After Sunrise

After Sunrise

Bolehkah aku melihat matahari terbit, hyung? Saat matahari selesai terbit, aku akan tidur lagi, aku janji.”

                ***

“Kwangmin-a, aaam~” Kwangmin menoleh, hanya untuk menyaksikan sendok yang dipegang oleh kakak kembarnya, Youngmin. Dengan patuh, ia membuka mulutnya, dan membiarkan nasi tim itu jatuh ke mulutnya.

Youngmin tersenyum senang. “Baguslah kalau kau sudah mau makan. Aku khawatir sekali ketika dapat telepon bahwa kau tidak mau makan.”

Kwangmin hanya menggeleng sambil tersenyum lemah ketika ia membiarkan dirinya kembali jatuh ke tumpukan bantal-bantal yang menyangganya.

Tatapannya kembali tertuju kepada jendela, yang sedikit terhalang oleh kabel infus dan alat bantu nafasnya.

                ***

Namanya Jo Kwangmin. Umurnya 17 tahun. Ia adalah namja yang normal. Yah, setidaknya penampilannya normal.

Jo Kwangmin terlahir hanya dengan satu ginjal dan penyakit jantung. Untuk membuat segalanya tambah buruk, ia terserang leukemia di usia 12 tahun. Disaat namja-namja seusianya bermain dan mengobrol, tertawa dan berlari, Kwangmin hanya bisa tertidur lemas diatas kasur.

Seingatnya, ia tak pernah sekolah—guru-gurulah yang datang kerumahnya. Dan itupun sudah amat jarang. Rumahnya, bagi Jo Kwangmin, sudah menjadi rumah keduanya. Sehari-hari ia tinggal di rumah sakit. Hell, ia bahkan punya kamar sendiri dengan ukiran namanya di pintu.

Ayah-ibunya meninggal di usianya yang masih delapan tahun. Kini ia hidup dibawah tanggungan pamannya, yang terus menerus mengeluh bahwa biaya pengobatan Kwangmin selama sebulan sama dengan harga sebuah rumah elit di kawasan Seorae. Kalau bukan karena Youngmin, rasanya Kwangmin ingin mati saja.

Rasanya lebih baik mati, tenang dan damai tanpa memikirkan apapun. Kalau bukan karena Youngmin yang selalu menyemangatinya, ia akan bunuh diri. Ya, ia akan bunuh diri.

                ***

“Kwangmin-a?” Suara Youngmin kali ini terdengar cemas. Kwangmin mengerjap dan menemukan bahwa ia sudah jatuh tertidur.

Youngmin tertawa ketika bayang-bayang kecemasan mulai menghilang dari wajahnya. “Hei, cerialah! Dr. Oh bilang kau boleh pulang lusa, kan? Ini yang pertama kalinya dalam setahun, lho!”

 “Sudah selama itu?” Kwangmin pun terkejut ketika ia mendengar betapa pelan suaranya.

Youngmin tertawa lagi. “Ne. Ya, dongsaeng! Kenapa kau harus selama itu meninggalkan rumah? Kenapa kau tidak membuatkan saja aku satu kamar disini agar aku tidak harus sendirian dirumah?” tangannya kini bergerak, mengelus-elus kepala Kwangmin.

Kwangmin tertawa, sebelum terbatuk. “Ah, hyung. Buatkanlah aku satu kamar di langit sana. Tapi kau harus mau sekamar denganku, lho, hyung. Kita bisa gunakan bunk bed seperti di rumah.”

Youngmin tertawa sambil terus mengelus-elus kepala Kwangmin. “Kau tahu tidak? Tadi di sekolah, Jeongmin dan Baekhyun membuat bom kentut untuk kepala sekolah. Mereka meletakannya di podium, tepat di auditorium. Ketika kepala sekolah berpidato, ia menginjaknya tanpa sengaja. Seluruh ruangan berbau amat busuk sehingga pertemuan pagi dibatalkan.” Youngmin tertawa mengingat-ingat kejadian itu lagi. Kwangmin pun tertawa, melihat tawa Youngmin.

               

***

“Jo Kwangmin?” Seorang suster menghampiri Kwangmin, lalu membetulkan tabung infusnya. Kwangmin kira suster itu akan pergi, seperti biasa. Tapi alih-alih, si suster berhenti sejenak di pinggir tempat tidur Kwangmin. Ia meremas-remas tangannya, terlihat gugup.

“Ah, apakah kembaranmu bernama Youngmin?”

Kwangmin menatapnya heran. Youngmin sering berkunjung. Suster-suster mengenalinya.

“Ah, itu hanya.. umm, bagaimana menjelaskannya, ya?” si suster kembali terdiam, tampak amat bingung. “Ah, itu hanya.. Pasien tabrakan yang bernama Jo Youngmin, yang dimasukkan ke UGD sejam yang lalu, tampaknya adalah kembaranmu.” Suster itu berkata pelan sebelum  meninggalkan ruangan, meninggalkan Kwangmin yang masih berusaha mencerna fakta yang baru saja ia dengar.

Pasien.

Tabrakan.

Bernama.

Jo.

Youngmin.

“Ah, Kwangmin-a… Besok aku ulangan matematika. Aku akan pulang dulu sebentar lalu ambil bukunya, setelah itu aku akan kesini lagi, ne?” Youngmin berkata, melirik ke jam besar yang tergantung di dinding.

Kwangmin menggeleng. “Tidak. Hyung tidak usah kembali.”

Youngmin tertawa. “Apa maksudmu, hah? Sudah setahun aku tidur disini, menemanimu. Tenanglah, kalau jam 7 aku belum datang, telepon saja HP-ku, oke?” Youngmin berlalu sambil mengusap kepala Kwangmin dan tersenyum.

                ***

Kwangmin terbangun pukul delapan pagi, berharap bahwa itu semua hanya mimpi. Bahwa ketika ia terbangun ia akan menemukan kakak kembarnya disampingnya, tersenyum sambil membawa makanan.

Kwangmin bangun dan menemukan ruangannya kosong. Kesadaran menghantamnya dari berbagai sisi, bahwa kakak kembarnya memang benar-benar tertabrak dan saat ini sedang dalam keadaan kritis di ICU.

Diam-diam, Kwangmin menangis. Ya, diam-diam ia menangis.

                ***

3 BULAN KEMUDIAN

“.. Kondisi kesehatannya memburuk sekali. Mungkin tidak ada gunanya dipertahankan..” Sayup-sayup suara Dr. Oh memasuki radar pendengaran Kwangmin. “Dan kembarannya juga sama saja. Jo Youngmin hanya bisa hidup karena alat-alat bantunya. Ia koma. Tulang leher dan tulang belakangnya remuk, seluruh sistem sarafnya hancur. Secara kasar, ia hanya tanaman, tidak bisa bergerak kemana-mana, dan selalu dalam kondisi tidak sadar.”

Kwangmin menangis dalam hati. Ia tahu fakta bahwa Youngmin koma. Tapi ia tidak mengira akan separah itu.

“Kalau memang tidak ada gunanya dipertahankan, untuk apa dipertahankan.” Kali ini suara pamannya yang Kwangmin dengar. Kwangmin tahu, mereka membicarakan dirinya.

“Besok, copot saja alat bantu kehidupan Youngmin. Untuk Kwangmin, yah, kita lihat saja,” Pamannya berucap.

                ***

“Hyung? Youngmin hyung?” Kwangmin berseru. Ia merasa amat bahagia ketika terbangun dan menemukan Youngmin, berada di kamarnya, tersenyum. Youngmin mengusap kepalanya, seperti yang selalu ia lakukan.

“Hyung, hyung tidak apa-apa? Aku dengar hyung koma.”

Youngmin tertawa. Tawa manis yang selalu dirindukan Kwangmin. “Kalau aku koma, aku tidak akan ada disini, bodoh.”

Kwangmin ikut tertawa. Ia lalu memandang kearah jendela, kearah bulan yang bersinar terang. “Ah, hyung, aku ingin melihat matahari terbit.”

Youngmin memandang kearahnya, terheran-heran. “Kau akan melihatnya nanti pagi. Sekarang, kau harus tidur.”

“Boleh ya, hyung? Saat matahari selesai terbit, aku akan tidur, aku janji.” Kwangmin memohon. Youngmin mendesah. Tapi, diluar dugaan Kwangmin, kakaknya mengangguk. “Baiklah. Tapi kau janji, lho, akan tidur selepas matahari terbit.”

Kwangmin tersenyum. “Hyung, menurut hyung, kenapa kita terlahir berdua?”

Youngmin tampak berpikir sebelum menjawab lembut, “Karena kita hadiah, Kwangmin. Kau adalah hadiah untukku. Aku adalah hadiah untukmu.”

Kwangmin tersenyum sedih. “Apa ada yang menginginkan hadiah penyakitan seperti diriku?”

“Ada. Aku. Aku menginginkanmu. Siapa peduli kau penyakitan atau tidak?” Youngmin menjawab tegas. “Lagipula, kembar itu satu tubuh. Kalau kau kesakitan, aku akan kesakitan juga. Kalau kau sedih, aku akan ikut sedih. Kalau kau bahagia, aku akan ikut bahagia.”

“Kalau begitu kau pasti kesakitan selama ini, hyung. Harus menanggung segala beban penyakit yang bahkan bukan milikmu.”

Youngmin tersenyum. “Kesedihanmu milikku. Aku tahu perasaanmu yang terpenjara di rumah sakit, hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun. Itu sebabnya aku amat bahagia tiap kali kau diizinkan pulang.”

Kwangmin tersenyum memandang kakaknya. “Youngmin-hyung, kau memang hadiah untukku.”

Youngmin tertawa. “Begitupun kau, Kwangmin. Lagipula, kita tidak boleh bersedih, kan? Hidup ini terlalu singkat untuk melakukan apapun kecuali berbahagia.” Youngmin terdiam ketika semburat-semburat mentari pagi mulai menerpa wajah Kwangmin yang terlihat mengantuk.

“Terimakasih, Youngmin..hyung.” Kwangmin menggumam dengan mengantuk sebelum tertidur. Youngmin tersenyum. “Kau memang anak baik, Kwangmin. Kau selalu menepati janjimu.” Youngmin tersenyum dan mengusap air matanya sebelum memejamkan matanya, tertidur disebelah Kwangmin.

                ***

Pada pukul 06.00, Jo Kwangmin ditemukan telah meninggal di kamarnya. Pada pukul yang hampir sama, Jo Youngmin pergi meninggalkan keadaan komanya, dan memasuki alam kematian.

Mereka berdua meninggal sambil tersenyum.

 

~”If I die tomorrow, I will have no regrets.”

 

____

This story has been sitting in my laptop for a LONG time! Gataulah pada nge-feel apa nggak, yang jelas gue akhirnya lega ini bisa dipost juga. Heh. *^^*

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet