbuka lebar dan menghentikan aksi gilaku.

 

Gila? Ya, orang-orang yang memergokiku menjilati darah manusia pasti menganggapku gila.

 

"Apa yang kau lakukan?" Jimin mendekat. Cepat-cepat kupasang masker, dan mendorongnya keluar ruangan. Doronganku terlalu kuat. Jimin tersungkur.

 

"Apa? Berhenti menatapku seperti itu! Sudah kukatakan berulang-ulang, ketuk sebelum masuk, mengerti?!" bentakku pada Jimin.

 

Aku benci tatapannya. Tatapan tersakiti yang akan mengingatkan kesalahan fatalku yang belum lama ini kuperbuat. Kesalahan kecil yang membuatku melakukan kesalahan-kesalahan lainnya yang lebih besar.

 

"Ah, maafkan aku. Kau tidak apa-apa?" Jimin menangkis uluran tanganku.

 

"Sudahlah. Aku hanya ingin mengantar ini," Jimin menyerahkan sebuah kotak berwarna putih.

 

"Kepala desa bilang, pergunakan baik-baik karena tak semua warga desa memiliknya."

 

Kugenggam erat kotak putih yang isinya akan sangat berarti bagi lelaki yang terbaring tak berdaya di ranjangku.

 

"Terimakasih."

 

"Tunggu, Hyung!" Jimin mengahadang pintu kamarku dengan kakinya.

 

"Ada yang ingin kutanyakan." Tatapan anak itu menajam.

 

"Dimana ayahku?" Kotak dalam dekapanku nyaris jatuh.

 

Haruskah kuungkap semuanya sekarang?

 

Tidak, aku belum siap. Aku tidak tahu harus menceritakannya darimana.

 

"Jimin-ie, ayahmu-"

 

"Uhuk! Uhuk!" Terdengar suara dari dalam ruanganku.

 

"Dimana ... aku?"

 

Lelaki itu terbangun. Laki-laki yang beberapa hari kehilangan kesadarannya itu, akhirnya siuman.

 

Bagus.

 

Semakin cepat laki-laki itu bangun, semakin cepat rasa bersalahku berkurang.

 

Atau mungkin sebaliknya?

 

"Kalian ... siapa?"

 

***

 

 

To be Continued

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet