Datura

Datura

“Datura”
Present by
Abee.

Cast : Lee Taeyong—Nakamoto Yuta—Ten Chittaphon L.

Standart disclaimer applied.

 

Ittadakimasu~!

 

 

Ada aroma lemon yang menggelitik nostrilnya hingga membuat si lelaki jepang itu tersenyum. Lee Taeyong benar-benar maniak kebersihan. Tak cukup dengan julukan itu, probabilitas lain berkata bahwa barangkali di kehidupan sebelumnya Taeyong adalah salah seorang buttler nomor wahid. Yuta ingin terbahak jika mengingat hal itu. Namun toh, tingkah Taeyong nyatanya sangat berdasar. Pemuda bermarga Lee teman sekamar Yuta itu divonis mengidap mysophobia yang ironisnya sering dianggap weirdo oleh penghuni asrama. Entah Yuta yang pada dasarnya acuh tak acuh atau tak pernah memandang Taeyong dengan cara mereka, ia malah melekatkan kesan unik jika itu tentang kepribadian Taeyong.

 

Ada hitam ada putih, yin dan yang. Jika Taeyong adalah pemuda serba bersih, Yuta sebaliknya. Bersih dalam definisi Yuta berarti kotor dalam pandangan Taeyong. Seperti siang itu, kaos kaki bau masih melekat di kedua kakinya saat Yuta tiba-tiba membaringkan punggungnya di atas kasur. Mengusik wangi lemon yang berasal dari pengharum ruangan di nakas Taeyong, pemuda bermarga Lee itu mendengus keras. Yuta malah terbahak dan bantal padat milik teman sekamarnya itu menyambangi dahi si jepang kemudian.

 

Seperti teman sekamar pada umumnya, Taeyong dan Yuta sering pinjam-meminjam barang. Namun Yutalah yang lebih dominan dalam hal meminjam. Yuta punya alasan yang cukup logis karna Taeyong setidaknya punya dua cadangan untuk setiap item yang ia punya, apalagi alas tidur, Taeyong nyaris punya selusin karna ia akan menggantinya setiap pagi dan jadwal mencucinya adalah dua hari sekali. Ia tidak akan pernah kehabisan stok, berbeda dengan Yuta yang punya prinsip ‘satu untuk selamanya’. Setia.

 

Taeyong lumayan terkenal di Akademi sebelah yang merupakan sekolah khusus perempuan, tentu saja karna wajah tampan dan menurut mereka lelaki dengan kepribadian seperti Taeyong sangat cocok menduduki kandidat ‘suami idaman’. Uhuk! Padahal di kalangan teman sekolah sendiri Taeyong mendiami kasta terbawah dalam piramida kepopuleran karna sekalipun ia mempunyai wajah yang tampan, Taeyong terlihat sangat hati-hati dalam menjalin jaring pertemanan. Cenderung intovert, ditambah lagi ia tak banyak mengikuti ekstrakulikuler yang lumayan booming. Sedangkan si jepang sendiri berdiri di salah satu jajaran sepuluh besar siswa populer hanya karna ia adalah kapten tim sepak bola. Namun dalam peringkat manapun keduanya berada, Taeyong dan Yuta selalu berbagi meja yang sama saat makan siang. Berangkat dan pulang bersama sekalipun asrama dan sekolah hanya berjalak kurang dari seratus meter.

 

Sementara Yuta menikmati perpaduan eksentrik bau kaos kaki bercampur lemon, si pemuda bermarga Lee yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan rambut basah itu menggerutu keras. Acuh tak acuh, Yuta hanya berdehem lantas menyengir tanpa beban. Taeyong memberengut sebal.

 

“Mandi dulu sana.” Taeyong melempar handuk setengah basah bekasnya kearah muka Yuta. Si Jepang itu hanya menanggapi santai.

 

“Lima belas menit lagi, latihan tadi benar-benar mengerikan.” Sambil menyimak sekenanya, Taeyong sibuk membongkar kotak diatas tempat tidurnya, itu adalah paket kiriman dari keluarganya. Yuta juga kerap mendapatkan paket dari orang tuanya di Jepang hanya karna mereka tidak bisa menjenguknya langsung.

 

Yuta yang semula berbaring kemudian bangkit menghampiri ranjang Taeyong. Duduk di sebelahnya sambil melongok melihat isi kardus, isinya hanya beberapa batang sabun, handuk baru, beberapa bungkus snack, teh dan untuk sisanya Yuta tidak tertarik lagi. Taeyong melemparkan sekotak pepero pada Yuta dan ia menyengir lebar.

 

“Tidak ada yang rasa mint?” Taeyong menggeleng. “Rasa peach?”

 

“Lain kali minta kirimkan orang tuamu saja.” Taeyong masih sibuk memisahkan bahan makanan dan hal lainnya. Yuta mulai menjejalkan beberapa batang pepero sekaligus kedalam mulutnya.

 

“O! Aku tidak tahu kamu juga suka teh.” Ia menunjuk bungkusan teh itu dengan pepero bekas gigitannya, membuat remah berhamburan dan Taeyong berdecak sekilas.

 

“Aku tidak bisa tidur kalau tidak minum teh jenis ini.” Yuta mengamati teh berbungkus kertas warna merah marun itu teliti kemudian mengendusnya, ia terhenyak untuk sejenak. Taeyong masih sibuk, Yuta mengendusnya lebih dalam. Baunya....

 

“Enak! Baunya enak! Taeyong-ah, aku minta boleh? Aku belum pernah mencoba teh jenis ini, ini berbeda dari teh hijau yang biasanya dikirimkan ibu atau teh supermarket milik Ten.” Yuta melupakan sang pepero, batang berwarna putih coklat itu ia campakkan diatas selimut bersih Taeyong. Si empunya tempat tidur berang melihat tempat tidurnya berantakan. Ia meraih teh dari genggaman Yuta dan dengan suara serba kaku berkata.

 

“Kamu tidak akan mendapatkan teh ini, tidak secangkir pun. Dan kamu harus membersihkan tempat tidurku. Lihat!” Taeyong terlihat menakutkan, tidak terjadi badai saja sudah bagus. Secepat kilat Yuta meraih pepero manis tak bersalah itu kemudian membersihkan ranjang Taeyong. Ia harus menyapu dan mengepel sehabis ini sebelum Taeyong benar-benar marah.

 


 

Taeyong dan Yuta adalah saudara. Kala itu sehari sebelum liburan musim panas dimulai, Taeyong tengah mengemas barang-barangnya untuk dimasukkan kedalam koper saat diliriknya Yuta tengah bergelung di atas tempat tidur padahal jarum digitalnya menunjukkan pukul delapan lewat sedikit. Ia menutup kopernya dan sedikit penasaran karna Yuta seperti tidak berniat untuk pulang besok. Liburan musim panas adalah momen langka, dua minggu tanpa pr dan kegiatan ekstrakulikuler atau apapun yang berhubungan dengan sekolah. Kesempatan yang hanya ada sekali dalam setahun dimana mereka diijinkan untuk pulang. Yuta tidak mungkin sudah tertidur pada jam delapan, itu bukan kebiasaannya.

 

“Ya! Yuta-ya! Kamu tidak berkemas?” Hanya ada suara geraman halus sebagai respon.

 

“Jangan tidur dulu, ini baru jam delapan. Hari ini kan terakhir kali bertemu sampai dua minggu lagi.” Sekali lagi, hanya suara geraman sebagai jawaban. Kesal, Taeyong menarik-narik selimut tebal milik Yuta.

 

“Malas.” Akhirnya Yuta bersuara sekalipun nadanya terdengar letih.

 

“Jangan bilang malas, sudah makan malam kamu? Titip buatkan ramyun. Aku mau mandi dulu.” Yuta tidak menjawab namun Taeyong tidak perduli, ia meraih handuk lantas masuk kedalam kamar mandi. Yuta bangkit dengan setengah hati, ia menyalakan panci elektrik kemudian memasak ramyun instan dengan sesekali menguap. Deru pendingin ruangan bercampur suara percikan air dari kamar mandi kemudian diselingi suara panci elektrik, Yuta bergidik kemudian meraih remote dan mematikan AC. Ia memasukkan bumbu ramyun kemudian mie ke dalam panci, mengaduknya sesekali sampai ia rasa tiga menit telah lewat. Yuta menuangkannya ke mangkuk dan kembali menyeret langkah menuju tempat tidur, ia lelah. Tidak peduli Taeyong akan mengomel karna meninggalkan panci kotor begitu saja, itu jatahnya.

 

Aroma sabun sangat kental, namun aroma ramyun terasa lebih menyenangkan sekarang. Taeyong melirik ranjang Yuta yang masih dihuni oleh empunya. Diam-diam Taeyong mencibir, si kapten sepak bola itu ternyata lebih malas dari yang ia kira. Ia menikmati ramyun setengah dingin buatan Yuta dengan bersungut jengkel pasalnya panci elektrik kotor diletakkan begitu saja diatas meja. Namun toh ia tetap berterima kasih seharusnya. Setelah menandaskan semangkuk ramyun dan mencuci mangkuk serta yang lainnya, Taeyong akhirnya menyusul Yuta pergi tidur. Sekalipun pukul 8:30 terdengar terlalu dini untuk nyenyak dan jatuh bermimpi.

 

Taeyong adalah tipikal disiplin, ia bangun dua jam sebelum jadwal penerbangan yang artinya ia bangun pukul lima pagi. Alarmnya telah bungkam, torehan jingga masih belum begitu membumi saat ia membuka mata. Kantuk bukan hal yang begitu mengusiknya mengingat tadi malam ia tidur lebih awal, namun melihat ranjang sebelah yang nampaknya tak goyah membuat Taeyong cukup heran. Ia bangkit dan melahap beberapa potong roti sebagai sarapan sambil menunggu si teman sekamar bangun. Namun sampai roti kesekian, Taeyong tak mendapati apapun jadi ia menarik kasar selimut tebal milik Yuta.

 

“Heh, musim panas tidak cocok untuk hiber...nasi.” Nada suaranya menurun di akhir karna ia terkejut mendapati Yuta menggigil tak wajar. Tadi malam luar biasa panas hingga membuat Taeyong menyalakan AC pada suhu 10 derajat, namun apa yang salah sekarang? Yuta terdengar mulai bergumam tidak jelas dan Taeyong segera menyelimuti kembali tubuh Yuta. Ia menempelkan punggung tangan pada dahi Yuta, ia tersentak, rasanya seperti terkena setrika. Panas. Melupakan tentang persiapan pulangnya, Taeyong bergegas membuka lemari es dan mengambil handuk kecil sebagai alas. Yuta nampak setengah sadar, tangannya mernggenggam erat selimut. Taeyong segera menempelkan handuk kecil berisi es batu itu ke dahi si jepang. Pada akhirnya, musim panas tahun itu Taeyong tidak pulang.

 

Taeyong memasakkan bubur, membuatkan teh dan menjaga Yuta seharian penuh. Diagnosis sementara adalah Yuta terkena demam musim panas, bukan masalah besar sebenarnya namun Taeyong tidak bisa begitu saja mengabaikan Yuta. Ia telah menelpon pegawai maskapai dan mengkondirmasi pembatalan, dan Taeyong telah memilih untuk ada di sisi Yuta sekarang. Jadi ia membongkar isi tasnya yang ia siapkan tadi malam.

 

Sekitar pukul sepuluh Yuta baru bangun, demamnya belum reda dan Taeyong menyadarinya karna Yuta mengeram cukup keras. Taeyong mencampakkan sisa pakaiannya yang masih di koper dan menghampiri kasur milik Yuta.

 

“Apa masih dingin?” Yuta mengangguk lemah, ia memiringkan badan sambil bergelung dalam selimut. Terlihat seperti buntalan kepompong. Sapu tangan berisi es batu yang semula di dahinya kini lengser. “Pusing?” Tanya Taeyong sekali lagi, Yuta menggeleng.

 

“Duduklah, aku buatkan bubur. Kamu harus makan, lalu minum obat.” Yuta menurut, ia beringsut menegakkan punggung dan menyandarkannya di headboard ranjangnya. Matanya setengah terpejam dengan tangan yang meraih selimut, tak ingin seinchi pun badannya luput dari kungkungan selimut hangat. Taeyong mengambil semangkuk bubur dan mulai menyuapi teman sekamarnya, Yuta menelan semuanya yang terasa hambar begitu saja. Asal masuk mulut kemudian telan, berkali-kali sampai isi mangkuk itu kosong. Kemudian ia meminum obat penurun panas yang Taeyong dapat dari salah satu penghuni asrama tadi pagi.

 

Tubuh Yuta melorot, ia kembali ke posisi semula seperti sebelum terbangun. Taeyong membersihkan mangkuk kotor dan yang lainnya kemudian mengganti sapu tangan dan es batu untuk di letakkan di dahi Yuta lagi. Mata Yuta belum sepenuhnya terpejam, ia menatap punggung sempit Taeyong perlahan raib dibalik pintu kamar mandi. Bohong kalau ia tak menyadari bahwa teman sekamarnya itu punya kantung mata yang lebih tebal, namun ia tak patut mengasihani Taeyong sementara ia sendiri hanya bisa menggigil di balik selimut. Yang ia ikrarkan, ia akan membalas Taeyong besok atau lusa saat ia sembuh. Yuta berhutang banyak.

 


 

Ada suara tawa. Seorang gadis kecil berlarian di tengah rimbunnya tanaman hias yang dibuat berpetak-petak, itu taman belakang rumah mereka. Dengan masih mengusung senyum lebar si gadis melambai padanya tanpa beban. Namun ia bergeming, melihat seorang laki-laki berjalan melewatinya begitu saja. Lurus menghampiri sang gadis dan kemudian mereka berasyik-masuk berdua. Tanpa mengajaknya ikut serta. Mereka adalah keluarga sekalipun hanya berasaskan selembar kertas surat adopsi, namun ada atau tidaknya ia bukanlah hal yang berarti.

 

Ia menyandang marga Lee saat berumur sembilan tahun, punya ayah dan ibu adalah impiannya seumur hidup. Semuanya semulus jalan tol di hari Rabu sampai sang ibu angkat berkata bahwa ia hamil, sejak saat itu ia tak pernah mendapatkan yang semestinya menjadi haknya. Mereka adalah keluarga namun ia merasa terasing, ia terasa terusir pelan-pelan sampai tiga tahun kemudian semuanya menjadi lebih gamblang. Mereka memilihkan sekolah khusus laki-laki yang menyediakan fasilitas asrama, yang tentunya berjarak sekian mil dan butuh waktu berjam-jam untuk pulang ke rumah. Ia tak berkutik, ia adalah anak baik. Jadi ia hanya menurut menghabiskan kurang lebih lima tahun di satu yayasan sekolah swasta yang sama pilihan mereka.

 

Hidup itu keras, Taeyong sudah tahu.

 

Ia memandangi semak bunga peonie, tulip dan bunga terompet yang berjajar rapi. Di musim semi saat ia baru beberapa minggu menempati rumah itu bersama ayah dan ibu angkatnya, Taeyong menghabiskan akhir pekan dengan mereka di halaman belakang. Taeyong memakai sarung tangan berkebun yang kebesaran, dengan sekop kecil ia menggali tanah meniru sang ayah. Ibunya sibuk memilah benih yang semula telah tumbuh tunasnya ditaruh dalam plastic bag. Satu demi satu ditanam, berkebun tidak pernah semenyenangkan ini bagi Taeyong.

 

“Eii, yang itu ditaruh disini.” Taeyong mendongak kala sang ibu menengurnya yang tengah memegang tunas dalam plastic bag. “Bawa kemari, sayang. Itu bunga terompet, masukkan ke lubang ini.”

 

Taeyong menurut, membawa tunas mungil itu menuju tempat yang dimaksud ibunya kemudian mereka memberikan beberapa pupuk dan menyiramnya. Ia masih ingat dengan begitu jelas semuanya, sampai akhirnya bunga-bunga itu tumbuh menyamai lututnya kemudian lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Kemudian mempunyai kuncup dan mekar. Dulu ia selalu berpikir bahwa pasti menyenangkan melihat bunga di taman belakang itu mekar, namun bagaimana itu bisa disebut menyenangkan jika Taeyong menatapi mereka dengan hati yang layu?

 

Diabaikan itu menyakitkan.


 

Lelah adalah kambing hitam yang paling potensial bagi Taeyong hari itu. Ia terbangun pukul sembilan saat Ten—penghuni asrama lantai satu—sudah ada di kamarnya, Yuta nampak baik-baik saja duduk dihadapan Ten. Mereka seperti tengah mengobrolkan hal yang menarik. Ah, si teman sekamarnya itu nampak telah sembuh benar sekarang. Taeyong bergerak bangkit sambil melucuti sprei dari ranjangnya.

 

“Oo, Taeyong! Mau aku buatkan ramyun?” Itu suara Yuta, nampaknya ia sadar bahwa Taeyong telah bangun. Taeyong hanya bergumam sekenanya yang dianggap sebagai 'ya' oleh Yuta. Suara Ten menyusul, terdengar seperti protes.

 

“Aku juga belum sarapan, kenapa tidak menawariku tadi?!” Yuta nampak meringis saat Taeyong melewati mereka untuk menaruh sprei kotornya di bak cuci pakaian.

 

“Taeyong-ah, minta teh mu boleh? Punyaku habis.”

 

"Ambil saja." Kemudian Taeyong menutup kamar mandi dan sepasang adam sisanya sibuk mengobrol lebih panjang.

 

"Seharusnya jangan masak ramyun, makan yang seperti itu kan tidak bagus." Yuta tengah merebus air dan mencari kotak teh milik Taeyong di laci bawah.

 

"Ten-ah, kemari. Aku yakin kamu belum pernah minum teh yang satu ini, teh milik Taeyong ini enak sekali baunya." Yuta nampaknya tak menghiraukan kata-kata Ten, malahan ia mengeluarkan sekotak daun teh kering dan mengarahkan pada Ten.

 

"Aku tidak menilai teh dari baunya saja, tapi rasanya juga." Ten mengendus sekilas bau teh di tangan Yuta kemudian keningnya nampak mengernyit. "Aku ingin tahu rasanya."

 

Yuta tersenyum lebar kemudian bergegas menyiapkan dua cangkir kosong dengan menaruh sedikit dedaunan teh kering dalam teko kecil untuk diseduh nantinya. Tak lama kemudian air pun mendidih dan Yuta menuangkannya ke dalam teko setengahnya, sisanya ia gunakan untuk memasak ramyun. Ten mengambil alih teko dan mulai menuangkan teh ke cangkir masing-masing sedang Yuta mulai memasukkan bumbu dalam panci, jadilah aroma teh dan bumbu ramyun beradu saling saing. Yuta terbatuk.

 

Ramyun telah siap beberapa menit kemudian, Yuta kembali mengambil tempat duduk tepat di depan Ten. Dengan seksama ia memperhatikan Ten yang tengah menyeruput bibir cangkir dengan ekspresi yang tidak biasa. Ten adalah penggila teh yang telah mengabdikan lidahnya untuk mencicipi rasa teh yang ada didunia, sudah tidak terhitung berapa banyak bungkus teh yang telah ia coba. Seringkali Yuta mendapatkan sisa teh yang telah Ten kecap segelas atau dua gelas, dia bilang setiap teh punya estetika rasa yang unik. Dan untuk kali ini, Yuta sukses dibuat penasaran dengan raut wajah Ten.

 

"Bagaimana?" Yuta yang hanya tahu teh itu getir jika tanpa gula pun menerka-nerka arti dari lipatan di dahi Ten yang nampak tajam itu. Ten belum menjawab, sibuk dengan lidahnya. Sementara Taeyong sudah keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar, ia menarik kursi diantara kedua orang itu dan segera melahap ramyun untuknya.

 

"Taeyong-ah, ini teh jujube. Benar bukan?"

Taeyong mengangguk, ia menjeda suapannya.

"Wah, kamu hebat. Bahkan Yuta saja tidak tahu itu teh jenis apa."

Yuta melotot tak terima, ia segera menenggak brutal teh dalam cangkirnya yang berakhir dengan sensasi lidah terbakar. Teh dalam cangkirnya masih begitu hangat, Taeyong tertawa nyaris tersedak saat melihat wajah Yuta.

 

"Tapi ini tidak murni, maksudku rasanya beda. Tidak cuma akar, daun, dan bunga jujube kan?"

 

Taeyong tersenyum tipis, "Kamu benar. Aku mencampurkannya dengan bunga terompet."

 

"Kenapa bunga terompet?" Yuta ikut andil dalam percakapan, sekalipun ia tak begitu mengerti.

 

"Aku punya insomnia, dan aku dengar bunga terompet bisa membuat tidur lebih cepat. Lebih nyenyak," Yuta menganguk-angguk sok paham. "Akan lebih enak kalau diminum dengan madu." tambahnya kemudian Taeyong fokus dengan ramyun dan kerutan di dahi Ten nampak kian tajam. Ia jelas merasa ganjil.


Liburan musim panas usai seperti terpangkas begitu saja, mereka mulai kembali pada rutinitas sebagai seorang pelajar. Suhu mulai mendingin tanpa mereka sadari, itu membuat Taeyong lebih sering membuat teh. Yang biasanya hanya dua kali sebelum atau setelah tidur, kini ia menambahkan frekuensinya jadi dua kali lipat. Ia selalu menyisipkan jadwal minum teh saat pulang sekolah dan saat makan malam, namun sekalipun demikian Taeyong tidak pernah tidur lebih awal, melainkan semakin larut.

 

Kala itu hari minggu saat Taeyong mendesah menemukan kotak tehnya kosong, dan ia enggan untuk menelpon ke rumah demi mendapatkan kiriman teh tambahan. Namun ia membutuhkan lebih banyak persediaan teh setidaknya sampai paket dari keluarganya datang.

 

"Tehmu habis eh?" Yuta melongok dari balik punggung Taeyong. "Belum dapat kiriman?"

 

Taeyong menggeleng untuk pertanyaan kedua.

 

"Jadi tidak mau mencoba mengganti dengan teh yang lain? Aku mau ke supermarket loh."

 

Taeyong menggeleng lagi sambil merutuki ampas teh yang ia buang pagi tadi, harusnya ia masih bisa bertahan dengan itu. Yuta tak bertanya lebih banyak dan segera mengambil langkah seribu meninggalkan Taeyong yang beraura suram. Ia turun ke lantai satu dengan cepat, mengetuk pintu kamarnya cepat dan menemukan Ten telah siap dengan kaos berwarna merah serta celana selutut berwarna krem.

 

"Ten-ah, kamu tahu tidak supermarket atau toko dekat sini yang menjual teh yang sejenis dengan punya Taeyong tempo hari?" Ten menggeleng sambil bertanya 'kenapa?'

 

"Dia kehabisan tehnya."

 

Ten mengangkat bahu sambil tersenyum jenaka, "Dia tidak akan mati hanya karna tidak minum teh, hyung!"

 

Yuta mendesah, dan hari minggu yang melelahkan itu mereka habiskan dengan mencari teh jujube. Namun mereka tidak menemukan satu orang pun yang menjual bunga terompet kering.

 

Sampai tiga hari kemudian teh jujube yang dibeli oleh Yuta tak sekalipun diseduh oleh Taeyong. Dan teman sekamarnya itu kini nampak menyedihkan, kantung mata miliknya menebal dengan wajah yang nampak kusut. Selama tiga hari ia tak minum teh itu, selama itulah Taeyong tidak tidur. Tidak makan sesuap roti pun, tidak goyah dari atas tempat tidur. Ia menggelung diri dalam selimut dengan sesekali menggertakkan gigi yang terdengar ngeri di telinga Yuta.

 

Yuta kemudian mulai bertanya tentang gejala teain--kecanduan zat yang terkandung dalam teh--namun Ten menjelaskan hal yang berbeda.

 

"Kalau ia dalam pengaruh teain, paling tidak ia cuma akan sakit kepala."

 

"Rasa sakit Taeyong tidak kelihatan sesimpel itu."

 

Ten mengangguk kemudian mengutak-atik ponsel pintarnya sejenak, ia menunjukkan pada Yuta sebuah laman berbahasa inggris. Yuta mengernyit dan memandang Ten minta penjelasan.

 

"Inilah alasan kenapa kita tidak menemukan bunga terompet kering dimanapun. Bunga terompet itu termasuk golongan narkotika, hyung! Dan daya serangnya tidak main-main."

 

Yuta tidak tahu harus bersikap bagaimana sekarang. Apa Taeyong tahu tentang fakta yang satu ini? Namun yang Yuta tahu, ia harus berbicara dengan Taeyong tentang ini secepatnya.


Dua hari setelahnya barulah Yuta menetapkan langkah. Ia bangun lebih pagi dan menyeduh teh jujube kemudian membangunkan Taeyong setelah memeriksa suhu tubuhnya yang nampak normal. Taeyong terbangun dengan mata yang tak pernah Yuta jumpai sebelumnya, terasa benar-benar hampa dan korneanya mengambang begitu saja menatap proyeksi di hadapannya.

 

"Kamu tidak demam, cepat mandi. Jangan bolos lagi, apa enaknya berhari-hari dikamar saja." bujuknya dengan nada bercanda.

 

"Jangan ganggu aku." Taeyong bergumam tak acuh sambil menyentakkan tangan Yuta yang menarik ujung selimutnya.

 

"Taeyong, ayolah. Aku sudah buatkan ramyun dan teh."

 

"Aku tidak peduli dengan tehmu." Katanya dengan nada datar yang sama.

 

Yuta duduk di ranjangnya menghadap Taeyong yang tidur memunggunginya, ia mendesah berat. Beberapa kali ia menggigit bibir ragu sampai mulutnya terbuka dan mulai berkata-kata.

 

"Taeyong-ah kamu tahu tidak, Ten memberitahuku bahwa bunga terompet itu mengandung zat adiktif setingkat narkotika. Dan kamu sekarang sedang sakau, berhenti minum itu dan ayo berangkat sekolah."

 

Jeda panjang sampai Yuta mendengar Taeyong terkekeh.

 

"Berangkat saja sendiri sana." Dengan itu Yuta tahu bahwa Taeyong telah tahu sejak awal, tentang insomnia adalah omong kosong. Tiba-tiba Yuta merasa sakit, ada sesuatu yang menghantam dadanya sampai terasa berat dan sesak. Ia bangkit lantas menarik selimut putih itu dan membanting pundak Taeyong di atas kasur, tanpa ragu Yuta melayangkan tinju yang lemah pada pipi Taeyong. Yuta bukanlah orang yang pandai berkelahi namun kepalan tangannya itu tetap meninggalkan memar di pipi sang teman sekamar. Di pukulan kesekian ia berhenti, korneanya beradu dengan milik Taeyong yang nampak sama kesakitannya dengan miliknya.

 

"Kita ini saudara kan?" Yuta berucap lemah.

 

"Kamu nggak tahu apa-apa, berangkat sekolah sana." Bisik Taeyong sambil menarik bibir—tersenyum—dengan sudut yang dibubuhi bercak darah. Yuta menarik kerah piyama Taeyong hingga wajah mereka menyisakan jeda yang amat sempit. Yuta mengingat apa yang Ten katakan lusa kemarin.

 

"Bunga terompet tidak seperti atau ganja yang jelas-jelas dilarang untuk ditanam. Karna beberapa orang menganggap bahwa bunga terompet adalah tanaman hias. Namun hanya beberapa orang yang tahu persis bahwa tanaman ini mengandung zat adiktif, apalagi dosis yang sedikit saja sudah cukup untuk membuatmu sangat mabuk. Kalau tubuh Taeyong hyung sampai bisa menahannya selama ini, dia sudah sangat parah."

 

Yuta ingin membuatnya sadar, ingin menampar dan menghajarnya lebih banyak agar Taeyong sadar bahwa yang ia rasakan lebih dari itu. Mengetahui temanmu menjadi orang yang buruk sungguh menyesakkan, namun Yuta telah sampai pada batasnya saat mata Taeyong seolah mendorongnya keluar dengan paksa. Taeyong tak membiarkan Yuta sakit lebih dalam atau tahu lebih dalam.

 

"DASAR NGGAK BERGUNA!" Yuta berteriak murka sambil membanting keras tubuh ringkih Taeyong, ia bangkit kemudian dengan cepat meraih tas dan angkat kaki. Taeyong menatap tubuh Yuta yang raib di balik pintu. Kepalanya terasa berputar saat ia mencoba bangkit, pukulan bertubi-tubi Yuta sejujurnya tak berefek apapun karna tubuh Taeyong telah kebas sekarang. Ia merasa seperti zombie sekarang.

 

Taeyong melepaskan piyama miliknya dan lengan dengan puluhan bekas gigitan itu tempampang jelas sekarang. Selama beberapa hari ia tak mendapatkan asupan yang cukup, saat ia hilang kendali ia menggigiti lengannya sebagai pelampiasan. Itu yang terjadi di balik selimut selama ini. Ia meringis jijik saat beberapa yang terparah memberikan bekas luka dengan darah yang mengering, merah kehitaman dan tentu saja itu nampak buruk. Ia berjalan, atau lebih tepatnya merayap karna begitu lambatnya ia bergerak meuju meja makan. Di sana ada ramyun dingin yang tadi Yuta siapkan, aromanya sama. Taeyong tersenyum tipis dengan bibir pucat miliknya. Ia menghabiskannya dalam beberapa menit kemudian beralih menenggak teh disampingnya.

 

"Jadi teh jujube itu rasanya seperti ini." Padahal indra pengecapnya telah tumpul, namun ia mencoba mengingat-ingat rasa teh ini dulu sebelum ia mulai merusak resep dengan mencampurkan bunga terompet di dalamnya.

 

Taeyong beralih menuju kamar mandi, ia melepas piyamanya dan tanpa sadar menyentuh bekas luka panjang di punggung. Tiga tahun yang lalu, saat pertama kali ia mencoba dan dirasuki oleh zat adiktif itu. Dua jam setelah ia menenggak teh dengan campuran bunga terompet ia hilang kendali, berujung dengan ia membuat pola di punggungnya dengan gunting taman yang runcing. Kemudian ada bekas lain di dada, luka bakar. Saat ia ikut dalam perkemahan dan ia lupa tidak membawa persediaan, ia menubrukkan diri pada sisa-sisa api unggun yang masih membara saat itu.

 

Yang ia lakukan adalah membuat setidaknya bunga terompet di halaman belakang tidak mekar dengan sia-sia. Tidak seperti dirinya yang hidup tanpa makna, dari ia pertama kali datang ke rumah itu kemudian diperlakukan seperti barang antik kemudian dibuang. Proyeksi wajah Yuta tiba-tiba muncul begitu saja, aneh. Taeyong ingat bahwa adik kecilnya itu ternyata menderita penyakit langka, alergi bunga. Sontak orang tuanya memutuskan untuk mengganti bunga-bunga di halaman belakang dengan yang lain, dan Taeyong berdiri sebagai satu-satunya penentang. Betapa Taeyong ingin menjaga bunga itu agar tetap menempati halaman belakang, menjaga satu-satunya hal manis yang mengingatkan ia bahwa dulu Taeyong adalah bagian dari keluarga. Dulu ia punya keluarga.

 

Sampai karna itu, Taeyong disekolahkan di tempat yang jauh. Ia meminta untuk dikirimi bunga-bunga kering dari halaman belakang, satu-satunya petunjuk bahwa mereka masih ada disana. Dan dengan meminumnya, Taeyong merasa lengkap. Bersama dengan cinta kasih saat ia menanam mereka dulu, bersama dengan dengan rasa sayang dari keluarganya dulu.

 

Taeyong terbatuk, darah mengalir dari mulutnya meski tak banyak. Disusul dengan rasa sakit seperti dihantam pada kepalanya, dan telinganya terasa berdengung. Beberapa proyeksi berbaur campur aduk memusingkan, Taeyong berusaha keluar dari kamar mandi. Masa bodo dengan membersihkan diri. Gawat, sepertinya ia akan hilang kendali.


Saat tadi pagi ia berteriak pada Taeyong, sebenarnya Yuta sedang mengatai dirinya sendiri. Ia bilang tidak berguna, ialah yang seperti itu. Apa bedanya Taeyong yang sekarang dengan saat ia terkena demam musim panas beberapa minggu yang lalu? Taeyong merawatnya dengan baik namun Yuta tak bisa melakukan seperti Taeyong. Ia merasa sangat buruk. Dengan langkah lesu ia menaiki tangga menuju kamarnya, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana setelah ini. Taeyong tak pernah bersikap tidak baik selama mereka berbagi kamar.

 

Ia menyeret langkah yang semakin lama kian terasa berat, bagaimana membuat ini menjadi lebih baik? Sampai di depan kamarnya, Yuta menyandarkan dahi lama di atas pintu kayu berwarna putih itu. Memikirkan semuanya dari awal, ia mendesah resah berulang kali. Tangannya menyentuh kenop meski hatinya merasa tak siap. Ia memutarnya dan pintu tetap tak goyah, Yuta berdecih. Tangannya beralih mengepal, mengetuk pintu. Taeyong menguncinya dari dalam.

 

"Taeyong-ah, buka pintunya. Aku pulang."

 

Tak ada jawaban. Yuta mulai mengeram tak sabar.

 

"Taeyong-ah! Biarkan aku masuk!" berulang kali ia berteriak lantang, mengetuk dan menendang pintu itu dengan keras sampai beberapa penghuni asrama keluar dari kamar. Satu yang merasa terusik sampai memanggil Pengurus asrama, dan Yuta tidak peduli. Ia terengah di depan pintu, menahan kepalanya yang terasa akan meledak. Apa yang sebenarnya Taeyong kehendaki?

 

Yuta hanya memalingkan wajah saat pengurus asrama datang dengan mata nyalang seolah menghakimi, tindakan brutal selalu dicap buruk. Jadi saat sang Pengurus asrama berhasil membuka pintu—meski dengan sedikit paksaan—Yuta tidak peduli, Ia menerobos masuk dan tercengang. Menemukan kamar mereka terlihat rancu, bercak darah membubuhi beberapa tempat. Kaca jendela koyak dan yang paling membuatnya ingin menangis adalah tubuh Taeyong yang tergeletak diatas lantai.

 

Beberapa orang mulai berkumpul dibelakang Yuta, mulai berkasak-kusuk. Pengurus asrama nampaknya juga tak menduga bahwa ini akan terjadi, ia menyuruh salah satu pemuda disana untuk menelpon ambulans. Yuta masih membeku di tempat, lututnya terasa goyah. Bayangan tadi pagi kemudian hadir begitu saja.

 

Yuta ada disana tadi pagi, kemarin dan kemarinnya lagi. Saat ini ia pun disana, namun ia tak bisa melakukan apapun. Ia hanya sanggup memandangi Pengurus asrama menghampiri tubuh Taeyong dan memeriksa nadinya, menepuk-nepuk pipi sang teman sekamar kemudian membawanya keluar kamar. Rasa sakitnya yang membuat Yuta tuli, tak satupun suara yang ia tangkap sampai kamarnya menyisakan ia seorang diri.

 

Taeyong sudah tidak ada di sana, hari itu, besok, dan besoknya lagi. Suara sirine menjerit di depan asrama, Yuta merasa tak utuh.

 

—FIN—

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Kenyutil #1
Chapter 1: Anjayyyy!!!ni sumpah keren bgt thor
limerxncx #2
Chapter 1: i really love this story! o god. thank you so much for writing and sharing.
this story deserve much more attention.
i'm not that great at creative writing, but if you give me the permission to write the english version of this story i would like to give it a try. may i?
shaxobyarm #3
Chapter 1: omg! i love this!
but, endingnyaaa
TT71227 #4
T^T great Job!!!!! love it!!!!
LoveExoSiki #5
May I requst for eng version? *puppy eyes* hehe
minimiai #6
Chapter 1: waw, (y)
komen apa ya... bagus sih, jadi gak ada yg dikomentarin. hehe

TENks udah buat ff tentang smrookies
ditunggu ff lainnya ^^
RoommateKrp
#7
★ ★ ★ ★ ★q