Dua dalam Satu

Description

Hyung, dimana dia?

Hyung, dia tidak apa-apa’kan?

Hyung, katakan sesuatu.

Hyung...

HYUNG!!!

Disini.

 

Semua berawal saat cahaya lampu memasuki dunia gelap nan sunyi melalui mataku yang perlahan terbuka. Akhirnya. Dimana ini? Aku pikir. Namun dengan tengokan kecil dan bau obat-obatan di sekelilingku, aku dapat memastikan ini adalah salah satu ruangan rumah sakit.

“Seokjin?”

Tanya salah satu dari keempat figur yang menatapku saat terbangun dengan ekspresi khawatir, tidak. Mereka semua terlihat khawatir. Tanpa bersuara, aku hanya mengangguk sedikit. Terdengar tarikan nafas lega dari wajah mereka.

“Obat-nya sukses.”

“Ya, mungkin kita bisa menggunakannya. Walau sementara.”

“Tapi efek samping masih bekerja.”

“Tidak apa, asalkan kita dapat mengatur situasi dia.”

“Kau yakin? Memang sekarang bekerja, tapi bagaimana kedepannya? Dia satu-satunya pasien yang lolos.”

“Ini satu-satunya jalan, walau kita harus berurusan dengan dia untuk beberapa waktu. Namun ini adalah kemajuan di bidang ilmu kedokteran. Aku berharap bantuan kalian.”

Keempat figurin itu berdiskusi dengan papan jalan di masing-masing tangan mereka tanpa mempedulikanku yang terbaring. Aku mencoba mencerna apa yang mereka bicarakan, namun aku terlalu pusing untuk berpikir. Salah satu dari empat figurin itu akhirnya memperhatikan gerakan tangannku yang sedang mengusap mata.

“Kau tidak apa-apa? Kemungkinan besar kau harus tinggal beberapa lama disini.”

“...sebelum aku mengatakan iya, bisakah kalian memberitahukanku apa yang terjadi?”

Mereka terdiam untuk sesaat, sampai salah satu dari mereka merespon.

“Ceritanya cukup panjang. Tapi yang kami tahu, anda tuan Seokjin. Harus tinggal disini beberapa saat sampai pemulihan. Kami adalah dokter-dokter profesional disini, jadi jangan khawatir.”

Terdengar suara berat figurin itu saat mengucapkan kata-katanya sendiri. Namun aku tidak dapat menahan rasa kantuk yang menyerang tiba-tiba. Apakah aku harus mempercayai mereka? Tanpa sepengetahuanku, mataku tertutup kembali. Membawaku ke dunia gelap dan sunyi itu.

--

Aku terbangun lagi, kali ini bukan karena kesadaranku. Namun karena suara teriakan seseorang yang bisa kutebak adalah suara teriakan perempuan. Saat akan mencari tahu sumber suara, aku dikejutkan oleh kumpulan kaca dan peralatan yang rusak dan tersebar di sekeliling kamarku. Apa ini? Berantakan sekali. Saat akan duduk dari posisi tidurku, aku melihat seorang suster terduduk di depan lantai pintu masuk ruanganku yang terbuka, wajahnya terlihat ketakutan. Dia kaget saat pengelihatanku beralih ke arahnya.

“Sus—“

“TOLONG JANGAN SAKITI SAYA!!” Teriaknya sambil cepat-cepat kabur dan menghilang dari pandanganku. Apa? Kenapa? Apa yang terjadi? Apa ini semua perbuatanku? Semua pertanyaan yang tak dapat kujawab sendiri mengalir deras. Namun aku masih tidak ingat apa-apa, bahkan melakukan semua ini. Sungguh.

Tak lama kemudian, seorang figurin berjas putih datang. Ya, dia adalah salah satu dari empat figurin yang mengaku dirinya sebagai seorang ‘dokter’. Profesional bila perlu ditambahkan.

“Ahh, kau sudah bangun?”

“...aku ingin penjelasan. Sekarang.”

“Maaf, kami tidak bisa.”

“KENAPA!?” Teriakku sambil berdiri diatas pecahan kaca, tanpa sadar kakiku mengeluarkan darah akibat ujung pecahannya yang tajam. Perih. Namun ia mendorongku pelan untuk tetap membuatku kembali ke posisi duduk semula. Kami terdiam, sampai ia akhirnya menghela nafasnya sambil mengobati luka kakiku.

“Kami butuh waktu.”

“Untuk apa?”

“Penjelasannya rumit.”

“Sudah cukup dengan alasan kalian, setidaknya berikan aku satu informasi untuk jaminan. Kalian dokter’kan?”

Kata-kataku seperti suntikan sementara saat sang dokter mendengarnya. Apa yang kukatakan tidaklah jauh dari hak seorang pasien. Walaupun terdiam sebentar, akhirnya ia dapat membuka mulut.

 “Tapi berjanjilah kau akan bekerja sama dengan kami.”

“Informasi pertama, kerja sama kedua.” Jawabku meyakinkan. Sang dokter hanya bisa menghela nafas untuk kedua kalinya.

“Kau sedang dalam percobaan kami.”

Percobaan? Percobaan katanya?

“Tidak, tidak. Jangan salah paham dulu. Kami hanya mengamatimu. Percobaan ini bukan percobaan yang kamu lihat dalam games ataupun film.”

Hampir saja aku ingin kabur karena rasa panik. Aku bersyukur tubuhku masih bertahan untuk mendengarkan alasan lebih lanjut dari figur dokter itu.

“Mengamati? Memangnya ada apa denganku?” tanyaku penasaran.

“Kau masih hidup. Itu yang bisa kusampaikan. Mulutku terkunci untuk informasi lebih lanjut.”

“Hah?”

“Kau tidak lupa soal kerja sama’kan?”

“...”

Apa maksudnya? Ini memusingkan. Memang aku bersyukur bahwa faktanya aku masih hidup. Namun kenapa? Ada peristiwa apa? Rasa penasaranku masih tersisa sehingga aku tidak mendengarkan pertanyaan terakhir sang dokter.

“Hey!” Teriaknya yang akhirnya membangunkan lamunanku.

“Jadi bagaimana? Kau bersedia bekerja sama’kan?”

Aku terdiam, namun akhirnya memutuskan.

“Baiklah—”

Dengan jawaban mantap, aku mengambil tantangannya.

“—Tapi aku mengharapkan informasi selanjutnya, sekecil apapun itu.”

Sang dokter hanya bisa tersenyum pasrah, namun aku bisa melihat ekspresi lega-nya itu.

Dokter itu akhirnya memberikan intruksi singkat tentang urusan ‘kerja sama’ ini. Tidak banyak, aku hanya disuruh untuk meminum tiga buah kapsul sehari dan tertidur selama kantukku menyerang. Tidak sulit. Pikirku. Sang dokter akhirnya pergi untuk mengurus kekacauan ruanganku. Untungnya ruanganku ter-isolasi dan tidak ada pasien lain disini. Memang ruangan ini hanya memuat satu pasien, siapa lagi kalau bukan aku? Jendela ruanganku terbuka walau kacanya rusak, mengirim angin-angin dan kelopak bunga maupun dedaunan masuk untuk menghiburku.

Aku menelan tiga buah kapsul itu dengan tegukan air putih yang dibawakan dokter, lalu berbaring untuk kembali ke dunia kosongku.

--

Hyung, jangan lupakan aku. Hyung.

“...siapa itu?”

Ini aku.

“Siapa?”

Wajahnya tertutup coretan hitam, namun aku mengenal suaranya. Suara beratnya.

“Namjoon?”

Tanpa menjawab pertanyaanku, semua-nya menjadi darah. Figur itu menjadi seorang lelaki dengan luka di kepalanya dan tatapan-nya yang kosong. Wajahnya begitu familiar.

Tidak mungkin.

--

Aku terbangun. Mengambil nafas sebisa mungkin seakan telah berlari dari kejaran maut. Mimpi? Ini adalah mimpi pertama setelah aku terbangun. Sebelumnya selama tertidur lama-pun aku tidak bisa merasakan apa-apa selain warna gelap dengan hawa senyap. Namun saat itu aku melihat warna lain selain hitam, merah. Coret. Mungkin saja darah.

“...Seokjin?”

Tanpa sadar, sang dokter yang merawatku dengan urusan ‘kerja sama’ itu mengamatiku dari pinggir kasur pemeriksaan. Ia terlihat panik. Aku mengusap wajahku yang penuh dengan keringat. Lalu memandang dokter yang memakai suatu baju pemeriksaan berwarna hijau.

“Apa yang terjadi?” Tanyaku yang malah bertanya kembali.

“Sebenarnya aku yang harusnya bertanya begitu. Ada apa? Gelombang otakmu tidak berjalan lancar. Dan kondisi mentalmu goyah.”

Aku terdiam sementara, mencoba merangkai kata-kata dan mengingat kembali mimpi itu.

“...entahlah, aku melihat sesuatu.”

Jawabanku membuat sang dokter kaget. Entah itu kaget senang atau justru sebaliknya.

“Seperti?”

“Darah. Semua-nya merah. Tapi— aku melihat seseorang. Wajahnya samar, jadi aku tidak dapat mengenalnya. Tingginya mungkin sekitar tinggiku. Tidak terlalu kurus.”

Dokter hanya fokus mendengarkanku sambil memasang tampang berpikirnya. Aku kira dia adalah tipe dokter yang tidak membahas akan mimpi, karena biasanya dokter hanya peduli akan kondisi tubuh. Bukan kondisi dunia lain yang dialami oleh pasien. Sang dokter akhirnya angkat bicara.

“Mungkin ini bisa jadi perkembangan pengamatan kami, tuan Seokjin. Namun kami belum bisa memberitahu hal lain karena diskusi yang bisa dibilang perdebatan antara ilmu dan observasi serta kurangnya bukti kuat. Aku akan mencatat hasil mimpimu.”

“Silahkan.”

“Oh iya, bagaimana obatnya? Apakah dosisnya mempengaruhi tubuhmu? Gejala?” Tanyanya sambil sibuk mencatat hasil laporannya di papan jalannya. Aku menggelengkan kepala tanda tidak.

“Memang tidak, tapi kenapa harus tiga obat sekaligus?” Tanyaku balik penasaran, sang dokter hanya bisa tertawa kecil.

“Itu akan membantumu menenangkan diri. Tenang saja, efek sampingnya hanya rasa kantuk yang luar biasa. Tetapi dengan obat itu, kami akan mudah mengamatimu. Dan semakin mudah laporan ini dibuat, semakin cepat kau akan pulang.”

Pulang. Aku— mempunyai tempat tinggal? Aku tidak ingat.

“Untuk sekarang, beristirahatlah. Pemeriksaan hari ini selesai. Jangan lupakan obatmu.” Jawab sang dokter yang membangunkanku dari pikiranku sendiri. Tak lama, seorang suster datang membawaku kembali ke kamarku menggunakan kursi roda. Tetap saja, aku masih pusing memikirkan apa yang terjadi.

“Aku masih bisa jalan, suster. Jadi tidak apa.” Jawabku setelah kursi roda yang didorong itu masuk ke dalam ruangan. “Kau yakin? Dokter bisa memarahiku kalau terjadi sesuatu denganmu, tuan.” Aku mengangguk tanda baik-baik saja. “Tentu. Lagipula aku merasa lebih sehat dari sebelumnya kok.” Jawabku meyakinkan.

“Baiklah, kalau begitu. Permisi.” Suster berambut panjang itupun segera berbalik dan menutup pintu ruanganku. Aku berdiri dan jalan menuju kasurku yang berwarna putih itu. Tidak lupa dengan obatku.

Dengan bantuan obat, aku-pun terbawa arus kantuk.

--

Kali ini aku kembali ke alam mimpiku. Namun berbeda dengan mimpi biasa-nya yang gelap, kali ini mimpiku berwarna putih seperti selimut. Setidaknya warna ini lebih nyaman daripada warna gelap sebelumnya. Kulihat tubuhku yang berdiri tegak.

“Hei, hyung~” Sapa seorang lelaki yang berdiri di depanku. Entah sejak kapan dia berada disitu, karena sebelum kepalaku menengok tidak ada siapapun disana.

“Kamu...”

“Ayo, yang lain pasti sedang menunggumu.” Ajak lelaki muda itu dengan senyuman lesung pipi-nya yang menawan. Sambil mengulurkan tangannya, aku dikejutkan oleh seekor kupu-kupu yang melewati kami. Sayapnya indah, berwarna biru pastel. Tidak lama, segerombolan kupu-kupu dengan sayap merah krimson keluar dari belakang lelaki yang amat kukenal itu. Namun karena banyaknya sekelompok kupu-kupu merah yang terbang ke arahku, pandanganku akhirnya lepas dari lelaki tersebut. Saat ingin melihatnya lagi, lelaki itu menghilang.

“Namjoon.”

--

Aku bangun, namun tidak ingat sedetailpun tentang mimpiku. Namun setidaknya mimpi kali ini tidak separah mimpi sebelumnya. Saat hendak akan bangun dan menggerakkan tubuhku, seketika itu juga sengatan perih menyerang tangan kiriku.

“AKHH--!!” Teriakku saat melihat kondisi tangan kiriku yang berceceran darah, dari bentuk luka-nya bisa dikatakan ini seperti salah satu self-harm. Tapi aku yakin aku tidak melakukannya. Bahkan tidak ada pikiran di benakku untuk melakukan hal ini. Lantas kenapa ada luka sobek sebanyak ini? Apa yang terjadi? Sambil menahan rasa sakitku, dokter dan susternya segera datang dan merawat sobekan penuh darah yang mengelilingi tanganku.

 

 

“Kau yakin tidak tahu soal ini?”

Aku menggeleng tanda tidak, cukup membuat dokter mengerti. Namun kali ini dokter membawa sebuah kaset rekaman CCTV rumah sakit.

“Untuk apa?” Tanyaku penasaran, dokter hanya tersenyum dan kemudian kembali bertanya. “Bisa kau tonton dan observasi?”

Aku terdiam, sebenarnya aku masih bingung dengan apa yang ia katakan. Namun kuharap rekaman itu dapat memberikan sedikit petunjuk.

Saat rekaman sudah menampilkan layout kamarku, aku dikejutkan dengan adegan betapa ‘gila’-nya aksiku merusak salah satu ruangan di rumah sakit ini. Ya, tidak lain adalah ruanganku sendiri. Apa? Bagaimana? Aku tidak ingat pernah melakukan hal gila ini tapi pantas saja kamarku lebih berantakan, pikirku. Namun mataku tidak ingin melewatkan rekaman itu sedikitpun. Aku masih tetap fokus ke layar itu, walaupun sang dokter dan susternya sudah tahu akan kejadian ini (karena merekalah saksi mata sekaligus korban malapetaka peristiwa tersebut).

Beberapa menitpun berlalu, figur yang kuanggap sebagai diri-tanpa-alam-sadarku itu terbaring lemah di kasur. Tidak tertidur, melainkan mengeluarkan suara jeritan ataupun tangisan yang menurutku cukup menyedihkan. Seperti tangisan ketakutan maupun tangisan akibat dari sakit yang tidak terhingga. Dan tidak lama kemudian, figur itu mengambil salah satu pisau buah yang awalnya memang diletakan dekat meja tidurku setelah aku tertidur. Buah-buahan yang awalnya tertata rapih itupun dilemparkan dari tempatnya hingga ikut menjadi bagian dari hasil kekacauan ruanganku. Kemudian, pisau tersebut diayunkan tepat diatas kulit dan—

-SRET!

Darah menetes dari robekan kulit tersebut. Aku sama sekali tidak merasakan sakit saat aku tertidur. Namun aku bisa melihat tangan figur itu bergetar hebat, tetapi tidak menghentikan aktifitasnya membuat sayatan di sekitar kulit lengannya tersebut. Ketakutan. Itu yang bisa kubaca dari situasi rekaman CCTV.

Setelah itu, figur itu menjatuhkan tubuhnya di kasur. Dan meremas rambutnya sambil mengatakan satu hal yang janggal sebelum akhirnya tertidur.

“...maaf.”

Walaupun sempat terdengar bisikan sebelum kalimat jelas tersebut, aku masih tidak bisa menyusun jawaban dari semua peristiwa ini. Tidak. Lebih tepatnya mereka tidak memberikan informasi lain. Aku tahu aku terlalu menyalahkan orang lain. Tetapi aku tidak tahan dengan kedua perasaan antara perasaan membenci dirimu sendiri karena tidak tahu apa-apa maupun asumsi pikiran akan orang-orang yang menyembunyikan sesuatu yang penting dariku.

“Bagaimana? Kau...mengingat sesuatu?”

Aku menggeleng kepala. Tentu saja tidak. Suster yang berada di dekat dokter itupun menepuk pundak dokter tersebut, sambil memasang tampang pasrah.

“Tidak apa, tuan Seokjin. Anda masih punya banyak waktu untuk berpikir. Kami juga akan segera menyelesaikan urusan kami.” Kata sang dokter yang sekarang menghadapku.

“Tapi...dokter, aku yakin akan satu hal.” Kataku mantap. Ia akhirnya mengangkat wajahnya kembali dengan tatapan kaget.

“Apa itu?” Tanyanya makin penasaran. Perlahan aku membuka perban yang telah membalut lenganku tersebut. Rasa nyeri akan masuknya udara hingga menyentuh kulitku yang robek itupun aku hiraukan, dan apa yang kupikirkan ternyata benar.

“Ada pesan untukku disini.”

Sang dokter dan susterpun bergegas melihat lenganku. Aku yakin suster tidak mengerti dengan apa yang kukatakan, namun dokter dapat melihat sesuatu yang sudah kutunjukkan.

“Tulisan?”

H-E-L-P. Tolong. Memang semenjak mengering sayatan tersebut jadi menyatu dengan sayatan lainnya. Tetapi aku yakin setelah melihat rekaman tersebut, ada yang meminta tolong padaku.”

Ini mungkin teori gila. Tapi aku mencoba bekerja sama dengan pihak dokter agar urusan kerja sama ini bisa cepat diselesaikan dengan cara memberi mereka informasi lebih, sekecil maupun sepele itu. Karena aku adalah objek utama mereka, dan aku yakin mereka tidak bisa berbuat apa-apa bila aku tidak menceritakan apa yang terjadi dari segi prespektif batinku sendiri.

 

Sang suster sempat kaget dengan apa yang kusimpulkan, namun dokter melihatku seakan ada kemajuan. Ia membalut kembali tanganku dengan perban baru. Sambil memberikan senyuman hangatnya, ia mengusap rambutku.

“Kau telah bekerja keras hari ini, terima kasih.” Ucapnya sebelum pergi mengikuti suster yang mengurusi dataku tersebut. Umurnya tidak terlalu tua, namun raut wajahnya seperti ayah yang sayang kepada anaknya. Aku merindukan ayah dan ibuku.

 

“Tuan Seokjin?” Seorang suster baru muncul dibalik pintu dengan sebuah kursi roda. Sepertinya suster ini diperintahkan dokter tadi untuk mengembalikanku ke kamar. Dengan langkah yang lemah, ia membantuku untuk duduk di kursi tersebut. Selama perjalanan menuju kamarku, aku sempat berbicara dengan suster itu.

“Suster?”

“Ya, tuan?”

“Apakah suster percaya akan...keajaiban?”

Suster itupun tertawa kecil. Ahh! Memang pertanyaanku sangat bodoh dan kekanakan tetapi itulah yang muncul dari mulutku begitu saja.

“Tentu, apalagi ditempat yang menginginkan hal itu terjadi. Memang keajaiban itu muncul tidak diduga, namun melihat hal itu terjadi di tempat ini adalah salah satu hal yang membuat kami –pihak rumah sakit- turut bahagia.”

Aku hanya terdiam menyimak jawabannya. Tentu saja banyak jiwa yang melayang disini. Tidak heran semua orang yang masuk ke tempat ini menginginkan lebih dari sebuah ‘keajaiban’. Tapi aku tetap tidak menyukai bagaimana mereka masih menyembunyikan suatu hal padaku.

“Kalau begitu, apa aku termasuk salah satu pasien kalian yang gila? Maksudku...aku sempat menghancurkan sesuatu tanpa alam sadarku. Dan kalian juga sampai harus memasang kamera CCTV untuk mengamatiku dan—“

“—ikuti kata hatimu, tuan Seokjin. Gila atau waras hanyalah sebuah kondisi. Kami hanya membantu para pasien untuk sehat. Seterusnya adalah hak pasien, walaupun kami tidak ingin mereka memilih pilihan lain. Kami selalu melakukan yang terbaik.”

Kata-kata sang susterpun dapat membungkam pertanyaan bodohku untuk yang kedua kalinya. Benar apa yang ia katakan. Aku sempat berpikir untuk menyerah, mengambil keputusan bahwa aku ini sudah gila. Tapi aku yakin ini semua ada maksudnya. Walaupun memang aku tidak dapat sepenuhnya percaya pada mereka, namun setidaknya apa yang dikatan suster ini menenangkan batinku.

“Suster.”

“Ya, tuan?”

“Bisa’kah anda mengambilkan saya sebuah pulpen dan kertas? Entah mengapa saya ingin menulis sesuatu.”

“Mencurahkan ide? Hihihi, anda lucu tuan. Baiklah akan saya ambilkan. Dan— oh! Apakah anda perlu saya bantu untuk berjalan ke kasur anda?” Tanyanya penuh perhatian saat kami sudah berada di depan pintu kamarku yang sudah dibersihkan itu. Tidak sepenuhnya bersih, setidaknya tidak ada lagi pecahan beling dan kekacauan lainnya di sekitar lantai.

“Tidak apa, saya akan menunggu anda.” Jawabku dengan senyum kecil dan beranjak ke kasur. Suster itu-pun pergi dengan kursi rodaku, pemandangan luar rumah sakit yang kebetulan sebuah taman cukup menghiburku saat menunggu. Aku ingin sekali bermain diluar. Pemeriksaan yang kualami ini membuatku lupa untuk menghitung hari. Memang cukup lama tapi aku sudah tidak peduli lagi. Aku hanya ingin sehat.

 

“Silahkan, tuan.” Lamunanku yang cukup lama akhirnya dipecahkan oleh suster yang masuk dan meletakan sebuah pulpen dan notepad mungil tepat disampingku. Tanpa bersuara, aku membungkuk sedikit untuk menggantikan ucapan terima kasihku. Suster yang dapat mengerti maksudku itupun menundukkan kepalanya dan berjalan keluar.

Aku masih bisa menulis, hanya saja setelah kehilangan darah yang cukup banyak tadi memang membuat tulisan tanganku kacau. Meskipun begitu, tulisanku masih bisa dibaca.

[ “ Aku ingin sembuh. “ ]

Kuratapi baik-baik tulisan itu, lalu kuletakan kedua benda tersebut dibawah bantal kasur. Sudah saatnya untuk meminum ketiga kapsul dan kembali tenggelam dalam tidurku.

--

Cahaya matahari memasuki jendela kamar, perlahan aku membuka mataku. Tidak seperti biasa, sepertinya tidak ada kejadian chaos seperti kemarin. Karena kamarku masih tertata rapih. Aku mengusap mataku dan bangun dengan posisi duduk. Namun pandanganku terfokus akan sesuatu yang berada disamping kasur.

Sebuah kertas robekan notepad.

Bentuknya memang terlihat kusut seakan sudah dikepalkan oleh sebuah tangan. Mungkinkah? Tanpa segan, aku mengambil kertas tersebut lalu membuka-nya. Aku dikejutkan oleh isinya.

 [ “ Aku ingin sembuh. “  “  Kau akan sembuh. “ ]

Ya, kertas tersebut adalah kertas notepad yang kemarin kupakai untuk menulis kalimat tersebut. Dan ya, tulisan tersebut adalah tulisanku. Tetapi tulisan tersebut dicoret oleh tinta pulpen yang sama dengan tulisan yang berbeda lagi disebelahnya. Apakah dia sedang berkomunikasi denganku? pikirku. Aku tidak tahu siapa dia, yang jelas mungkin aku bisa berkomunikasi dengannya. Tanpa pikir panjang, aku mengambil pulpen dan segera menulis kalimat baru di notepad tersebut.

[ “ Bagaimana kau bisa yakin? “ ]

Aku tidak tahu mengapa aku menulis kalimat itu, tapi hanya itu yang bisa kupikirkan. Masih banyak pertanyaan yang mungkin saja bisa kutulis beribu kali untuk dia, namun niat itu aku singkirkan karena aku tidak ingin menuntut lebih banyak jawaban saat kondisiku sendiri tidak mendukung. Aku akan menjalaninya perlahan.

Tidak lama kemudian, dokter dan suster yang merawatku datang untuk menjalani pengamatan lebih lanjut. Aku masih belum mau memberi tahu mereka soal ini, entah mengapa aku hanya ingin berkomunikasi dengan dia tanpa ada campur tangan orang lain.

--

Keesokan harinya, dia kembali membalas.

[ “ Bagaimana kau bisa yakin? “ “ Karena aku selalu bersamamu. “ ]

Aku tidak tahu harus berpikir apa, tanpa sadar sebuah air mata mengalir di pipiku. Tidak, tidak—apa maksudnya ini?Aku mempunyai perasaan tidak enak akan kalimatnya. Tentu kalimat itu sungguh manis tetapi cukup sedih bagiku.

“Tuan Seokjin?”

Aku dikejutkan oleh suara dokter yang mengetuk pintu kamarku, dengan cepat aku menyembunyikan potongan kertas tersebut sambil mengusap air mata lalu meneriakan kalimat ‘masuk’ untuk sang dokter.

“Bagaimana keadaanmu?” Tanyanya sambil duduk disamping kasurku.

“Baik-baik saja.”

“Bagus, kami hampir selesai dengan observasi kami. Jadi anda dapat pulang beberapa hari mendatang.”

Pernyataan dokter tersebut memang terdengar seperti berita baik, namun masih ada sesuatu yang mengganjal pikiranku.

“Dokter.”

“Ya?”

“...sebenarnya, apa yang kalian observasi dariku?”

Dokter terdiam, pandanganku mulai menajam untuk meminta keterangan lebih lanjut. Ia mungkin sudah tahu aku akan menanyakan hal ini kembali. Dan sebelumnya memang aku ingin cepat-cepat menyelesaikan urusan mereka. Tetapi setelah berkomunikasi dengan dia, aku sangat ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi daripada harus dikeluarkan dari rumah sakit ini tanpa membawa informasi lebih lanjut.

“Kami akan memberitahumu nanti.”

“Aku lelah menunggu, dokter.”

“Kami juga lelah memberikan janji, tuan Seokjin. Aku mohon kerjasama-nya untuk lebih lanjut.”

“Baiklah. Tapi dokter, boleh’kah aku menanyakan suatu hal?”

“Ya.”

“Apakah memungkinkan dua jiwa berada dalam satu tubuh?”

Aku yakin ini pertanyaan bodohku yang untuk kesekian kalinya, terbukti dengan dokter yang tertawa ringan menanggapi pertanyaanku itu. Walaupun tawa-nya seperti tawa yang dipaksakan.

“Secara ilmu memang tidak mungkin, tetapi kita tidak dapat menyingkirkan suatu keajaiban bukan? Tenang saja tuan muda, kami akan melakukan yang terbaik.”

Dengan kalimat didikannya itu, sang dokter memberikanku tiga kapsulku seperti biasa. Walaupun pikiranku masih terbenam dengan sosok si dia, namun aku akan mengikuti permainan mereka. Untuk mendapatkan jawabanku sendiri.

--

Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Dan kini akhirnya memasuki hari terakhirku berada di rumah sakit ini. Aku segera membereskan barang-barangku, tanpa menyadari sang dokter ternyata sudah berada di belakangku.

“Bagaimana, tuan Seokjin? Apakah semenjak pemeriksaan anda mendapat mimpi-mimpi buruk lainnya?”

“Tidak, terima kasih dokter. Saya memang merepotkan kalian semua.”

“Ahh tidak, ini sudah pekerjaan kami. Kalau begitu hati-hati dijalan.” Kata sang dokter yang akhirnya melambaikan tangannya saat aku memasuki sebuah taksi. Aku-pun tersenyum kecil melihat orang yang telah mengurusku selama aku masih berada di tempat yang cukup membuatku tertekan tersebut.

Aku memberikan alamat yang ditulis dari dokter itu kepada supir taksi. Sepertinya alamat yang diberikan dokter itu adalah kunci jawaban untuk semua pertanyaan-pertanyaanku saat berada di rumah sakit tersebut.

~ Flashback

“Dokter, aku sudah sembuh sekarang. Bisa’kah kau memberitahuku tentang semua peristiwa ini?” Tanyaku memaksa saat ia selesai menulis datanya. Dengan tatapan pasrah, ia-pun akhirnya berbicara.

“Aku akan memberitahumu lewat sebuah alamat. Masuklah ke tempat alamat tersebut maka kamu akan menemukan semua maksud kami.”

“Mengapa sepertinya susah sekali untuk memberitahuku? Apakah kalian dibungkam oleh orang lain?”

“...tidak, lebih tepatnya ini semua untukmu.”

~ End of flashback

Aku turun dari taksi tersebut, mengikut alamat yang sudah diintruksikan oleh supir taksi. Sebuah apartemen sederahana, namun cukup besar. Setelah menanyakan alamat kepada pengawas apartemen, sekarang aku berdiri tepat didepan pintunya. Kunci ruangan tersebut memang sudah lama ditinggalkan katanya, tetapi aku dapat mengambilnya karena terdapat kode kunci dari loker tersebut dari kertas alamat.

Dengan tarikan nafas berat, aku membuka pintu ruangan itu. Gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa. Untuk beberapa saat memang aku sempat tersandung beberapa benda, dan akhirnya menemukan tombol lampu untuk menerangkan ruangan tersebut. Berantakan. Tempat ini...rasanya familiar. Seperti aku sudah pernah kesini sebelumnya, lebih tepatnya sering kesini.

Kuratapi sofa yang terbentang rapih di ruang tengah tersebut, perlahan aku bisa melihat kenanganku bersama enam orang lainnya. Wajah mereka masih samar, tetapi aku dapat merasakan kebahagian yang menyelimuti ruangan ini.

Lalu beranjak ke dapur, aku dapat merasakan bahwa ini tempatku. Kenangan saat memasak juga mulai kembali ke ingatanku. Tidak semua, namun cukup untuk membuatku senyum kecil melihat setiap sudut ruangan.

Masih ada yang kurang.

Aku tidak tahu apa yang kurang. Tetapi masih ada perasaan janggal yang menyelimuti pikiranku akan tempat ini.

Perlahan hentakan kakiku berada disebuah kamar. Aku harus meraba dinding ruangan tersebut untuk menemukan saklar. Cahaya lampu memasuki ruangan tersebut, dan bisa kukatakan ini adalah kamar yang amat berantakan yang pernah kulihat. Tapi aku tidak akan menggubris soal ruangan yang penuh robekan kertas maupun dinding yang penuh retakan hancur tersebut karena mataku hanya terfokus akan satu hal.

Cermin.

Benda yang ada di depanku itu dipenuhi tempelan robekan kliping kertas koran akan berita yang sepertinya tidak lama. Pantulan bayanganku dihiraukan sampai mataku dikagetkan dengan beberapa headline berita tersebut.

| ‘KECELAKAN PADA SEKTOR GANGNAM, dua remaja dilarikan ke rumah sakit terdekat.’ |

| ‘Sektor Gangnam dini hari ; Kecelakaan maut antara mobil dan bus. |

 

“Tidak mungkin.”

 

| Dua remaja kritis, sektor Gangnam ditutup sementara.’ |

| ‘Percobaan Brain Transplant sukses.’ |

| ‘Ilmu kedokteran terkini : Operasi Brain Transplant berhasil.’ |

 

Aku tersentak saat menemukan headline terakhir yang benar benar membuat air mataku mengalir deras. Sakit. Dan aku terjatuh berlutut didepan cermin tersebut.

 

| ‘Kim Namjoon, pendonor Brain Transplant yang lolos.’ |

| “Korban kecelakaan sektor Gangnam pada dini hari, Kim Namjoon. Mendonorkan otaknya untuk melakukan operasi Brain Transplant pada rumah sakit, pihak rumah sakit sendiri tidak menjamin akan keberhasilan operasi ini dikarenakan hanya satu persen dari sekian percobaan yang telah menyatakan operasi ini tidak dapat dijalankan. Walaupun begitu, bukan berarti mereka tidak dapat mencobanya. Dokter Lee dan ketiga rekan kedokteran dari perwakilan rumah sakit lainnya akhirnya menyanggupi permintaan Namjoon. Kesuksesan pihak rumah sakit ini telah dibuktikan saat otak korban dipindahkan ke tubuh korban kecelakaan lainnya, Kim Seokjin.” |

 

“...ini tidak mungkin’kan? Namjoon...”

“...Namjoon...”

“...Namjoon!!” Tangisku meneriakan nama itu sambil menggenggam kertas notepad yang selalu kuanggap spesial itu. Kenangan akan senyuman lesung pipi-nya dan figur tubuh lelaki itu akhirnya muncul di benakku. Kim Namjoon, pemuda berumur lebih muda dua tahun dariku sekaligus orang yang sangat kucintai. Aku tidak menyadari jahitan yang ada di belakang leherku karena sekarang aku mengutuk kesembuhanku. Serta tragedi  tersebut.

 

Kenapa kau lakukan hal ini, bodoh?

Foreword

Im not really a writer thougt-- beginner if I should say, so maaf klo memang banyak kekurangannya orz

Awalnya ini cuma fic buat kontes (tapi karena kelewat deadline so yeaaah), dan sempet ga lanjut-lanjutin karena...mager //der// Inspirasi dari webkomik tentang operasi Brain Transplant, aku lupa link-nya tapi overall memang bermaksud tentang Brain Transplant sih. Dan karena gabisa di upload di FFn atau Watt, akhirnya pindah kesini //ngeeeng//

tentang Brain Transplant >> https://en.wikipedia.org/wiki/Brain_transplant

PS. Secara ringkas, ini cerita tentang struggle otak orang lain di dalam tubuh orang lain fyi

 

 

 

 

 

 

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet