Hello and Goodbye

Sketch Book

-oOo-

 “Bagaimana, Dok?”

Seokmin baru saja selesai diperiksa kakinya oleh dokter Jung. Nyonya Lee yang sejak tadi berada di samping Seokmin memasang wajah khawatir.

Dokter Jung melumat bibirnya sebelum berbicara, “Kaki kanannya tidak mengalami luka yang berarti, tapi…”

“Tapi apa, Dok? Kaki kiriku tidak apa-apa ‘kan? Aku ada pertandingan basket tiga hari lagi!” Seokmin kini bersuara karena sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya. Ia benar-benar berharap apa yang diucapkannya tidak benar-benar terjadi.

Nyonya Lee semakin cemas. Diusapnya lengan Seokmin, berusaha untuk membuatnya tenang.

“Kaki kirinya mengalami keretakan. Mungkin karena ketika jatuh, kaki kirinya menahan beban terlalu berat. Aku menyesal mengatakannya, tapi sebaiknya kau tidak bermain basket lagi. Jika kau kembali bermain basket, luka di kakimu akan semakin parah.”

Seokmin tersenyum pahit. Nyonya Lee kini bahkan sudah memeluk putranya.

“Seokmin perlu dirawat selama satu minggu untuk pemulihan karena keretakan tulangnya. Tapi, tenang saja, setelah satu minggu kau dapat berjalan kembali.”

-oOo-

Sudah lima jam Seokmin tinggal di rumah sakit. Ibunya kembali ke rumah karena ada yang harus diselesaikan sedangkan ayahnya lima menit yang lalu kembali ke kantor setelah menengok Seokmin karena harus lembur. Disinilah ia sekarang, dijaga oleh adiknya, Lee Hana.

Seokmin mengalihkan pandangannya ke Hana yang sedang mengerjakan tugas. Gadis itu masih memakai seragam sekolah. Rambutnya diikat asal meninggalkan beberapa helai rambut yang jatuh tidak beraturan tapi tetap membuatnya cantik.

Selepas dari sekolah, Hana langsung ke rumah sakit begitu mendengar Seokmin jatuh saat membenarkan lampu kamar.

“Hana-ya,” panggil Seokmin.

Hana mengangkat kepalanya. “Kenapa, Oppa?”

“Aku mau jalan-jalan keluar.”

Hana beranjak dari duduknya lalu membantu Seokmin yang berusaha untuk duduk di kursi roda. Seokmin awalnya menolak keras namun karena kaki kanannya yang katanya baik-baik saja masih terasa ngilu sehingga membuatnya agak kesulitan juga.

“Aku tampak menyedihkan, ya?” Seokmin tertawa pahit.

Hana menggeleng pelan, “Tidak, Oppa jangan aneh-aneh.” Kemudian bibirnya membentuk sebuah lengkungan ke atas.  

“Sembuh pun kakiku tidak akan seperti semula, Hana-ya.” Hana terdiam mendengar ucapan Seokmin. “kau tidak perlu ikut, aku ingin jalan-jalan sendiri. Sebelum ujian pasti banyak tugas, kan?” Seokmin mengacak-acak rambut Hana lalu mendorong roda kursinya meninggalkan Hana di kamar.

-oOo-

Seokmin mendorong roda kursinya menuju taman. Diedarkan pandangannya melihat keadaan taman yang saat itu sepi. Bukan hal aneh memang karena mengingat sekarang matahari sudah tenggelam.  

Langit yang sudah gelap ini seolah menertawakan Seokmin dan mimpinya. Memang, mimpinya menjadi atlet basket kandas begitu saja setelah kejadian hari ini. Seharusnya ia lebih berhati-hati ketika memperbaiki lampu kamarnya. Tapi, bagaimanapun penyesalan tidak ada gunanya, toh semuanya sudah terjadi. 

Ia kembali mengedarkan pandangan dan menemukan seorang gadis sedang duduk di kursi dekat kolam ikan. Tanpa pikir panjang, Seokmin mendekati gadis itu.

“Selamat sore?” ucap Seokmin sesampainya di samping si gadis.

Gadis itu tersenyum. Ia tidak membalas kalimatnya. Ya, memang salah Seokmin juga karena menyapa orang sekenanya. Mungkin gadis itu mengira Seokmin orang jahat tapi, hei! Apa dia tidak melihat Seokmin yang memakai kursi roda dan pakaian rumah sakit?

Seokmin melihat pakaian yang dipakai gadis itu sekilas karena takut dikira macam-macam. Dari yang Seokmin tangkap, gadis itu bukan pasien di rumah sakit ini karena dia memakai sweater coklat dan celana training hitam. Di tangannya terdapat sebuah buku sketsa dan pensil. Seokmin yakin bahwa gadis itu baru saja selesai membuat sketsa di bukunya.

 “Dunia ini lucu sekali ya?” Seokmin kembali membuka suara tanpa bisa dicegah. Tiba-tiba ia ingin mengeluarkan keluh kesahnya. Ia melirik si gadis sekilas lalu menatap ikan-ikan yang berada di kolam.

“Aku sangat menyukai basket. Basket merupakan segalanya bagiku. Cita-citaku bahkan ingin menjadi atlet basket dan bisa ikut andil dalam pertandingan tingkat internasional kelak. Setiap hari aku terus berlatih supaya bisa lolos menjadi tim inti basket sekolah. Well, peran besar dimulai dari peran kecil ‘kan?” Seokmin mengalihkan pandangannya pada si gadis. Gadis itu mengangguk sembari tersenyum, mungkin itu tanda bahwa ia mendengarkan.

“Dan kau tahu? Aku benar-benar lolos. Bahkan, di tahun kedua SMA terpilih menjadi ketua basket.” Seokmin kemudian mengalihkan pandangan ke kedua kakinya.

“Rasanya baru kemarin aku merasa yakin bisa menjadi atlet basket terkenal tapi hari ini kenyataan justru berkata lain. Mereka seolah mengejekku.” Seokmin tersenyum pahit. Gadis di sampingnya ikut menampilkan raut wajah sedih.

“Semuanya terjadi tadi pagi ketika aku mau memperbaiki lampu kamarku yang rusak. Kejadian itu terjadi begitu saja. Kursi yang menopang badanku bergoyang, aku kehilangan keseimbangan, lalu jatuh. Salahnya, aku menahan menggunakan kaki kiriku saja dan mengakibatkan keretakan karena ia mendapatkan beban yang terlalu berat.”

Seokmin menghembuskan napas pelan. “Ya, begitulah kenapa aku bisa berakhir di rumah sakit ini. Dan, omong-omong, maaf membuatmu jadi mendengarkan ceritaku.”

Suasana hening seketika. Seokmin yang tidak suka keheningan kembali menoleh ke arah si gadis.

“Namaku Lee Seokmin. Kau bisa memanggilku Seokmin.” Seokmin berdeham untuk menghapus rasa canggung. “Kau, suka menggambar, ya?”

Si gadis langsung membalasnya dengan gelengan. Ia membuka halaman petama bukunya lalu menorehkan ujung pensil di atasnya. Setelah selesai, ia langsung memberikannya kepada Seokmin.

Aku tidak bisa bicara. Namaku Choi Yuju. Senang berkenalan denganmu!

Seokmin membaca kalimat dalam kertas tersebut lalu tanpa bisa dicegah mulutnya terbuka.

“Kau bi—bisu!?” tanya Seokmin terkejut.

Yuju mengangguk.

“Maaf.”

Yuju menggeleng sembari tersenyum.

Seokmin mengembalikan buku sketsa milik Yuju. “Pasti sulit ya berkomunikasi dengan orang lain?”

Yuju kembali menulis di bukunya lalu memperlihatkannya kepada Seokmin.

Sedikit. Hanya saja memang membutuhkan waktu yang lama untuk menulis.

“Kau tidak menggunakan bahasa isyarat?”

Kadang-kadang.

“Ah, mungkin karena tidak semua bisa bahasa isyarat ya?”

Yuju mengangguk.

“YUJU-AH!” terdengar suara seseorang berteriak.

Seokmin dan Yuju mencari sumber suara. Seorang laki-laki dengan topi hitamnya berdiri di dekat pintu. Lelaki itu mengisyaratkan Yuju untuk mendekat melalui gerakan tangannya.

Yuju tidak langsung pergi. Gadis itu menulis sesuatu di bukunya, merobeknya, lalu memberikannya pada Seokmin.

Itu kakakku, Choi Minho. Sepertinya aku harus kembali ke ruangan. Terima kasih untuk hari ini! Sampai jumpa!

-oOo-

Seokmin memandang kertas yang tadi diberikan Yuju. Kertas itu kemudian ia simpan di balik bantalnya untuk berjaga-jaga siapa tahu nanti ingin membaca tulisannya. Konyol memang, tapi begitulah kenyataannya.

Di ruangannya kini hanya ada ia dan ibunya yang sedang menata makanan di meja. Hana sudah pulang sejak lima belas menit yang lalu. Gadis itu memaksa untuk menginap tapi Seokmin melarang, mengingat adiknya itu akan memiliki tugas yang banyak sebelum ujian akhir datang.

Sejak tadi Seokmin hanya memainkan apel yang baru saja dikupas oleh ibunya. Dirinya bukan tidak bernafsu untuk memakannya, tapi bosan menghinggapinya sejak tadi.

Nyonya Lee yang sejak tadi memerhatikan akhirnya bersuara, “Seokmin-ah, kenapa apelnya tidak dimakan? Tidak enak, ya?”

Seokmin tersadar dari lamunannya. Ia tersenyum pada ibunya. “Tidak apa-apa, aku makan, kok.”

Seokmin langsung menggigit apelnya. Meskipun sedih, ia tidak boleh menampakannya kepada ibunya. Ia tidak mau melihat ibunya sedih. Berpura-pura tidak terjadi apa-apa lebih baik sampai dirinya lupa sedang berpura-pura.

-oOo-

Hari kedua.

Malam kini sudah berganti dengan pagi. Seokmin yang sejak malam tidak bisa tidur tersenyum senang karena matahari sudah terbit. Setidaknya, ia bisa keluar dari ruangan. Dirinya sungguh merasa bosan hanya diam saja di kasur tanpa melakukan aktivitas yang berarti.

Seorang perawat menggeser pintu ruangan. Ia membawa makanan khas rumah sakit. Perawat itu tersenyum manis setelah memberikan kotak makanan lalu pergi meninggalkan ruangan tersebut setelah sebelumnya mengucapkan, “Selamat menikmati makanannya dan semoga lekas sembuh.”

Seokmin langsung memakan makanannya selepas perawat itu pergi. Hanya perlu lima menit baginya untuk menghabiskan makanan rumah sakit yang lembek itu.

Eomma, aku ingin makanan yang lain. Makanan disini kurang enak,” ucap Seokmin setelah menyapu habis kotak makanannya.

Nyonya Lee menggeleng sembari tersenyum melihat kelakuan anaknya. “Kau ini bagaimana sih, tidak enak kok bisa sampai habis?”

Seokmin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Habisnya, Appa bilang tidak boleh menyisakan rezeki yang sudah diberikan Tuhan.”

Nyonya Lee tersenyum. Ia beranjak dari duduknya menuju meja yang sudah dipenuhi makanan. Ia lantas mengambil kotak biskuit rasa coklat kesukaan Seokmin lalu memberikannya kepada putranya.

Seokmin menerima dengan senang hati dan semakin senang setelah mengetahui bahwa biskuit yang didapatkannya adalah biskuit cokelat kesukaannya.

Eomma, aku mau jalan-jalan.” Seokmin berusaha memindahkan tubuhnya ke kursi roda yang ada di samping tempat tidur. Dirinya langsung menolak ketika melihat ibunya mau membantu. “aku bisa sendiri.”

Biskuit cokelatnya ia simpan di pangkuan. Ia lantas melambaikan tangan kepada ibunya. “Eomma, disini saja istirahat. Nanti aku kembali, lagi. Dah!”

 

Tujuan Seokmin adalah taman. Keadaan taman di pagi hari berbanding terbalik dengan sore hari. Di pagi hari, keadaannya ramai walau tidak sampai berdesakan. Setidaknya di pagi hari banyak orang-orang yang berolahraga, bermain, atau sekedar menghirup udara segar. Seokmin mendorong rodanya menuju seorang gadis yang sedang duduk kursi dekat kolam ikan. Gadis yang kemarin.

“Selamat pagi, Nona Manis!” ucap Seokmin terlampau semangat dan sukses membuat gadis itu terkejut.

Yuju—gadis di dekat kolam ikan—itu kemudian buru-buru mengubah ekspresinya yang terkejut menjadi kesal setelah mengetahui Seokmin pelaku dibalik semua itu. Yuju membawa barang yang sama seperti kemarin; buku sketsa dan pensil.

“Hehe, kau terkejut ya?”

Yuju memutar bola matanya. Namun kemudian tertawa setelah melihat Seokmin yang menampakan wajah bingung. Gadis itu lantas membuka buku sketsanya dan menulis sesuatu disana.

Selamat pagi juga, Seokmin! Bagaimana kakimu?

Seokmin yang melihat tulisan Yuju lantas menghembuskan napasnya. Jujur saja, ia sedang tidak mau memikirkan kakinya. Setiap ia teringat akan kenyataan kakinya yang retak dan dirinya yang tidak bisa menjadi atlet membuat dirinya jatuh.

Yuju yang melihat raut wajah Seokmin buru-buru menulis di bukunya.

Maaf, aku tidak bermaksud untuk membuatmu sedih.

Seokmin berusaha tersenyum. “Tidak apa-apa.” Ia lalu mengambil kotak biskuitnya dan memberikannya pada Yuju setelah dirinya mengambil satu buah biskuit. “Aku punya biskuit, kau mau?”

Tangan Yuju menerima biskuit yang diberikan Seokmin lalu mulai memakannya.

“Oh iya, kau belum bilang kenapa bisa berada di rumah sakit? Apa anggota keluargamu ada yang sakit?”

Biskuit yang sedang ia pegang di tangan kanan lantas dipindahkan ke tangan kiri. Kemudian, gadis itu menulis di bukunya.

Kakak perempuanku sedang sakit.

“Benarkah? Semoga lekas sembuh!”

Terima kasih.

“Oh iya a—“

“LEE SEOKMIN!” terdengar dua buah suara memanggil namanya. Seokmin dan Yuju mengalihkan pandangan ke sumber suara dan mendapatkan dua orang lelaki sedang melambaikan tangannya ke arah mereka.

Seokmin lantas melambaikan tangannya begitu menemukan sahabatnya; Mingyu dan Minghao. Pandangannya kemudian ia pindahkan ke arah Yuju.

“Itu teman-temanku. Mingyu dan Minghao. Sepertinya mereka mengambil kesempatan bolos sekolah lalu pergi ke sini.”

Yuju tertawa lalu menulis di bukunya.

Kalau begitu aku pamit, Minho Oppa juga pasti mencariku. Sampai jumpa!

Seokmin hendak mencegah tapi Yuju sudah keburu pergi. Mingyu dan Minghao yang sudah sampai di dekatnya memasang ekspresi bingung namun sekon berikutnya justru menggoda Seokmin.

“Kau ini, benar-benar memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!” ucap Mingyu yang sudah duduk di kursi.

Minghao menambahkan, “Seokmin sudah dewasa.”

Ya! Kalian justru yang mengambil kesempatan bolos sekolah! ucap Seokmin kesal.

Bukannya meminta maaf, kedua temannya itu malah mengambil biskuit yang ada di pangkuan Seokmin.

“Biskuitnya enak.”

Seokmin hanya bisa pasrah, percuma, toh sahabatnya ini memang tidak akan minta maaf. Ia membenarkan posisinya yang kurang nyaman.

“Jadi, ada apa kalian kemari? Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan juga, iya ‘kan?”

Mingyu mencibir, begitu pula dengan Minghao. Kemudian, kedua mata Minghao menatap kaki temannya yang sedang duduk di kursi roda.

Oh, man. Kakimu benar-benar…” Mingyu langsung menyenggol lengan Minghao. Memberi isyarat supaya jangan membicarakan masalah kakinya.

“Haha. Santai saja, kau tidak perlu panik seperti itu, Ming. Ah, kalian juga pasti dapat pesan dari pelatih Kim ‘kan?”

Mingyu dan Minghao terdiam. Mereka saling menyenggol satu sama lain menyuruh untuk berbicara. Mingyu yang tidak tahan dengan senggolan Minghao yang terlalu keras akhirnya bersuara,

“Pelatih Kim ikut sedih mengenai kecelakaan yang terjadi padamu. Katanya, setelah mengetahui kau harus dirawat di rumah sakit, ia meminta kau untuk tidak ikut tes.”

Seokmin mengangguk-anggukan kepalanya lalu memasang senyum pahit.

“Oh.”

“Seokmin…” panggil Minghao. “Kau pasti punya kesempatan lagi lain kali.”

Seokmin tertawa hambar. “Ya, lain kali.”

Suasana menjadi hening. Mingyu langsung mengambil sikap dengan menepuk pundak Seokmin.

“Tenanglah, Tuhan punya rencana lain yang lebih baik.”

Seokmin merasa sedikit lebih tenang, ia menatap kedua sahabatnya. “Terima kasih.”

Minghao lalu bersuara, “Mingyu baru jadian dengan Eunha, omong-omong.” Dan sukses mendapat tusukan di tulang rusuknya.

“Benarkah? Akhirnya, setelah lima tahun memendam perasaan. Selamat Kim!”

Ketiganya lalu berbincang mengenai masa lalu Mingyu yang sudah menahan perasaannya kepada Eunha.

-oOo-

Hari ketiga.

Seokmin sedang bersenandung lalu tanpa sadar bernyanyi ketika Yuju duduk di kursi putih biasa mereka bertemu. Dirinya tidak sadar akan kehadiran gadis itu sampai terdengarnya suara tepuk tangan selepasnya ia mengakhiri lagu yang dinyanyikannya.

Perlu waktu lima detik sampai Seokmin sadar bahwa yang tadi bertepuk tangan adalah Yuju. “Sejak kapan kau berada di sini?”

Gadis itu hanya menggeleng sembari tersenyum penuh arti. Diberikannya buku sketsa miliknya kepada Seokmin.

Suaramu bagus! Kenapa tidak menjadi penyanyi?

“Ah.” Seokmin menghela napas. “Benarkah? Aku benyanyi karena hobi saja, tidak benar-benar ingin menjadi penyanyi. Dari dulu aku merasa bakatku berada di basket. Aneh, ya?”

Yuju menarik buku sketsanya.

Tidak aneh, kok. Lagian, tidak ada salahnya sekarang kau menjadi penyanyi. Suaramu benar-benar bagus, aku serius.

 “Kau terlalu berlebihan, Nona.” Seokmin terkekeh. “Tapi tidak salahnya, mungkin aku bisa mengalihkan cita-citaku menjadi seorang penyanyi.”

Ide bagus! Aku akan duduk paling depan jika kau mengadakan konser. Maksudku, tentu saja dengan tiket gratis yang kau berikan, tidak susah untuk duduk paling depan, bukan?

Gadis ini unik. Seokmin tak habis pikir, mereka bahkan baru kenal beberapa hari tapi Yuju sudah berpikir mengenai konser dan duduk paling depan. Padahal, Seokmin baru berpikir sekarang untuk menjadi penyanyi. Lagipula, menjadi penyanyi tidak buruk-buruk amat.

“Kau ini, kenapa sudah sampai konser segala. Pasti menyenangkan jika kita bisa bernyanyi bersama, bukan?”

Seokmin langsung menyesal dengan ucapannya setelah menemukan Yuju yang tiba-tiba menunduk. Namun, tiga detik kemudian gadis itu sudah memberikan buku sketsanya kepada Seokmin.

Tentu saja, kenapa tidak? Aku suka bermain piano, mungkin aku bisa mengiringimu bernyanyi. Ide bagus, kan?

Seokmin mengangguk. “Kau suka bermain piano?”

Yuju mengangguk.

“Itu, hebat sekali!”

 

-oOo-

Hari keempat.

Seperti biasa, pagi-pagi sekali Seokmin pergi ke taman. Kali ini ia menemukan Yuju dengan memakai headset di telinganya. Seokmin penasaran dengan lagu yang sedang didengarkan gadis itu. Tanpa pikir panjang, sesampainya di tempat tujuan, Seokmin melepas headset sebelah kanan Yuju lalu memasangkannya di telinga kirinya.

“Lagu apa ini?”

Yuju yang tersadar akan kehadiran Seokmin buru-buru melepas headsetnya dan pergi meninggalkan Seokmin dengan segudang pertanyaannya.

 

-oOo-

 

Hari kelima.

Mengingat kejadian kemarin, membuat Seokmin ragu untuk pergi ke taman. Ia sudah berniat untuk menghabiskan waktu di kamar saja tapi dengan membayangkannya saja sudah membuat Seokmin ngeri. Akhirnya, ia pergi menuju taman, niatnya bukan untuk bertemu Yuju, hanya sekedar berjemur dan menghirup udara segar.

Rencana awalnya memang begitu tapi kenyataannya tidak. Sebuah tangan menepuk pundaknya ketika ia sedang mengamati ikan-ikan yang sedang berenang kesana-kemari.

Belum sempat Seokmin mengalihkan pandangannya untuk melihat pelaku yang menepuk pundaknya, sebuah buku menghalangi pandangannya. Ia langsung membaca tulisannya.

Maaf untuk kemarin.

Seokmin mengerutkan keningnya, bingung kenapa gadis itu harus minta maaf. Walaupun memang tingkah lakunya yang kemarin membuat ia bertanya-bertanya ada apa gerangan dengan gadis itu sampai-sampai pergi begitu saja, padahal dirinya hanya mendengarkan lagu yang sedang didengarkan si gadis.

“Kau tidak salah apa-apa, tapi aku perlu penjelasan, mungkin?”

Yuju tersenyum canggung lalu duduk. Matanya tidak bisa fokus dan terus-terusan melihat apapun yang ada di sekitarnya. Seokmin pikir Yuju sedang mencari sesuatu, ia lantas mengikuti gerakan mata Yuju. Menit berikutnya Yuju memberikan buku sketsanya pada Seokmin.

Seokmin baru saja mau bertanya tapi Yuju sudah pergi meninggalkannya. Tanpa pikir panjang, Seokmin membuka buku sketsa Yuju. Ia langsung pergi ke halaman yang sudah di tandai dengan post it yang bertuliskan ‘Seokmin’.

Bukan hanya tulisan tangan yang ia dapat, tapi sebuah foto. Foto Yuju yang sedang memegang mikrofon. Dari yang Seokmin tangkap, foto itu diambil ketika Yuju sedang bernyanyi di sebuah panggung. Rambut gadis itu dibiarkan terurai dengan poni rata menutupi dahi. Dress warna biru muda yang dipakainya terlihat cantik ditambah dengan pita yang melingkar di pinggangnya. Tak lupa mahkota bunga tersimpan cantik di kepalanya dengan pita yang menjutai melewati helaian rambutnya. Bahkan, dipadukan dengan wedges putih semakin membuatnya cantik.

Seokmin membaca tulisan yang berada di bawah foto tersebut.

 

Ini aku ketika bernyanyi di acara sekolah. Kau pasti tidak percaya. Sejujurnya, aku tidak benar-benar bisu. Tapi aku tidak bohong ketika mengatakan bahwa aku tidak bisa bicara. Untuk sekarang aku benar-benar tidak bisa bicara. Pita suaraku rusak karena aku terlalu sering berlatih tanpa menjaganya dengan baik.

Jadi, jika kau nanti menjadi penyanyi terkenal jangan lupa jaga suaramu ya! Aku benar-benar serius ketika mengatakan bahwa aku ingin mengiringimu bernyanyi dengan bermain piano.

Dan, tentang lagu yang kau dengar kemarin… itu aku yang bernyanyi. Tidak terlalu buruk, bukan? Haha.

Oh, iya. Maaf, aku tidak bisa mengatakannya langsung. Aku terlalu malu untuk mengatakannya.

 

Catatan: setelah kau membaca ini, aku tunggu di ruangan nomor tiga lantai satu rumah sakit. Di sana ada piano, bagaimana jika kita konser disana? Itu pun jika kau bersedia. 

 

Perlu sepuluh menit baginya untuk benar-benar paham akan pesan yang ditulis di buku itu. Iya masih tidak percaya bahwa lagu yang ia dengar kemarin adalah Yuju yang membawakannya. Ia pun tidak percaya bahwa ucapan kemarin benar-benar dianggap serius oleh Yuju. Namun satu yang ia percaya dan sangat ia yakini, dirinya harus segera pergi ke ruangan nomor tiga di lantai satu.

.

.

.

Seokmin membuka pintu ruangan nomor tiga dan menemukan Yuju sedang duduk di depan piano. Gadis itu tersenyum ketika melihat Seokmin datang, ia pun tak bisa untuk tidak memberikan senyuman pada gadis berponi rata itu.

“Kau suka kesini?”

Yuju mengangguk. Ia lantas memberikan kode dengan matanya yang menunjuk piano.

“Maksudmu aku menyanyi sekarang?”

Kali ini Yuju tidak mengangguk, ia langsung memainkan sepuluh jarinya di  atas tuts piano.

Seokmin hanya bisa tersenyum lalu bernyanyi mengikuti irama yang ada.

.

.

.

Suaramu memang bagus.

Seokmin membaca kalimat yang tertulis di buku sketsa Yuju. Buku sketsa yang berbeda dengan yang dipegang Seokmin. Lelaki itu bersikukuh untuk menolak mengembalikan buku itu sehingga membuat Yuju mengambil buku sketsanya yang lain di ruangan kakaknya.

“Aku tahu itu.”

 

Yuju mencibir lalu kembali menulis di bukunya.

 

Pasti menyenangkan jika kita bisa bernyanyi bersama. Aku rindu bernyanyi.

Setelah membaca kalimatnya, pandangan Seokmin beralih kepada Yuju. Terlihat dengan jelas kesedihan terpancar di wajahnya. Senyuman yang ditampakannya pun bukanlah senyuman yang biasa ia dapatkan tapi senyuman yang menyiratkan kesedihan dan harapan.

“Apa kau sedang dalam masa penyembuhan?”

Iya, tapi aku tidak tahu sampai kapan. Aku juga tidak terlalu berharap.

Bohong. Seokmin tahu itu bohong. Tulisannya sangat berbanding terbalik dengan raut wajah yang ditampakannya. Gadis itu masih berharap, sangat berharap. Namun, Seokmin tetap tidak bisa mengatakannya.

Keduanya lalu diam dalam keheningan, tidak ada yang berinisiatif untuk membuka percakapan kembali. Keduanya sama-sama sibuk. Sibuk dengan mimpi dan harapannya masing-masing.

 

-oOo-

 

Hari keenam.

“Seokmin, kau bisa pulang hari ini,” ucap Dokter Jung setelah memeriksa kakinya. “Kau bisa berobat jalan di rumah.”

Seokmin tersenyum bahagia setelah mendengar ucapan dokter yang menanganinya selama ini. Namun, sekon berikutnya ia teringat Yuju. Jika ia keluar dari rumah sekarang artinya ia tidak bisa bertemu dengan Yuju lagi. Seokmin lantas menarik kursi rodanya. Ia duduk di atasnya lalu pergi menuju taman untuk mencari Yuju. Setidaknya ia harus memberitahukan ini pada gadis itu dan meminta nomor telepon atau apapun supaya hubungan mereka tidak terputus sampai disini.

.

.

.

Nihil.

Ia tidak menemukan Yuju di taman. Bahkan di ruangan nomor tiga tempat mereka kemarin bertemu pun tidak membuatnya menemukan Yuju. Ia pun memilih untuk kembali ke taman.

 

“Seokmin!” suara seseorang memanggil namanya lalu detik berikutnya suara langkah kaki terdengar mengikuti.

“Kata ibumu kau bisa pulang hari ini jadi kami menjemputmu.” Itu suara Mingyu. Lelaki jangkung itu berada di belakangnya bersama Minghao.

hm, yeah. Aku bisa pulang hari ini.”

Oh, man. Kau tampak tidak senang atau hanya perasaanku saja?”

“Itu perasaanmu saja, Minghao. Mana mungkin aku tidak senang bisa keluar dari rumah sakit ini?”

Minghao mengangkat bahunya sedangkan Mingyu mendorong kursi roda Seokmin.

“Ibumu bilang, kita harus siap-siap.” Ketiganya lalu pergi menuju ruangan tempat seokmin dirawat.

 

-oOo-

“Nona Choi, kau bisa berbicara sekarang.”

“A-a-a-a.”

“Ya, lanjutkan.”

“A-a-a-ah, benarkah?”

“Ya. Tapi kau harus menjaga suaramu ya, aku takut radangnya kembali muncul jika kau tidak menjaganya dengan baik.”

 

Ne! kamsahamnida.”

 

Yuju tidak bisa berhenti tersenyum setelah keluar dari ruangan dokter Kim. Dokter yang merawatnya selama beberapa bulan terakhir ini akibat radang di laringnya. Ia tidak sabar untuk bertemu Seokmin dan memberitahukan semuanya.

Sesampainya di rumah sakit kakaknya—dan Seokmin—dirawat. Ia langsung pergi ke taman untuk memberitahukan kabar bahagia ini pada Seokmin.

Biasanya, Seokmin sudah duduk di dekat kolam ikan bersama kursi rodanya, tapi kali ini Yuju tidak menemukannya. Ia melihat jam yang melingkar di tangan kirinya.

Pukul sembilan.

Seharusnya Seokmin sudah di sini.

“Mungkin, Seokmin sedang di kamarnya,” pikir Yuju.

Dua jam berlalu tapi Seokmin tidak muncul juga. Ini tidak biasa, seharusnya lelaki itu sudah duduk di sampingnya sembari bercerita ataupun bermain permainan lainnya.

“Mungkin Seokmin berada di ruangan nomor tiga.”

Yuju melangkahkan kakinya ke ruangan nomor tiga tapi tetap saja tidak menemukan lelaki itu. Ia kembali berjalan lalu memilih untuk duduk di lobi. Tangannya mengambil ponsel yang berada di saku celana dan memilih untuk mendengarkan lagu.

Ketika Yuju sedang sibuk dengan ponselnya, Seokmin yang duduk di kursi roda dan kebetulan di dorong oleh Mingyu, melewati bangkunya. Seokmin tampak sedang tertawa setelah mendengar lelucon tidak bermutu yang dikeluarkan oleh Minghao. Mingyu bahkan sempat-sempatnya memukul pundak Minghao karena saking tidak bermutunya. Tanpa terasa Seokmin sudah melewati pintu masuk rumah sakit.

 

Yuju mencari headsetnya dan memasangkannya di telinga serta ponselnya setelah menemukan lagu yang cocok. Ia berpikir untuk mengunjungi ruangan Seokmin tapi langsung menepuk keningnya setelah sadar bahwa selama ini ia tidak pernah tahu ruangan Seokmin karena keduanya selalu bertemu di taman.

Tanpa pikir panjang lagi, Yuju pergi ke pusat informasi untuk bertanya mengenai ruangan atas nama Lee Seokmin.

Kalimar yang dilontarkan oleh penjaga disana membuat Yuju membulatkan bola matanya.

 

“Pasien atas nama Lee Seokmin baru saja keluar hari ini.”

 

fin.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet