Coffee | Bahasa

Description

This is the first. Enjoy!

Foreword

Aku menatap jalanan yang riuh melalui kaca jendela yang membatasi tempatku duduk dengan dunia luar. Suasana di dalam pun sebenarnya tak kalah ramai dengan pemandangan yang sedang aku perhatikan sedari tadi, sejak aku pertama menginjakkan kakiku di ruangan ini, hari ini. Aku membenarkan posisiku dan mulai menyeruput Caramel Macchiato yang sudah tinggal setengah.

Tempat ini selalu menjadi tujuanku setiap pagi. Seakan-akan ini adalah ritual wajib-ku, dan jika tak ku kerjakan aku akan merasa ada yang salah di hari itu. Aku bahkan sudah menjadi VIP member, atau pelanggan tetap, sebut saja. Pemilik tempat ini juga sering mengobrol denganku jika ia sedang senggang dan berada di sini pagi hari. Ia memang masih muda dan sengaja membuka tempat ini, katanya hanya untuk bisnis kecil-kecilan. Tapi bagiku, ini sudah bisa di sebut bisnis yang lumayan untuk Lelaki se-muda dan se-kaya dirinya. Para barista di gedung kecil ini juga selalu menyapa dan menyambutku. Sebagian dari mereka sampai hafal dengan segala pesananku.

Ya. Tempat ini adalah salah satu Coffee Cafe terbaik di kota ini, kota kecil yang penuh dengan hiruk-pikuk . Disinilah aku bisa merasa tenang sambil menikmati kota ini. Grandeur. Nama elegan yang terpampang di atas cafe, menambah ke­-luxurious-an tempat kecil ini. Tempatnya yang strategis di tengah kota, di depan pertigaan persis jalan utama, juga membuat cafe ini mudah di cari. Banyak orang yang menjadikannya tempat pemberhentian sementara, entah lokal, maupun tourist. Mereka datang sendiri, berdua, sekeluarga, bahkan satu komunitas. Tawa, canda, obrolan yang menyenangkan. Semua itu menjadi satu di sini, di Grandeur. Selama aku berada di sini, belum pernah ada kesedihan di antara mereka. Itulah salah satu alasanku untuk menjadikannya tempat wajibku sehari-hari.

Dari nama dan aroma, semua orang tahu kalau gedung bercat putih gading ini adalah tempat yang penuh dengan kopi. Berbagai macam kopi, bisa kujamin, ada di sini. Kopi berkualitas tinggi dengan harga yang, bisa dibilang, tinggi per-cangkirnya. Jangan di tanya tentang rasanya! Harga tingginya memang sebanding dengan rasa kopi yang akan di dapatkan. Rasa dari kopi di sini termasuk salah satu alasan aku kemari. Aroma dan rasa menggodanya membuatku jatuh cinta pertama kali aku meminumnya, tak ada tandingannya. Beberapa list di menu Grandeur sudah pernah kucicipi, dan hampir setengahnya menjadi menu favourite-ku.

“Sera-ya..”, aku tersentak mendapati sebuah tangan besar dan kekar menyentuh pundakku. Aku segera mengalihkan pandanganku, dari jalanan yang tak sepi-sepinya ke lelaki di belakangku. Mata kami bertemu. “sudah lama? Kali ini Macchiato?”

Lelaki itu tersenyum. Tanpa diminta, ia segera mengambil tempat duduk di depanku. Kim Seok Jin. Pemilik Grandeur  yang usianya masih sangat muda, belum mencapai kepala tiga, ini selalu datang ke cafe-nya seminggu dua kali untuk mengecek kinerja barista-nya dan rapat dengan sang manager. Manusia dengan sapaan akrab ‘Jin’, yang kini berada di hadapanku, sebenarnya memang agak tertutup. Sama sepertiku sejujurnya. Aku tahu jadwalnya di cafe ini karena kami memang sudah berbagi beberapa cerita satu sama lain, setelah berjumpa berkali-kali tentunya.

Jin terlihat sangat berwibawa dan dewasa, tapi ada hal lain yang akan keluar di saat dia berbicara dengan orang yang dekat dengannya. Aku sudah membuktikannya. Dan bisa di bilang, aku satu dari segelintir orang yang dekat dengannya. Aku tidak menyombong, tapi itu kenyataan. Jin juga satu dari sedikit makhluk hidup yang dekat dengan diriku.

Aku tersenyum tipis. “Yah, bisa di bilang. Aku hanya sedang ingin minum yang manis.”, jawabku. Tanganku sibuk memutar-mutar cangkir.

“Kenapa tidak Latte kalau begitu?”, tanyanya lagi sembari mengernyitkan dahi.

Aku terkekeh melihatnya. Lucu sekali wajahnya itu. “Latte tak terlalu manis di bandingkan dengan Macchiato kan? Kan sudah kubilang aku ingin yang manis. Dan Macchiato memenuhi keinginanku tuan.”

Jin terlihat menyandarkan dirinya ke sandaran kursi. Kepalanya mengangguk-angguk mengerti seakan mengatakan benar-juga-ya. Kemudian selang beberapa detik ia memajukan dirinya, “bagaimana denganku? Kau tidak memesanku?”

Kata-katanya membuatku bingung. “Hah? Untuk apa aku memesanmu? Aku kan tak mungkin bisa meminum dirimu.”, kataku.

“Hey, dibandingkan dengan Macchiato, aku ini jauh lebih manis.”, katanya lagi, dengan nada sombongnya sambil mengangkat alis. Selanjutnya ia terkekeh.

Aku hanya memutar bola mata. Orang ini memang benar-benar garing, pikirku. “Lucu sekali Jin-ssi.”, aku mendengus, lalu melanjutkan. “Kau itu terlalu manis, sampai-sampai aku sudah eneg denganmu.”

Jin masih tertawa, apalagi setelah mendengar kalimatku barusan. Ia tertawa lebih keras dari sebelumnya. Aku melihat sekeliling, beberapa pasang mata mulai melihat kami. Aku berpaling ke arah Jin dan memukul lengan kekar lelaki itu. “Bodoh! Jangan keras-keras. Kau memang tak tahu malu ya?!”

“maaf-maaf.. “, ujarnya seraya menghentikan tawanya perlahan. Kelakuannya yang beginilah yang membuatku kesal. Tapi tetap saja, akhirnya aku tersenyum dibuatnya.

Jin, yang sudah kembali normal, melihat jam tangan hitam yang melingkar di tangannya. “5 menit lagi aku ada rapat.”, tukasnya.

“em.. Lalu?”

“Aku harus pergi. Kau tak mau ku temani lagi?”

Aku menatap matanya. Berkedip dua kali. “untuk apa? Aku juga sudah biasa berada di sini sendiri. Sudah cepatlah pergi! Nanti kau telat, aku yang di salahkan manager Kang.”, suruhku. Kutunjuk ruangan si manager dengan daguku.

“Kau ini.”, Jin beranjak. “Jangan sok kau tidak kesepian begitu.”, ia mengacak rambutku sambil mengatakannya. “aku pergi ya. Jangan terlalu sering minum Macchiato, kau akan tambah manis. Espresso atau Americano lebih cocok untukmu.”

Aku melongo menatap punggung maskulin lelaki yang kini berjalan menuju ruang yang sempat kutunjuk tadi. Setelah ia pergi, sudut bibirku tertarik ke atas. Aku memang terkadang tak mengerti apa yang ia bicarakan. Tapi perlakuannya itu membuatku nyaman saja berada di dekatnya.

...

Aku ke Grandeur lagi hari ini. Hari ini aku agak siang datang kemari. Jung Hoseok, adik laki-lakiku datang ke flat-ku dan ia bilang akan menginap, jadi aku membantunya merapikan barangnya yang berjibun banyaknya itu. Anak itu memang selalu penuh kejutan. Datang pagi-pagi secara tiba-tiba, dan mengatakan akan menginap seminggu sampai hari liburnya selesai. Sialan.

Menu yang kupilih hari ini : Iced Americano dan Tiramisu Cake. Sinar matahari terik hari ini memaksaku memilih kedua menu ini. Iced Americano yang dingin, pahit, dan tidak kental bercampur Tiramisu yang manis dan lembut. Sempurna bukan?

Aku membawa ‘teman serasi’-ku hari ini ke tempat duduk yang sudah ber-title milikku. Hal yang kulakukan juga tak jauh beda dengan apa yang kulakukan kemarin dan hari-hari sebelumnya. Duduk-minum-makan-melihat pemandangan-makan-minum melihat pemandangan-minum-melihat pemandang-dan begitu seterusnya sampai aku lelah menuliskan ini semua.

“Boleh aku duduk di sini?”, suara yang tak ku kenal itu membuatku menoleh. Mengalihkan pandanganku padanya. Lelaki dengan rambut berwarna orange itu memegang gagang kursi di depanku. Mungkin ia merasakan kebingungan dan ketidak-nyamananku, ia berkata lagi. “Ah, tempat ini penuh, sedangkangkan kau duduk sendirian. Jadi kupikir tak apa jika aku duduk di sini. Lagi pula aku sudah memesan.”

Aku melirik secangkir kopi yang di pegangnya, Mochaccino rupanya. Semua orang di sini tahu bahwa spot ini sudah menjadi milikku, dan biasanya tak ada yang berani menggangguku, apalagi duduk di depanku. Kata para barista itu, wajahku terlihat galak. Sialan memang.

“Kau baru ya?”, tanyaku. Aku memang belum pernah melihatnya. Terlihat sekali bahwa dia baru kemari pertama kali. Berani sekali mau duduk di depanku.

Ia terlihat menggaruk kepalanya. “Iya.. Baru pertama kali mencoba kemari.”

Kupasang wajah mengerti. “Oh.. Baiklah, kau boleh duduk.”, aku mempersilahkan. Lagi pula aku juga sebenarnya tak keberatan, jika dia tak menggangguku atau melakukan hal-hal yang mengganggu. “Lain kali jika kau mau kemari, datang lebih awal sebelum penuh.”, nasehatku.

Laki-laki itu meletakkan Mocha-nya dan duduk. Ia menatapku. Kutatap balik dengan wajah datar. “Aku Jimin. Park Jimin.”, katanya tersenyum, memperkenalkan diri. Senyum-nya itu membuat gigi rapinya terlihat semua. Lucu sekali wajahnya itu.

“Jung Sera. Sera saja.”, tanggapku, mencoba ramah. Ia mengangguk-angguk lalu menyeruput Mochaccino-nya.

Aku hampir mau mengarahkan mataku kembali ke jalanan lagi jika laki-laki bernama Jimin itu tak menyebut namaku. “Sera-ssi. Kau sering kemari ya?”, tanyanya. Mungkin ia tak mau membuat suasana ini terasa canggung dan sepi.

Kepalaku mengangguk, tanganku meraih sesendok Tiramisu lalu ku masukkan kue itu ke dalam mulutku. “ada masalah dengan itu?”

Mendengar pertanyaan yang ku lontarkan ia tergelak. “Tidak, tidak.. bukan begitu. Hanya caramu bertanya padaku tadi, ‘kau baru ya?’, itu seakan-akan kau sudah lama dan sering berkunjung ke Grandeur.”, jelasnya menirukan caraku mengatakan pertanyaan tadi.

“Yah.. begitulah. Aku memang ke tempat ini setiap hari.”

Jimin melebarkan mata, “setiap hari? Wow.. kau tidak bosan?”

“untuk apa aku harus bosan?”, sargahku menaikan sebelah alisku. Memang itu hal yang aneh? Tidak kan.

Jimin terkekeh pelan dan kemudian menyeruput kopinya. “Biasanya orang itu mudah sekali bosan dengan sesuatu. Mungkin kau satu dari sekelompok orang yang tak punya rasa bosan atas sesuatu yang disukai.”, tukasnya.

Aku mengangkat bahu, “Mungkin saja..”

Jimin tertawa renyah. Matanya menjadi tambah sipit dan giginya hampir keseluruhannya terlihat. Pemandangan yang lumayan lucu. Mengingat penampilannya yang lucu dan sangat anak muda. Aku pun tersenyum kecil dibuatnya.

Tiba-tiba sebuah nada dering membuat Jimin berhenti tertawa. Ia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel hitam miliknya. Ada yang menelepon dirinya. Didekatkannya ponsel itu ke telinganya. “Yeoboseyo?

Ia terdiam sesaat. “Baiklah.. aku segera kesana. Seorang Jung Hoseok tak akan mau menunggu lama kan?”, ucapnya beberapa saat, yang langsung membuatku tertegun. Jung Hoseok?!

Aku menunggu Jimin selesai bercakap-cakap dengan lawan bicaranya di sana. Jangan-jangan ia teman adikku. Bisa jadi kan? Ada berapa banyak Jung Hoseok di kota ini?

“Maaf, aku sepertinya harus pergi.”, suara Jimin membuatku sadar dari pikiranku tentang Jung Hoseok. Ia sudah bersiap-siap bangkit dan menghabiskan sisa Mochaccino-nya.

“Tunggu!”, cegahku. “Jung Hoseok. Itu temanmu? Apa dia baru saja datang dari kota lain?”, lanjutku. Ah, yang benar saja. Aku, Jung Sera, baru saja menginvestigasi seseorang yang baru ku kenal dalam kurun waktu tak sampai sejam. Hebat.

Jimin terlihat kaget, tapi ia mengangguk setelahnya. “Ya, dia baru saja datang tadi pagi.. ah atau malam, aku lupa. Yang pasti dia mengatakan kalau ia akan berada di sini seminggu. Ia ingin bertemu dengan kami, aku dan beberapa anak lain.”, jelasnya panjang lebar.

“seminggu?! Dia tinggal di mana?”

Jimin terlihat mengernyitkan dahi. Mungkin dia bingung, seorang wanita di depannya menanyakan hal-hal aneh yang bahkan tak berkaitan dengannya. Jimin menghirup napas panjang, “Aku tak tahu di mana dia tinggal. Aku hanya dengar bahwa ia menginap di tempat nuna-nya.”

Aku menghela napas. Benar, Jung Hoseok itu adikku. Anak itu.. seharusnya ia istirahat, bukan keluyuran pada hari pertamanya di sini. “ck. Katakan padanya untuk tidak keluyuran sampai malam.”

“hah? Untuk apa?”

Pertanyaan Jimin barusan membuatku menegak Americano yang sedari tadi belum juga habis. Aku segera menjawab pertanyaannya setelah itu, agar tak membuatnya bingung dan terus berada di sini. “Tentu saja karena aku nuna-nya, dan aku tak mau membukakan pintu jika ia pulang larut malam. Paham?”

Tercengang. Yah, itu ekspresi lelaki muda di hadapanku sekarang, tapi itu hanya beberapa detik saja. Ia kembali tenang. “eheheh... baiklah.. maaf nuna, aku baru tahu ternyata kau nuna-nya. Kalian sangat berbeda ya.”

Sialan. Ia menekan kata-kata nuna­ dan mulai membandingkan aku dengan Hoseok. Aku hanya bisa tersenyum getir karenanya. Tak menanggapi.

“Ya, baiklah.. aku pergi dulu. Seorang J-Hope ternyata sangat beruntung memiliki nuna sepertimu. Sampai jumpa!”, Jimin bangkit, menunduk sebentar padaku, mengucapkan kata-kata itu, lalu pergi dengan cepat. Dari jendela kaca ini aku bisa melihatnya menyebrang jalan sambil mengenakan snapback merah.

Aku mendengus. Apa maksudnya tadi? J-Hope? Jangan bilang itu adalah nickname seorang Jung Hoseok agar terlihat keren! Nama dari mana itu?!

“Hah.. sudahlah.”, helaan napas panjang keluar begitu saja dari mulutku. Aku menghabiskan sisa Tiramisu cake-ku dan menyeruput habis Iced Americano-ku. Setelah itu aku mengucapkan terimakasih pada semua barista di sini dan beranjak meninggalkan Grandeur.

“Sampai jumpa lagi nuna!”, Jungkook, barista termuda di sini dan sudah kuanggap adik-ku sendiri mengucapkan kalimat itu sambil membukakan pintu untukku. Ternyata hari itu jatahnya dia sebagai penyambut tamu.

Aku tersenyum meng-iyakan. “Selamat bekerja, Jungkook-ah..”

...

Tok tok tok..

Ketukan pintu. Aku menatap jam dinding di ruang tamu. Bisa dibilang, ini terlalu larut untuk bertamu. Aku juga sudah bisa mengira-ngira sang tamu yang mengetuk pintu flat milikku selarut ini. Ck. Anak itu..

Aku menyampirkan cardigan-ku dan segera melangkah menuju pintu. “Beruntunglah aku masih bangun dan mau membukakan pintu untuk mu, Jung Hoseok-ssi.”, gerutuku seraya membuka pintu kayu bercat hitam itu.

“ah.. maaf.. eonni..”. Seorang gadis, terlihat gugup. Ia sedang merangkul adikku. “em.. Hoseok, dia agak mabuk tadi. Jadi aku menemaninya pulang.”, jelasnya setelah mungkin melihat wajah kagetku.

Aku menarik dan menghembuskan napas panjang. Kemudian tersenyum kecut, “tak apa. Masuklah. Kau pasti lelah membawa adikku yang tak bisa diam ini.”

“tidak, tidak apa-apa. Aku hanya membantunya.. eng, sebagai teman yang baik.”

Kututup pintu flat-ku setelah gadis itu membawa Hoseok masuk dan mendudukkannya di sofa. Terlihat sekali anak itu teler karena pengaruh alcohol. “Coffee? Atau Teh?”, tawarku.

Gadis itu mengangkat kepalanya melihatku, agak salah tingkah. “Tidak perlu. Aku sebaiknya pergi dulu. Hoseok mungkin harus beristirahat.”, ujarnya tersenyum ramah.

Aku mengangkat alisku, “begitu? Tentu, akan kuurus dia. Terima kasih telah berbaik hati membawanya kemari. Jadi, namamu?”

“Oh, maafkan aku lupa memperkenalkan diri. Aku Min Yoonji. Nuna.. Jung Sera kan? J-hope sering.. ah, maksudku Hoseok sering bercerita tentang nuna pada kami.”

“J-hope? Apa itu nickname buatannya? Benarkah?”

Ah, bagus. Aku mulai bertanya hal tak penting lagi pada orang asing.

Gadis bernama Yoonji itu menggigit bibir bawahnya seakan-akan menyesali hal bodoh yang telah di lakukannya. “Begitulah nuna. Nama itu memudahkan kami, teman-temannya, memanggilnya agar lebih akrab, begitu katanya. Dia memang sering bercerita.”, Yoonji mengucapkannya sambil melirik Hoseok yang mulai mengigau.

Aku hanya manggut-manggut, walaupun sebenarnya aku tak begitu fokus. “hh.. baiklah, seabaiknya kau pulang. Jangan sia-siakan waktumu di sini. Ini sudah larut malam dan Kau benar-benar harus pulang, apalagi kau seorang gadis.”

“aku pamit kalau begitu. Selamat malam nuna.”, Yoonji menunduk 90 derajat lalu undur diri, keluar dari flatku. Matanya sesekali melirik Hoseok. Aku berperasaan bahwa mereka punya hubungan, entah apa.

Aku mengangkat adikku satu-satunya itu ke kamarnya. Kamar tamu lebih tepatnya, karena aku hanya punya dua kamar tidur di flat ini. “Kau ini memang selalu menyusahkanku.”, gumamku geram. Aku khawatir. Tentu saja aku khawatir dengannya. Adikku satu-satunya, sedangkan aku sebagai kakak memegang tanggung jawab besar terhadapnya. Ibuku sudah meninggal saat aku berumur 3 tahun, dan Hoseok berumur 2 tahun. Dia jelas belum tahu apa-apa dibandingakan denganku yang saat itu lebih tua dan jauh lebih pintar darinya. Karena insiden itulah aku jadi bersikap seperti ini pada semua orang, bahkan ayahku. Appa juga berubah. Ia sangat sedih, sangking sedihnya ia bahkan menelantarkan kedua anaknya. Appa menjadi gila kerja dan sering meninggalkan kami berdua sendiri di rumah bersama babysitter kami dulu.

Aku memaksa Appa untuk menyekolahkanku dan Hoseok ke luar kota, sekolah ber-asrama. Aku sudah lelah ditinggal olehnya setiap hari. Sebenarnya itu tak mengubah apapun. Aku juga tetap pendiam dan jarang berinteraksi di sekolah itu. Aku hanya ingin menjauh dari rumah, Appa, dan Eomma. Untung saja Hoseok tak berakhir sama sepertiku, ia tumbuh menjadi anak laki-laki yang ceria dan ‘sangat’ hyperactive. Mungkin karena tak ada yang terlalu mengekangnya, melarang ini dan itu.

Meskipun begitu, aku sangat peduli dengan Hoseok. Kami berdua tetap menyayangi Appa dan sering mengunjunginya jika ada waktu. Setelah lulus Senior High School, Hoseok memutuskan untuk kuliah di kota kelahiran kami, sekalian mengurus Appa yang sudah mulai tua dan siap pensiun. Sedangkan aku bekerja di kota ini, jauh dari kampung halamanku.

Aku memasuki kamarku setelah mengurus Hoseok. Badanku sudah pegal-pegal dan mataku juga tak mau lagi ku ajak kompromi. Aku hanya ingin tidur sekarang juga. Seorang Jung Hoseok ternyata sudah cukup untuk menguras habis sisa tenagaku hari ini.

...

Aku berlari dengan jas kerjaku yang melindungi kepalaku dari hujan deras. Aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku dan hujan ini mengguyur kotaku begitu saja, sedangkan aku tidak mempersiapkan apapun untuk menyambutnya. Seharusnya aku sudah pulang dari tadi, tapi ternyata ada tugas tambahan yang memaksaku untuk lembur sampai selarut ini. Mungkin ini memang hari yang sial.

Kupercepat lariku dan tanpa berpikir panjang aku segera memasuki Grandeur. Tempat kerjaku memang lumayan dekat dengan Coffee Shop ini. Alasanku untuk memilihnya sebagai tempat berteduh sementara, selain itu hujan deras ini membuatku tak berkutik dan tak memungkinkanku untuk menerjangnya hanya berbekal jas kerja.

Setelah melewati pintu kaca, aku berhenti dan mengatur napasku. Ngos-ngosan. “Jung Sera..”, aku mengangkat kepalaku dan menemukan Jin dengan kemeja putihnya, sepertinya ia sedang bercengkrama dengan salah satu barista-nya.

Aku tak menjawabnya. Tak ada tenaga yang tersisa untuk itu, aku terlalu lelah berlari melawan hujan dengan sepatu ber-heels. Jin segera menghampiriku dan menyuruh barista tadi untuk mengambilkan handuk. Ia menggiringku duduk di kursi dan memesankan Hazelnut Latte panas untukku. Aku masih diam dan menggigil. Hujan sialan, batinku.

“Kau tak apa?”, tanya Jin sembari mengeringkan rambutku yang agak basah lalu menyampirkan handuk itu padaku. Ia duduk di depanku yang mulai mengeringkan tubuh dengan handuk tadi. “Dasar bodoh! Lain kali jangan berhadapan dengan hujan deras! Kau kan bisa menunggu di kantormu sampai hujan reda.”

Jin memarahiku dengan suara lantang. Hanya ada 2-3 pengunjung di sini, karena itu mungkin ia berani membentakku. Aku menghirup napas panjang, tenagaku sudah lumayan kembali. “Baiklah tuan Kim Seok Jin. Terserah kau saja.”, dengan cuek aku membalas, masih mengeringkan kemeja kerjaku.

Jin berdecak, setelah itu ia beranjak dari kursinya dan kembali dengan Hazelnut Latte di tangannya. “minumlah! Buat dirimu hangat.”, perintahnya. Kuraih ‘penghangat’ tubuhku itu sambil mendengus pelan. Aku memang tak suka di perintah oleh orang yang tak berhak memerintahku.

Oppa!”, teriakan nyaring itu membuatku tersedak seketika. Seorang gadis yang terlihat lebih muda dan lebih cantik dariku datang menghampiri Jin. Pemandangan ini menarik perhatianku. Si gadis tadi menarik lengan Jin yang akhirnya di ikuti oleh Jin. Mereka menyingkir ke pojok, sebelumnya Jin tersenyum padaku, pamit undur diri. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan, namun terlihat sekali perilaku hangat seorang Kim Seok Jin yang tidak pernah aku lihat selama aku mengenalnya. Kuperhatikan mereka sangat serasi. Mungkin gadis tadi adalah kekasihnya. Tangan Jin terangkat dan mengelus lembut rambut sang gadis. Gadis itu tampak mengerucutkan bibirnya sedangkan Jin hanya tertawa. Lucu sekali. Tapi pemandangan ini membuat mataku panas. Entah kenapa. Jadi kuputuskan untuk mengalihkan perhatianku pada Hazelnut Latte di hadapanku.

Setelah kurang lebih 10 menit aku berkutat dengan cangkirku yang hampir kosong, hujan sepertinya mulai mereda. Jin masih berbicara dengan gadis manis itu. Aku tak lagi menoleh, bahkan melirik mereka. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, aku harus pulang. Hoseok pasti menungguku. “Jungkook-ah..”, aku memanggil Jungkook yang sedang menganggur di depan kasir.

Laki-laki tampan itu menghampiriku. “ada apa nuna?”, tanyanya. Kuberikan handuk yang tadi kupakai, lalu aku bangkit.

“Aku pulang dulu. Hujan juga sudah mulai reda. Terimakasih ya.. katakan pada yang lainnya juga. Sampai jumpa!”, aku tersenyum dan menepuk bahunya. Anak itu membalas senyumku dan menunduk perlahan.

Suara Jin terdengar ketika aku melangkahkan kaki menuju pintu, “Sera-ya! Kau mau pulang?”. Aku menoleh. Ia berteriak dari tempatnya, sama sekali tak beranjak. Gadis di depannya juga menatapku. Kupasang senyum tipis seraya mengangguk pelan.

“Biar kuantar.”

 Kata-katanya itu membuatku kaget, tapi aku segera menolaknya. “Tak usah. Aku bisa pergi sendiri. Lagi pula kau juga sedang sibuk. Aku duluan..”, seruku langsung keluar dari tempat itu.

Aku berjalan cepat menjauhi Grandeur. Tak ada tanda-tanda Jin mengikutiku. Dia sepertinya memang sedang sibuk. Yah, sudahlah..

...

Tring..

Ya! Coba tebak!! Aku punya kabar baik!!!!

Sebuah pesan dari sahabat Senior High School-ku dulu. Kami dekat karena satu kamar di asrama dulu. Walau sudah beda kota kami masih sering berkontakan satu sama lain. Pagi-pagi begini sudah mengirim hal yang tak penting. Aku yang baru bangun membalasnya dengan malas-malasan.

Apa? Aku tak bisa menebak. Aku menyerah. Ayo beri tahu

Ah, kau ini payah. Baiklah.....

Aku menunggu pesan keduanya. Dia sangat senang membuat orang penasaran, sayang aku tak begitu penasaran sebenarnya. Sifatnya yang cheerful inilah yang dulu membuatku bisa berteman dengannya.

Aku akan merilis single duet!! Hebat kan?!

Aku membelalakkan mata. Son Hana, nama temanku ini, akhirnya merilis single duet setelah debut beberapa bulan lalu. Hebat. Kuakui itu. Hana sejak dulu tak punya cita-cita, padahal dia sangat pintar dan hebat dalam segala hal. Karena itu, tak heran ia lulus di umur yang masih muda. Sebenarnya dia hanya 10 bulan lebih muda dariku, tapi kami tak mempermasalahkan perbedaan umur itu. Menyanyi adalah nilai plus yang dimilikinya. Suara merdunya itu.. Tak ragu ia bisa langsung debut hanya dalam satu tahun menjadi Trainee.

Segera saja kubalas. ‘Hebat! Apa Judulnya? Dengan siapa?

Adalah.. Dengan seorang rapper. Tunggulah sampai single itu keluar! Kau harus beli ya!

Aku tersenyum. Hana memang selalu begini, sama sekali tak berubah ia ternyata. Masih childish, sok misterius, dan kocak seperti dulu.

Begitu ya.. Siap Ahjumma.. Baiklah selamat bersenang-senang!

Kusudahi kirim-kiriman pesan pada pagi itu. Hari ini aku libur kerja karena tanggal merah. Bangun siang sudah menjadi kebiasaanku di hari-hari seperti ini. Aku sudah berencana untuk pergi berbelanja setelah aku mandi nanti. Banyak hal yang harus aku stock untuk sebulan ke depan, apalagi ada Hoseok di sini.

Aku keluar dari kamarku untuk mencuci muka. Hoseok sudah duduk di depan TV dan menonton sambil mengunyah snack. “Heh..”, tegurku.

Anak itu menoleh ke arahku lalu cengengesan dengan wajah tanpa dosa. “Pagi nuna! Bagaimana tidurmu?”, sapanya basa-basi. Aku tak menjawab, hanya mendengus, kemudian segera mencuci mukaku yang berantakan.

“Hoseok-ah..”, panggilku. “Kau keluar lagi hari ini?”

Manusia yang kupanggil itu mengangguk. “Begitulah.. Jimin mengajakku bertemu dengan komunitas kenalannya di dekat alun-alun. Kenapa?”

“tidak. Hanya bertanya. Bagaimana kalau kau mengantarku ke supermarket dekat alun-alun?”

Hoseok berpikir sejenak, “Baiklah.”

“Bagus.”, balasku. Untung adikku ini masih mau peduli dengan kakaknya. Awas saja kalau dia tadi tidak meng-iya-kannya. “By the way, Nama J-Hope itu alay sekali, tak cocok untukmu.”

Hoseok terlihat mengeraskan rahangnya. Aku tertawa-tawa dalam hati melihatnya begitu kaget aku tahu tentang nickname payahnya.

...

nun, kau kutinggal tidak apa-apa?”, Hoseok memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie merah yang dikenakannya. Ia menepati janjinya mengantarku ke supermarket dekat alun-alun.

Aku menoleh ke arahnya. “hmm.. tentu saja. Kenapa? Kau khawatir aku tersesat di sini? Hahaha.. itu tidak mungkin.”, aku tertawa karena ucapan adikku satu-satunya ini. Hoseok melengos, memalingkan wajahnya.

“Yo! J-Hope!”, aku menghentikan tawaku. Seorang yang fisiknya ku kenal, walau tak terlalu familiar, tapi aku tahu siapa dia. Rambut orange yang sangat mencolok itu sedang berlari menghampiri Hoseok yang kini telah melambai-lambaikan tangannya.

Jimin ber-highfive dengan Hoseok. Ia menoleh dan memasang wajah terkejut. “Sera nuna?!”, tanyanya memastikan. Aku tersenyum sekilas meyakinkan Jimin bahwa dia tak salah orang. Hoseok menatap kami berdua bergantian.

Aku, yang menyadari kebingungan adikku ini, langsung menerangkan, “Aku bertemu dengan temanmu ini saat aku di Grandeur.”

“Kau juga pergi ke Grandeur?”, Hoseok bertanya ke arah Jimin. Sedangkan anak itu hanya senyam-senyum menanggapi Hoseok. Melihat kedua bocah di hadapanku bertengkar membuatku menghela napas kesal. Mereka membuang-buang waktuku.

“Hoseok-ah. Lebih baik kau ajak temanmu ini pergi. Aku belanja dulu.”, ijinku setengah mengusir sembari membalikkan badan.

nuna! Tunggu.”, suara Jimin membuatku menoleh lagi. “Kau mau ke sana?”, telunjuknya menunjuk supermarket di hadapan kami. Aku mengangguk cepat, tak mau menyia-nyiakan waktu.

“J-Hope, tunggulah bersama anak-anak di sana. Aku mau borong minuman dulu di dalam. Katakan pada yang lain, oke?”, Jimin berseru pada Hoseok-ku. Ia mengarahkan bola matanya ke segerombolan anak-anak di tengah alun-alun. Hoseok mengacungkan tanda siap-boss dengan tangannya.

Aku yang melongo melihat mereka di kagetkan dengan tepukan tangan Jimin di pundakku. “Biar kutemani nun.”

Mau tak mau aku memasuki supermarket bersama anak berambut orange ini. “nuna, apa Hoseok selamat sampai rumah kemarin lusa?”, Jimin membuka percakapan. Aku mengingat malam di saat Hoseok di antar ke flat-ku oleh Yoonji. Kuanggukkan kepalaku tanpa suara. Mataku sibuk membaca daftar belanjaan yang harus aku beli.

Sangking sibuknya aku membaca secarik kertas di tanganku itu, aku tak sadar Jimin sudah menghilang entah kemana. Paling-paling dia mencari minuman, pikirku.

Aku mengisi trolley-ku dengan beberapa sayur, buah, snack, dan bahan makanan pokok yang lain. Aku menghabiskan hampir sejam memenuhi shopping list yang sempat-sempatnya kubuat pagi tadi. Setelah yakin semuanya telah kuambil dan tak ada yang lupa atau tertinggal, aku mendorong trolley yang tiga-per-empat penuh itu ke kasir. Tak kusangka, aku bertemu dengan Jimin lagi. Dia sedang membayar dua kardus minuman dan dua kaleng minuman soda. Yang aku tak mengerti, anak itu menghabiskan waktu sejam kurang dan hanya mendapatkan 4 benda itu!

Jimin memutar kepalanya ke arahku, seakan ia bisa merasakan kehadiranku, lalu melambai. Ia bahkan menungguku selesai membayar barang-barangku di ujung kasir. “nuna, belanjaanmu banyak juga ya.”, komentarnya membuatku meniup poni.

Aku menenteng dua plastik penuh, sedangkan Jimin di sebelahku mengangkat kedua kardusnya. Dua kaleng soda tadi ia masukkan ke dalam kantung celananya. Kami berjalan keluar supermarket, menyeberang menuju alun-alun.

Jimin meletakkan kardus-kardus itu di trotoar alun-alun, kemudian bersiul memanggil teman-temannya. Aku berdiri di sebelahnya menunggu Hoseok datang. “nuna..”, aku menoleh.

“hmm?”, gumamku menanggapi setelah beberapa lama Jimin hanya menatapku. Aku baru menyadari ia lebih tinggi beberapa centi dariku. Hoseok jauh lebih tinggi darinya tetap haha. Abaikan.

Jimin menarik tanganku dan meletakkan sekaleng minuman soda yang dibelinya tadi. “untukmu.”

Kutatap aneh dirinya, “untuk?”, ia belum melepaskan pegangan tangannya.

“Yah.. hanya mau memberimu sesuatu. Untuk membuatmu senang, mungkin.”, jawabnya, aneh menurutku. Nonsense sekali. “Sudahlah terima saja. Aku hanya ingin memberimu rasa baru, selain kopi tentunya.”, wajahnya memerah mengucapkan itu. Ia menarik tangannya.

Itu Lucu. Benar. Bagiku itu lucu. Aku menarik sudut bibirku. Tersenyum. “Baiklah. Terimakasih kalau begitu. Kuhargai niat baikmu.”, cercaku asal. Namun sepertinya itu cukup membuatnya mengernyitkan dahi menatapku. Aku terkekeh balas menatapnya.

nuna, Kau mau pulang? Aku tak bisa mengantar..”, Hoseok berseru sembari mendekatiku. Aku mengubah ekspresiku seketika lalu melotot pada anak itu.

Anak bodoh itu meringis menunjukkan deretan gigi putihnya. “ayolah nuna, kan tadi aku hanya janji mengantarmu.”

Sialan.

Aku menggertakkan gigiku. “Kau ini..”, kuhampiri anak itu dan langsung kutarik kepalanya. Hoseok yang tinggi kini harus menunduk karena lehernya kuhimpit dengan lenganku. “Dasar bocah.”, Kujitak kepalanya berkali-kali.

“Ampun nuna ampun!!!”, dia mulai berteriak minta ampun. Emosiku yang meluap-luap kutahan. Kulepaskan adikku satu-satunya itu lalu beranjak meraih belanjaanku. “maaf nuna!”, aku berusaha tak mendengar seruannya. Kumaki-maki Jung Hoseok itu di dalam hatiku. Cepat-cepat aku mencari taksi untuk pulang, pergi dari alun-alun itu. Hhh..

...

Tanganku memutar-mutar cangkir Espresso di depanku. Siang ini agak mendung, melihat keadaan langitnya. Keadaan di dalam Grandeur tak seramai biasanya, mungkin karena tanda-tanda hujan sudah muncul. “nuna, kau tidak memesan snack lain? Smoked Beef Slice-nya baru saja keluar dari panggangan, wanna some?”, Jungkook menghampiriku dengan tongkat pel di tangannya.

Mendengar Smoked Beef Slice dari mulut laki-laki itu membuatku tertarik. Produksi salivaku sepertinya meningkat. Aku secepatnya mengangguk sambil tersenyum. “Bagus, tolong satu ya. Akan kubayar nanti Jungkook-ah.. Terima kasih.”

“Tentu nuna, my pleasure..”, Jungkook menunduk dan langsung pergi ke balik etalase kue. Anak itu lincah sekali. Baik lagi. Andai Jung Hoseok bisa setenang itu. Hahh... but i know it’s impossible. Aku menatap kosong kursi di hadapanku sambil menunggu Jungkook. Entah mengapa, tiba-tiba otakku langsung mem-visualisasi-kan seorang Jin duduk di sana. Kenapa aku teringat padanya sih. Aku berdecak sambil memejamkan mata, mencoba menghapus bayangan Kim Seok Jin. Ah ya.. Aku memang belum melihatnya seminggu ini setelah terakhir kali aku bertemu dengannya.

nuna.. Nih, masih hangat.”, Jungkook membuyarkan lamunanku tentang Jin. Smoked Beef Slice di hadapanku ini sangat menggiurkan. Aku langsung mengambil sepotong kemudian memasukkannya ke mulutku.

Kupejamkan mataku menikmati keju mozarella dan beef yang meleleh di dalam mulutku. Benar-benar tak mengecewakan. “duduklah..”, perintahku pada Jungkook yang belum beranjak dari tempatnya semula. “aku mau bertanya sesuatu. Tenang, kau tak akan kena marah managermu.”

Jungkook yang tak biasa menolak, menarik kursi di depanku dan duduk tenang. Aku membuka mata dan menatapnya. “Jungkook-ssi.. Kau tau dimana Kim Seok Jin?”, tanyaku to the point. Jungkook terbelalak kaget. Mungkin ia bertanya-tanya mengapa aku membahas hal ini.

nuna, meng-khawatirkan Jin Hyung?”, balasnya balik bertanya. Aku terdiam. Tidak mungkin kan aku mengkhawatirkannya?! Aku yakin telingaku mulai memanas. Kucoba untuk mengontrol emosiku. Lebih baik aku menjawab ‘ya’ agar Jungkook tak banyak tanya yang macam-macam. Dengan tekad itu, aku mengangguk ragu.

Smirk Jungkook terlihat mengerikan bagiku, kali ini. Sial. Dia pasti sudah berpikir macam-macam. “sudah katakanlah! Dimana anak itu?”, desakku seraya memasang wajah datar. Laki-laki di hadapanku tergelak, dan itu membuatku mendengus kesal.

“hah... Baik baik.. Jin hyung sedang sakit, nun. Sudah sejak 5 hari yang lalu. Jadi ia tak bisa datang kemari. Manager hyung juga sudah mengatakan pada kami.”, Jungkook akhirnya meresponku setelah puas menertawakanku.

Aku hanya terdiam, membatin. Mataku mengarah ke cangkirku yang tinggal ampas Espresso. Banyak hal berkelebat di pikiranku. “nun, aku pergi dulu ya. Manager hyung pasti akan menangkapku kalau lama-lama bersamamu dan tidak menyelesaikan pekerjaanku.”

...

Ya! Kim Seok Jin

Aku mengirimi sang pemilik Grandeur itu sebuah sms. Kami memang sudah pernah bertukar nomor telepon, walau tak pernah menghubungi satu-sama lain. Lagi pula kami juga pasti akan bertemu di Grandeur, jadi aku berpikir untuk apa juga mengiriminya pesan singkat.

Hm?

Balasannya singkat sekali sial. ‘Kau sakit?

Kenapa?

Dimana kau tinggal?

Tunggu. Kenapa aku malah menanyakan tempat tinggalnya?! Ah, aku mulai gila. Benar-benar.

untuk apa kau tahu?

Orang ini kalau sakit menyebalkan ternyata. Langsung saja aku akhiri chat tak penting ini. ‘sudah. Lupakan saja.

Aku memasukkan ponselku ke dalam tas kerjaku, lalu berjalan keluar Grandeur. Hari ini kantorku meliburkan para pegawainya, karena si Boss sedang ada urusan keluarga mendadak dan ia tak mau anak-anak buahnya bekerja tanpa diawasi olehnya. Boss-ku ini memang sangat Perfectionist. Lagi pula aku juga bersyukur bisa pulang lebih awal dan mampir ke Coffee Shop langgananku dulu tadi.

Setelah kemarin Jungkook memberitahuku bahwa seorang Kim Seok Jin sakit, aku berniat untuk menanyakan kabarnya hari ini. Sayang, lelaki itu sepertinya terlalu sakit untuk berbaik hati membalas pesanku dengan kebaikan.

Kucegat sebuah taksi yang lewat. Kepalaku sebenarnya masih khawatir memikirkan kesehatan Jin, unfortunately, aku juga tak tahu bagaimana cara menghapus orang itu dari pikiranku. Setelah duduk di jok belakang taksi aku segera mengeluarkan kembali ponselku dan memasukkan nomor Jin ke pencarian alamat.

Dapat!

Ahjussi, tolong ke alamat ini.”, aku menunjukkan layar ponselku kepada sang taksi driver, yang sempat menanyakan tujuanku lebih awal. “Ah, sebelumnya, tolong mampir ke toko kue di depan dulu.”, lanjutku teringat bahwa aku tak membawa apapun jika aku sampai di kediaman Kim Seok Jin.

Aku memainkan jemariku sambil melihat keluar jendela taksi. Baru beberapa menit berjalan taksi-ku sudah berhenti, mengharuskan aku turun dan menyuruh si driver menunggu sebentar.

Hanya perlu 5 menit untukku memilih kue dan roti apa yang harus kubeli. Aku mengambil apa yang menarik perhatianku dengan cepat tanpa melihat harganya. Choco chip  Brownies, sekotak Crunchy Cookies, dan Tiramisu. Itu saja cukup menurutku. Toh, aku hanya mengunjungi seorang Kim Seok Jin.

Sepertinya dari tadi aku terus menyebut nama lengkapnya di kepalaku. Satu-satunya makhluk hidup yang sering kusebut nama lengkapnya yaitu Jung Hoseok, adikku yang mau tak mau harus ku-akui manusia yang paling kusayang.

Begitu aku masuk ke dalam taksi, taksi itu kembali melaju. Menyusuri jalan sampai ke tujuanku sebenarnya. Ternyata kediaman Jin tak begitu jauh dari Grandeur, pantas saja dia sering ke sana. Sepanjang perjalanan, hal yang kulakukan tak jauh dari yang kulakukan sebelum aku turun untuk membeli seplastik kue dan roti yang kini ada di sebelahku. Melihat jalanan melalui Jendela. Membunuh waktu tanpa memikirkan Jin, yang pada ujungnya membuatku semakin bingung akan apa yang harus kulakukan nanti saat sampai di tempatnya. Membaca satu persatu tanda dan nama jalan yang kulewati. Aku benar-benar tak tahu harus apa.

Taksiku berhenti seketika di depan apartemen mewah bercat abu-abu. Mulutku setengah terbuka menatap tempat itu. Gedung ini memang tak begitu besar, halamannya saja yang luas, namun tatanan tempatnya bisa dibilang mewah.

Aku memberikan secarik uang kertas untuk membayar taksi, dan driver tersebut memberikan kembaliannya. Kubalikkan badanku lalu melangkah mantap memasuki gerbang apartemen tersebut. Di atas belnya terpampang nama ‘Kim Seok Jin’. Dengan agak ragu, aku menekan bel tersebut sambil komat-kamit. Semoga saja manusia di dalamnya tak sedang sekarat.

Tak lama kemudian, sesosok makhluk berambut coklat, berantakan. Kaos putih dan celana training-nya tampak kucel, terlihat sekali seperti habis bangun tidur. Jin tentu saja. Wajahnya kusut, kantung mata hitamnya terlihat sekali, bahkan bibirnya pucat. Tapi melihatnya dengan pakaian kasual seperti ini membuat pipiku panas. Lihat saja! Dada bidangnya ter-ekspos hanya dilapisi kaos tipis nan putih.

“Jung Sera?”, ia menyipitkan matanya melihatku yang jauh lebih pendek darinya walaupun aku sudah menggunakan heels setinggi 12 cm. Tapi kali ini aku hanya menggunakan heels 5 cm, lagi pula aku juga tidak punya heels setinggi itu.

Pipiku terasa terbakar. Laki-laki di depanku ini ternyata tak baik untuk jantungku. Sial. Kuhalangi wajahku dengan kantung plastik yang berisi Brownies, dan sebagainya. “Hanya berkunjung. Kau mau membiarkanku masuk atau akan menelantarkanku di luar sini?”, sergahku cepat sebelum ia bertanya yang aneh-aneh.

“ah, maaf.”, Jin menyingkir dari depan pintu dan memberi ruang yang cukup agar aku bisa masuk. Dengan cepat aku masuk ke dalam, terlihat sekali bahwa aku gugup. Saat masuk saja sepertinya lenganku sempat bergesekan dengan Jin, entah bagian mana. Aku tak mau tahu.

Kuletakkan plastik itu di atas meja ruang tamunya, kubanting pula pantatku di sofa panjang miliknya. “Aku tak menyangka kau akan kemari.”, Jin menutup pintu dan bercuap tanpa menatapku. Ia berjalan menghapiri meja dan melihat isi di dalamnya. “apa ini?”

Brownies, Tiramisu, dan Cookies.”, tanggapku tenang. Sebenarnya jantungku hampir meledak.

“boleh kumakan?”

“itu kan milikmu. Makan saja.”, geramku. Wajah polos Jin saat itu membuatku ingin mencubitnya. “Sudah minum obat?”, tanyaku lanjut, basa-basi.

Ia mengambil Crunchy Cookies dan duduk di sebelahku. Bergumam sambil menggeleng merespon pertanyaan basa-basiku tadi. Dikunyahnya cookies itu satu per-satu. “Kau mau minum?”, dengan mulut penuh cookies ia menawarkanku minum.

“biar kuambil sendiri. Kau ada Coffee machine kan?”

“kau tidak bosan minum kopi?”

“tidak.”, sesegera mungkin aku menghindarinya dan masuk ke dalam dapur. Sebuah mesin kopi hitam legam terpampang di atas lemari dapur. Kusibukkan diriku dengan membuat Caffe Latte dua cangkir untukku dan Jin. Sebenarnya aku agak kebingungan mencari bahan-bahannya, serta menggunakan mesinnya tentu saja. Mesin kopi milikku tak secanggih ini payahnya.

Di saat aku sibuk mengutak-atik mesin, tanpa kusadari Jin sudah berada di belakangku. “bisa tidak?”, karena kaget aku membalikkan tubuhku dan berujung adu tatap dengan si Kim Seok Jin. Wajah kami hanya berjarak beberapa centi, bisa kupastikan dia mendengar degup jantungku yang mulai tak stabil.

Aku mundur selangkah hingga jalan buntu, punggungku menyentuh ujung lemari sedangkan itu tak mengurangi banyak jarak di antara kami. Jin meletakkan kedua telapak tangannya di atas lemari tersebut, mem-block semua jalanku. Aku hanya bisa pasrah kali ini.

Jin menatap mataku, yang kubalas tatap lekat-lekat. Aku bisa merasakan deru napasnya yang berat. Hanya semenit setelah sesi tatap-tatapan itu, Jin memejamkan matanya seraya menghembuskan napas panjang. “minggir, biar kubuatkan. Duduklah.”, ia menyingkirkanku dengan mudahnya. Sakit ternyata tak membuatnya kehilangan seluruh tenaga.

Kutahan tangannya seketika mengingat ia masih sakit. “Tunggu! Biar aku saja, kau yang berantakan begini tak akan bisa.”, cercaku.

“Aku bisa. Anggap saja aku sudah sehat.”

“Mana bisa! Kau belum sehat, bercerminlah!”

“Sudah. Sana duduk manislah!”

Shireo.. Kau kenapa sih?”, seruku kesal. Jin biasanya tak begini, ia jarang membentakku, tak pernah bahkan.

“Kau itu yang kenapa. Untuk apa kau kemari? Khawatir? Aku bukan siapa-siapamu. Khawatirkan saja anak muda berambut orange yang minggu lalu memberikan minum untukmu di –“

“Hah? Kau bicara apa? Dia teman adikku! Bukan siapa-siapaku pula.”, potongku. Aku mulai mengerti pembicaraan ini ke arah mana. “Kau cemburu? Kau sendiri sudah milik seseorang kan?!”, nadaku meninggi. Orang ini maunya apa sih?

Jin mendekatkan wajahnya padaku dengan dahi berkerut. “Siapa? Siapa maksudmu orang itu hah?”

“Malam itu, saat hujan. Seorang gadis memanggilmu ‘Oppa’ bukan? Siapa lagi kalau bukan kekasihmu.”, tegasku menatap tajam mata Jin. Aku tak mau kalah. Dia menuduhku berhubungan dengan Jimin, anak muda yang dimaksudnya.

Jin menegakkan tubuhnya. Ia menarik tanganku ke ruang tamu, sedangkan aku meronta untuk dilepaskan. “Ini maksudmu?”, Ia berhenti di depan pigura, di dalamnya ada dua anak yang berwajah mirip, laki-laki dan perempuan. Ia menunjuk si gadis di foto itu. Mirip, tidak.. Memang dia orangnya. “dia adik angkatku. Di sebelahnya itu kembarannya. Puas?! Aku tak punya hubungan semacam itu dengan siapapun!”

Aku terdiam. Jadi selama ini aku salah sangka. Jin juga. “Jadi, kau benar-benar tidak berhubungan dengan si rambut orange itu?”, Jin bertanya lagi. Kepalaku masih berkelebat tentang adik angkat Jin, jadi aku hanya menjawab asal.

“Tentu saja tidak bodoh. Mana mungkin aku berhubungan dengan teman adikku sendiri. Kau kan juga tahu aku. Lagi pula orang yang ku suka k–“

Keceplosan!

Kututup mulutku seketika. Hampir saja aku mengatakan nama lengkap Jin. Aduh, kumaki-maki diriku sendiri dalam hati. “Siapa?”, Jin meng-introgasiku.

Melihatku diam dan salah tingkah, Jin melanjutkan, “Jangan bilang.. Aku?”. Kata-kata itu tepat sasaran. Telingaku memanas, pasti sekarang sudah merah. Jin hanya terkekeh.

Bibirku mengerucut. “Sudahlah aku pulang dulu. Malas aku berurusan denganmu.”, hardikku ke arah Jin. Kuputar badanku ke arah pintu apartemennya. Saat hendak melangkah, tangan Jin menarikku ke arahnya. Cukup kaget, tidak.. aku benar-benar kaget karenanya. Aku berakhir bersandar di dinding dengan Kim Seok Jin menahan tubuhku di sana. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain membalas tatapan matanya.

Jin mendekatkan wajahnya. Semakin dekat, semakin aku bisa merasakan suara dan hangatnya napas lelaki itu. Aku memejamkan mataku dan tak lama setelah memejam, terasa benda lembut menyentuh bibirku. Jantungku serasa mau lepas saat aku menebak benda lembut itu bibir seorang Kim Seok Jin. Dengan tetap menutup mataku, tanganku merayap dan berkaitan di lehernya. Tangan Jin juga sudah melingkar di pinggangku. Aku menikmati permainan Jin waktu itu, ia benar-benar membuatku terlena. Jung Sera, Kau ini mudah sekali terpikat padanya!

Permainan itu hanya bertahan selama 5 menit. Jin segera melepaskan tautan bibirnya sebelum kami berdua benar-benar kehabisan napas. Aku dan Jin masing-masing mengambil napas panjang. Eye-contact beberapa detik saja membuat kami tersenyum geli sekaligus salah tingkah. Jin tertawa melihat senyum anehku lalu mengacak rambutku yang tergerai. Kupukul lengan kanannya agar ia menghentikan tingkahnya.

“Jadi benar diriku kan?”, godanya. Aku mendengus kesal dan memanyunkan bibirku. Jin yang mengambil kesempatan dalam kesempitan, mengecup sekilas bibirku. Dua kalimatnya membuatku terdiam, tak bisa berkata-kata dan tersipu malu. Sial kau Kim Seok Jin! Kau berhasil mendapatkan semua perhatianku.

“Kau memang benar-benar semanis Caramel Macchiato. Aku benar-benar tak bisa melepaskanmu kali ini.”

...

 

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet