Bear Hug

Description

 

Bear Hug

 

a freelance story by ravenxwise

 

main Jeon Wonwoo (Seventeen) & Chou Tzuyu (Twice)

support Kim Namjoon (BTS)

genre Angst, Thriller, Action, Fluff, AU

duration Vignette (2695 words)

rating R/17

soundtrack BTS V&J-Hope “Hug Me”

(https://www.youtube.com/watch?v=yr1AlfcENYg)

 

disclaimer cast(s) belong to themself, plot is author’s

 

.

.

.

 

In the long silence, a sound comes, screaming, from my foolish and weak heart— I love you.

Foreword

.

 

summary

Rasanya seperti manis yang hambar.

Sudah meneguk berton-ton gula, masih saja berkutat pada kehambarannya.

Andai ada vaksinnya, maaf, si pengecap terlanjur mengatakan manis di ujung bibirnya.

.

.

.

 

Dingin. Serta kaku.

Ialah sepasang atmosfer yang sangat tidak diinginkan kehadirannya kala ini. Namun faktanya, asa tersebut hanyalah awang belaka. Hal yang terjadi begitu saja tanpa adanya titah nyata. Diiringi hembusan pawana di celah-celah yang mengizinkan mereka melewatinya. Semakin menambah derita dua insan —seorang gadis dan seorang pria— di bawah hujaman bulir hujan, cukup deras.

Kaki mereka terlampau kuat, masih saja berlari tanpa tujuan setelah menempuh jarak empat belas kilometer. Napas yang tersengal, jemari kaki yang tersandung tak anggun, serta afeksi yang terus mengalir tanpa imbas —oleh si pria terhadap si gadis.

Jeon Wonwoo, memiliki tinggi kurang lebih 1,82 meter, terlalu banyak mengalami kisah getir. Sangat kontras dengan kisah si gadis, Chou Tzuyu, pandangan lurusnya hanya sebatas tinggi labium si pria.

Rutinitas si pria hanya menonjol pada bagian kuriositas diri terhadap si gadis. Kata pepatah, dekat di mata jauh di hati. Sudah sekian lama kuesioner tetapnya tertahan di pangkal tenggorok, mengambang. Yang seharusnya, “Tzuyu-ah, bolehkah aku menyukaimu selamanya?” namun labium miliknya selalu saja tidak selaras, “Tzuyu-ah, bolehkah aku berteman denganmu selamanya?”

Kau boleh mengatakan bahwa ia bodoh, kendati ia pun tak hanya sekali merutuk diri akibat tindakan bodohnya. Asal dia selalu bahagia, asal dia tidak bersedih, katanya. Menyokong argumennya bahwa lebih baik berteman lama dan dapat setiap hari melihat senyum si gadis daripada menjalin sebuah hubungan tanpa tahu apa yang akan terjadi pada akhirnya.

Ia tidak ingin berakhir seperti halnya tontonan melodrama favorit ibunya —cara berpikir yang buruk. Hingga suatu hari, manik legamnya menangkap sosok pria lain yang tampak lebih tua darinya mengalihkan perhatian si gadis. Dan si gadis, melakukan hal-hal lebih menarik dibanding kegiatan yang dilakukan sebelum pria anonim tersebut datang.

Kala ini, denting jarum jam yang tanpa henti tak menoreh bosan dirutuki Wonwoo dengan kalimat ‘andai saja-‘dan ‘andai saja-‘. Ia termangu di meja belajarnya. Pertemuan ujung pensil dengan kayu mahoni yang berkali-kali dimainkan oleh jemarinya menghasilkan gema ketukan di ruang kamarnya, memandang jauh dari jendela kamar, berpikir bahwa si gadis telah melupakannya.

Ia bersumpah akan menerima semua perkataan buruk yang terlontar kepadanya —pecundang? payah? lemah?— apapun itu. Almari bukunya dipenuhi judul romantisme, seperti Bagaimana cara merebut hati seorang gadis, Cool man is the most loved, Raja Gombal, dan sejuta judul buku lainnya, ironis. Pada akhirnya, tetap berujung pada lenguhan kesal, rambut yang tak tertata akibat acakan oleh tangannya, menyesal akan tindakan bodohnya —walaupun tidak sepenuhnya semenyesal saat ini.

.

.

 “Hei kau! Jangan kira aku tidak dapat mengejarmu! Freeze up, dude. Atau peluru ini akan melaju tepat di otak Tzuyu!” Seruan peringatan sekaligus ancaman terlontar oleh si pengejar dua insan tak bersalah ini, diiringi tembakan melayang melawan arus bulir hujan. Siapalagi kalau bukan orang ketiga yang kedatangan tiba-tibanya mengganggu hubungannya dengan si gadis, lebih tepatnya hubungan pertemanan —well, yang diinginkan Wonwoo lebih dari itu.

.

.

Fajar tadi, tepat saat sang surya mulai menampakkan wujudnya serta rintikan hujan belum sempat tercipta, bising motor juga mobil memenuhi gendang telinga. Pasalnya, ia berniat untuk tidak bangun awal seperti biasa akibat hari ini tidak ada jadwal khusus untuknya, pihak universitas memberikan libur dua minggu musim ini. Namun niatnya batal selepas ia terantuk membuka tirai jendela kamarnya.

Beberapa sekon kemudian iris legamnya menampakkan pelebaran pupil, bagai sambaran kilat, kala itu juga jiwanya sepenuhnya berkumpul. Dengan potret yang cukup jelas, ia melihat si gadis seberang tempat tinggalnya melangkah kaku di jalan masuk rumah si gadis, masih menggunakan piyama. Sepersekian sekon kemudian, mobil jeep hitam yang terparkir di tepi jalan aspal dimasuki. Beberapa laki-laki kekar yang sedari tadi mengawal juga masuk ke dalam mobil jeep.

Ia mengacak rambutnya. Kali ini, kosakata kuesionernya bertambah —siapa, mengapa, dan apa. Pun semakin besar kuriositasnya tatkala dua orangtua si gadis hanya menatap kosong mobil serta motor yang mulai melaju. Tampaknya tak dapat menahan lagi, segelintir air mata membasahi pipi ibu si gadis, tangan kanannya tampak memukul dada bidang ayah si gadis, menangis sejadinya.

Saat itu juga, suatu sengatan kilat dari dalam organ tubuhnya terasa, bagian dada. Tidak memahami persis apa yang terjadi, namun napasnya tiba-tiba sesak. Seakan salah satu bagian dari tubuhnya mengikis, meraung tipis. Ia mencoba untuk menyegarkan kembali apa yang sedang dilihatnya beberapa detik yang lalu. Gadis yang disukainya —ralat. dicintainya. Heh, bahkan ia belum mengajaknya kencan— berjalan kaku dengan iringan hawa kelam, kedua orangtuanya ibarat menyesal di akhir tindakan, dan rentetan kendaraan —mobil serta motor hitam— melaju begitu saja.

Tunggu.

Tubuhnya mematung. Ia terkesiap. “TZUYU!”

Dengan langkah cepat ia mengambil jaketnya yang terselempang di badan kursi meja belajar. Sungguh bodoh. Ia merutuki pertanyaan selanjutnya, kemana si gadis itu pergi.

.

.

“Wonwoo-ah.” Ujaran lengah terlontar dari labium si gadis. Kakinya tertatih mengikuti gerakan lari si pria yang tentu saja lebih cepat dari kecepatan lari perempuan biasa. Piyama bagian tempurung lutut kanannya telah tergores tanah akibat terjatuh beberapa saat lalu. Ia tidak bisa melakukan hal tersebut lebih lama lagi.

“Jangan berhenti sekarang. Aku akan melindungimu.” Si pria menanggapi dengan suara lantangnya sembari masih berlari di samping si gadis, masih lebih dulu dirinya daripada si gadis. Keras kepala adalah sifat tersembunyinya, tidak banyak orang yang tahu kecuali keluarganya.

“Tapi..”

“Kau harus menghindari keparat itu agar selamat.”

“Wonw-“

Dar!

Bak

Tepat ketika sekon debuman di belakangnya tercipta, langkah kakinya terhenti. Bayangan kusut memenuhi pikirannya. Baru saja lecutan peluru si keparat —nama panggilan si pria anonim oleh Wonwoo— melintas lurus persis di samping lengan kanannya. Pasalnya, ingatannya mengatakan bahwa si gadis berlari di samping kanannya lebih ke belakang.

“Argh!”

Lengkingan kilat merambah daun telinganya, jelas sekali adalah suara si gadis. Napasnya yang tersekat beberapa sekon yang lalu akhirnya terlepas. Bayangan kusutnya dengan segera hilang berpencar. Ia memutuskan untuk membalikkan badannya.

Dan sekali lagi, sengatan kilat di area dada bidangnya tercipta, napasnya kembali sesak. Bukan karena ia berlari jauh, karena hal itu dilakukannya dengan tulus. Bukan juga karena air hujan yang semakin membuat tubuhnya menggigil. Ia tersadar. Sengatan tersebut merupakan bagian pilu si gadis yang turut dirasakannya. Apakah ini yang dimaksud dengan ‘milikku adalah milikmu, milikmu adalah milikku’? Stop. Berhenti berpikir konyol.

“Lepaskan dia dari tangan kotormu, keparat!” Ia berseru, dan secara tidak langsung ia memberi umpatan. Hal langka yang belum pernah didengar si gadis, membuat iris mata coklatnya menampakkan pupil yang melebar. Diiringi kepala yang menggeleng keras, melarang si pria untuk bertindak bodoh.

“Argh!”

Ucapan Wonwoo memberikan tanggapan gelak tawa besar. Dengan suara berat, pria anonim tersebut menarik surai si gadis kembali dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya masih memegang pistol dan mengarahkannya ke pelipis kiri si gadis. Mengisyaratkan agar berhenti menimbulkan gerakan sehingga lengkingan kilat si gadis terdengar untuk kedua kalinya.

“Aku akan menjadikannya sebagai istriku dan kau mengacaukan semuanya. Hal bodoh apalagi yang kau lakukan, ha?” Pria anonim mengeluarkan kalimatnya. Tangan kanannya masih saja menarik kuat rambut si gadis yang tidak bosannya menggelengkan kepala serta pandangan penuh makna menatap si pria —Wonwoo—, tidak peduli melihat air mata si gadis mulai menetes mengiringi basahnya pipi oleh bulir hujan.

Senja itu adalah senja yang paling buruk.

“Apa kau bilang? Istri? Haha. Bisakah kau menjawab pertanyaan, ‘Pengecut sebenarnya, kau atau aku?’”

.

.

Jeon Wonwoo. Lebih memilih menggunakan sepeda bututnya daripada motor di garasi rumahnya dalam kegiatan mengejar mobil serta motor hitam. Ia melemparkan penyadap yang dibuatnya tepat ke samping roda bagian kanan belakang mobil hitam sebelum jarak antara dirinya dengan mobil motor menjauh. Kendati dilahirkan dalam keluarga sederhana, namun ia tetap tidak bosan untuk membanggakan kedua orangtuanya, meraih banyak prestasi.

Sejauh sepuluh kilometer kayuhan sepedanya tercipta, ternyata titik merah si penyadap tersebut terhenti di sebuah gedung tua bekas hotel ternama. Tidak terlalu memperhatikan kenapa hotel ternama tersebut malah tidak bertahan dan tidak terawat. Tampak gelap dan tidak bersuasana sejuk untuk tinggal disini, penuh pohon tinggi mengitari.

Matahari sudah berada di derajat empat puluh lima. Ia mengendap masuk dengan lancar. Memindai setiap ruangan yang ada, tetap memperhatikan sekitarnya dengan pupil membesar akibat kurangnya pencahayaan. Semua tampak gelap, kecuali satu ruangan di lantai dua, tepat di depan ujung tangga.

“Tzuyu-ah. Aku atau kau yang melakukan pembukaan, hm?” Suara berat, terdengar jelas dari ruang terang tersebut, tampak menggoda. Ia meneguk adam apple-nya, berusaha untuk tetap bersembunyi di balik cahaya yang redup.

Tidak ada jendela yang terbuka di sana. Pintu pun terkunci. Indera penglihatnya masih saja memindai jikalau terdapat hal yang menyelesaikan masalahnya. Semakin lama, semakin menjadi. Isak tangis yang mulanya tidak terdengar 1 Hz pun, kini meraung jelas memenuhi gendang telinganya. Ini adalah yang pertama kalinya ia mendengar. Suara itu, sangat familiar.

Beruntung tidak terdapat penjagaan khusus di depan ruangan tersebut. Sehingga tidak ada yang melarangnya untuk mengorek papan pintu dengan paku besar yang ditemukannya di dekat ujung tangga. Ingin segera mengetahui, namun tidak dengan tindakan gegabah.

Sekali lagi jantungnya tercekat.

Bak

Debuman lembut terjatuh. Bukan benda keras, yang jelas.

“Ah, bukankah tidak menjawab itu berarti iya? Kalau begitu, aku akan menjamah paras cantikmu terlebih dahulu sebelum menjamah bagian manis lain milikmu, sayang.” Terdengar lagi.

Oh, sial. Wonwoo merutuk. Fokusnya kabur dalam kegiatan memainkan pakunya. Lebih memilih untuk mendobrak pintu tersebut daripada cairan kental dari jari tangan kirinya keluar lagi, permainan pakunya tadi melesat.

BRAK

BRAK

Punggung bahunya bertemu dengan kayu jati tua yang masih saja berdiri kokoh. Mengerahkan tenaganya.

sreg

“L- ong. T- tolon- g.” Seruan khas perempuan terlontar bebas setelah lawan bicaranya membuka perekat hitam di mulutnya. Tidak tahan. Tidak terima. Mengerang. Menolak. Menjauh dari ranjang selagi bisa. Berharap penuh kepada seorang laki-laki yang mendobrak pintu ruangan. Membiarkan lawan bicaranya mengumpat. Ketika mendekati, ia berusaha menghindar kendati kedua tangannya terikat oleh tali putih.

. Siapa berani mengacaukan ha? Aku baru merasakan aroma bibirnya.” Suara berat tersebut berubah menjadi lantang. Menantang orang yang membangkang.

“KALIAN, TANGKAP YANG DILUAR RUA-“

BRAK

Berhasil.

“Oh, si pengecut ternyata.”

“Keparat kau!” Tak puas dengan punggung bahu kanannya yang keram. Ia melontarkan tendangan kaki kirinya di akhir gerakan larinya terhadap lawan bicara si gadis, pria anonim —si pengganggu hubungan.

Bak

“Argh.” Tubuh si pria anonim membentur linggiran ranjang. Cukup keras akibat terbuat dari kayu. Sementara si pria anonim menyegarkan posisinya kembali, ia yang mendapati si gadis terengkuh menyandar tangis di dinding ruang, segera mendekati dan melepas ikatan tali putih tersebut dengan paku. Tidak lama.

Tanpa pikir panjang, ia menggenggam tangan kiri si gadis, menariknya untuk segera keluar dari ruangan. Namun sayang, rekan si pria anonim tidak terlambat datang. Dua insan tersebut terhadang. Ayunan tinju melayang di pipi kanan Wonwoo. Meringis.

Lagi, tendangan keras mendarat di perutnya sebelum ia sempat memberi perlawanan.

“Won- woo-” Si gadis iba, hendak membantu Wonwoo bangun.

Bak

Nasib buruk. Keduanya malah jatuh. Si pria anonimlah yang menapuk pipi si gadis tanpa belas kasihan. Mereka terpojok, di bawah jendela. Genggaman tangan mereka masih utuh. Bangkit. Berusaha menerobos kerumunan tiga sampai empat orang di ruangan tersebut dengan menendang menggunakan kaki kirinya. Namun naas, hanya punggung yang terbentur jendela kayu terbuka yang diterimanya, kepalanya hampir melongok keluar.

“Payah. Hanya sampai inikah kekuatanmu? Ck. Mana ada gadis yang tertarik dengan dirimu seperti ini?” Lagi. Si pria anonim mendesak dua insan tersebut, meluncurkan kalimat-kalimat keji.

Tunggu.

Ia menoleh ke arah si gadis, telepati terjadi. Gagasan gila yang pertama kali ia lakoni. Hidup atau mati tergantung kehendak Sang Pencipta.

“SEKARANG.” Serunya lantang diikuti kedua pasang kaki menaiki jendela.

Lompatlah setelah aku lompat, jatuhlah di atas tubuhku, biar aku saja yang terjatuh di semak belukar itu, tangan kita masih tergenggam, kan? Begitulah kiranya ucap telepati Wonwoo.

Sesungguhnya, si gadis tampak ragu. Hendak mengajukan pendapat bahwa melawan lebih baik daripada melompat dari jendela lantai dua.

.

.

Arah pistol si pria anonim mengudara mengeluarkan debuman peluru di angkasa ketika Wonwoo hendak mendekat.

“Selangkah kau maju. Aku lecutkan peluru ini ke gadis ini.”

Langit menangis. Turut menjadi saksi akan siapa pemenang perdebatan yang terjadi. Sejenak suasana hening. Meratapi setiap tindakan yang sudah, sedang, maupun hendak dilakoni.

“Jangan sekali-kali kau sakiti Tzuyu, keparat. Jika kau memang ingin menjadikannya istri, tentu kau mengerti apa yang seharusnya kau lakukan. Membuatnya bahagia, bukan tersiksa!”

SHUT UP!”

DAR!

“WONWOO!”

“Argh.”

Tempurung lutut kirinya pecah. Peluru yang meluncur masuk terlalu dalam. Cairan kental merah keluar dengan mulusnya layaknya air keran kemudian bercampur dengan air hujan. Ia bersimpuh. Kaki kirinya mati rasa, menambah derita punggung bahu kanannya yang keram. Kedua tangannya menyokong tubuhnya di depan. Kendati posisinya bersimpuh, bukan berarti ia menyerah akan semuanya.

“Apapun yang kau mau, asalkan kau melepaskan Tzuyu.” Ujarnya getir, mendongak ke arah pandang si pria anonim kemudian beralih memandang iris coklat si gadis. Sorot mata mereka bertemu, memandang iba. Si gadis tidak tahan lagi dengan raungan hati. Di kala itu juga, pintu hatinya terketuk, benar-benar terbuka untuk si pria setelah memendam sekian lama. Akan tetapi, masih saja labiumnya tidak dapat tergerak. Kaku untuk berkata.

“Oh. Jadi itu yang kau mau?”

Buk

Genggaman tangan si pria anonim terhadap rambut si gadis lepas, diiringi dorongan keras hingga akhirnya dua insan tersebut kembali menggenggam tangan.

“Lindungi punggung gadis jalang itu dalam tiga detik!”

srag

Dak

DAR

Lecutan peluru kembali menghujam tubuhnya, tepatnya pada tangan kanan yang digunakan untuk melempar pria anonim dengan sebuah batu besar. Kalimat yang terlontar sangatlah tidak menyegarkan baginya, pastilah menyakiti si gadis.

“Tunggu apa lagi ha? Ingin memakan peluru ini lagi?”

“Sialan.”

Apadaya, sekali lagi ia merutuki diri. Terlalu lemah di depan gadis yang dicintainya adalah kesalahan besar dalam kamusnya. Kini, tubuhnya telah merengkuh tubuh Tzuyu, membelakangi si pria anonim. Saling mengirim suasana ketenangan romantisme di atas ketegangan.

“Demi melindungi dan melepaskan Tzuyu —cuih—. Ucapan terakhir?”

Sejenak suara yang tercipta hanyalah gemercik air hujan yang semakin mereda dari deras. Sang Surya sudah berada di seratus lima puluh derajat.

In the long silence, a sound comes, screaming, from my foolish and weak heart- I love you.

Sesenggukan tangis terdengar pilu. Si gadis hendak memberi tanggapan yang sama, namun tidak sama.

“W- Won- woo-ah.”

Salah satu genggaman tangan dilepas si pria, beralih membelai rambut hitam tebal si gadis. Sungguh, jantungnya berdetak cepat. Mengagumi tindakan pertamanya yang sangat menyerang kestabilan jantungnya.

Can you lie down and stare my eyes?”

“Uh- uhm?”

G- good girl.” Ujarnya, jantungnya berdetak semakin tidak normal.

I have waited this momentum for ages. Thank you.

Tanpa jawaban. Lebih tepatnya, tidak tahu jawaban apa yang cocok. Si gadis di tengah kebimbangan. Antara hendak menghentikan keluarnya bulir air mata atau semakin menunjukkan rekahan rona merah di pipinya. Sungguh, si gadis juga telah menantikan hal ini setelah sekian lama.

One more wish, will you do it?”

Tolong. Wonwoo tidak dapat mengontrol kalimatnya. Layaknya ia telah berada di ambang putus asa.

W- what is that? Jangan berkata bodoh, Wonwoo-ah.”

Hug me. Hug me in my last breath,—”

H- hey! Shut up!”

“TERLALU LAMA, BOCAH! SEE YOU ON THE HELL!”

DAR DAR DAR DAR DAR

Peluru-peluru runcing milik pistol si pria anonim muncul dan terang dengan bebasnya mengarah ke punggung bidang Wonwoo. Lagi, lagi, dan lagi. Reaksi lecutan peluru tersebut sangat berakibat fatal terhadap tubuhnya. Berlubang sana, berlubang sini. Layaknya permainan. Air hujan di sekitar mereka kini bercampur cairan merah kental. Bersimbah darah.

“KIM NAMJOON!”

“—please.” Akhirnya kalimat terakhirnya terucap setelah si gadis menyebutkan identitas si pria anonim dan sebelum akhirnya ia terjatuh di atas tubuh si gadis. Selamat tinggal, katanya.

“Ugh- Oh, h- hey! Wonwoo! Hey! Are you- W- Wonwoo-ah-“

.

.

Spontanitas reaksi memberi gambaran bahwa suatu tindakan yang dilakukan secara refleks, pastilah merupakan hal yang tidak akan mudah terlupakan. Sampai saat ini, si gadis tidak dapat menggunakan dan mengendalikan otaknya secara normal. Termangu, tertekan, tersiksa, terancam. Kesalahan besar melihat papan batu hitam yang bertuliskan ‘Rest In Peace, Jeon Wonwoo.’.

God. Please bring me to your place in order to find my-Wonwoo.”

 

fin.

 

Well, halo!

Sebuah cerita fiksi!AU saya persembahkan untuk readers sekalian. Maaf jika ada kesalahan dalam penulisan.

Anyway, tokoh yang wataknya nyeleweng pada cerita fiksi ini jangan diambil hati, ya? Writer hanya menyesuaikan dengan physical traits-nya. Wkwk

Last but not at least, mind to review?

Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet