Precious Student

Serial TK Paran (?)

Serial TK Paran (?) : Precious Students

Starring by:

Yang Jisung (OC) | FTISLAND’s member | Tuan Oh | Kyumin | de el el

Genre ga karuan, bahasa seenak jidat *jedaggh*

OOC (out of characters xD) | crackfict | comedy (maybe)

Oneshoot

Asuka © September 2015

...

Jisung nyaris ternganga melihat keempat bocah laki-laki di hadapannya kini. Ia masih ragu, apakah mereka ini yang akan menjadi murid-muridnya nanti? Oh ibu, penampilan bocah-bocah ini..... Jisung saja hampir nggak tega mendeskripsikannya.

Dari kiri, yang bertubuh paling tinggi dari teman-temannya, dengan wajah polos seakan tanpa dosa tampak asyik mengemut tiga jari tangannya seakan itu adalah permen gula nan manis. Ia tak jua menurunkan tangannya meski Tuan Oh sudah berulang kali menyuruhnya memberi hormat dan salam pada Jisung.

Di sebelah si tinggi, ada bocah dengan tubuh sangat kontras dari teman di sampingnya. Yakni pendek, bantet, dan paling gembul di antara yang lainnya. Matanya juga sangat sipit, namun yang memperparah tampilannya di mata Jisung adalah bocah itu lebih sibuk mengelap ingus yang meleleh dari salah satu lubang hidungnya menggunakan punggung tangan. Tidak hanya sekali, namun berkali-kali. Rasanya Jisung bisa pingsan saat itu juga.

Di sebelahnya lagi, Jisung bersyukur karena menemukan bocah dengan tampilan yang lebih normal. Rambutnya disisir rapi, pakaiannya juga disetrika. Di lehernya tergantung sebuah sempoa plastik berwarna kuning cerah. Ia terlihat meyakinkan.

Dan bocah terakhir, yang berdiri di ujung kanan berwajah tampan dengan rambut hitam legam, menambah deret kelegaan di hati Jisung. Setidaknya ia tak akan sestres yang bisa dibayangkan ketika harus menghadapi empat bocah berpenampilan variatif ini. Si tampan itu duduk kalem di atas sepeda roda tiganya, sayang ia sedang cemberut sehingga ketampanannya menjadi agak minus.

“Saya minta maaf ya, guru Yang. Anak-anak ini emang kadang nyebelin ke orang baru. Tetapi mereka gampang akrab kok, jadi nanti pasti Anda bisa merangkul mereka.” Tuan Oh, si kepsek TK Paran membeberkan kondisi murid-murid yang ada pada sang guru baru.

“Ah, nggak apa-apa. Ngomong-ngomong, tadi Anda bilang muridnya ada lima. Tapi kok, setelah dihitung-hitung Cuma ada empat ya?” Jisung memastikan bahwa kemampuan berhitungnya belum menurun.

Tuan Oh tersentak. “Benar juga ya. Eh Jonghun, temen kamu yang satu lagi mana? Nggak masuk sekolah dia?” Pria itu menanyai si tampan di atas sepeda roda tiga. Bocah itu mendongak kemudian angkat bahu.

“Au, Pak. Kan aku lagi marahan sama Hongki, abis dia nyuri ayam gaulnya aku siih..! Huuh!” Jonghun bersungut-sungut sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Kening Jisung mengernyit.

“Ayam gaul? Eh eh, hyung, Minan juga punya ayam gaul lho di lumah!” Tiba-tiba si pendek-bantet yang terus-terusan ngelap hidungnya itu ikutan nimbrung dengan aksen cadelnya. Jonghun melirik padanya. “Jinja? Perasaan kamu itu mana punya duit buat beli ayam gaul, tabungan aja dikorek mulu buat beli tisu..”

Minan manyun nggak terima dikatain begitu. “Iiih nggak pelcayaan banget sih! Minan punya satu, tau, walnanya melah kuning ijo. Glatis lagi,” ujarnya tak mau kalah.

Jonghun mencibir. “Gratis dari mana???”

“Kemalen nemu di pekalangan lumahnya hyung...” sahutnya lugu. Jonghun melotot lalu meraung-raung bahkan turun dari sepeda roda tiganya. Telunjuknya mengacung tepat di depan wajah Minhwan yang terkaget-kaget.

“Jadi, kamu yang ngambil ayam gaulku? Minan jahaaaatttt iih jahaatttt!!! Aku malah nuduh si Hongki yang nyuri... huwaaaaa.... Hongkiiiii maafin Jonghuunn.... Huwaaaaa....” Bocah tampan itu justru menangis keras sambil menggerak-gerakkan kedua kakinya di atas tanah membentuk pusaran. Jisung dan Tuan Oh mendadak kebakaran jenggot.

“Aduuuh udah jangan nangis dong, Jonghun!”

“Minan kamu kenapa juga pake ngaku segala udah ngambil ayam gaulnya Jonghun?” si pembawa sempoa mengomeli Minhwan yang semakin banyak saja ingusnya. Ia hampir menangis karena senewen disalahkan oleh semua orang. Bukannya membantu, sempoa berjalan itu semakin memperkeruh suasana hingga seperti kuah sayur jantung pisang (?).

“Huwaaaaa... Minan jahaattt... Aku mau minta maaf ke Hongkiii... Huwaaa....” Jonghun tak kunjung mereda tangisannya sehingga Jisung mencapnya sebagai bocah tampan yang cengeng setengah mati. Gara-gara ayam doang nangis, ni bocah!

“Makanya jangan suka kelayaban dan asal ambil!”

“Jaejin diam dulu deh!”

“Minan siniin dong tangan kamu... Ada yang rasa cokelat nggak? Punyaku nggak enak.” Seunghyun bersikeras menarik tangan Minhwan dan hendak mengemut jari-jari gemuk milik bocah itu. Sebelum sempat dimasukkan ke dalam mulut Seunghyun, dengan kuat Minhwan menariknya kembali dan menyebabkan Seunghyun terjengkang. Alhasil bocah jangkung itu ikut-ikutan menangis tak kalah kerasnya dengan Jonghun.

“Seunghyun jangan nangis deh! Kamu jelek tahu kalau nangis!”

“Minaaaannnn.... Tutup idung dong biar ingusmu nggak ke mana-manaaaa...!”

Alhasil, hari pertama Jisung yang seharusnya menjadi pengajar di sebuah TK bernama Paran tersebut kacau balau akibat insiden pencurian ayam gaul yang tak disengaja oleh si pendek Minan. Mana ingus di mana-mana lagi, iiuukh...

*

Seminggu berlalu...


 

“Bu guruuu.. Oo.. bu guruu...!” Koor cempreng khas anak-anak melengking di balik pintu rumah kontrakan Jisung. Dengan tergopoh-gopoh setelah ber-DJ ria di dapur (maksudnya cuci piring ye..) wanita itu berlari ke pintu dan membukanya. Belum juga Jisung menyahut, dua bocah laki-laki itu kembali berteriak.

“Ada hantuuuuu..!!!”

“Takuuuutttt..! Je pulang aja yok!” Jonghun dan Jaejin gemetaran di tempatnya, sementara Jisung ikut melompat bak kutu yang menemukan lahan baru ketika mendengar ada hantu. Maklum doi penakut berat -_-“

“Mana hantunya? Manaaaaa???”

“Huwaaaaa... hantunya turun dari rumah bu guruu...!”

Jidat Jisung mengkerut kayak nenek-nenek peyot sebelum ia sadar siapa yang dimaksud kedua anak TK itu sebagai hantu.

“Heh sembarangan! Ini bu guru, bukan hantu! Liat baik-baik!” Jisung menghardik keduanya, gondok karena disangka hantu. Ia kemudian melepaskan masker putih dari wajahnya. Barulah setelah itu Jonghun dan Jaejin berhenti megap-megap dan berdiri tenang.

Jisung mencolek bahu keduanya sembari bertanya, “emang ada apa sih kalian berdua nyari ibu pagi-pagi gini? Hari minggu juga, kita masuk sekolahnya besok. Atauuu... kalian dah kangen yaa sama ibu? Hahaha ibu sadar kok ibu cantik dari sononya...”

Sontak saja kedua bocah lima tahunan itu mendelik, keheranan melihat guru satu-satunya—selain Tuan Oh—di sekolah tercinta mereka tersebut mendadak kepedean akut. Salah minum obat kali ya tadi?

“Kita ke sini bukan mau liatin ibu. Kita ke sini bawa misi toilet darurat eh, gawat darurat, bu!” Jaejin mengabaikan kalimat percaya diri Jisung barusan, membuat wanita itu melengos seperti jongos. Ia kemudian menatap Jonghun yang menyambung perkataan temannya.

“Gini ya bu... Mamahnya Hongki tuh mau melahirkan, udah sakit perut pake banget. Tuan Oh nyuruh kita buat ngejemput ibu ke rumahnya Hongki.”

Lagi-lagi keriput di kening Jisung nambah dua. Sia-sia doi maskeran pagi-pagi kalau ujung-ujungnya dibuat mengkerut-kerut juga. “Haa? Kok malah manggil ibu sih? Bukannya nyari dokter, kek. Bidan kek, atau dukun beranak. Emangnya ibu asisten bidan apa?”

Jaejin menghentakkan salah satu kakinya ke tanah, membuat sempoa yang setia bergelantungan di lehernya ikut-ikutan terlonjak kecil. “Ibu banyak protesnya ih! Kita Cuma disuruh, tau!”

Giliran Jonghun manut-manut. Setelah berpikir basa-basi, Jisung memutuskan untuk ikut saja bersama dua orang muridnya tersebut. Siapa tahu kehadirannya memang diperlukan di rumah Hongki. Maka berbaliklah ia hendak masuk ke dalam rumah. Niatnya mau ganti baju, tapi dicegah oleh teriakan Jaejin.

“Mau ngapain lagi, bu? Cepetan kita perginya.”

“Ibu mau ganti baju dulu lah. Masa’ pakai piyama gini? Bisa malu dong!”

Dengan sekali lompatan, Jonghun meraih pergelangan tangan Jisung yang lebih gede dari ukuran satu telapak tangannya kemudian menyeretnya meninggalkan pekarangan.

“Kata Tuan Oh nggak usah ganti baju. Langsung cabut aja. Yuk ah, bu.” Bocah itu sudah menarik-narik tangannya seperti menyeret kerbau yang terjebak di kubangan lumpur. Dengan ringan hati Jisung akhirnya menyerah dan nggak jadi ganti baju. Untunglah piyamanya nggak bergambar apa-apa, Cuma hijau polos seperti jaketnya Running Man Jaesuk.

Singkat cerita, sampailah ketiganya di rumah Hongki yang cukup ditempuh dengan berjalan kaki. Di sana sudah ada beberapa orang ibu-ibu yang berkumpul di pelataran, termasuk di antaranya Tuan Oh. Kelihatannya Cuma dia satu-satunya cowok yang terdampar di sana. Maklum lah, tahu punya tahu Tuan Oh itu masih keturunan sesepuh desa. Yaah.. bisa dibilang cucu dari cucu anak kakek buyutnya orang yang disegani desa mereka.

Melihat kehadiran Jisung, Tuan Oh melambaikan tangan. Jisung hanya tersenyum sebelum bergabung di sana. Ia menyapa ibu-ibu yang ada kemudian duduk di sebelah Tuan Oh.

“Anda manggil saya? Ngapain sih, Pak? Minta bantu dorongin bayinya?” Tanpa tedeng aling-aling Jisung langsung ke inti permasalahan. Ia risih juga, Cuma guru bantu di sini eh dimintai tolong yang enggak-enggak. Maksudnya, bukan bidangnya gitu. Dia taunya ngajar, bukan nolongin orang beranak.

Tuan Oh nyengir kuda lumping lalu garuk-garuk tenggorokannya yang tiba-tiba saja gatal. Apalagi Jisung masih menatapnya seakan meminta dikeluarin seluruh isi kepalanya. Bikin grogi saja, pikir Tuan Oh.

“Nggak ada maksud apa-apa sih, Bu. Biar saya di sini ada temannya aja, gitu. Bosen dikelilingin sama ibu-ibu sementara saya harus stay di sini untuk memastikan ibunya Hongki beserta bayinya selamat.”

“Emangnya harus ya?” Di sela pertanyaan itu, Jisung mendengar seruan—entah dokter atau bidan—meminta yang melahirkan untuk tarik nafas kemudian hembuskan agar memudahkan persalinan.

“Yaa.. begitulah. Dari buku peraturan yang diwarisi keluarga saya secara turun temurun memang tertulisnya demikian.”

Mulut Jisung membentuk huruf O yang seringkali disalahartikan Minhwan sebagai telur ayam impiannya di papan tulis. Jisung juga melihat kedua anak lelaki yang tadi menuntunnya ke mari sedang bermain tanah, asik mencorat-coret sesuatu di halaman rumah Hongki. Bersama Minhwan dan Seunghyun, mereka berdiskusi layaknya kaum pejabat.

“Nama adiknya nanti siapa, hyung?” tanya Jaejin pada Hongki yang tadinya di dalam kini disuruh menunggu di luar. Hongki tampak berpikir, menimbang-nimbang dengan mimik yang lebih serius melebihi pedagang beras di pasar. Selagi anak itu memainkan imajinasinya, Seunghyun unjuk tangan.

Sa-rang saja. Biar adiknya hyung selalu dicintai orang desa.”

Jonghun menyeringai aneh, pertanda tak setuju pada usulan Seunghyun. Ia mengambil ranting yang lain kemudian menuliskan sebuah nama di tanah. Jaejin berusaha membacanya.

Gyo-eun? Apa maksudnya?”

Anak lelaki tampan itu membanting rantingnya. Kesal karena Jaejin tak mengerti maksudnya lebih cepat. “Adiknya Hongki harus imut. Kyut, begitu.”

Meledaklah tawa Jaejin. Ia meledek pengucapan Jonghun yang salah. “Kyut? Maksudnya, cute? Hahahaha...”

Minhwan hanya diam memperhatikan tingkah laku para hyungnya. Ia tidak tertarik, pikirannya masih dipenuhi oleh ayam gaul Jonghun yang kini sudah kembali ke tangan pemiliknya setelah sempat beberapa malam menjadi kepunyaannya. Ia benar-benar kangen ayam bercorak lampu lalu-lintas itu, sialnya Jonghun tak mengizinkan Minhwan merawatnya bersama.

“Ayam...” gumamnya pilu. Hal itu sampai ke telinga Hongki, seketika konsentrasinya buyar. Ia berdiri dengan mata berapi-api. Ketiga anak lainnya terkejut, begitu pula Jisung dan Tuan Oh yang sedari tadi memperhatikan mereka dari pelataran.

“APA?! Kau mau menamai adikku ayam?! Tega sekali!” raung Hongki mulai tersengal. Tidak peduli Minhwan adalah tetangganya atau teman sebangkunya, menamai adiknya AYAM benar-benar tidak manusiawi (menurut Hongki). Bagaimana jika adiknya secantik Ariana Grande, atau setampan Choi Siwon Suju, atau suaranya sebagus vokalis FT Island, tidak masuk akal jika namanya ayam! Setidaknya ada nama yang lebih pantas dari itu.

“Kamu kenapa sih, Hongki?” tanya Jonghun yang rada-rada. Dia nggak denger apa yang barusan diucapkan oleh Minhwan. Seunghyun sudah menahan Hongki agar tidak menyerang Minhwan dengan tendangan seribu bayangannya.

“Minan, jelasin maksudnya!” Jaejin meminta klarifikasi dari si pelaku seolah mereka dalam acara infotaimen. Minhwan yang disikut berkali-kali menatap Hongki takut-takut, skeptis mau membuka mulut.

“Ada apa ini, ribut-ribut?” Tuan Oh dan Jisung menghampiri kelimanya. Melihat kedua orang paling mereka hormati di sekolah itu ikutan nimbrung, Hongki hanya bisa cemberut sambil menunggu pengakuan dari Minhwan.

“Bu gulu, Minan nggak ada maksud kok ngasih nama ayam buat adiknya Hongki hyung. Ini Cuma salah pengeltian. Tadi, Minan lagi mikilin ayam gaul yang diambil sama Jonghun hyung, jadi keceplosan manggil si ayam...”

Jisung menghela nafas. Persoalan sepele toh rupanya. Sekedar miskomunikasi. Lagian kenapa pula Hongki mesti percaya Minhwan mau ngasih nama adiknya ayam? Udah tau si Minan suka hiperbola kalau menyangkut persoalan ayam, masih aja ditanggepin serius.

“Udah, udah. Lain kali jangan bikin acara aneh-aneh begini. Buru baikan, saling minta maaf. Sekarang cukup diskusi ngasih namanya, kita tunggu aja sampai adiknya Hongki ke—”

“Adiknya udah keluaaarrrr...!!!” tiba-tiba Seunghyun berseru kayak ngeliat topeng monyet keliling sambil menunjuk ke pintu rumah. Dari sana terdengar tangisan bayi memecah membahana. Ibu-ibu yang tadi duduk di luar bersegera masuk, tak ketinggalan Hongki melompat begitu saja. Tak sabar ingin melihat adik kecilnya.

“ADIKKU!! NAMANYA JAEYOUNG!!!”

Jonghun berdecak sembari korek-korek kuping karena kebetulan ia yang berdiri paling dekat dengan Hongki. Gendang telinganya mendadak perih oleh teriakan Hongki yang tidak tanggung-tanggung. Minhwan yang sempat berseteru ikut gembira, sebagai perayaannya ia berpelukan bersama Seunghyun. Jingkrak-jingkrak kayak kodok diguyur air hujan.

Jaejin tersenyum bijak, ia mengangguk seperti boneka di dashboard mobil yang lehernya teklak-tekluk. Kedua tangannya telah ia rentangkan ke samping dan mencari-cari orang untuk berbagi pelukan. Namun begitu ia berbalik, tak ada satu pun yang tersisa. Tuan Oh mengekori Jisung dan berhenti di pelataran bersama Jonghun, sementara duo magnae Seung-Hwan tidak peduli padanya.

“Dasar jahat! Padahal, berkumpul di sini kan semua ideku! Huh!”

*

Sebulan kemudian...


 

Di pagi yang masih diselimuti embun, daun pintu kontrakan Jisung sudah terbuka. Tampaklah guru muda itu melakukan perenggangan sehabis bangun tidur. Ia menggerakkan tubuhnya ke kiri ke kanan, menekuk, dan lain sebagainya. Hari ini hari senin, waktunya mengajar dan ia harus terlihat segar di hadapan ke lima precious students TK Paran yang masih belum juga bertambah jumlahnya hingga hari ini.

Pada lompatan ke delapannya, sayup-sayup bola mata Jisung menangkap siluet seseorang berbadan tinggi menghampiri kediamannya. Kelopak mata Jisung menyipit, berusaha mengenalinya. Namun begitu sudah sangat dekat jaraknya, wanita itu tertegun seperti melihat hantu yang lebih seram dari Sadako.

“Hai! Ternyata benar kamu tinggal di sini! Jisung-ah, apa kabar?” Sekonyong-konyongnya sosok itu menyergap Jisung dengan sebuah pelukan. Kemudian menepuk-nepuk pundaknya lembut, lalu tersenyum. Jisung yang sempat mematung beberapa sekon, segera sadar dan berusaha melepaskan diri. Wajahnya seberang berang-berang. Matanya menyala seperti burung hantu menatap sosok yang kini kebingungan akan respons kasar Jisung.

“Mau apa kau ke mari? Sudah kubilang jangan ganggu hidupku lagi!”

“Jisung-ah, aku bermaksud baik datang menemuimu. Aku ingin memastikan kamu baik-baik saja tinggal di desa ini. Bagaimana bisa ka—”

“Aku tidak butuh perhatianmu, KYUMIN! Kembali saja ke kota dan tinggalkan aku dalam ketenangan tempat ini!” Jisung masih melolong seperti serigala lapar sehingga membuat orang bernama Kyumin itu menaruh tangannya di pinggang.

“Kupikir kau banyak berubah sekarang. Jadi tempramental, suka berteriak, dan hobi melotot. Tapi, masih ada yang tetap sama...”

Jisung menggemeretukkan giginya gemas karena Kyumin menggantung-gantungkan kalimatnya. Sama seperti kebiasaan pria itu menggantung-gantungkan statusnya dulu. DULU!

“Masih... TETAP CANTIIIKKKK!!!!” Tanpa peringatan, Kyumin kembali memeluknya yang seketika mendidihkan darah di ubun-ubun Jisung. Tanpa peringatan pula, Jisung meronta lebih hebat sebelum pelukan itu mengerat. Dan berhasil.

“AAARRRGGGHHH!!!!”

Sedetik setelah jeritan itu lolos dari mulut Jisung, tangannya meraih sendal yang dipakainya kemudian menghadiahi benda itu tepat ke wajah Kyumin. Pria itu harus sarapan ‘tepukan sendal’ pagi-pagi.

“AKH!”

*

Niatnya mau mengusir Kyumin, justru terbalik. Akibat pukulan maut sendal nippon Jisung di wajah Kyumin, pipi pria itu sedikit memar dan lecet. Terang saja, di bagian bawah sendal Jisung dipenuhi pasir dan kerikil, tak ketinggalan permen karet. Karena ulahnya sendiri, Jisung harus mengobati Kyumin sebab tidak mungkin membiarkan pria itu pergi dengan wajah acak-acakan. Biar begitu, Kyumin tetaplah manusia dan wajib ditolong.

“Setelah ini segera pergi. Aku tidak punya waktu meladenimu,” usir Jisung sarkastik.

“Bahkan sebelum membuatkanku secangkir teh?” pancing Kyumin agar bisa berlama-lama di sana. Jisung mendelik. “Bodoh! Aku tidak suka teh jadi jangan harap menemukan serbuknya di sini.”

“Kopi saja kalau begitu,” ujar Kyumin lagi. Jisung nyaris meninju kepalanya jika saja Kyumin tidak bergeser dan segera meminta maaf. “Air putih pun tidak untukmu. Jangan mencari alasan!”

Jisung membereskan kotak P3Knya kemudian menyimpan benda itu ke dalam rumah. Mereka hanya duduk di pelataran sejak tadi. Kyumin juga tidak mau ambil resiko siapa tahu di dalam rumah Jisung ada godam yang lebih berbahaya untuk menghantamnya jika berlaku macam-macam.

“Memangnya apa pekerjaanmu di sini? Segitu asyiknya ya sampai-sampai kamu betah begitu.”

“Guru. Dan aku harus ke sekolah hari ini. Aduuh, lihat aku jadi terlambat gara-gara kehadiranmu yang tak diundang!” Jisung mengomel sambil melirik jam dindingnya. Ia baru selesai mengenakan jam tangan ketika Kyumin berkata bahwa di kota masih banyak pekerjaan yang menjanjikan dan tak harus menyusahkannya hingga harus tinggal di daerah yang jauh dari keramaian seperti ini.

“Sekali lagi kau menjelek-jelekkan pekerjaanku dan desa ini, kulaporkan kau ke polisi! Ayo, pergi sekarang juga! Pergi!” Jisung tersinggung. Marah karena pekerjaan mulianya dianggap remeh-temeh oleh Kyumin. Dia pikir gampang menjadi guru? Coba saja kalau dia bisa, gerutu Jisung dalam hati.

“Iya, iya. Aku tarik ucapanku yang tadi, tapi tolong jangan dorong-dorong bahuku doong!” Kyumin seperti berada dalam bus ugal-ugalan, tubuhnya oleng ke depan berkali-kali akibat dorongan Jisung. Mereka masih dorong-dorongan ketika empat anak kecil berseragam dan seorang pria dewasa memasuki pekarangan. Ucapan salam kelima orang itu menyadarkan Jisung.

“Bu gulu, sedang apa? Main kuda-kudaan ya?” celetuk Minhwan pertama kali. Jaejin langsung menyikut perutnya. Seunghyun terkikik di samping Jonghun.

“Bu Guru Yang, Anda sedang ada tamu ya? Ah, maaf kami sepertinya mengganggu..” Tuan Oh mendadak bersemu merah mukanya, ia melirik sekilas pada Kyumin yang teraniaya. Wajah Jisung langsung merah padam. Kenapa ia harus kepergok oleh mereka semua, sih?

“Ah, tidak kok! Dia bukan tamuku, hanya orang nggak penting. Abaikan saja.” Serta merta Jisung menendang punggung Kyumin hingga pria itu terjengkang dan jatuh ke tanah. Jonghun separuh ternganga melihat posenya yang sudah seperti kura-kura tengkurap.

“Ng, apa saya terlambat sekali sampai-sampai kalian menjemput ke rumah? Maaf—”

“Ya elah, Bu guru. Masih aja kepedean!” Jaejin memasang wajah malas karena tujuan mereka ke sana memang bukan untuk mengingatkan Jisung yang tak hanya terlambat beberapa menit saja, melainkan sudah setengah jam dari waktu masuk kelas. Tuan Oh mengambil alih.

“Bukan kok. Kita ke mari untuk.. mengabarkan pada Anda bahwa... bahwa...”

Baik Jisung maupun Kyumin (yang sudah bisa berdiri) sama-sama gigit jari menunggu kelanjutan ucapan Tuan Oh. “Bahwa, adiknya Hongki hilang. Hilang, Bu!”

WHAT?!” sembur Jisung. Bagaimana tidak, adik Hongki kan baru lahir bulan lalu, kok bisa hilang? Hilang ke mana? Sadis banget ih!

“Kok bisa, sih? Emang kapan kejadiannya, Pak?” Jisung menghalau muka Kyumin yang menghalangi pandangannya. Ia turun ke pekarangan demi mendengar detail cerita lebih jelas dari Tuan Oh.

“Tadi pagi-pagi banget, Jonghun melapor ke saya. Bilang kalau Hongki lari-lari terus bilang ke dia kalau adiknya tidak ada di rumah. Tepatnya, ketika Hongki mau memeriksa popok adiknya sehabis bangun tidur, bayi cantik bernama Jaeyoung itu sudah lenyap entah ke mana,” terang Tuan Oh kalem nggak ngos-ngosan. Jisung juga jadi turut mengatur nafasnya.

“Benar begitu, Jonghun?”

“Iya, Bu. Kemarin siang padahal adiknya masih ada kok. Aku sama Jaejin sempat main ke sana.”

Jaejin mengangguk setuju. Hanya Minhwan yang sepertinya hobi sekali diem-dieman. Ia memainkan jari-jemari gemuknya yang selalu bikin Seunghyun ngiler buat diemut (idiih!). Dia lagi sedih, tadi Hongki sempat nuduh dia nyulik Jaeyoung berdasarkan kejadian ribut-ribut ayam gaul Jonghun sebulan yang lalu. Siapa tahu Minhwan kepengen punya adik juga terus nyimpen Jaeyoung di bawah kasur atau kolong ranjangnya, pikir Hongki nggak berperasaan.

“Ya sudah. Sekarang kita ke rumah Hongki? Saya ganti baju dulu ya..” izin Jisung ngibrit ke dalam rumah. Sementara itu, Kyumin menatap Tuan Oh dengan penuh selidik. Ia cemburu juga begitu tahu Jisung punya partner kerja seperti Tuan Oh ini. Bisa kalah saingan nih!

Tuan Oh yang mendapat tatapan sedemikian tak biasa dari Kyumin, adem ayem meski dalem hati risih juga. Nggak nyangka Jisung punya teman cowok sekeren ini. Pasti dari kota deh dan pergaulannya modern punya, pikir Tuan Oh pesimis.

“Oh ya, kita belum kenalan. Saya Oh Wonbin, kepsek di sekolah tempat Bu Guru Yang mengajar.” Tuan Oh mengulurkan tangannya. Kyumin melirik sebentar, sebelum memutuskan menjabatnya. “Kyumin. PACARNYA Jisung.”

Lelaki itu sengaja menekan ucapannya pada kata PACAR, bermaksud menyudutkan Tuan Oh. Kayak pemain bola aja pake sudut-sudutan, tendangan kalee...

*

“MANTAN!” Jisung menginjak keras-keras kaki Kyumin ketika lelaki itu memperkenalkan dirinya ke orang-orang yang berkumpul (kembali) di rumah Hongki. Nggak sudi banget dianggap pacar lagi sama Kyumin yang udah membuatnya terlunta-lunta dalam perasaan tak berkelanjutan (ceilaaa sok puitis).

Tuan Oh mengulum senyum, ia berasa mengalahkan Kyumin dalam satu sepakan. Lupa tujuannya ke sana adalah untuk membantu memecahkan masalah serius keluarga Lee yang kehilangan bayi.

“Mantan itu apa sih, oi?” Seunghyun bertanya dengan lugu. Mereka lagi merumbungi Hongki yang sesegukan meratapi adiknya.

“Mantan itu, air parutan kelapa yang warna putih itu lhoo...” sahut Jaejin asal.

“Itu santan!” sergah Jonghun mengetahui akal-akalan Jaejin. Kini Minhwan mau bicara, ikut memberikan saran. “Mantan bukannya jenis ayam ya??”

“Ayam jantan maksudmu, Minan sayang?” Seunghyun nimbrung menjawabkan. Jaejin tergelak karena teman-temannya sudah termakan umpannya. Dasar anak TK, umpan basi masih dimakan. Hongki berhenti menangis, ia tersenyum geli mendengar keributan tak penting itu. Yah, setidaknya jika ada keempat anak itu di sekitarnya, mereka akan membuatnya lupa tentang masalahnya barang sejenak. Itulah yang Hongki syukuri hingga detik ini. Itulah untungnya punya teman-teman konyol macam mereka.

“Jadi Jaeyoung benar-benar hilang, ahjumma?” Jisung meyakinkan lagi siapa tahu ibu Hongki lupa menitipkan anaknya ke siapa gitu. Tapi perempuan itu bersikeras bahwa kemarin sore sampai malam Jaeyoung masih di rumah.

“Kalau ini penculikan, kenapa pelakunya tidak meminta uang tebusan?”

Jisung menggeram mendengar ucapan Kyumin. Lelaki itu sembarangan sekali kalau bicara. “Tutup mulutmu! Jangan ikut campur,” desisnya.

“Apa sebaiknya kita lapor polisi saja, ahjumma? Aku khawatir terjadi apa-apa pada bayi kecil itu jika kita terlambat bertindak,” usul Tuan Oh yang serentak disetujui para warga. Jisung berpikir ada benarnya juga, namun tidak dengan Kyumin. Ia menyanggah, bahwa jika kejadian belum berlangsung satu kali duapuluh empat jam, maka laporan seperti itu tidak akan ditanggapi.

“Sudah kubilang diam!” hardik Jisung kesekian kalinya. Ia benar-benar tidak suka sikap sok ikut terlibat Kyumin. Pria itu menggerutu sebab segala tindakannya selalu salah di mata Jisung. Sementara para dewasa berembuk, kelompok lima precious students di pelataran juga sibuk menginterogasi saksi mata tunggal yaitu Lee Hongki.

“Benar kamu nggak lihat sesuatu yang mencurigakan di kamar Jaeyoung, hyung?” si sempoa Jaejin berlagak seperti detektif SD kesukaannya, Mister Conan. Yang ditanya mengangguk cepat. Kemudian ia meminta tisu pada Minhwan untuk mengelap ingusnya.

“Coba ingat-ingat lagi lah, Hongki. Siapa tahu ada petunjuk, gitu,” paksa Jonghun yang menyesal karena hari ini harus melewatkan pelajaran kesukaannya di sekolah, yaitu menggambar. Karena kasus kedua setelah ayam gaul kemarin, sekolah hari ini tidak berjalan seperti seharusnya. Semua orang sibuk mengurusi keluarga Lee.

“Dieem dong semuanya! Aku malah nggak bisa mikir nih!” Hongki merajuk hingga membuat keempat bocah di samping kiri-kanannya mengancing mulut mereka. Saat itu, Kyumin melangkah ke luar karena di dalam sana percuma, dia dapat pelototan melulu dari Jisung. Empet juga jadinya. Mending ngumpul sama bocah-bocah ingusan.

“Hai semuanya. Kamu yang sabar ya, kalau perlu nanti Om bantu hubungin pengacara buat nyari adik kamu.” Kyumin berjongkok di hadapan kelima bocah itu.

“Pengacara apaan sih, Om? Mending nyuruh orang desa buat ngegeledah rumah-rumah penduduk siapa tahu Jaeyoung sembunyi di sana,” sahut Hongki membuat Kyumin mati kutu. Lagian, pengacara buat di pengadilan. Bukan urusan culik-menculik taraf kecil-kecilan begini. Ah, dasar. Pantas Jisung muak sama dia *plak

“Yah, apa saja boleh deh. Nanti Om usaha—Oi! Bukankah itu penculiknya? DIA BAWA-BAWA BAYI!” seruan mendadak Kyumin mengejutkan semuanya. Baik lima bocah di pelataran, maupun orang-orang di dalam rumah.

“Itu sih, bapaknya Hongki, Om! Enak aja nuduh ahjussi penculik bayi!” sergah Jonghun tak terima ayah temannya dikatain.

“Tapi bener deh, hyung. Bapaknya Hongki hyung gendong bayi tuh!” Jaejin menunjuk ke arah pagar. Seunghyun dan Minhwan bertepuk tangan gembira, mereka beranggapan bahwa bapaknya Hongki berhasil nemuin Jaeyoung dan bawa pulang.

“Horeeee!!! Ahjussi memang pahlawan! Menyelamatkan anaknya yang hilang!”

Hongki menghampiri ayahnya dan memeriksa Jaeyoung. Bayi itu tertidur pulas di pelukan sang ayah. Tidak peduli pada kegaduhan di sekitarnya.

“Gimana ceritanya?” Jisung dan Tuan Oh bertukar pandang satu sama lain sebelum bapaknya Hongki bertanya ada apa ramai-ramai di rumahnya. Ibunya Hongki ngejelasin duduk perkara pada sang suami yang sebetulnya sejak beberapa hari lalu menginap di rumah kerabatnya.

“Lha, diculik siapa? Emang Hongki belum bilang ya? Tadi malam, waktu semua orang sudah pada tidur, aku datang ngejemput Jaeyoung buat dibawa ke rumah saudara. Aku nitip pesan ke Hongki karena Cuma dia yang masih bangun. Kamu kan kalau udah tidur susah banget dibanguninnya. Jadi aku langsung pamit. Kok jadi salah paham gini?”

Serentak semua orang yang berada di sana menyerukan ‘AAAHHH’ lega karena ternyata tidak ada itu yang namanya insiden penculikan. Murni keteledoran Hongki yang lupa bahwa ayahnya menjemput Jaeyoung malam-malam. Yah, pada akhirnya case closed deh. Jaeyoung kembali, semua senang.

“Jadi, ngapain masih di sini? Pulang sana!” ketus Jisung belum berkurang juga. Ia, Tuan Oh dan Kyumin jalan beriringan menuju ke sekolah. Di depan sana, kelima precious students menemukan kembali kegembiraan mereka. Selain adik Hongki nggak jadi ilang, Tuan Oh dan Jisung memutuskan buat ngajar hari ini meski jam masuk udah molor dari tadi. Karena melihat semangat anak muridnya, Jisung jadi nggak tega meliburkan mereka.

“Nggak usah ngusir bisa nggak sih? Aku bakal balik kok, tapi nanti.” Kyumin juga masih keras kepala. Tuan Oh tak banyak membantu, ia tak mau terseret dalam masalah dua sejoli itu meski geregetan juga. Lha wong ceweknya udah nggak minat, kok masih dipaksa-paksa? Gimana sih Kyumin ini, gerutu Tuan Oh.

“Ya sudah kalau itu maumu.” Jisung melenggang lebih cepat meninggalkan kedua lelaki yang ternyata sama-sama menaruh hati padanya tersebut. Ia memilih bergerombol bersama lima anak didiknya. Tuan Oh dan Kyumin yang melihat itu menghela nafas berbarengan.

Sampai kemudian tanpa Jisung sadari, Hongki, Jonghun, Jaejin, Seunghyun serta tak ketinggalan Minhwan berbalik sambil menjulurkan lidah pada Kyumin. Tatapan mereka seolah berkata, “kami tidak akan menyerahkan Bu Guru Yang padamu. Bu Guru Yang milik kami, titik!”


 

END


 

Kalau nggak lucu, minta digelitikin temen deh sambil bacanya XD kalau mau muntah, ke toilet gih! Makasih udah mau baca ff kritis ini, kritik dan saran ditunggu.....


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet