Apate and Thanatos || Chaeki FF

Apate and Thanatos || Chaeki FF

 

“Dia adalah Apate, sementara aku Thanatos.

Bagaimanapun juga, Apate selalu berhasil mengelabui Thanatos, sang dewa kematian.”

 

DISCLAIMER

I own everything but the characters.

Plagiarism is prohibited!

Be free to judge my story and Happy Reading!

©2014

 

Author: Metha Alana||Tittle: Apate and Thanatos

Length: -5454 words||Genre: Dark-ROMANCE

|Ratting:PG-17|

Summary: Joongki sang Thanatos yang jatuh dalam pesona Dewi penuh tipu daya, Apate.

 

-PREPARE YOURSELF FOR AN UNPREDICTABLE TWIST PLOT AND WATCH THE TIME SETTING-

 

Pria itu, si tampan bersurai sepekat langit malam tanpa bintang. Ia mengangkat dagunya sekali lagi, menikmati kepakan laron yang memadu kasih beberapa inci di atas ubun-ubunnya yang lamat dijajah uban.

“Waktumu sudah berakhir, Joongki…” Suara itu menyapa dari ujung sebuah pintu gerbang.

Pemiliknya adalah seorang pria berpistol. Joongki tersenyum, menghampirinya.

>><< 

2508.2024

Kau tahu, apa hewan yang paling menyedihkan di dunia ini? Laron.

Mereka hanya hidup semalam lalu mati. Sekian lama menunggu di balik kegelapan untuk kemudian dibebaskan memeluk alam dengan bekal dua buah sayap. Berkepakan riang mengagumi cahaya lampu neon yang entah berapa wattnya.

Namun pada akhirnya ketika sang surya mulai mengecup dunia, mereka yang tidak menemukan pasangan harus rela mati. Alam penipu yang handal bukan?

Aku… merasa seperti laron, karena gadis itu. Alam menipu kami.

Mau membaca kisahku dan dia?

Hmm… baiklah, tapi jangan ceritakan pada siapapun oke?

 

::

 

Dia itu tidak istimewa sebenarnya. Sangat tidak istimewa. Tapi layaknya musim hujan di penghujung kemarau panjang, hatiku yang kerontang ini menantikannya.

Namanya Chae Won. Moon Chae Won. Tidak cantik, tidak baik dan cenderung menyebalkan.

Pertemuan pertama kami? Haruskah aku ceritakan juga? Okay, kalian menang.

Akan kuceritakan bagian itu. Aku menyebutnya malam paling naas dalam hidupku. 31 tahun silam. Ya, malam paling naas. Jangan protes dulu. Simak sampai akhir dan kalian akan mengerti alasanku.

 

::

::

 

“Hei, bisa tolong matikan rokokmu Tuan? Asapnya mencekikku!” Suara kasar itu menyengat kedua gendang telingaku. Menangkup fokusku yang sebelumnya tak bergeming dibuai lantunan lagu dari sepasang headshet kusam yang menempel pada sebuah walkman sebesar kepalan tangan.

Itu adalah pertemuan pertama kami. Di sebuah halte bus yang sepi, pada denting si kurus ceking yang menghentak dua kembar tak serupa – pukul 12 malam.

“Kau berbicara padaku?” kulepas headshet di telingaku tanpa ekspresi berarti. Kami saling menatap dalam khusuk curah hujan yang memapar bising di tempat ini.

“Kau tahu? Merokok itu bukan hanya membunuhmu, tapi juga membunuh orang lain, Tuan!” cerocosnya.

“Aku tidak berminat bunuh diri ataupun membunuhmu,” jawabku santai atau lebih tepatnya sok polos.

Ia mengacak pinggangnya, ketara sekali kehabisan kata. Bibirnya yang tipis itu berdawai senyap. Ya, gadis itu sedang menggerutu – ke arahku.

Ada jeda sekitar 1 menit sampai ‘nyanyiannya’ kembali menyambangiku.

“Rokokmu! Asapnya mengangguku! Matikan rokokmu, Tuan!” Ia menghentakkan tungkainya dengan tak sabaran. Kamera bermerk Fuji di pundaknya jadi bergoncang kesana-kemari.

Aku berani bertaruh, Ia ingin membunuhku pada pertemuan pertama kami. Dan dari nada bicaranya saat mengalunkan kata ‘Tuan’, ketara sekali Ia sedang mengolokku. Usia kami mungkin tak jauh berbeda, malah bisa jadi sama.

Aku tidak terlihat tua kan?

Ayolah, matanya pasti juling atau kewarasannya raib diguyur hujan jika aku terlihat seperti orangtua di hadapannya.

Rasa penasaran akan dirinya menggelitikku dengan cepat. Ya, sekali lagi kalian benar, aku adalah seorang Playboy. Bukan pemain kelas atas sebenarnya. Tak cukup pantas juga disebut Cassanova. Aku hanya seorang Playboy tengik.

“Ini?” kuacungkan rokokku yang tinggal separuh, sementara bibirku merajut seuntai senyum pada sosoknya. Lambat kusadari jika gadis itu mungkin merasa aku tak waras.

Ia terdiam, tapi sorot matanya begitu menanti jemariku untuk mengabaikan si puntung beracun.

“Apa kau mau memberitahu namamu jika aku menurutimu?” godaku iseng.

Ah… jangan salahkan aku. Salahkan saja Ibu gadis itu. Kenapa melahirkan gadis sepertinya ke dunia ini. Aku ingin sekali memujinya cantik tapi karena di awal aku sudah mengatakan jika dia tidak cantik maka, anggap saja aku terpesona pada caranya menatapku. Liar dan tanpa ketakutan. Kalian masih ingatkan ini pukul 12 malam dan kami adalah satu-satunya makhluk di tempat ini. Jika dia gadis biasa, bayangannya pun pasti tak berani menjamahku.

“Tidakkah kau meminum racunnya terlalu cepat, Romeo? Kita bahkan baru bertemu.” Sindirnya tajam.

Maniknya yang serupa manikku itu mengisyaratkan kalimat seberbahaya bubuk mesiu. Aku mungkin akan meledak jika berani beradu pandang dengannya lebih lama.

Namun, daripada merasa takut. Aku malah tergelak, tipis.

Kuperintah kedua tungkai kakiku untuk berdiri sejajar dengannya, meninggalkan kenyamanan kursi halte bus yang seharian ini kutempeli.

“Romeo? Kau bahkan bukan tipe Juliet-ku, Nona…” Aku menyesap rokokku sekali lagi sebelum akhirnya merelakannya pergi. Tanpa sepatah kata pun,  Aku bergegas menghampiri bus yang datang menyapa kami.

Bus nomer 27, bus terakhir yang melintas malam ini dan aku sepertinya akan menjadi penumpang terakhir jika saja si penggerutu itu tidak mengikutiku.

Kami duduk berjauhan. Aku menghempaskan diri di kursi paling belakang, sementara dia bersikukuh untuk duduk di bangku paling depan. Saling memisahkan diri sebagai orang asing yang tak sepatutnya saling mengenal.

Kemudian hujan turun semakin deras. Dingin merasuk dari celah-celah jendela yang mengembun kusam.

Kuintip puntung rokokku yang terlanjur kuabaikan tadi. Jika saja gadis itu tidak menyela, pasti tembakau-nya tak terbuang sia-sia dan sanggup menghangatkanku lebih lama.

Aku mendesah, mematukkan keningku pada kaca jendela. Menyesali keputusanku mengabaikannya. Kulirik gadis itu, si liar sok pemberani. Dia juga nampak kedinginan. Baiklah kami impas.

Aku yang semula agak gusar kini mulai tersenyum menikmati bagaimana kesepuluh jemarinya mengatup rapat diserang hawa minus. Aku merasa terhibur tanpa alasan.

“Ya, kurasa aku meminum racunnya terlalu cepat,” Kalimat itu lolos tanpa sadar dari bibirku.

Mengagetkanku sendiri yang tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku, si playboy tengik ini mulai merasa tertarik untuk tahu lebih jauh. Untuk mengenalnya lebih dekat.

Belum, ini belum bisa disebut cinta. Hanya rangsangan beberapa zat kimia yang bergumul mesra di dalam simpul-simpul sel otakku.

Dan sejak malam itu aku jadi sering melihatnya. Dia jadi sering menemuiku.

Dan kami menjadi dekat – di dalam mimpi, mimpiku sendiri.

 

::

::

 

Belasan minggu berlalu setelah itu, aku masih si playboy tengik yang gemar menghisap rokok di tepi jalan selama berjam-jam. Masih si pria serabutan dengan T-shirt belel dan jeans sobek bergaya rocker kurang inspirasi.

Hyung!” Seorang pria menepuk pundakku dengan keras, menyentak lamunanku yang terbang bebas dipandu asap daun beracun.

“Apa?” sahutku tak bergairah dengan mulut asyik mengulum tembakau kering.

Kabut melayang tipis di atas kami, menghias atmosfer dengan karbondioksida-nya.

“Ada pekerjaan untuk kita!” Jin Wook menyodorkan selembar foto ke wajahku.

Seorang gadis yang kukenal sekali sorot matanya menatap kami. Agak tergagap, aku berdiri seketika. Rokok di tanganku jatuh mengendus tanah.

“Kenapa? Kau mengenalnya?” Sahabat karib satu panti asuhan-ku itu berbisik penasaran. Matanya memicing curiga.

Bagaimana aku tidak mengenalnya, dia adalah gadis yang seringkali berkencan denganku lewat mimpi. Gadis pemberani yang membuatku rela melemparkan si benda kesayangan pada guyuran hujan.

“Kalau kau mengenalnya, ini akan sulit!” Jin Wook menatapku kebingungan.

Aku terdiam, menimang-nimang dalam gamang yang berkecambuk belakangan. Kutatap foto itu dengan lebih seksama. Berharap mataku salah atau wajah di dalamnya mendadak berubah – tapi toh tetap saja. Dia adalah si gadis halte bus yang kutemui belasan minggu silam ketika dingin sama-sama mengutuk kami.

“Kenapa gadis ini harus dibunuh?” tanyaku.

Jujur saja, ini adalah pertama kalinya kalimat seperti itu terlontar dari mulutku. Sebelumnya, jangankan perduli merasa menyesal saja tidak.

Baiklah, karena kalian mulai menerka-nerka dan daripada terkaan kalian itu menjadi igauan tak berguna. Maka ijinkan kuperkenalkan diriku sekarang, hmm… meski kurasa ini agak terlambat.

Namaku Song Joongki, aku tampan, tidak miskin dan agak pengangguran.

Terdengar aneh? Jangan merasa aneh.

Aku akan menceritakan tentangku lebih detail dan sekali lagi, ini rahasia!

Jadi, aku adalah pria yang akan berkepala 3 dalam beberapa hari ke depan. Aku tidak memiliki keluarga, sebutlah terabaikan sejak masih kecil. Ditelantarkan ke sebuah panti asuhan.

Tempat dimana aku mengenal Jin Wook, sahabat karibku – satu-satunya keluarga yang aku punya saat ini.

Setelah usia kami 17 tahun, Ibu kepala Panti membekali kami dengan segulung uang. Menyingkirkan kami atas nama keadaan. Kemudian hidup berjalan begitu keras. Setelah bertahun-tahun bergulat dengan manusia-manusia sebangsa anjing, kami akhirnya menemukan muara yang tepat. Dengan keberanian seadanya, aku dan Ia mulai membangun usaha ini.

Usaha yang tak akan kalian temui secara resmi dimanapun – Pembunuh Bayaran.

Sistemnya yang tak terlalu rumit serta cara bekerjanya yang tak perlu banyak menguras otak, membuat kami merasa nyaman secara finansial meski tidak secara bathin.

Dan siapa sangka, pekerjaan ini membuat kami cukup terkenal sebagai Thanatos, sang dewa kematian. Begitulah julukan kami. Pekerjaan kami yang terlalu rapi, cukup merepotkan para penegak hukum sok suci. Kota ini kami hantui.

“Kau benar mengenalnya ya, Hyung? Tidak biasanya kau menanyakan itu?” Jin Wook mengendus gelagat anehku.

Aku masih diam, hatiku bergejolak.

Ada semacam perasaan tak rela yang menghimpit tanpa alasan. Gadis dengan manik serupa milikku itu, haruskah hidupnya kuakhiri?

Nyatanya meski kami bahkan tak saling mengenal dan Ia hanya serupa fatamorgana, namun ada perasaan tak layak untuk menggores kulit mulusnya yang serupa porselen buatan China.

“Jadi kapan eksekusinya?” Aku bertanya, menegaskan jika kami akan mengambil pekerjaan ini.

Jin Wook tersenyum lega, Ia mengambil tempat di sisiku dan perlahan bibirnya membisikkan sesuatu – sebuah rencana.

 

::

::

 

Jika kalian bertanya apa yang aku lakukan pada hari seperti ini, maka jawabanku hanya satu. Menunggu seseorang.

Semesta nampak mendung, sekumpulan awan berbincang dalam gelap dan petir mulai menyombongkan dirinya. Aku dihimpit kecemasan di salah satu sudut jalan.

Ini akan jadi pertemuan kedua kami. Jika pada pertemuan pertama, dia seolah ingin membunuhku maka di pertemuan kedua ini, Aku harus membunuhnya.

Gadis itu, Ia yang kuintai dari tadi sedang duduk di tempat yang sama seperti belasan minggu lalu – tempat pertama kali kami bertemu.

Arloji bandul kuningan-ku menunjukkan pukul 1 malam. Dia sendirian dengan dua tangan masuk ke dalam dua saku jaketnya yang tebal. Dia kedinginan sama sepertiku..

Tempat ini sunyi sekali, hanya temaram lampu jalan dan sekumpulan laron yang berbagi cerita denganku soal apa yang akan terjadi keesokan hari. Mereka – para makhluk kecil bersayap itu menari, hinggap, berpesta pora lalu mati keesokan harinya. Menyedihkan.

Aku tersenyum miris, membenahi letak topiku yang kurasa terlalu miring. Manikku menghujam siluetnya yang begitu tenang menunggu Bus Nomer 27, sepertinya dia tipikal gadis yang terbiasa pulang selarut ini.

Lalu tiba-tiba saja senyumnya mengangguku. Tawanya menyergapku dan ocehannya memecah segala konsetrasiku.

Bagaimana bisa aku merasa terikat pada seseorang yang bahkan tak kutahu namanya. Bukankah tugasku sudah sangat jelas, membunuhnya.

Ah, gadis itu mengingatkanku pada diriku sendiri untuk sebuah alasan yang entah. Bukan, ini bukan cinta. Hanya sekumpulan pemberontak sok bijak yang berenang menyusuri sel-sel otakku.

Delusi… ilusi… dan Ia harus enyah.

Kulirik sebuah siluet panjang yang menjejak di balik pepohonan. Ada Jin Wook disana. Menunggu kesempatan yang sama sepertiku.

Samar namun pasti, dapat kulihat Ia menganggukkan kepalanya. Memberi semacam kode. Kemudian sebuah frasa berbunyi ‘haruskah kami menghabisinya sekarang?’ datang menjeratku.

Terlihat ujung sebilah pisau berkilau malu-malu dari balik jaket Jin Wook.

Pria itu berjalan mendekat, duduk di sebelah Juliet-ku. Tangannya yang kokoh mulai mencuri kesempatan. Ia membekapnya. Gadis itu berontak, mencoba berteriak bahkan menggigit dan disinilah alasan keberadaanku.

Jadi Juliet, malam ini mari kita berpesta.

Kakiku berlari menyongsongnya dan kuambil alih pisau itu lalu kuhunuskan ke tempat yang kutahu akan sangat mematikan.

 

::

::

 

Aroma malam tak pernah seanyir ini bagiku. Dan pagiku juga tak pernah segaduh ini. Beberapa orang dengan ekspresi sekeras batu berjalan mondar-mandir di sekitar tubuhku. Suara sirine yang sebelumnya tak pernah berhasil menjamahku kini mengalun layaknya musik – memenuhi kesadaranku.

Tak jauh dariku ada gadis itu, seseorang yang akhirnya kutahu bernama Chae Won. Si Juliet yang membuatku terdampar di tempat serumit ini – Kantor Polisi.

“Jadi pria itu menyerangmu tanpa alasan?” Seorang polisi dengan name-tag Kim mengintrogasinya dengan pertanyaan yang sama, berulangkali – menjenuhkan.

Gadis itu mengangguk, wajahnya masih pucat dan pelipisnya basah oleh keringat dingin. Sementara itu di sudut, Aku tengah meringkuk. Menunduk menunggu giliran untuk diinterogasi – sebagai saksi.

Ya, garis bawahi itu. Aku adalah saksi. Jadi semalam, entah kewarasan atau kegilaanku yang menang. Otakku juga tak tahu. Tapi yang pasti, Aku kini sendirian karena keluarga satu-satunya milikku telah pergi. Enyah dalam pelukanku.

Song Joongki membunuh Choi Jin Wook. Melenyapkannya layaknya seorang Pangeran yang datang menyelamatkan sang Putri dari serangan Monster jalanan.

“Kau mengenal pria itu?” Polisi Kim menunjuk ke arahku.

Chae Won menoleh, memperhatikan wajahku dengan seksama. Sejenak, Aku takut Ia akan mengenaliku meski akhirnya Ia menggeleng dan menjawab, “Tidak.”

 

::

::

 

“Terima kasih...” suaranya yang ringan menghampiriku begitu sesi interogasi selesai.

“Tidakkah kau harus ke Rumah Sakit?” tanyanya, melirik luka sayatan di tanganku – luka hasil gulat singkatku dengan Jin Wook. Luka yang baru kusadari ada.

“Aku tidak suka bau Rumah Sakit.” Sahutku, agak ketus.

Aku berdiri, hendak pergi. Toh, para Polisi bodoh itu berakhir dengan keputusan untuk membebau karena di mata mereka aku bak pahlawan yang tak sengaja membunuh Monster demi usaha pembelaan diri.

Aku beruntung CCTV masih merupakan benda langka dan Chae Won yang ketakutan tak melihat dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Bibirku mengulum senyum tipis. Aku menyeringai licik.

Kutarik benda kesayanganku keluar dari saku jaket. Sekotak rokok beserta pematiknya. Jemariku dengan lincah menjepit salah satu batangnya, mempertemukan ujungnya dengan bibirku dan mematiknya tanpa sungkan.

Chae Won memperhatikanku tanpa berkedip, Ia mulai mengenaliku di bawah terang cahaya matahari pagi ini.

“Kau, Tuan itu???” pekiknya spontan.

Aku tersenyum dan menoleh, sok keren. “Butuh waktu lama untuk mengingat wajahku, Nona?” tanyaku.

Candu…

Aku sedang dibuai candu oleh pertemuan kami kali ini yang berbaur bersama aroma tembakau kesukaanku.

Kutatap wajahnya penuh ketenangan, “Namaku Joongki. Song Joongki, bukan Tuan.”

Kupulas sebuah senyum simpul nan manis.

Dan Ia terdiam, entah takjup atau terpesona. Aku tak perduli tapi yang pasti, kami tak akan pernah saling melupakan lagi setelah ini.

 

::

::

 

Belasan bulan berlalu setelah itu, aku bukan lagi si playboy tengik yang gemar menghisap rokok di tepi jalan selama berjam-jam. Bukan pula si pria serabutan dengan T-shirt belel dan jeans sobek bergaya rocker kurang inspirasi.

Aku pria milik gadis itu. Dia yang manik matanya serupa milikku – moka gelap memikat.

Kalian pasti bertanya-tanya apa yang terjadi selama belasan bulan ke belakang?

Haruskah kuceritakan kebusukanku serinci mungkin?

Tidakkah kalian mulai jenuh pada igauanku ini?

Baiklah, kita langsung ke summary-nya saja. Jadi beberapa hari setelah itu, aku pindah ke apartment di lantai yang sama dengannya. Menyelimuti hari-harinya dengan keberadaanku yang seerat pijar di kala senja. Memaksanya secara tak langsung untuk mulai terbiasa dan menerima, kemudian perlahan-lahan merindukanku – membutuhkanku.

Berlagak hanya kebetulan belaka padahal, aku sengaja. Tak dapat kupungkiri hatiku mencemaskannya. Kami jadi sering bertemu akibat segala akal bulusku. Dan kini buah dari kelicikanku adalah, kami tak lagi tinggal di petak apartment yang sama, namun kamar yang sama.

“Bangun…” suara itu konsisten menggelayutiku setiap pagi beserta dua buah tangan yang akan menggoncang tubuhku dari bawah selimut tipis kami. Menyergapku dengan aroma memabukkan khas miliknya. Menggerayangi sel-sel otakku untuk membuka dua buah kelopak mata sayu ini.

Aku menggeliat malas dan memeluk pemilik suara serta tangan-tangan nakal itu. merengkuhnya dengan jawaban;

“Tunggu sebentar, aku masih ngantuk…”

Jika biasanya dia akan pasrah dan membiarkanku menculiknya lebih lama. Pagi ini Ia tidak meladeniku.

“Siang ini aku ada liputan. Ayo bangun!” Ia memaksa.

Kubuka mataku perlahan, mencari wajahnya yang melayang satu inci di atas keningku. Ujung hidung kami beradu sementara lenganku melingkari pinggangnya yang tak terbalut apapun. Helaian rambutnya jatuh menggelitik wajahku begitu mesra. Melelapkan dan menyesap ngantukku secara bersamaan.

“Katakan jika kau mau menikah denganku, maka aku akan bangun!” Aku menggodanya.

Ia tersenyum, memberi jawaban lewat bibir lembabnya yang menumbuk lembut bibirku – melumatnya penuh gairah. Aku tergelak dan melahap dirinya dengan cinta yang luar biasa.

Kurasa keputusanku menukar jiwa Jin Wook dengan jiwanya sangatlah tepat. Karena bersama Jin Wook, aku tak akan pernah melakukan hal seperti ini – bercinta misalnya.

 

::

::

 

‘Keluarga’ frasa yang telah lama menguap dari atmosfer hidupku itu perlahan merambat naik dan meletupkan perasaan membuncah-buncah tak kala kupenuhi fokus mataku dengan gadis itu. Selama beberapa bulan ini hidup bersamanya, selalu membuatku merasa terdampar ke dunia entah.

Dia merubahku dari seorang Monster yang hidup di bawah tanah menjadi sesosok malaikat penuh cahaya. Menggeretku pergi dari bayang-bayang kegelapan menuju bawah selimutnya, sama-sama gelap namun yang ini 1000x lebih menyenangkan.

Hari-hari kami berlalu dengan begitu normal bagi seorang mantan pembunuh bayaran dan calon korbannya yang gagal dieksekusi.

Ada yang aneh sebenarnya, ini terlalu damai. Terlalu tenang. Terlalu nyaman.

Harusnya, harusnya jika ada seseorang yang mengincar nyawanya maka pasti telah ada insiden lain yang menimpa kami dalam beberapa bulan terakhir. Nyatanya, tidak.

“Kau punya musuh?” Aku bertanya padanya begitu kami menyelesaikan peraduan singkat tak terencana ini.

Dan Ia menggeleng, beringsut di bawah tubuhku dengan kening mengernyit. Matanya yang serupa pualam hitam menyesap kecemasanku dalam-dalam.

“Kau akan jadi musuhku jika berani menikungku dengan wanita lain.” Jawabnya sok mengancam. Kami kemudian tertawa bersama.

“Jadi jam berapa kau harus liputan?” tanyaku sambil merapikan rambutnya yang basah oleh keringat.

“2 jam lagi.” Jawabnya.

“Jadi? Bukankah kita masih ada waktu?” Aku berbisik, mencoba memprovikasi dengan senyum nakalku yang kutahu pasti Ia mengerti maksudnya.

Si Juliet tergelak, Ia bangkit meninggalkanku. Tak banyak yang dapat kudengar dalam perjalanannya menuju kamar mandi kecuali sepenggal kalimat berbunyi :

“Tidak! cepatlah bangun!”

Benda mungil itu berbunyi, berbib-bib 2 kali saat Chae Won menutup pintu kamar mandinya.

Ada rasa penasaran yang menuntunku untuk membuka pesannya, tapi sebelum sempat jemariku menyapa tombolnya. Pemiliknya datang dengan terburu-buru. Tubuh indahnya yang sudah kuhapal setiap lengkuknya itu dililit handuk.

Banyak busa masih menempel di wajahnya. Ia meraih peger itu dari atas meja dan membaca isinya.

“Ah, rapat mendadak! Menyebalkan.” Ia mendengus kesal. Memaki peger tak bersalah yang kini basah.

Aku menatap simpati, “Apa ketua tim-mu berbuat ulah lagi? Haruskah aku melenyapkannya agar kau bisa santai sedikit bersamaku?” kelakarku.

Chae Won tersentak, Ia menatapku aneh. Menganggapku serius.

Matanya membesar penuh pertanyaan.

“Maksudmu membunuhnya?” tanyanya serius, dan aku tertawa saat ekspresinya berubah semakin tak nyaman.

“Aku hanya bercanda, sayang!”

 

::

::

 

Chae Won menyambar jaket dan kamera kesayangannya dari atas meja. Kemudian menciumku singkat yang tengah fokus menguyah omlette buatannya.

“Berangkat sekarang? Perlu kuantar?” tanyaku.

“Tidak perlu, lagipula sejak kapan aku berlagak manja?” Jawabnya seraya mengecek ulang isi tasnya, mencari sesuatu.

“Ah, dompet!” teriaknya, berlari masuk ke dalam kamar.

“Kapan kau akan mengajukan cuti hamil?” tanyaku santai sembari mengupas jeruk.

Chae Won berhenti, bola matanya berputar.

Ia mendekat ke arahku. Ekspresi di wajahnya nampak berat dan tak bisa dijelaskan.

“Soal itu... nanti saja akan kupikirkan. Asal kau tidak kabur, aku akan baik-baik saja.” Jawabnya.

Aku mengangguk dan tersenyum, memasukkan sesisir jeruk ke mulutnya.

“Jadi, jam berapa kau pulang?”

“Sebelum makan malam! Oh ya, Jangan merokok!

Aku sudah bilangkan, jika kau kedinginan. Aku yang akan menghangatkanmu, bukan batang-batang beracun itu.” Ia mengancamku, galak.

Kukedipkan mataku dengan tanda OK di tangan. Ia kemudian membiarkanku mengecup perutnya singkat.

Ada senyuman di wajahnya yang kini setelah nyaris 31 tahun berlalu, aku baru sadar jika itu adalah senyuman terakhirnya untukku.

 

::

::

 

Cerita kami berakhir sampai di sana. Tak ada yang dapat kuceritakan lagi kecuali perasaan sepi dan betapa dinginnya tembok-tembok berlumut ini di malam hari.

Kalian penasaran?

Benar-benar penasaran atau hanya merasa kasihan dan tak tega meninggalkanku sendirian seperti ini?

Baiklah, untuk kesekian kalinya kalian menang. Akan kuceritakan bagian paling rumit itu. Sebelumnya, pernahkah kalian mendengar legenda tentang Apate dan Thanatos dari Yunani?

Apate si Dewi Tipu Daya dan Thanatos si Dewa Kematian.

Jika di permulaan aku mengibaratkan diriku serupa Laron yang mati ditipu alam setelah ditinggalkan sendirian, maka kini aku lebih merasa seperti Thanatos.

Wanita itu adalah Apate dan Aku Thanatos miliknya.

 

::

::

 

Setelah melambaikan tangan dan menyaksikan bayangannya menjauh digadai waktu. Ada rindu yang menjejak manis serta bercerita soal keajaiban yang memapar dimensi ke-eksistensian-ku di sisi jiwanya.

Ada kolom-kolom kosong yang terabaikan di antara kami, sebenarnya. Namun sejauh Ia tak bertanya banyak, maka aku tak berani banyak bertanya.

Kami lebur dalam hubungan dimana banyak orang mengumpamakan-nya sebagai “dunia milik berdua.”

Aku hanya tahu Ia bekerja di sebuah Majalah Ibukota sebagai wartawan. Pekerjaan yang acapkali membuatnya harus rela pulang larut malam bersama kamera Fuji kesayangannya itu. Hal lainnya? Aku tak mengorek lebih jauh.

Aku tak mau terjebak dalam pertanyaan balasan miliknya yang bisa saja membongkar jati diriku. Aku menyukainya yang tak banyak bertanya soal masa lalu.

Entah karena dia tidak terlalu perduli pada kolom-kolom kosong itu atau Ia terlalu menyukaiku hingga segala hal tak cukup penting untuk dibahas, kecuali kisah cinta kami.

Sudah 7 jam melesat pergi sejak Ia meninggalkanku sendirian. Biasanya aku akan sibuk di atas kursi, mematut konsentrasiku pada sepetak layar berwarna biru tua. Mengetik lembaran cerita yang kemudian kukirim pada beberapa redaksi warta.

Tapi kini, aku merasa moodku sedang tidak bagus. Seharian ini, pantatku terus menempeli kursi beranda. Menikmati angin yang berhembus sepoi-sepoi di setiap awal musim panas.

Samar dapat kudengar seseorang membuka pintu. Namun tak ada suara sapaan khas Chae Won biasanya. Jantungku berdegup kencang tanpa alasan. Sebenarnya, jika aku boleh jujur.

Bathin-ku tak benar-benar merasa bahagia selama ini.

Selalu ada ketakutan yang membumbung tinggi di dasar benakku. Ketakutan soal pembunuh bayaran lain yang mungkin akan mengincar nyawa Chae Won.

Aku hidup di bawah paradikma itu tanpa sanggup membaginya dengan sang calon buruan.

Ada bayangan berkelebat cepat di sisi jendela. Menuntut mataku untuk lebih awas mengintai. Roh pembunuh milikku menggeliat, mulai terbangun.

Aku tahu pasti, siapapun yang berada bersamaku saat ini. Bukanlah Chae Won. Kuangkat kedua tungkai kakiku sepelan mungkin. Melangkah dalam gaya Charlie Chaplin. Menempel di dinginnya tembok. Napasku membingkai senyap. Tanganku bersiap menyergap.

Ada seorang pria, bertubuh atletis dengan dua otot menyembul di bahunya. Dia berdiri begitu santai, membelakangiku. Seolah ini kediamannya sendiri, pria itu membuka kemejanya yang basah oleh keringat. Melemparkannya begitu saja ke atas meja makan, di samping kulit jerukku pagi tadi – menjijikkan! Tak sopan!

Ada pistol terhimpit manis di sekitar pinggangnya.

Aku menanti di balik tembok, memastikan jika akan ada kesempatan yang tepat untuk meringkusnya.

Kulirik pot bunga berbahan di tepian beranda. Dengan penuh perhitungan aku menggapainya. Beruntung penyusup itu tak melihat. Kupersiapkan pot itu dalam posisi siap menungkik meretakkan tulang tengkoraknya.

Namun sebelum saat berharga itu tiba, aku mendengar suara lain bergulir renyah dari depan pintu. Menyentak bathinku oleh kalimatnya yang kuhapal betul milik siapa itu.

Aroma tubuhnya yang masih berpendar hangat di sekitar tengkukku menyeru ingin bertemu. Chae Won sudah pulang. Tepat sebelum makan malam.

Pria telanjang dada dengan pistol terbungkus di pinggang itu tersenyum penuh arti. Ia melangkah menuju ruang tamu. Berencana menghampiri bidadariku yang tak tahu apa-apa.

Sial! Aku tak bisa bersembunyi lagi. Sebelum semuanya terlambat. Aku berlari menyongsongnya. Bersama sebuah pot di genggaman, kuhujam batang otaknya. Ia jatuh tersungkur ditemani serpihan pot yang menghambur ke segala arah.

Cairan kental nan anyir miliknya membanjir, memerahkan ubin apartment kami.

Ada yang aneh. Ada yang tak kumengerti dan sulit kupahami.

Wanitaku itu, Chae Won. Ia jatuh bersimpuh memeluk pria itu. Memekik histeris bersama dua lengan menyelimutinya.

“APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN, JOONGKI?!!” Teriaknya menggila.

“Menyelamatkanmu… Aku menyelamatkanmu, Chae Won…” jawabku putus-putus.

Aku kebingungan sendiri menelisik dimana letak kesalahanku. Aku baru saja menyelamatkannya, benar-benar menyelamatkannya. Bukan sekedar kamuflase seperti kisah kami belasan bulan silam.

“PEMBUNUH!!! KAU TIDAK BERUBAH! KAU MEMBUNUHNYA!!!” Makinya emosional.

Napasnya menderu dengan dua bola mata melenjit keluar, ingin mengulitiku hidup-hidup.

Dan kedua lututku terasa ngilu, aku jatuh di hadapannya. Kalimatnya mengguncangku dengan telak.

Pembunuh… Aku tidak berubah…

Apa itu artinya dia sudah tahu masa laluku? Tapi sejak kapan?

Sejak kapan Ia berhasil menyingkap tirai kebohonganku?

 

::

::

 

Aroma malam tak pernah seanyir ini bagiku. Dan pagiku juga tak pernah segaduh ini. Beberapa orang dengan ekspresi sekeras batu berjalan mondar-mandir di sekitar tubuhku. Suara sirine yang sebelumnya tak pernah berhasil menjamahku kini mengalun layaknya musik – memenuhi kesadaranku.

Tak jauh dariku ada dia, seseorang yang akhirnya kutahu bernama Lana, bukan Moon Chae Won. Si Apate yang membuatku terdampar di tempat serumit ini – Kantor Polisi.

“Kau melakukan tugasmu dengan baik, Lana dan maaf atas kejadian yang menimpa kakakmu.” Polisi bermarga Kim itu menepuk pundaknya dengan simpati.

Ia kemudian menggiringku pergi menuju sebuah lorong panjang. Meninggalkanku dipasung teralis.

Sekian lama aku mengais-ngais jawaban hingga hampir gila sambil sepenuhnya berharap jika ini hanya mimpi buruk.

Lebih dari itu aku bahkan berulang kali menampar pipiku. Tapi, yang terhampar hanyalah rasa sakit tanpa secuil pun penjelasan.

Hingga pada bulan ke-5, tepat di hari sebelum persidangan pertama-ku digelar. Ia menemuiku. Wajahnya tak banyak berubah, hanya sedikit lebih tirus dengan perut yang mulai membuncit.

“Kau makan dengan baik?” adalah pertanyaan pertamanya saat manik kami bersirobok menembus bilik kaca ruang kunjungan.

Aku mengangguk, ingin sekali menyentuh wajahnya.

“Chae Won…” kupanggil namanya penuh kerinduan.

Dia menunduk, tak berani menatapku. Tangannya mengelus pelan janin milik kami.

“Namaku Lana bukan Chae Won.” pekiknya lirih.

Aku diam, tertusuk hening yang mencekam. Terlalu banyak pertanyaan yang ingin kuletupkan padanya namun sungguh aku terlalu bingung untuk memulainya.

“Aku hanya datang untuk mengatakan selamat tinggal, Joongki. Setelah ini, mari hidup seperti orang asing layaknya hari-hari sebelum kita bertemu di Halte Bus itu.” Ia bangkit, hendak pergi.

“Tunggu! Setidaknya jelaskan padaku siapa pria itu dan bagaimana kau bukan Chae Won tapi Lana?” teriakku menghentak kaca di hadapan kami.

“Semua pertanyaanmu akan terjawab besok di Persidangan.”

Dan setelah itu, Ia benar-benar berlalu pergi, layaknya serbuk bunga yang lenyap disapu badai musim dingin.

30 tahun berikutnya berlalu begitu hening. Tapi aku tak pernah melupakan wajahnya.

 

::

::

 

Kuangkat daguku sekali lagi, menikmati kepakan laron yang memadu kasih beberapa inci di atas ubun-ubunku yang lamat dijajah uban.

“Waktumu sudah berakhir, Joongki…” Suara itu menyapa ringan dari ujung sebuah pintu gerbang.

Pemiliknya adalah seorang pria dengan pistol dan borgol menggantung di pinggang. Aku tersenyum, menghampirinya. Kupeluk dan kujabat tangannya yang sedingin udara pagi ini.

“Kuharap, aku tak pernah melihatmu lagi.” Dia berkelakar.

“30 tahun itu sudah lebih dari cukup. Aku tidak akan kembali.” Cetusku.

 

::

::

 

Jika kalian bertanya apa yang aku lakukan pada hari seperti ini, maka jawabanku hanya satu. Menunggu seseorang.

Semesta nampak mendung, sekumpulan awan berbincang dalam gelap dan petir mulai menyombongkan dirinya. Aku dihimpit kecemasan di salah satu sudut jalan.

Ini akan jadi pertemuan pertama kami dalam 30 tahun terakhir. Tempatku berdiri saat ini sudah banyak berubah. Jika berpuluh tahun silam, ini adalah halte bus yang sunyi maka saat ini , Ia menjadi begitu gaduh.

Banyak orang berlalu lalang di sekitarkku dengan berbagai benda aneh di tangan mereka. Benda itu seperti kaca akuarium dengan banyak warna di dalamnya. Tipis dan bisa bersuara.

Ada seorang gadis tengah mendengarkan musik di sebelahku. Tapi tak ada kabel di headshet-nya. Hanya ada sepasang benda kecil di kanan kiri, menempeli lubang telinganya.

Hal aneh lainnya adalah, ada wajah seseorang yang tiba-tiba saja menyembul di dalam kaca akuarium milik seorang pemuda yang tengah berdiri di hadapanku.

Wajah di dalam layar itu bisa bergerak bahkan berbicara. Yang paling mustahil dan keren, pemuda di hadapanku ini bisa melakukan komunikasi dua arah dengannya.

Aku melongo  disekap takjup. Mungkin terlihat kampungan dan udik tapi aku sungguh tak bisa menyembunyikan kekagumanku.

Setelah mengakhiri pembicaraan magisnya dengan seseorang di dalam akuarium, pemuda berwajah putih dengan hidung sebangir milikku itu menoleh.

Matanya menumbukku dengan perasaan bingung bercampur penasaran.

“Ada yang bisa kubantu, Paman?” tanyanya ramah, melecutkan kegugupanku tanpa sengaja.

Aku tersenyum canggung dan langsung menunduk.

Jemariku menggenggam erat tepian payung yang kusut.

Bus bernomor 27 dengan warna serta penampilan yang lebih trendi dari 31 tahun silam pun tiba. Klaksonnya yang nyaring menggema dan menjaring banyak orang untuk masuk, meninggalkanku dan pemuda ramah itu sendirian.

“Paman menunggu bus nomer berapa? Setahuku itu satu-satunya bus yang mengambil rute di wilayah ini.” Sekali lagi suaranya yang hangat menyapaku.

“Tidak, Paman sedang menunggu seseorang.” Jawabku, irit.

Terlalu lama berada di balik tembok penjara membuatku sedikit tak nyaman berbicara dengan orang baru.

Dunia berubah begitu banyak. Waktu melaju begitu pesat meninggalkanku beserta kenangan dari 31 tahun silam.

Hujan… hujan mendadak turun mengepung tempat ini. Rintiknya yang besar menari kemana-mana. Pemuda itu meruntuk, memaki kebodohannya sendiri yang tak lekas pulang ke rumah. Ia terdengar cemas jika airmata langit ini akan merusak segala gadget canggihnya yang bagiku tetap saja seperti kaca akuarium ajaib.

“Dimana rumahmu?” tanyaku, mulai berempati.

Tingkahnya yang kacau balau itu sedikit banyak mengores secercah senyum di bibirku. Ia nampak jenaka dengan segala kekalutannya.

“Di dekat sini, Paman.” Ia menjawab, matanya berkelendotan di sekitar jemariku. Menatap payungku tanpa tendeng aling-aling.

“Boleh aku meminjamnya, Paman? Aku akan berlari dan mengembalikannya secepat kilat. Aku berjanji!” Ia mengiba.

Tanpa perlu banyak bicara, kuserahkan payung itu.

“Terima kasih Paman, Aku akan kembali dengan cepat!” Ia menyambar payungku dengan antusias, penuh kelegaan.

Senyumnya yang terasa begitu familiar mengusik memoar usangku. Saat kakinya yang jenjang hendak melangkah pergi, kuberanikan diriku untuk bertanya.

“Siapa namamu?”

Ia menoleh, alisnya bertaut manis. Mengingatkanku pada parasku sendiri puluhan tahun lalu.

“Song Joongki! Dan nama Paman?”

 

::

::

 

Joongki berlari memasuki halaman rumahnya yang basah dicumbu hujan. Ia melepaskan sepatunya dengan tergesa, kemudian bergegas masuk dengan payung yang merembes basah di tangan.

“Seharian ini kau kemana?” Seorang wanita berjalan keluar dari dapur bersama sepanci sup yang mengepul panas.

“Ayo makan malam! Kau senang sekali keluyuran.” Ia mulai mengomel sementara kedua tangannya meletakkan sup itu di atas meja makan.

“Nanti Bu! Aku harus mengembalikan payung dulu!” Joongki menarik keluar sebuah payung dari dalam laci.

“Tidak boleh! Kau harus makan dulu!” sang Ibu bersikukuh menahan lengannya.

“Ibu… aku sudah hampir 30 tahun, bulan depan aku akan menikah. Jangan memperlakukanku seperti anak kecil terus!” Joongki protes, mengulum bibirnya menyerupai kerucut.

“Memangnya kau mau kemana lagi?”

“Aku meminjam payung ini dari seorang Paman, bu!

Aku sudah berjanji untuk mengembalikannya dengan cepat.

Jadi biarkan aku pergi sebentar. Hanya 10 menit!” Joongki mengedipkan matanya, membuat sang Ibu menggeleng curiga.

“Paman? Sejak kapan kau bergaul dengan Paman-paman? Siapa namanya?”

 

::

::

 

Aku dikutuk. Dikutuk oleh roh Jin Wook yang mungkin bersorak menontonku terkurung dalam bilik penjara. Aku dikutuk oleh roh-roh lain yang kuhabisi 31 tahun silam. Lewat sepetak Halte Bus berumur panjang yang tiangnya begitu kokoh ini. Ceritaku bergulir menggelikan. Kalian sudah lelah menyimaknya atau semakin tak sabar mendengar klimaks dariku?

Bermula dari pertemuan pertamaku dengan Apate di tempat ini, jiwaku terjebak. Terikat pesonanya yang melayang kuat bahkan hingga saat ini. Jika ditelaah ulang, sepertinya benakku sudah kehabisan digit untuk mengkalkulasi seberapa sering hatiku merindukannya.

Berbiacara tentang wanita itu, ada sesuatu yang perlu kalian tahu. Ia merencanakan semuanya. Ya, tepat di hari persidangan. Semua fakta akhirnya terbongkar. Chae Won atau Lana atau siapapun itu nama lahirnya. Ia menipuku, sejak awal.

Dia sebenarnya adalah seorang polisi khusus yang ditugaskan untuk menyelidikiku dan Jin Wook. Baru kutahu juga belakangan menjelang persidangan berakhir jika Ia sendiri yang sudah mengirimkan fotonya untuk kami targetkan.

Namun, misinya gagal. Keserakahanku akan cinta mengacaukan rencananya. Alih-alih berhasil meringkusku yang bekerjasama dengan Jin Wook untuk menghabisinya, aku malah menikam rekanku sendiri. Berlagak sok pahlawan di hadapannya.

Ia kemudian memanfaatkanku yang berkeliaran di sekitarnya. Mengulik dan siap mengumpankanku ke dalam penjara begitu Ia menemukan bukti tentang pekerjaan kotorku.

Aku Thanatos sang Dewa Kematian yang jatuh dalam tipu daya sang Apate.

Belasan bulan kuhabiskan bersamanya.

Mengecupnya, mencumbunya dan bertekad melindunginya dari serangan iblis manapun, tanpa tahu jika baginya, aku adalah sosok Iblis itu sendiri.

Namun, ada satu hal yang membuatku bertahan selama 30 tahun ini.

Thanatos tidak jatuh sendirian. Apate juga terjebak dalam permainan miliknya. Wanita itu merelakan rahimnya untuk benihku. Menyerahkan dirinya utuh.

Jadi kuharap di malam yang semakin dingin berlumur kabut ini, aku bisa secara ajaib menemukannya, seperti empat windu silam.

Oh ya, apa ada yang belum aku ceritakan?

Aku merasa melupakan sesuatu yang cukup penting. Hmm… ah, ya! Pria itu!

Dia yang membuat Chae Won-ku menangis tersedu-sedu. Namanya adalah Hwi Kyung. Seorang Polisi berpangkat Letnan. Ia adalah mantan calon kakak iparku. Nyaris, nyaris saja aku membunuhnya.

Aku beruntung Pria itu selamat meski sempat koma selama 5 bulan dan baru kusadari jika hari dimana Chae Won menemuiku sebelum persidangan adalah hari dimana kakaknya siuman.

Mungkin melihat kakaknya masih hidup, membuat Chae Won berani menatap wajahku dan sedikit banyak memaafkanku.

Kabar terakhir tentangnya yang kutahu lewat bisik-bisik dinding penjara. Hwi Kyung sudah meninggal sekitar 4 tahun lalu akibat , miris.

 

::

::

 

Hujan membuatku kedinginan. Hawa kota Seoul yang minus semakin terasa menusuk di hening malam seperti ini. Sudah 5 menit berlalu sejak pemuda berparas tampan dengan nama milikku itu pergi.

Kurogoh tasku yang dijejali berbagai macam benda. Jemariku berdesakan mengais lipatannya. Akhirnya, setelah berjibaku sekian menit, tanganku berhasil menarik dua buah benda yang kutahu betul bagaimana aromanya.

Ironis, aku rindu pada ke-alpha-an mereka. Sekotak rokok dan sebuah pematik.

Kucabut satu batangnya dan kusulut tepat di depan mulutku yang kini mengapitnya dengan mata berbinar. Tapi, tiba-tiba saja suara kasar itu menyentakku. Menyundut konsentrasiku lewat pilihan diksinya. Mementalkan gairahku untuk menyesap si batang rokok lebih jauh.

“Kau tahu? Merokok itu bukan hanya membunuhmu, tapi juga membunuh orang lain, Tuan!”

Sesosok wanita dengan keriput di wajahnya berdiri di sampingku. Menerbitkan dejavu dari ragam kisah puluhan tahun silam.

Bedanya adalah, kali ini suara itu terdengar parau. Bibirnya bergetar kepayahan dan tatapannya tak setajam dulu. Aku mematung, memandangnya lekat-lekat. Rokok di mulutku jatuh.

Chae Won, Ia tergugu. Bahunya bergoncang dikepung pilu.

Kami dibekam canggung, takjub dan segala rindu yang menghambur menjadi satu.

“Chae Won?” desauku, ragu-ragu.

“Aku sudah bilangkan, jika kau kedinginan. Aku yang akan menghangatkanmu, bukan batang-batang beracun itu.” Kami masih saling menatap, tak tahu harus melakukan apa.

Dan Ia memelukku, begitu erat. Kami terisak bersamaan.

Hangat… ada kehangatan menjalar manis merasuki jiwa dan ragaku.

Seorang pemuda berparas serupa wajahku dengan senyum dan nama milikku berdiri tak jauh dari halte bus ini. Menatap kami dengan kurva sempurna di bawah hidungnya yang mancung.

Dia Song Joongki, anakku.

 “Kadang, perpisahan adalah cara yang paling tepat untuk menyatakan cinta.

 Karena pada dasarnya, bagi para pecinta sejati.

Perpisahan tak akan pernah mematikan cinta,

Ia hanya akan membuatnya meredup tapi bukan

berarti berhenti berpijar..”

~Song Joong Ki~

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jettydin #1
Kereeeenn banget... 4 jempol deh yang satu ini, klo bs pinjem jempol orang aku pinjem deh buat nambahin, hahahaha.
Tapi, knp ga dilanjut? Penasaran....sungguh aku penasaran kelanjutnya.
Oh iya, aku newbie, baru baca 3 ur story.....and bikin ketagihan, sumpah!
Semuanya kereen pake banget, cuman aku ga suka yang cerita saeguk jd agak boring bacanya tp ya ttp aja mpe habis bacanya, wkwkkwwk....
Ini paling the best dan bikin penasaran akut. Banyak tanda tanya....sungguh...banyak tanda tanya yang terlintas, setelah ini apa yang terjadi dengan keduanya....eh ketiganya.
Genrenya "dark" nih kayaknya, setipe nice guy daaaannnn....i love it!
Semangat ya author, lanjut teruuuuusssss.....
Oh ya, aku ga bs mengkhianati chaeki so sampai sekarang aku ga mau nonton DOTS, never!
#savechaeki
#happyendingforchaeki
emoonsong #2
Chapter 1: I had wanted to ignore
(Not give comment)
because I have read this in other blogs
but I think it's not 'like me'
so i try to give my best...

i said this a lot of time...
but for me
this is one of the best your masterpiece...
i don't know why so quiet here...
why i always be the first to give comment...
( honestly it's not really comfortable ) ...
hehehe .....

I always likes story like this,,,,
short story but touch full....
so thanks to do a great job....
awesome... fantastic
# big hug
# save chaeki