Chapter 1

Hidden Expression [BTS Fanfiction]

Kehidupan di dunia ini memang lucu. Hingga membuatku tertawa terpingkal-pingkal seperti orang gila. Hidup menjadi diriku, tak semudah yang kalian bayangkan. Entah berapa tangis dan tawa yang akan kalian hadapi. Percayalah, hidup itu tak adil.

Apa itu adil? Carilah dalam kamus kehidupan kalian... ‘adil’

Ketemu? Tidak? Berarti kita sama. Orang normal seperti kalian memang tak pernah mendapat hal yang sepantasnya. Tak mendapat keadilan dan tentu saja mendapat kekangan dari sekian makhluk di galaksi milky way ini.

Disaat kalian menjadi seorang manusia biasa, memiliki keluarga yang tak menyukaimu bahkan membencimu. Bagaimana rasanya?

Dicaci dan dimaki oleh orangtua dan saudaramu.

Hidup diantara tata krama yang telah hancur dalam sebuah kehidupan.

Seperti mahkota kaca dengan beberapa pernik berlian yang mengkilat lalu dipecahkan dengan sengaja oleh sebuah tongkat yang digenggam erat oleh prajurit. Sang pemilik tongkat tak bersalah, prajurit yang berdiri disampingnya lah yang mengayunkan tongkat milik partnernya sehingga mahkota itu pecah.

Tapi, apa kata sang ratu?

“Terkutuklah kau! Kau telah menghancurkan harta kerajaan!”

Bayangkan jika kau menjadi prajurit itu. Apa yang kau perbuat? Mencoba menjelaskan? Haha. Kau telah melewati beberapa menit hidupmu dengan sia-sia. Mereka bahkan sudah mempersiapkan penutup telinga untuk mendengarkan penjelasan yang benar adanya.

Da berita bahwa kau menghancurkan istana dengan cepat menyebar ke seluruh kota. Hingga akhirnya, seluruh kota membencimu. Termasuk keluargamu.                                                                                                                                                                                                                                          

.

Hidup menjadi diriku? Lebih baik mati.

Siapa aku? Hanya seorang perempuan ‘kurang pergaulan’ yang hidupnya rusak karena keluarganya sendiri.

Keluarga? Bahkan aku tak pernah mengalami yang namanya ‘memiliki keluarga’. Banyak mitos di luar sana yang berkata bahwa keluarga adalah segalanya. ‘Ibu, seseorang yang telah merawatmu semenjak kecil tanpa meminta balasan. Ayah, sesosok lelaki yang rela meluangkan waktu-waktu pentingnya untuk bersamamu.’ Mitos jenaka macam apa itu? Apakah ada keluarga yang seperti itu untukku?

‘Broken home’? Itukah kata yang pantas untuk menggambarkan keluargaku? Kalian salah besar. Hanya aku yang tersakiti dan dibuang. Bukan kakakku. Atau peliharaanku sekalipun. Hanya aku.

Harus kuakui, aku tahu keluargaku kaya, terkenal, dan entahlah. Bisa dibilang, mereka baik di depan manusia-manusia bodoh yang tak segan memuja-muji mereka. Apa mereka tak terlalu bodoh untuk mengetahui manakah orang yang munafik? Dan aku? Bahkan tak ada seorangpun yang berani dekat denganku. Termasuk ‘teman’ku sendiri.

-------

Pagi ini, aku hanya terdiam menumpu tangan dengan pinggir jendela sekolah. Menatap langit pagi Seoul yang bisa terbilang biru. Biru jernih dengan hiasan kapas putih yang sepertinya lembut.

Dan pagi ini, aku bahkan tak mendengar seorangpun memanggil namaku. Hanya bergunjing. Tak terkecuali guruku. Ia juga bahkan tak peduli saat aku membungkukkan badan padanya. Aku hanya bisa memandang mereka datar.

Aku mulai melangkah memasuki kelasku yang pengap penuh debu. Seperti kelas yang tak pernah dibersihkan. Penuh dengan cemooh tentangku. Bukan, mereka tak membullyku. Aku sudah pernah bilang, kan? Mereka takut padaku. Aku tahu itu hanya opiniku. Oke, itu opini. Belum tentu benar, kan?

Aku berjalan menuju bangkuku di pojok kiri belakang dekat jendela yang penuh dengan coretan-coretan ‘indah’ berwarna merah yang bertuliskan, “Bodoh!” “Matilah!”. Tenang, mereka hanya takut padaku.

Tak berapa lama setelah aku mengistirahatkan kakiku di kursi, Lee ssaem masuk ke dalam kelas. Aku sedikit bersyukur masih memiliki ssaem seperti beliau. Setiap pagi, hanya Lee ssaem yang menyapaku dengan senyuman hangatnya. Senyumnya tulus.

Annyeonghaseyo,” sapa ssaem pagi ini.

Annyeonnghaseyo, Sonsaengnim...” semua murid bersuara. Kecuali aku.

“Shin Jia, annyeonghaseyo.” Satu sapaan dari Han ssaem kini membuatku berhenti melamun.

Annyeonghaseyo,” aku hanya membalasnya datar. Tapi yakinlah, itu tulus. Aku tidak seperti mereka.

Dan saat itu juga, telingaku ini mulai dipenuhi dengan bisikan dari manusia-manusia yang berada di kelasku.

‘Pasti dia terpaksa menjawab salam ssaem.’ Itu salah satu yang kudengar. Terserah. Tapi dapat kulihat, Han ssaem tersenyum. Setidaknya itu membuatku sedikit lega.

“Hari ini sekolah ini kedatangan murid baru. Sebenarnya murid pindahan. Pindahan dari Busan,” ucap ssaem akhirnya.

Semuanya terkagum. Terkecuali aku. Aku hanya ber-‘oh’ tak peduli.

“Kim Taehyung imnida,” ujarnya memperkenalkan diri. Bahkan aku tak sadar bahwa murid pindahan itu sudah menginjakkan kaki di kelas ini.

Semua bertepuk tangan. Tidak ramai. Terlihat sekali. Cara ia berkenalan, sangat datar, sangat tak peduli dengan sekitar, sangat ketus, dan sangat... keren. Aku menyukai gayanya.

Lelaki bernama Taehyung itu berjalan menuju bangku kosong yang ada di kelasku. Tinggal satu. Dan sialnya, bangku tunggal itu terletak di sebelah bangkuku. Aku tahu, memang masih ada celah diantara kedua bangku kami. Tetapi, tetap saja... mengganggu.

Aku melirik Taehyung sekilas. Dapat kulihat, ia menatapku datar. Seperti tak ingin mengenalku. Aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Aku lelah melihat wajahnya. Yakinlah.

“Hei, kau.” Seseorang memanggilku. Aku menoleh. Murid baru itu.

“Hm?”

“Nama?” tanya Taehyung. Aku memang sengaja menutupi name tag yang berada di seragam sialan ini dengan rambutku yang lurus panjang.

“Kenapa memangnya?”

“Jawab saja.” Baru kali ini ada seseorang yang ingin berbicara denganku. Walaupun terpaksa.

“Nanti juga kau mengetahui sendiri namaku. Memangnya kau mau apa? Pinjam buku? Ambil saja. Aku tak butuh.”

Tanpa berkata apapun, Taehyung mengambil bukuku. Bibir atas dan bawahnya terkatup rapat tanpa celah. Benar-benar diam. Tatapannya datar. Sifatnya ketus. Wajahnya... bisa kukatakan bahwa ia tampan.

Persetan dengan hal itu, aku kembali menatap keluar. Kali ini langit tak sebiru tadi. Terlihat lebih abu-abu.

###

Jia tak butuh cemoohan itu. Jadi, untuk apa ia memperdulikannya? Apa yang ia perlukan di dunia ini? Keluarga? Bahkan ia tak butuh keluarga.

Lee ssaem mengajar di depan kelas dengan tekun. Menjelaskan tentang mata pelajaran yang bosan untuk dipelajari. Bagi Jia. Matematika. Apalah itu perpangkatan, kuadrat, atau apa itu. Hanya membuat otak Jia penuh. Dan untuk kali ini, ia bahkan tak mendengarkan sama sekali. Ia hanya terus mencoret-coret buku tulis miliknya. Entah apa yang ia gambar atau yang ia tulis. Sama sekali tak berarti.

-

Hingga akhrinya, bel istirahat berbunyi. Membuat Jia sangat lega.

“Terimakasih bukunya,” ujar Taehyung datar. Hampir tak bernada. Begitu pula wajahnya.

Jia menoleh. Menatap Taehyung datar lalu menyunggingkan bibirnya.

“Hah. Ternyata kau bisa berterimakasih juga.”

“Terserah apa katamu.”

“Baik. Pergilah. Aku lelah melihatmu walau hanya sebentar.”

“Nama?”

“Sudah kubilang kau akan tahu sendiri, Kim Taehyung.” Dan Taehyung langsung berjalan pergi tanpa memperdulikan Jia lagi.

Jia dengan bibirnya yang masih tertutup rapat, mengeluarkan buku tebal bersampul hitam dengan sedikit ilustrasi di depannya. Ia membuka buku itu tepat di halaman 304 dari 923 halaman. Ia membaca kata per kata yang berada di lembaran kertas yang sudah tak baru itu. Sedikit menguning.

Dunia seorang Jia bisa berubah disaat ia membaca buku. Imajinasinya seakan lebih bebas dan berhasil membuatnya santai di tengah kehidupannya yang rumit.

--o0o--

Taehyung berjalan mengelilingi sekolahnya. Tanpa sengaja, ia mendengar beberapa orang membicarakan nama Shin Jia.

‘Banyak sekali yang mencacinya. Apakah orang yang bernama Shin Jia itu sejahat itu? Shin Jia... di kelas mana dia?’ Kini otak Taehyung penuh dengan nama ‘Shin Jia’ membuatnya sedikit frustasi. Hingga akhirnya ia mendengar, ‘Kelas 11-A.’

’11-A? Kelasku?’ Taehyung makin frustasi. Bagaimana jika Shin Jia berniat jahat padanya?

‘Persetan.’

Taehyung berjalan menuju kelasnya. Disana ia melihat bahwa bangku belakang sebelah kiri sedang dikerumuni oleh 3 orang perempuan yang sepertinya dari kelasnya juga.

“Kau berani melawan kami, hah?” ucap salah satu dari ketiga perempuan tadi.

“Mengapa aku harus takut? Toh, kalian bukan siapa-siapaku.”

“Sialan kau!” Hyunjoo nyaris mendaratkan tamparannya ke pipi Jia. Ayolah, Jia tak selambat itu. Ia langsung menggenggam tangan Hyunjoo dan menggenggamnya erat.

“Kau mau apa? Jika tak ingin celaka, pergilah.” Datar. Tanpa ekpresi. Ciri khas Jia.

“Sial.”

“Pergi. Sekarang.”

“Ish!” Hyunjoo membanting tangannya dan langsung pergi meninggalkan Jia.

Hyunjoo meninggalkan Jia, bukan berarti Taehyung menjauh. Justru ia mendekat pada gadis bersurai panjang itu.

“Kau Shin Jia?” tanya Taehyung datar.

 “Akhirnya kau tahu namaku. Mudah bukan? Mengetahui namaku tanpa harus berkenalan?”

“Sangat.”

Jia menyunggingkan bibirnya, lalu pergi meninggalkan Taehyung. Meninggalkan mejanya. Taehyung tanpa sengaja melihat beberapa goresan dan coretan hitam dan merah di meja coklat dimana Jia biasa menulis.

‘Pergi!’ ‘Matilah!’ ‘Bodoh!’ ‘Lebih baik kau mati, Shin Jia!’

'Siapa yang menulisnya? Tulisan ini ditujukan untuk Shin Jia?'.

.

.

*TBC*

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet