Redemption

Redemption

Dengan tangan bergetar, Baekhyun mencoba menyentuh gagang pintu ber nomor 203. Sebenarnya bukan perkara sulit untuk mendorong pintu kayu itu terbuka. Hanya saja, ada sesuatu hal yang mengisi penuh pikiran pemuda berkulit pucat itu bahkan sejak sebelum dia menghentikan laju lari kencangnya di depan sebuah motel kumuh. Dan disinilah dirinya sekarang, kebingungan menghadapi salah satu kamar motel yang tadi sempat di alamatkan Irene untuk dirinya.

Sebelum dia melakukan hal lain, pikiran Baekhyun kembali terlempar jauh ke belakang. Dia sedang di perpustakaan mengerjakan tugas bersama Chanyeol dan tiba-tiba telfon dari Irene memecah konsentrasinya. Dia pikir gadis itu akan berkata basa-basi atau bercerita kalau kucingnya tidak pulang lagi. Tapi ternyata suara serak langsung terdengar di telinga Baekhyun dan di susul dengan isakan pelan yang berulang. Irene menangis dan menyruh Baekhyun menemuinya. Tanpa berpikir dua kali pria itu berlari menerobos pintu perpustakaan, tanpa menghiraukan seruan geram Chanyeol yang mengejarnya.

Apa yang Irene lakukan di tempat seperti ini, Baekhyun tak habis pikir. Motel ini cukup jauh dari pusat kota dan Baekhyun tak menyangka ada tempat seperti ini di negaranya. Bagaimana tidak? Dari penampilannya, gedung ini mirip seperti pabrik tua yang tak terpakai. Dindingnya kotor dan banyak dijumpai lumut di sela dinding yang retak. Semua lantainya, baik lobby maupun koridor yang sekarang ia punggungi memanjang hingga ke ujung tangga, terlihat kotor seperti kamar lantai kamar mandi yang tidak pernah disikat. Lebih dari itu, cahaya remang yang dihasilkan oleh lampu neon putih sama sekali tidak menambah kesan baik bagi Baekhyun.

Sungguh, apa yang sedang gadis itu lakukan di tempat seperti ini? Apa ini sebuah lelucon? Bisa saja.

Tanpa basa-basi lagi, akhirnya tangan pucatnya memutar gagang pintu dan mendorong papan kayu itu hingga terbuka lebar. Sudah seperti yang ia duga, pemandangan yang ada di hadapannya juga tak lebih baik dari yang sudah ia lihat. Jendela besar dengan gorden kotor yang menggantung di sisi lain ruangan, lantai kotor yang penuh dengan ceceran barang-barang, dinding dingin dengan cat yang sudah mengelupas dan tempat tidur yang berantakan dengan seseorang yang tergeletak tak berdaya di atasnya.

Pelan-pelan, Baekhyun mulai masuk kedalam ruangan berpenerangan remang itu. Matanya masih tertuju pada seseorang yang sedang tidur dengan posisi tak lazim di hadapannya sambil terus berjalan mendekat. Hingga akhirnya, rem otomatis milik kakinya berfungsi dan membuat seluruh tubuhnya berhenti. Bukan hanya kakinya yang berhenti bergerak, tapi seluruh anggota tubuh miliknya berubah menjadi kaku. Otaknya yang merespon terlambat akhirnya menyadari situasi apa yang sedang terjadi di hadapannya.

Baekhyun tahu, siapa gadis yang sedang tidur di atas tempat tidur kotor itu. Baekhyun tahu nama dari wajah pucat yang terpejam itu. Bukan hanya tahu, tapi Baekhyun mengenalnya. Benar-benar mengenalnya.

“Aku tak bermaksud melakukannya.”

Baekhyun hampir saja memekik kaget, terlambat menyadari bahwa ada orang lain di ruangan itu. Gadis itu duduk bersimpuh di sisi lain ruangan, bersandar di dinding yang catnya mengelupas. Dia mengenakan kemeja putih yang kini sudah berubah menjadi warna lain. Rambut yang biasanya ia sisir rapi kini tampak berantakan seperti tidak ia bersihkan beberapa hari. Wajahnya kosong namun Baekhyun tahu kalau ada banyak masalah yang mengisi pikirannya.

Irene berlahan berdiri dari lantai dan berjalan mendekati Baekhyun. Dengan mantap kaki telanjangnya menapaki lantai kotor hingga akhirnya berdiri di depan pemuda yang ganti menatapnya kebingungan. Tangan gadis itu kotor. Wajahnya kotor. Matanya penuh dengan air mata. Dia tampak rapuh, kecewa dan tersesat. Baekhyun tak tahan melihatnya dan tanpa berpikir dua kali dia mendekap sedikit keras tubuh mungil itu kedalam pelukan hangat miliknya.

“Aku tak bermaksud melakukannya,” kata Irene lagi, sedikit mengguman di pundak Baekhyun, “Sungguh ini bukan salahku, Baekhyun. Tiba-tiba dia–“

“Diam dan tenanglah,” potong Baekhyun, tangannya yang bergetar meremat pundak Irene.

“Aku tak bermaksud melakukannya,” ulang Irene, suaranya brubah menjadi serak, “Kau harus percaya padaku Baekhyun.”

“Aku percaya padamu,” kata Baekhyun tanpa menunggu lama, “Kalau kau berkata tidak, berarti kau tidak melakukannya. Aku percaya padamu, jadi–“

Baekhyun menelan ludahnya bersamaan dengan menelan kembali kata-katanya. Dia sama sekali tidak menyangka akan melihat situasi terpelik yang bahkan tak pernah ia bayangkan. Seluruh tubuhnya masih merasakan shock, dan tak terkecuali dengan pikirannya. Itulah kenapa dia menghentikan kata-katanya, karena dia sendiri juga sedang kebingungan menata kalimat apa yang akan ia katakan.

Pria itu mencoba membuat gadis yang ada di tangannya tenang. Dia mencoba mengatakan sesuatu untuk memecahkan suasana mencekam di sekitarnya, bertanya apa yang sebenarnya terjadi tapi dalam kelebatan mata situasi di sekelilingnya sudah terbaca. Irene di jebak untuk pergi ke tempat ini dan berakhir seperti ini. Baekhyun yakin itu karena gadis itu tak mungkin pergi ke tempat kumuh ini seorang diri. Lagi pula tempat ini bukanlah tipikal tempat yang dicari Irene untuk pergi bermain. Jadi kalau bukan Irene yang berinisiatif kemari, berarti Krystal lah yang membawanya kemari.

“Apa kau terluka?” kata Baekhyun berbisik di telinga Irene, masih meremat pundaknya.

Gadis itu hanya menanggapi dengan gelengan pelan.

“Apa yang dia inginkan?”

Irene menjauhkan wajahnya dari dada Baekhyun. Dengan tatapan sendu gadis itu membalas mata Baekhyun sebelum akhirnya lututnya terjatuh ke lantai dan mulai menangis keras, “D-dia ingin mencelakaiku. Dia mencekikku dan–,” Irene menyisir rambutnya yang kotor, “Kami bertengkar lalu dia terjatuh di sana. Aku menahan wajahnya dengan bantal lalu–“

Dia kehabisan nafas, batin Baekhyun. Ini bukan pembunuhan yang direncanakan. Ini bukan sepenuhnya kesalahan Irene. Dia melakukan semua itu untuk membela dirinya sendiri. Kalaupun dilakukan investigasi dan Irene menyerahkan dirinya kepada pihak berwenang, hukuman yang akan menjatuhinya tidak akan begitu berat. Tapi bagaimanapun juga, Irene tidak boleh tertangkap.

“Irene,” kata Baekhyun nyaris berbisik, ikut berjongkok di lantai untuk bertemu mata dengan si gadis yang rapuh. “Dosa apa yang telah aku lakukan padamu?”

Irene mengangkat wajahnya yang penuh dengan aliran sungai dari matanya, lantas ganti menatap Baekhyun dengan tatapan bingung. Apa yang coba ia katakan?

“Berlarilah sekencang mungkin.” kata Baekhyun, setelah beberapa saat keheningan mengerikan meyayat mereka. “Larilah, jangan pernah berhenti dan jangan pernah menoleh ke belakang.”

“A-apa yang kau katakan Baekhyun?” kata Irene, menyentuh wajah Baekhyun dengan tangan bergetar, “Janganlah  engkau mencoba untuk–“

“Cepat pergi dari sini, sebelum polisi datang.”

Irene menggeleng. Entah itu ungkapan dari rasa tak sepakat ataukah ekspresi dari tampikan fakta mengerikan yang ia harap tak akan terucap dari mulut Baekhyun. Tak mungkin Baekhyun punya pikiran gila semacam itu untuk dirinya yang hina. Tak mungkin Baekhyun berniat menyelamatkan dirinya yang harusnya di dorong ke tebing. Tak mungkin Baekhyun berani menanggung perbuatan yang harusnya di bebankan padanya. Tak mungkin dosa miliknya di tebus oleh orang lain.

“Kalau aku pergi dari sini, lalu bagaimana dengan–“

“Jangan pedulikan aku.” kata Baekhyun lirih dengan suara mantap, “Kau tak boleh ada di sini. Besok adalah hari penting untukmu dan kau tak boleh berakhir di situasi ini. Besok adalah hari yang kau tunggu selama dua puluh empat tahun. Besok adalah hari bersejarah buatmu. Aku tak akan membiarkan kejadian semacam ini menghalangimu bertemu degan hari esok.”

“Tapi Baekhyun, aku tak bisa meninggalkanmu! Aku tak bisa melampiaskan semua kesalahanku kepadamu. Aku tak–“

“Dengarkan aku!” Baekhyun meneriaki wajah Irene, seketika membuat gadis itu berjengit dan berhenti berbicara, “Aku tahu kalau kau adalah gadis yang egois. Maka dari itu aku mohon,” Baekhyun meraih kedua tangan Irene dan mulai merematnya, “Maka dari itu aku mohon, bersikaplah egois kepadaku juga dan jadilah arogan. Kau tahu kalau aku tak punya apa-apa. Dan anggaplah kalau ini adalah hadiah pernikahan untukmu.”

“Tidak segila ini.” kata Irene, menggeleng beberapa kali namun dirinya sudah di seret berdiri oleh Baekhyun.

“Pergilah dari sini!” kata Baekhyun sambil mendorong dada Irene ke arah pintu.

“Pasti ada solusi lain Baek!” Irene mencoba mengelak tapi malah mendapat tampikan tangan keras dari Baekhyun.

“Cepat pergi dari sini. Kai pasti sudah mencarimu kemana-mana.”

“Tapi..”

Baekhyun tak menunggu Irene menyelesaikan kata-katanya. Pria itu mendorong gadis itu keluar lantas menutup pintu kamar tepat di depan hidung si gadis dan menguncinya.

Dengan iringan desahan nafas pelan pria itu berbalik dan menatap tubuh bak manekin toko yang berpose aneh di atas tempat tidur. Tanpa ia sadari salah satu tangannya menggaruk pelipisnya, ia berpikir keras. Alasan apa yang akan ia buat sebagai motif pembunuhan yang ia lakukan kepada adiknya sendiri?

Ya, ini semua tak sepenuhnya kesalahan Irene karena kalau dipikir-pikir kembali Baekhyun juga bersalah. Harusnya Baekhyun memperingatkan gadis itu sejak lama bahwa Krystal masih mencoba merebut Kai kembali darinya. Harusnya Baekhyun mencegah Krystal. Tapi apa boleh buat, jika Krystal menginginkan calon mempelai pria, maka dirinya menginginkan calon mempelai wanita. Sungguh, tak ada lagi yang bisa Baekhyun lakukan selain menyerahkan diri sebagai penebusan dosa. Demi dirinya, demi adiknya dan demi cintanya.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet