After The Memories

After The Memories
Please Subscribe to read the full chapter

 

Setelah kepergian Sanghyuk, Namjoo bertekad pada dirinya sendiri bahwa ia akan bahagia seperti yang diucapkan oleh Sanghyuk. Tiap hari ia lewati dengan mengingat kalimat terakhir itu yang selalu menggantung dalam benaknya, “Namjoo… aku bahagia… maka kau juga berbahagialah… lupakan aku dan carilah kebahagiaanmu… berjanjilah padaku?”

Saat itu Namjoo tidak mengiyakan, namun ia tahu Sanghyuk mengharapkannya.

“Jangan menangis…”

Kalimat itu, kalimat yang diucapkan dengan sangat lirih darinya mengusiknya di saat kesendiriannya selalu menghentak tubuh Namjoo. Bertolak belakang dengan apa yang diucap, melainkan tangisan selalu datang pada akhirnya.

Sekuat apapun, sekeras apapun Namjoo mematuhi kalimat itu… Sebanyak pula air mata membasahi pipinya… Mencekam dadanya, menyesakkan dadanya seakan tak akan pernah berhenti.

Namjoo tahu semua itu, semua yang dilakukannya itu sebuah kesalahan besar. Ia melanggarnya, ia menolak dan mengabaikan permintaan terakhir Sanghyuk.

Tapi, tidak semuanya. Namjoo membela diri. Namjoo berusaha melewati hari-hari dengan rutinitas yang biasa ia lakukan. Bekerja di butiknya, mendesain pakaian, menjahit, mengawasi pegawainya. Ia berusaha sebaik mungkin menjalani hidupnya, menyibukkan dirinya, tersenyum pada semua orang selagi ia bisa…

*

Namjoo membuka pintu ruang kerjanya, berjalan menuju meja tempat biasanya ia menggambar desain pakaian. Begitu sudah terduduk, ia mengambil buku kumpulan sketsanya, memeriksa ulang sketsa-sketsa yang baru ia buat tempo hari.

Suara pintu terbuka kemudian terdengar, Namjoo tahu dari suara langkahnya yang agak cepat, Junghwa memasuki ruangan.

“Namjoo…” panggilnya pelan.

Namjoo kemudian menaruh buku sketsa di atas meja, dan berbalik menghadap Junghwa. “Ada apa?” tanyanya.

Junghwa menggigit bibir tampak ragu, “Erm… Kau tahu kan klien yang berasal dari keluarga chaebol itu? Dia memutuskan memilih sketsa gaun yang kau pakai bersama Sang—“ Junghwa berhenti menyadari akan mengatakan nama Sanghyuk yang selama ini ia hindari jika berbicara dengan Namjoo.

“Sanghyuk… Terus?” ucap Namjoo mengkoreksinya dengan tenang membuat ekspresi wajah Junghwa mengendur, menghela lega karena ia tidak melakukan kesalahan.

“Ya… dia bersikeras memilihnya, dia tidak mau memilih sketsa yang lain. Padahal sudah aku beri tahu yang itu tidak akan diproduksi lagi… Tapi aku tidak sengaja memperlihatkan sketsa itu padanya… Bagaimana ini…?” lanjut Junghwa, kini wajahnya tampak khawatir.

Namjoo terdiam memahami kekhawatiran Junghwa sebelum akhirnya berbicara, “… Apa keluarga chaebol yang kau maksud itu dari S?” tanyanya memastikan, menyebut salah satu perusahaan yang cukup bergengsi itu.

Junghwa mengangguk membenarkan.

“Kalau begitu terima saja, tapi kau pastikan harus dengan harga tinggi jika dia memang benar-benar dari keluarga S—“

Junghwa melebarkan kedua matanya, “Kau yakin Namjoo?” ujarnya terdengar tidak percaya.

Namjoo mendongak padanya, “Kenapa tidak?” sahutnya.

“T-tapi… itu gaunmu bersama Sang— Maksudku ya itu sangat spesial untukmu, kan?” sambar Junghwa.

Namjoo terdiam sejenak, “…Tidak apa… Lagipula aku harus melupakannya… Dan aku masih punya foto-fotonya kan?” ujarnya sembari terkekeh.

Junghwa menatap Namjoo di hadapannya sembari masih memasang wajah khawatirnya. “Benar-benar tidak apa?”

Namjoo mengangguk mantap. “Kapan lagi keluarga S tertarik dengan gaun kita? Kita tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini!” pekiknya. Namun Junghwa masih mengerutkan dahi. “…dan kalau terjual dengan harga tinggi, kau juga bisa mendapat banyak bonus Junghwa-ya!” lanjutnya sembari tersenyum lebar.

Saat itu juga kedua mata Junghwa melebar. “Benarkah? Kalau begitu… sepuluh persen?” ujarnya penuh harap.

Namjoo segera menyambar, “Itu tergantung berapa harga jual yang berhasil kau dapatkan…” kekehnya.

Junghwa kemudian mencibir, “Aishh… Baiklah… Aku akan berusaha sebaik mungkin…”

Namjoo tertawa.

“Tapi… benar-benar tidak apa-apa kan?” tanyanya lagi-lagi dengan nada khawatir.

Namjoo mendesah, “Iya, Park Junghwa” ujarnya meyakinkan.

“Baiklah…” jawab Junghwa. “Ah! bolehkah aku pulang sekarang Namjoo?” lanjutnya.

Namjoo melirik jam dinding yang menunjukkan angka pukul 08.15. “Baiklah… Memangnya ada apa?” tanyanya.

Kemudian Junghwa tiba-tiba mendadak tampak  tersipu malu. “Ini Jumat malam kan… Aku ingin berkencan…”

Namjoo kemudian terdiam dan mengedipkan matanya berkali-kali. ‘Aku tidak salah dengar kan?’ batinnya.

Junghwa otomatis merengut melihat ekspresi Namjoo, seakan ia bisa membaca pikiran Namjoo ia berkata, “Kenapa kau terlihat tidak percaya begitu?”

Namjoo segera menggeleng, “Tidak… Hanya saja aku agak terkejut…” sahutnya. “Jadi… Siapakah pria beruntung itu?” tanyanya melihat Jungwa mengerutkan bibirnya sekarang.

Bibirnya tertarik tersenyum kemudian, “Kau pasti terkejut, tunggu ya aku akan memanggilnya dan mengenalkannya padamu!” pekiknya dan segera berlari keluar ruangan membuat Namjoo tak bisa berkata apa-apa.

Namjoo tersenyum kemudian melihat tingkah temannya itu. Beberapa saat kemudian Junghwa memasuki ruangan dan menarik lengan seseorang…

“…. Jimin?” ujar Namjoo sembari melebarkan kedua matanya.

Jimin tampak mengusap lehernya, dan tersipu malu sedangkan Junghwa mulai terkekeh. “Hai Namjoo…” sapa Jimin.

“Kalian… Sejak kapan?”

Jimin tampak ragu untuk menjawabnya membuat Junghwa segera berkata, “Sebenarnya kita tidak tahu sejak kapan… tapi kita sering bertemu dan… ya begitulah…” jelasnya sembari diakhiri tawa.

Namjoo otomatis tersenyum. “Selamat… Aku ikut senang mendengarnya…” ujarnya tulus membuat mereka berdua saling bertatapan, tersenyum malu.

“Bagaimana kabarmu Namjoo-ya? Kau baik-baik saja?” ujar Jimin kemudian. Saat itu pula Junghwa menyenggol sikunya mengingatkan. Jimin menoleh menatap gadis di sebelahnya, bingung dan kemudian menyadari sesuatu.

Namjoo tertawa, “Ahaha aku baik-baik saja seperti yang kau lihat..”

Melihat ekspresi Namjoo, Jimin tampak lega, “Begitu? Syukurlah…”

Namjoo mengangguk mengiyakan, “Sudah sana pergi… Bukankah kalian akan berkencan?” ujarnya.

“Tapi kau? Kau masih ingin bekerja?” tanya Junghwa.

 Namjoo mengangguk, “Ya, aku ingin memperbaiki sketsa kemarin. Kau boleh pergi…”

“Tapi jangan menginap disini lagi ya? Dan ingat, kau harus makan malam” sambar Junghwa khawatir.

“Yay a ya! Kau semakin seperti ibuku saja Junghwa-ya… Aku janji!” ujar Namjoo meyakinkannya.

Junghwa kemudian terdiam, “Baiklah kalau begitu… kita duluan ya?”

 Namjoo mengangguk, “Ya, selamat bersenang-senang!”

Dengan begitu sepasang kekasih itu keluar ruangan menuju lantai satu dan keluar dari butik. Junghwa otomatis melingkarkan lengannya di lengan Jimin yang kemudian tersenyum padanya.

“Kau mau makan apa hari ini?” tanya Jimin.

Junghwa tampak berpikir sejenak, “Bagaimana kalau kita makan samgyetang ?”

“Baiklah!” sahut Jimin.

Junghwa kemudian merogoh tas lengannya, “Aku harus memberitahu Eomma aku telat pulang hari ini.. eh?” sambungnya sembari kemudian berhenti melangkah.

Jimin mengikuti pergerakannya. “Ada apa?” tanyanya melihat ekspresi panik Junghwa.

“Ponselku… sepertinya tertinggal di butik… Aku ke dalam dulu ya! Kau tunggu disini…” pekiknya dan berlari kembali memasuki  butik meninggalkan Jimin yang agak kebingungan.

Junghwa kemudian berlari menaiki tangga menuju ruang kerja, membuka pintunya dengan kilat.

“Namjoo-ya… Ponselku ketinggalan… Apa kau melihatnya? Namjoo…?”

Junghwa terdiam seketika menyadari bahwa Namjoo sedang menangis, buku sketsa di pangkuannya tampak terburu-buru ia tutup.

“Namjoo… Kau baik-baik saja?” tanya Junghwa dengan nada khawatir, ia kemudian perlahan mendekati Namjoo.

“Jangan! Jangan mendekat Junghwa-ya… Kumohon… Tinggalkan aku sendiri…” ujar Namjoo sembari tersedu.

“T-tapi…”

“Cepat pergi… Kumohon…”

*

Setelah hening diantara mereka berdua, Namjoo kemudian menyadari, perlahan Junghwa pergi meninggalkannya. Ia bisa mendengar tangis Junghwa sekilas sebelum keluar ruangan.

Namjoo kemudian membiarkan bahunya terjatuh, membiarkan wajahnya terbaring di atas meja, menyembunyikannya di antara dua lengannya. Ia kembali menangis.

‘Kenapa ini begitu sulit…

Kenapa aku tidak bisa merelakanmu, Hyuk…’

Ia berbaring sembari melihat pigura foto dirinya dan Hyuk di atas meja.

“Tok tok”

Tubuh Namjoo otomatis terhentak mendengar suara ketukan pintu, berpikir siapa yang mengetuknya di saat-saat seperti ini.

“Siapa?” tanya Namjoo dengan suara serak.

“Ini aku, Sungjae.”

Namjoo refleks melebarkan kedua matanya, “Apa yang kau lakukan? Cepat pergi…” ujarnya kemudian. Namun ia mendengar kenop pintu diputar dan suara pintu terbuka.

“Aku membawa makan malam untukmu…” ujar Sungjae sembari menaruh makanan di atas meja tepat di depan sofa.

“Pergi, Sungjae”

Ada jeda sejenak, “Tidak mau”

Namjoo otomatis berbalik di kursinya menghadap Sungjae “Aku serius, pergi Sungjae” ucapnya dengan nada dingin.

“Aku juga serius Namjoo… Aku tidak mau pergi” jawab Sungjae seketika sembari mendekati Namjoo

Namjoo mendesah, “Kau tidak mengerti… Aku sedang ingin sendirian sekarang…” ujarnya lirih sembari kembali mengalirkan air matanya.

“Kaulah yang tidak mengerti Namjoo… Kau butuh seseorang bersamamu...”

Namjoo menggeleng keras, “Aku tidak butuh” ujarnya lantang dan segera bangkit berdiri. Ia mendorong tubuh Sungjae. “Cepat pergi dari sini!”

Sungjae tak bergeming walaupun Namjoo tampak mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Namjoo kemudian mulai menarik lengannya, memaksanya bergerak untuk pergi.

“Cepat pergi Sungjae! Aku benar-benar ingin sendiri” teriaknya frustasi sembari menarik lengannya.

“Kau tidak, Namjoo… Kau butuh seseorang…”

Namjoo menggeleng, “Cepat pergi! Kumohon! Pergi sekarang juga!” pekik Namjoo sembari kemudian tersedu sedan.

Sungjae meringis melihatnya, ia kemudian menarik lengan Namjoo dengan mudah ke pelukannya. Melingkarkan kedua lengannya di sekeliling tubuhnya.

Namjoo segera memberontak, mencoba melepaskan diri sembari berteriak “Pergi, Sungjae! Cepat pergi…”

Semakin keras tangis sedu Namjoo terdengar, semakin erat pula Sungjae memeluk gadis itu.

*

Namjoo menggerakkan badannya pelan, ia merasa kepalanya pening, kedua matanya terasa berat untuk segera ia buka.

‘Sejak kapan aku tertidur?’ batinnya. Ia mengabaikan usahanya untuk segera terbangun, kepalanya masih terasa berat untuk segera bangkit dan kini ia terlalu nyaman untuk berbaring lebih lama… Ia memutuskan untuk tidur sesaat lagi sampai ketika ia menyadari ada sesuatu yang aneh.

Ada suara hembusan napas yang lambat, Namjoo sangat yakin itu bukan berasal darinya dan ia bisa perlahan mendengar samar suara detak lambat dekat dengan telinganya.

Kedua matanya refleks membuka, terkejut dengan apa yang kini di lihatnya. Ia langsung bangkit berdiri, membuat lelaki itu terbangun karena pergerakan mendadaknya.

“Kau sudah bangun Namjoo-ya?” ujar lelaki itu sembari menguap, matanya tampak masih belum terbuka sempurna.

“Apa yang kau lakukan?” ujar Namjoo seketika.

Sungjae tersenyum lebar, “Kau tidur nyenyak?”

Namjoo otomatis mengabaikannya.

Selalu begini, Sungjae seperti tiba-tiba muncul entah darimana, mengunjungi butiknya lebih sering, mengganggunya saat ia sendirian, mengajaknya makan malam. Mungkin Namjoo tahu maksud dari tindakan Sungjae. Bahwa dia hanya tidak ingin Namjoo sendirian… Tapi Namjoo merasa tidak butuh keperihatinan Sungjae… Tidak perlu sama sekali…

Hari itu Namjoo memutuskan tidak bekerja di butik, ia sengaja meninggalkan ponselnya di rumahnya. Namjoo tidak ingin diganggu… Ia hanya ingin sendirian sekarang…

Namjoo menaruh serangkaian bunga lili berwarna kuning tepat di depan batu nisan itu. Ia tersenyum miris melihat nama Han Sanghyuk terukir di atasnya. Membuat gelombang tak asing kini otomatis berlarian menuju kedua matanya,

‘Sampai sekarang… aku tidak percaya kau telah tiada Hyuk-ah… tapi, kini aku berada tepat di depan makammu…

Apakah aku begitu bodoh?

Hingga aku tidak bisa merelakanmu pergi?

Benar… aku bodoh Hyuk… aku tidak benar-benar mempercayainya…

Maafkan aku Hyuk… karena aku begitu bodoh….’

Tangis itu jatuh, membasahi pipi Namjoo tidak henti. Hingga ia terhentak karena menyadari tetes-tetes hujan mulai berjatuhan, perlahan membasahi permukaan tanah dan tubuhnya.

‘Apa ini… apa kau menangis Hyuk?’ batinnya melankolis karena ketiba-tibaan perubahan cuaca.

Pengunjung di pemakaman tampak mulai berlarian menghindari hujan, sedangkan Namjoo tampak tidak peduli. Namjoo terdiam, mengabaikan hujan yang semakin deras dan tubuhnya yang mulai basah kuyup.

Beberapa saat kemudian Namjoo mengeryitkan dahi, tiba-tiba hujan tampak berhenti… Tidak… Ia melihat sekelilingnya masih tampak dihujami derasnya hujan… Ia menyadari bahwa hanya tubuhnyalah yang kini tidak terkena hujan.

Namjoo kemudian segera mendongak, melebarkan kedua matanya begitu melihat Sungjae memegang payung di atasnya.

“Apa yang kau lakukan?” ujar Namjoo seketika.

“Bukankah seharusnya aku yang menanyakan hal itu?”timpal Sungjae.

Namjoo mengalihkan pandangannya, “Pergi, Sungjae”

“Tidak… Aku tidak mungkin membiarkanmu kehujanan disini. Ayo pulang!” serunya sembari meraih tangan Namjoo.

Namjoo menepisnya, “Tidak, biarkan aku disini” kilahnya.

Sungjae mendesah, “Baiklah… Kalau begitu aku akan bersamamu disini…” ujarnya kemudian sembari berlutut di sebelah Namjoo.

Namjoo memutar kedua bola matanya. Ia menangkap pandangan Sungjae menaruh bunga krisan di sebelah bunga lili yang sebelumnya ia taruh dan Sungjae memejamkan kedua matanya, berdoa.

Beberapa saat kemudian, Sungjae perlahan membuka matanya menoleh pada Namjoo. “Sudah cukup Namjoo-ya… Ayo kita pulang…” ucapnya sembari tersenyum pada Namjoo.

“Aku tidak mau…” kilahnya.

Sungjae terdiam sejenak, “Kau tahu Sanghyuk tidak mau melihatmu seperti ini Namjoo-ya… Tubuhmu basah kuyup..”

“Aku tidak peduli”

“Tapi aku peduli—“

“Kau tidak perlu”

Sungjae mendesah, ia menarik tangan Namjoo dengan paksa hingga ia berdiri dan terpaksa ditarik olehnya.

“Hentikan Sungjae!” pekik Namjoo.

Sungjae mengabaikannya, menarik tangan Namjoo hingga parkiran mobil.

“Kau sangat tahu Namjoo… Bahwa Hyuk tidak ingin kau seperti ini…” ucap Sungjae membuat Namjoo terdiam.

Sungjae membuka pintu mobil dan mendudukkan Namjoo di sana sebelum ia duduk di kursi pengemudi. Ia segera mengambil jaket cadangan di kursi belakang dan menyelimutinya di tubuh Namjoo.

Namjoo menepisnya.

Sungjae mendesah dan kembali memakaikannya. “Jangan keras kepala! Kau membutuhkannya!” serunya.

“Aku tidak butuh!” pekik Namjoo berontak, namun Sungjae sama keras kepalanya kembali memakaikannya.

“Ayolah Namjoo… Kau tidak bisa seperti ini terus… Kau tidak tahu bagaimana khawatirnya Junghwa dan Jimin? Junghwa menangis tidak henti mengkhawatirkanmu, Jimin berharap banyak padaku untuk menemukanmu… dan aku juga khawatir…” tutur Sungjae memelan dalam kalimat terakhirnya.

“Kenapa kau lakukan ini Sungjae… Aku tidak butuh rasa kasihanmu…” lirih Namjoo kemudian.

Sungjae terdiam sebelum menjawab, “Karena Sanghyuk tidak mau melihatmu seperti ini… dan karena aku ingin…”

Namjoo terdiam, mengalihkan pandangannya menuju jendela, mulai menangis dan tersedu.

Sungjae memandangnya pilu, “Jangan menangis”

“Jangan menangis”

Kedua mata Namjoo melebar, kalimat Hyuk kembali terngiang di dalam benaknya.

“Jangan menangis”

“Jangan menangis”

Wajah Sanghyuk saat mengatakan hal itu terpeta jelas dalam benak Namjoo, membuat dadanya kembali terasa mencekamnya. Kedua matanya panas oleh air mata. Ia kemudi

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet