In the Party

Wild Imagination by doubleAA10
Pada dasarnya, hal yang paling Taekwoon ingin hindari adalah kerumunan dalam sebuah pesta. Ini bukan soal dirinya yang benci keramaian, hanya saja pesta selalu terdengar begitu bohong baginya. Semua orang tentu saling berbagi senyum, tawa, dan candaan, tapi nyatanya itu hanya untuk sekedar formalitas. Ini sebenarnya tentang pertemuan antar kolega, menambah kenalan, dan akhirnya memiliki sayap yang lebih lebar karena akses begitu banyak lewat orang-orang yang dikenal. Taekwoon selalu menjadi boneka ayahnya untuk bergabung di pesta kolega-koleganya, dirinya dipaksa untuk menambah teman sebanyak mungkin agar bisa menolong perusahaan ayahnya yang bahkan uangnya bisa untuk membiayai kebutuhan tujuh turunan orang miskin. Sejujurnya, bukan masalah memiliki banyak teman, tapi mencari teman untuk uang adalah hal paling gila yang pernah Taekwoon tahu.
 
Taekwoon kesal. Ini adalah pesta sederhana dengan tema garden party. Semua berpakaian santai, tentu saja isinya anak-anak muda dengan pembawaan diri yang glamour. Taekwoon tahu dan sangat yakin bahwa ini pasti ulang tahun salah seorang anak dari kolega ayahnya. Pantas saja ayahnya memaksanya lebih keras dari biasanya.
 
Mata Taekwoon mengedar ke segeala penjuru, membiarkan bola itu bergulir mencari sesuatu yang menarik untuk kepuasan otaknya. Mencoba menemukan seseorang yang tampan mungkin cukup menyenangkan.
 
Seketika neuron otaknya memberi informasi pada matanya untuk berhenti, memintanya fokus pada seseorang yang tengah menyandarkan tubuhnya pada sebuah tiang kokoh yang menopang penghalau sinar matahari ataupun hujan di atas. Dia di sana bersama beberapa gadis yang mengerumuninya, jemari kurus yang panjang miliknya terlihat menjepit kaki gelas sampanye dengan cara yang angkuh. Taekwoon menyipitkan matanya tanpa sadar, berniat memperjelas penglihatannya pada pemuda dengan kulit putih sedikit pucat itu.
 
Pemuda itu berpakaian dengan cara yang berantakan bercampur dengan keren. Taekwoon mendecak pelan melihat betapa menariknya pemuda itu meski menggunakan pakaian yang tidak benar. Lihat saja, kemeja putih dengan beberapa tulisan dan gambar sebagai penghias itu digunakan dengan cara lengan yang digulung lebih tinggi dari siku dan dua kancing atas yang terbuka, sementara celana bahan warna biru tuanya itu terlihat pas pada kakinya yang jenjang. Dia benar-benar memaksa orang untuk melirik dirinya dengan aura gelap yang menarik.
 
Taekwoon tersenyum tipis membayangkan adiknya pasti akan berteriak gila melihat pemuda itu karena jatuh cinta pada pandangan pertama. Hanya saja, pemuda tampan itu jelas bukan tipenya. Taekwoon lebih suka laki-laki dengan sifat yang misterius. Jadi, dirinya tidak perlu bersaing dengan adiknya jika saja suatu saat nanti dirinya dan adiknya dipertemukan dengan orang tampan itu.
 
Terlalu fokus dengan pikirannya, Taekwoon baru menyadari bahwa yang ia pandangi sedari tadi sudah memutar kepalanya untuk menghadap pada dirinya. Taekwoon tersentak hingga hampir membuat gelas pada genggamannya jatuh mengingat pandangannya tadi ditemani senyuman, pemuda itu pasti mendapati dirinya yang tersenyum. Ia menenangkan diri, mengganti fokusnya menjadi gelas-gelas dengan kaki tinggi berisi anggur kekuningan cemerlang. Sial, Taekwoon membatin dengan kesal. Seharusnya dirinya bisa lebih tenang daripada ini.
 
Taekwoon meneguk sampanye di genggamannya dalam sekali teguk, bermaksud menekan rasa gugupnya karena tertangkap memperhatikan seseorang dengan cara yang jelas bukan gayanya. Buih-buih yang melalui tenggorokannya terasa menggelitik, membantunya menghapus rasa menganggu karena tatapan tajam pemuda tadi.
 
Begitu rasa gugupnya hilang, dengan berani Taekwoon menoleh pada pemuda itu, bermaksud untuk memastikan apa orang itu masih melihatnya. Sialnya, sorotan matanya langsung terikat pada garis tajam yang dibuat oleh pemuda berkulit putih. Taekwoon menahan diri untuk tidak membiarkan semburat merah menguasai wajahnya karena lehernya yang kini terasa kaku dan terikat untuk menatap mata coklat yang indah.
 
Taekwoon menarik napas, mencari kesadarannya secara penuh untuk kembali mengalihkan perhatiannya. Dengan cepat ia pun memutuskan untuk berdiri, beranjak dari tempatnya agar tidak bertatapan dengan orang itu. Sekalipun melarikan diri selalu dikatakan sebagai tindakan yang menunjukkan dirinya penakut, toh siapa peduli, orang itu tidak mengenalinya.
 
Langkah kakinya membawa dirinya menuju tempat yang sedikit lebih sepi, hanya ada beberapa gadis dan pemuda yang terlihat malas untuk berinteraksi. Taekwoon tersenyum canggung saat matanya tidak sengaja saling bertatapan dengan salah satu dari mereka.
 
Ini sedikit lebih baik daripada berada di tempat ramai, jadi Taekwoon pun memutuskan untuk duduk saja di bangku taman yang tersedia dan tengah kosong. Ia memainkan ponselnya untuk sedikit membakar rasa bosannya.
 
Tiba-tiba saja benda yang digenggamnya berdering, menunjukkan sebuah panggilan dengan nama kontak 'Papa' sebagai si pemanggil. Dengan cekatan Taekwoon menggeser gambar telepon dalam lingkaran berwarna hijau ke kiri.
 
"Halo, ada apa, pa?"
 
"Taekwoon ! Syukurlah kau mengangkatnya dengan cepat. Lu, apa kau bisa kembali ke rumah secepatnya?"
 
Taekwoon mengerutkan kening bingung. Kembali ke rumah secepatnya? "Ada apa memangnya?"
 
"Sesuatu," sang ayah menjawab cepat. "Aku harap kau bisa segera pulang, Lu."
 
"Baiklah, pa. Aku pulang sekarang. Mungkin aku akan di sana dalam waktu setengah jam, itu jika perjalananku lancar."
 
"Baguslah. Terima kasih,"
 
Taekwoon mengdengus kesal. Apa-apaan ayahnya ini? Baru tadi ia dipaksa untuk mendatangi sebuah pesta di daerah Gangnam-gu, lalu kali ini ia dimintai untuk segera pulang. Memangnya Taekwoon ini apa, sih?
 
Ia beranjak dari duduknya. Sebelum kembali ke rumah, ia memutuskan untuk membuang air takut-takut nanti hasratnya justru muncul saat sedang di jalan. Itu akan sangat merepotkan.
 
Taekwoon mengedarkan matanya, mencari pintu yang sekiranya adalah toilet untuknya. Seharusnya tempat itu ada di sekitar tempat pesta, 'kan?
 
Saat matanya sudah mendapati sebuah pintu di ujung taman, Taekwoon pun mendorong pintu itu ke dalam. Matanya mencari bilik-bilik yang seharusnya ada di dalam toilet. Sayangnya apa yang ia cari tidak juga tertemukan, yang ia dapati hanya lah botol-botol yang ditata dengan rapi di rak-rak kayu yang kokoh. Taekwoon salah masuk. Tentu saja ini pasti gudang untuk anggur, sama seperti yang ada di rumahnya. Bagaimana Taekwoon bisa berpikir ini adalah toilet padahal di rumahnya ada juga satu ruangan di luar rumah seperti ini. Bodoh, Taekwoon memaki dirinya dalam hati.
 
"Hey," sebuah suara bariton menginterupsi kegiatan Taekwoon yang tengah memaki dirinya sendiri. "Kau siapa?"
 
Taekwoon tergagap. Siluet samar seorang laki-laki muncul dari ujung rak, ekspresinya tidak terlihat, hal itu membuat Taekwoon perlu berpikir reaksi apa yang harus ia keluarkan.
 
"Maaf," Taekwoon setengah bergumam untuk menunjukkan rasa bersalahnya.
 
Pemuda yang bersuara bariton itu semakin mendekat, ia terlihat tidak berminat menerima permintaan maaf dari Taekwoon . "Kau bukan keluargaku atau seseorang yang dimintai untuk membawakan anggur, bukan begitu?"
 
"Ya, aku hanya salah masuk. Aku kira ini toilet."
 
Terdengar kekehan renyah dari si suara bariton. "Kau bodoh, menarik sekali." Dengan kecepatan sepersekian detik, pemuda bersuara bariton yang sudah berdiri di hadapan Taekwoon itu menarik lengan Taekwoon , membawanya mendekat dengan jarak yang menyempit. "Katakan, siapa namamu?"
 
Taekwoon menelan ludahnya gugup, ia berusaha mencari manik milik orang yang baru saja memintanya memberi tahu nama. Ia ingin mencari sesuatu yang mungkin bisa membuatnya tidak keberatan memberikan namanya. Taekwoon menghembuskan napasnya saat tidak juga menemukan kilatan apa di mata itu karena pencahayaan yang minim, "Lu Han."
 
"Baiklah, deer, apa kau baru saja menyerahkan dirimu? Kau tidak memberontak."
 
Oh, pemuda ini benar. Deer adalah arti marganya dan dirinya jelas tidak memberontak. Lagi pula, Taekwoon benar-benar tidak sadar dirinya sedang di apakan. Rasanya apa yang dilakukan pemuda bersuara bariton ini bukan hal yang salah dan pantas di tentang oleh tubuhnya.
 
"A-aku harus pulang," Taekwoon bergumam dengan suara setengah bergetar saat tangan besar si suara bariton perlahan menyentuh pinggangnya.
 
Orang itu menggeleng, memerangkap tubuh Taekwoon dengan kedua tangannya yang menempel pada dinding, menahan agar tubuh di kurungannya tidak pergi ke mana-mana. "Aku terlanjut tertarik padamu, deer."
 
"Aku tidak menarik," Taekwoon meremas lengan pemuda di hadapannya, berniat mendorong tubuh tinggi itu untuk menjauh. Sialnya pemuda itu terlalu cekatan, terlalu pintar untuk meraih pinggangnya dan menghasilkan lenguhan dari Taekwoon karena cara pemuda itu meremasnya terasa lembut bercampur dengan mengejutkan. "J-jangan…."
 
Yang bertubuh lebih tinggi tersenyum miring, "Kau menikmatinya. Mau melanjutkan? Akan kuberi tahu namaku kalau kau mau aku bawa ke kamarku di lantai atas."
 
"Tidak, aku benar-benar harus pulang."
 
"Jangan menolakku, aku tidak suka ditolak, deer."
 
Taekwoon meremas lengan pemuda itu saat menyadari bahwa ada gulungan kain, pasti itu lengan baju pemuda itu. Ingatannya langsung terbawa kepada pemuda dengan kulit putih setengah pucat di pesta tadi. "Kau… pemuda dengan lengan di gulung itu."
 
"Eoh? Katakan, apa kau pemuda manis yang menatapiku tadi?"
 
"Y-ya…," Taekwoon memerah, menahan malu karena sudah ketahuan dan berakhir terperangkap dalam kurungan orang yang mengetahui dirinya. Sialan, Taekwoon membatin dengan gusar.
 
Sret.
 
Taekwoon terkejut, tubuhnya sadar bahwa ikatan pada pinggangnya yang dihasilkan gespernya kini sudah melonggar. Pemuda itu baru saja membuka sabuk dengan satu tangan dalam waktu sepersekian dekit. Taekwoon terkagum dengan pergerakan luar biasanya.
 
Pada dasarnya, Taekwoon memang bukan orang yang lugu. Ia sudah beberapa kali menjadi bottom atau top dalam kegiatan panas yang menggairahkan, tapi itu ia lakukan ketika dirinya memang sudah mengenal orang itu atau sengaja mencarinya di sebuah bar. Kalau melakukan kegiatan seperti ini dengan orang baru yang bahkan saat dirinya sedang tidak ingin, tentu saja itu adalah hal yang mau Taekwoon hindari. Hanya saja tangan besar pemuda yang wajahnya masih jelas di ingatannya telah menggoda Taekwoon dengan cerdas. Taekwoon benar-benar luluh dengan apa yang telah dilakukan si pemuda itu.
 
"Katakan namamu. Aku mau ini cepat," Taekwoon bersuara. Serak. Ia menatap tajam pemuda dihadapannya.
 
"Kau benar-benar tidak tahu namaku? Aku adik dari pemilik pesta ini, deer."
 
"Cepatlah. Kau membuatku tidak sabar."
 
"Oh Jaehwan ," pemuda bernama Jaehwan itu menyeringai bersama kekehannya. Ia lalu memasangkan kembali ikat pinggang Taekwoon . "Ayo, ikut aku ke kamarku. Aku ingin melihat wajahmu."
 
.
 
Taekwoon melenguh saat Jaehwan dengan kasar menjatuhkan tubuhnya ke kasur, dengan cepat Jaehwan naik ke kasur, menjepit kedua kaki Taekwoon dengan kakinya. Jaehwan terlihat tidak sabar, tangannya yang kurus terlihat begitu cepat melepas ikat pinggangnya dan resleting celananya setelah dalam waktu beberapa kedip saja sudah membuat seluruh kancing bajunya terbuka.
 
"Kau tidak bisa membuka bajumu sendiri, deer?" Jaehwan tersenyum miring, ia tidak benar-benar berharap Taekwoon akan menjawab pertanyaannya. Tubuhnya langsung ia jatuhkan di atas Taekwoon , jari-jarinya mulai menunjukkan keahliannya sekali lagi pada kancing baju, ikat pinggang, dan resleting celana Taekwoon .
 
Tanpa menghabiskan waktu lama Jaehwan sudah berhasil menanggalkan seluruh pakaian pada tubuh Taekwoon . Sementara yang ada pada dirinya tinggal celana dengan resleting yang terbuka. Ia ingin Taekwoon yang menyingkirkan celananya.
 
"Kau," Taekwoon menggigit bibir bawahnya, meremas lengan Jaehwan yang kini sibuk mengelus pinggangnya dengan cara yang lembut dan menggairahkan. Napasnya tersenggal meski tubuhnya belum benar-benar panas.
 
"Ya, ini aku," Jaehwan menjawab dengan tenang. Satu tangannya yang bebas mulai bergerak nakal pada bagian menonjol di dada Taekwoon . Ia menggunakan dua jarinya untuk mencubit kecil, memutarnya dengan cara yang menggoda hingga menimbulkan suara erangan keras dari yang digodanya.
 
Taekwoon mencoba menahan seluruh tubuhnya untuk tidak bergetar, tapi gerakan tangan Jaehwan yang dinamis dan begitu cekatan benar-benar membuat Taekwoon gila hingga membuat tubuhnya menggeliat nikmat. Entah kenapa, meski kenyataannya ini semua salah, otak Taekwoon sudah tidak peduli lagi. Membiarkan Jaehwan memberi kenikmatan pada tubuhnya adalah satu-satunya pilihan dalam pikiran Taekwoon .
 
Meski tubuhnya sudah lemah karena yang Jaehwan lakukan, ia dengan seluruh tenaganya meraih tengkuk Jaehwan . Bibirnya mencari pasangan untuk saling ditautkan. Taekwoon mengecupi bibir Jaehwan dengan cara yang lembut, memberikan kecupan-kecupan ringan dengan beberapa rasa basah karena lidahnya yang sesekali terulur untuk menjilat bibir pasangan bermainnya. Jaehwan mengerang keras saat bibir Taekwoon tidak juga bergerak lebih dari kecupan, dengan kasar ia mengulum dan menggigit-gigit bibir tipis yang terasa begitu lembut.
 
Taekwoon dengan kesadaran yang tersisa setengah mencoba menggapai celana Jaehwan . Ia menurunkannya langsung sekalian dengan celana dalam Jaehwan . Berhasil. Ia bisa mendengar desisan lega di sela-sela ciumannya bersamaan dengan sesuatu yang bergesekan dengan miliknya. Besar dank eras. Taekwoon yakin itu milik Jaehwan .
 
Tanpa permisi tangan kecil Taekwoon langsung menggenggam sesuatu yang sudah sangat keras di antara selangkangan Jaehwan . Ia menggerakkan tangan naik turun untuk menggoda tonjolan keras di genggamannya, memberikan gerakan-gerakan menyenangkan hingga membuat lidah Jaehwan makin kuat melilit lidahnya. Taekwoon mendesah berat, Jaehwan dengan licik meremas pantatnya dan memainkan jari di bibir lubang Taekwoon dengan cara yang pintar.
 
"Kau yang memulainya, deer," Jaehwan bergumam dengan suara yang begitu dalam, menggetarkan tubuh Taekwoon hingga Taekwoon merasa harus tunduk begitu saja pada pemuda yang baru ia kenal hari ini.
 
Dengan kasar tangan Taekwoon disingkirkan, Taekwoon tersenyum saat mendapati kilatan lapar dari mata Jaehwan . Taekwoon melebarkan kakinya, menggoda Jaehwan yang tengah mempersiapkan dirinya untuk memasuki Taekwoon . Jaehwan tertawa dengan serak, menjelaskan betapa inginnya dia memasuki Taekwoon secepatnya.
 
Jaehwan mengangkat pinggang Taekwoon , menggesekkan miliknya yang sudah tegak pada lubang itu untuk memulai penetrasinya. Jaehwan mendesah nikmat saat merasakan miliknya dijepit dengan ketat, sementara Taekwoon mendesah dengan suara parau karena rasanya terbelah menjadi dua. Jaehwan terlalu besar untuk lubang yang memang sebenarnya tidak diciptakan untuk dimasuki.
 
Taekwoon merintih keras sambil setengah memaki. Jaehwan langsung bergerak saat tubuhnya sudah sepenuhnya masuk tanpa membiarkan Taekwoon menyesuaikan diri. Milik Jaehwan terlalu besar dan panjang, rasanya menyakitkan bercampur menyenangkan karena bergesekkan dengan dinding sempit miliknya. Mereka bersatu dengan cara yang menyenangkan. Taekwoon terkagum pada ujung tumpul diri Jaehwan menumbuk titik terdalamnya dengan cara yang mengesankan. Nikmat dan sakit yang bercampur, bertentangan namun justru memberi perasaan panas yang menggairahkan di seluruh pembuluh darah Taekwoon hingga membuatnya meletup-letup.
 
Jaehwan mendesis saat perutnya mulai bergejolak, memberi tahu tubuhnya bahwa sebentar lagi dirinya siap meledak. Tubuh bagian bawahnya siap menyemburkan kenikmatannya dalam tubuh Taekwoon .
 
"I'm close," Jaehwan bergumam dalam desah dan suaranya yang serak.
 
Taekwoon mengangguk, "N-nado…."
 
Jaehwan bergerak makin cepat, menumbuk titik terdalam Taekwoon dan akhirnya mengeluarkan kenikmatannya di dalam. Bersamaan dengan itu Taekwoon keluar di perut kotak-kotak tipis Jaehwan .
 
Mereka terjatuh, berbaring di kasur dengan seluruh udara sekitar berbau seks. Jaehwan memeluk tubuh Taekwoon , mengecup keningnya dengan lembut.
 
"Kau mengagumkan," Taekwoon bergumam dengan suara yang lirih.
 
"Apa itu pujian?"
 
"Tentu saja. Menurutmu apa?"
 
Jaehwan terkekeh, "Kau juga mengagumkan. Mungkin beberapa menit lagi aku ingin meminta lebih."
 
 
-----------------------------------------
 
 
 
"Aku harus pulang," Taekwoon bergumam dalam pelukan Jaehwan , mendorong tubuh yang lebih tinggi darinya agar menjauh.
 
Jaehwan bergeming, tidak mau melepaskan ataupun membiarkan si mungil di pelukannya bebas dari kungkungan. "Jangan," Jaehwan menjawab dengan suaranya yang dingin.
 
"Jaehwan , aku serius."
 
Jaehwan terkekeh, ia mengecup kening Taekwoon lembut. "Beri aku nomormu dan aku biarkan kau bebas."
 
Taekwoon mendesah pelan, "Baiklah. Kemarikan ponselmu."
 
Jaehwan tersenyum, ia lalu melepas pelukannya untuk meraih celananya yang ada di tepi kasur. Ia memasukkan tangannya ke kantung untuk meraih ponselnya, lalu ia serahkan pada Taekwoon .
 
Taekwoon bangun dari tidurnya, ia menerima ponsel Jaehwan lalu mulai mengetikkan nomor teleponnya yang aktif pada telepon pintar Jaehwan . Begitu sudah, ia menekan tombol telepon untuk menghubungi nomornya. Ponselnya lalu berdering setelah itu. "Lihat? Aku pulang sekarang, ya? Ini sudah lewat satu jam dari janjiku pulang."
 
"Tentu," Jaehwan mengedipkan satu matanya dengan cara yang menggoda, "Aku harap kita bisa bertemu lagi. Mungkin di hotel?"
 
"Ck, ayo antar aku turun. Kau mau membuatku terlihat seperti penyusup?"
 
Jaehwan beranjak, ia berdiri dan mulai menggunakan pakaiannya. "Cepatlah. Kau masih telanjang," Jaehwan bersuara saat mengancingkan bajunya.
 
.
 
Taekwoon menyetir dengan kecepatan lebih dari dirinya biasanya, rasanya seperti terbang. Ia harus cepat sampai rumah, apa lagi saat ia membuka ponselnya ada banyak pesan masuk dari ayahnya yang menanyakan keberadaannya. Sial memang, Jaehwan itu benar–benar seorang musang.
 
Ia sampai di rumahnya sepuluh menit lebih cepat dari perkiraannya—hanya dua puluh menit ia sudah sampai di rumah. Sambutan yang ia dapati tentu tatapan kesal ayahnya dan ibunya yang sibuk mengelus lengan sang suami. Taekwoon mendengus. Niat ingin mengeluarkan hasrat yang biasanya mengumpul di kandung kemih, justru biji-biji kotor di testis yang keluar. Ya sudahlah, setidaknya sama-sama lewat uretranya.
 
"Kau menikmati pestanya?" Ayah Taekwoon menyambut Taekwoon dengan pertanyaan.
 
Taekwoon mengangguk, "Lumayan, pa. Kenapa menyuruhku pulang cepat?"
 
"Duduk dulu. Ini soal pekerjaan dan beberapa pertemuan dengan kolega papa."
 
Ia menurut, menempelkan pantatnya yang masih sedikit sakit karena milik Jaehwan yang memasukkinya dan bergerak kasar di dalamnya banyak kali. Ia mendesis lirih menahan sakitnya. "Ada apa?"
 
"Papa mau kau ke Pulau Jeju untuk menghadiri peresmian restoran baru milik salah satu kenalan papa, karena pada hari yang sama pula papa harus ke China untuk mengecek perusahaan kita yang katanya terkena sedikit masalah. Awalnya papa pikir menunggumu pulang dari pesta bukan sebuah masalah, tapi ternyata tiket pesawat yang papa beli menunjukkan pukul setengah delapan sebagai jam keberangkatan, itu artinya sekitar dua jam lagi. Jadi, kau mungkin perlu bersiap-siap dan langsung menuju bandara setelah itu."
 
"Oh," Taekwoon mengangguk paham, "Baiklah, pa. Aku bersiap dulu. Kita berangkat bersama, 'kan?"
 
Ayahnya tersenyum, "Tentu saja. Lekaslah kemasi barangmu, tidak perlu terlalu banyak, kau di sana hanya satu hari. Oh iya, bersikaplah yang ramah. Sebagian besar kolega papa lebih mengenalmu daripada adikmu."
 
.
 
Taekwoon dan ayahnya sampai dibandara pukul setengah tujuh, masih ada sekitar satu jam untuk mempersiapkan keberangkatan. Taekwoon berangkat lima belas menit lebih dulu dari ayahnya, ia sudah dipesani banyak hal oleh ayahnya selama perjalanan menuju bandara tadi. Ada tentang siapa saja kolega ayahnya yang sangat akrab hingga yang hanya kenal—bersyukur tidak ada yang bertembok dengan ayahnya—, sampai apa saja yang perlu dan tidak perlu ia lakukan di sana.
 
"Tuan Oh sepertinya juga mengirim anaknya, hanya saja dia datang besok. Aku harap kau bisa berhubungan baik dengan anak itu, karena ayah belum begitu akrab dengan keluarga Oh."
 
Taekwoon tersedak ludahnya sendiri saat marga seseorang yang rasanya tidak asing hinggap di pendengarannya. "A–ah? Oh siapa, papa?"
 
"Nanti yang akan kau temu itu anaknya, jadi… Oh Jaehwan . Ya, anaknya yang terakhir namanya Oh Jaehwan ."
 
"Sial," Taekwoon memaki dalam hati. "Ah…, baiklah papa, nanti aku akan mencoba menjalin hubungan baik dengan anak itu."
 
"Dia tampan," ayah Taekwoon terkekeh kecil, "kalau kau mau, misal keluarga kita akhirnya bisa dekat dengan keluarga Oh, aku akan menjodohkanmu atau adikmu dengan Oh Jaehwan itu."
 
Taekwoon benar–benar terbatuk sekarang, "p–papa! Jangan membicarakan perjodohan denganku!"
 
Suara kekehan ayah Taekwoon berubah menjadi tawa, "kau sudah besar, kau perlu segera menikah juga, Taekwoon -ah."
 
"Nanti, pa," Taekwoon bersungut kesal, "aku akan mencari yang cocok dengan hatiku, tidak asal dijodohkan begitu."
 
"Papa mengerti," ujar ayah Taekwoon , lalu ia melirik jam tangannya. "Oh, sudah pukul tujuh lebih lima menit, mungkin kau bisa langsung pergi ke pesawatmu, Taekwoon -ah."
 
"Sungguh?" Ia sama–sama mengerling pada jam yang melingkar di pergelangan tangannya, "wah, iya… ya sudah papa, aku berangkat dulu!" Taekwoon mencium pipi ayahnya yang sangat ia sayang itu lalu membungkuk sebelum segera berbalik dan berjalan menuju tempatnya masuk ke pesawat.
 
"Oh Jaehwan ?" Taekwoon berbicara pada dirinya sendiri, matanya menatap bantal yang biasa ia gunakan di pesawat tidak percaya. "Bagaimana bisa dunia sesempit ini? Kupikir kita tidak akan bertemu lagi, ternyata justru papa ingin keluarga kita dekat. Hal gila macam apa ini?!"
 
Ia mendesah tidak tenang, merutuki kebodohannya sampai salah masuk ruangan dan berakhir terpancing nafsu pemuda albino yang empat tahun lebih muda darinya itu. Bagaimana dirinya seceroboh itu, padahal biasanya ia bisa dengan tenang menolak.
 
.
 
Taekwoon sampai di Bandara Internasional Jeju setelah memakan beberapa waktu untuk terbang, katanya ia di jemput oleh sopir yang dari pembuat acara untuk membawa diri Taekwoon menuju hotel. Begitu Taekwoon keluar, Taekwoon mendapati sopir itu membawa karton besar dengan nama dirinya, warnanya mencolok jadi membuatnya langsung terfokus pada benda itu. Ia menghampiri laki–laki lumayan tua dengan pakaian jas yang rapi, laki–laki itu membungkukkan badannya lalu tersenyum dan mengulurkan tangannya, meminta koper yang Taekwoon bawa untuk berpindah pada dirinya. Dengan senang hati Taekwoon menyerahkan gagang kopernya pada paman itu.
 
Begitu tiba di hotel, Taekwoon langsung diberi kunci kamar. Taekwoon melangkah ringan menuju lift untuk naik ke lantai sepuluh, tempat kamarnya berada. Sesampainya di sana, ia langsung mencari kamarnya untuk segera mengistirahatkan tubuhnya karena kelelahan naik pesawat dan juga sudah waktunya tidur.
 
Paginya Taekwoon terbangun oleh suara ketukkan pintu kamarnya, ia menghela napas kesal dan merapikan sedikit bagian rambutnya yang berantakan lalu membuka pintu. Mendapati seorang pelan hotel yang membawa makanan, Taekwoon menarik sudut bibirnya dan mempersilakan orang itu masuk juga menata makanan di mejanya.
 
Taekwoon mengumamkan kata terima kasih pada wanita itu begitu wanita itu keluar, menutup pintu setelahnya. Dengan cekatan ia meraih sikat gigi untuk membersihkan mulutnya, lalu segera menghabiskan makanan yang tersedia di meja karena rasa lapar yang menyerang.
 
Mengerling pada jam, ia mendapati jarum yang menunjukkan pukul tujuh. Masih ada tiga jam sebelum acara di mulai dan Taekwoon bisa menyiapkan semuanya nanti setelah bermalas–malasan. Taekwoon pun kembali membawa dirinya pada kasur untuk menikmati waktu luang sebelum bersusah payah menyangga bibirnya agar terus tersenyum pada kolega–kolega ayahnya. Tidak lupa ia menyetel alarm pukul sembilan, menyiapkan waktu lebih cepat satu jam sudah menjadi kebiasaan Taekwoon sebelum menghadiri acara. Takut–takut nanti kalau ia bersiap–siap menghabiskan waktu lama.
 
.
 
Acara peresmian sudah dilaksanakan, hanya tinggal pesta beberapa jam kedepan dan mempersiapkan senyuman terbaik agar memberi kesan ramah. Taekwoon mendengus lirih, mengutuk betapa mengenaskannya dirinya sudah berada di dunia gila uang ini. Semua terlihat beramah–tamah pada siapa saja, bahkan mengajaknya berkenalan atau bertanya–tanya tentang keluarganya.
 
Hanya saja Taekwoon bersyukur, keramaian ini membuatnya tidak menemukan pemuda tampan yang menindihnya sehari kemarin dan masih meninggalkan sedikit bekas sakit pada bagian bawahnya.
 
"Deer."
 
Sial. Baru saja dibicarakan, suara orang yang sangat Taekwoon kenali ini menyapa inderanya. Neuronnya seketika bekerja dan memberikan beberapa pilihan. Menoleh, atau melangkah lawan arah dan berpura–pura tidak dengar. Hanya saja, pilihan kedua terdengar seperti pilihan mengajak ribut pemuda itu, maka Taekwoon pun memutuskan untuk menoleh dan memasang wajah malas.
 
"Apa?" Taekwoon bertanya dengan nada malas.
 
Suara kekehan muncul dari pemuda yang memegang gelas cocktail, "Jangan galak–galak, aku tidak akan menyakitimu, kok."
 
"Bohong."
 
"Oh, satu–satunya waktu aku akan menyakitimu adalah… ketika kau di bawahku."
 
Taekwoon memukul bahu Jaehwan kesal, "Hentikan pikiran kotormu. Aku tidak mau berdekatan denganmu."
 
"Wah… sayang sekali, deer, tapi ayahku sangat ingin berhubungan baik dengan keluarga Lu. Aku pikir keluarga Lu juga ingin berhubungan baik dengan keluarga Oh, benar 'kan? Jadi… mari kita berhubungan baik, katanya kalau hubungan keluarga kita baik, kemungkinan aku dijodohkan denganmu atau dengan adikmu," Jaehwan tersenyum penuh kemenangan.
 
"Sial," Taekwoon mendengus kasar. "Kalau begitu nanti aku akan menyuruh adikku yang dijodohkan denganmu."
 
Yang lebih tinggi menggeleng dengan gerakan jari menunjukkan penolakkan, "Aku akan memilihmu, lalu keluargaku yang akan melamarmu. Kau tidak bisa memilih."
 
"Kau mengerjaiku, Oh?"
 
Jaehwan tersenyum miring, ia mendekatkan wajahnya pada wajah Taekwoon . "Aku sangat ingin melihatmu di bawahku tepat setelah acara selesai."
 
Acara pesta selesai dan Taekwoon berhasil kabur dari jeratan pemuda mesum macam Oh Jaehwan . Ia sudah tiba di hotel dan bersiap menyembunyikan diri di kamar agar pemuda itu tidak dapat menemukannya.
 
Sialnya, saat dirinya sudah berdiri di depan pintu kamar hotel, kunci yang seharusnya berada di kantungnya menghilang. Ia memastikan sekali lagi, merogoh seluruh kantongnya takut–takut ia lupa menempatkannya di mana.
 
"Mencari ini?" Suara gemerincing kunci bersamaan dengan nada menyebalkan seseorang muncul dari belakang Taekwoon .
 
Taekwoon menoleh, matanya langsung mendapati tubuh tinggi Jaehwan dengan seringaian menyebalkan membawa kunci bertuliskan nomor kamarnya. Sial, kapan bocah itu mendapatkan kuncinya?
 
"Kemarikan," Taekwoon memerintah dengan nada yang dalam.
 
"Tidak mau."
 
"Oh Jaehwan ," Taekwoon menatap pemuda itu, "Kemarikan!"
 
Jaehwan tertawa, "Dengan syarat… kau di atasku. Bagaimana?"
 
"Aku memasukimu? Boleh."
 
"Kau paham maksudku, deer."
 
Taekwoon mendecak kesal, "Satu ronde, kau di atas, dan setelah itu biarkan aku tidur. Deal?"
 
Jaehwan melebarkan matanya dengan senyuman, "Sungguh? Oke, deal!"
 
Taekwoon menghembuskan napasnya banyak kali, mendesah kesal bercampur nikmat karena pemuda bermarga Oh di atasnya kini sibuk menggoda kulitnya dengan jemari nakal yang ia miliki. Belum apa–apa dirinya sudah tersenggal karena keahlian pemuda di atasnya.
 
"Kau menikmatinya, deer," Jaehwan bergumam di sebelah telinga Taekwoon , menjilat daun itu dengan cara yang seduktif sampai mampu membuat yang dibawahnya mendesah lebih keras.
 
Taekwoon tidak bisa mengelak. Gerakan luar biasa yang Jaehwan lakukan benar–benar melemahkan seluruh persendiannya, membuat dirinya tidak mampu bergerak dan menumbuhkan jiwa submisif Taekwoon yang sekiranya sudah ia kubur dalam sejak dulu. Jaehwan terlalu dominan meski permainannya sederhana.
 
Sampai saat seluruh pakaian yang melekat pada masing–masing mereka sukses ditanggalkan, tubuh polos mereka bersembunyi di balik selimut. Taekwoon sudah lemah dengan tatapan sayu, sentuhan luar biasa yang Jaehwan lakukan mampu melumpuhkan yang lebih tua itu.
 
"A–akhh!" Taekwoon memikik keras, meremas lengan putih Jaehwan hingga meninggalkan bekas merah di kulitnya karena jemarinya yang menekan kuat lengan itu. Sialnya, di bawah sana, Jaehwan sudah dengan pintar membuat kaki Taekwoon lemas dan hanya mampu menendang–nendang sprei pelan karena jemari panjangnya.
 
Jaehwan terkekeh, tersenyum dengan cara yang seksi sambil menatapi penuh kemenangan pada diri Taekwoon . Taekwoon lumpuh, jemari panjang Jaehwan yang ada di dalam Taekwoon lah penyebab kelumpuhan seluruh saraf si rusa.
 
Begitu Jaehwan sudah merasa seluruh tubuhnya menegang, ia menarik keluar jarinya lalu mempersiapkan bagian bawahnya untuk masuk ke dalam tubuh Taekwoon .
 
Perlahan ia mendorong miliknya masuk ke dalam tubuh Taekwoon , menimbulkan suara erangan serta cakaran pada punggungnya. Jaehwan meringis, sakit, tapi ini tidak boleh berakhir begitu saja. Maka dengan kata maaf yang banyak sebelumnya, ia mendorong masuk seluruh dirinya ke dalam Taekwoon sampai menghasilkan teriakkan keras dari yang di bawah. Sempit dan hangat, nyaman rasanya dibalut dengan dinding yang menjepit seluruh miliknya.
 
"Bergeraklah, cepat!" Taekwoon memekik kesal sambil memukul kepala Jaehwan , menggerakkan pinggulnya karena tidak sabar dengan tumbukan nikmat dari yang di atas. Ia mendesis akibat gerakannya sendiri.
 
Jaehwan mendesah tipis sebelum akhirnya menahan pinggang Taekwoon , "calm, biar aku yang bekerja," ujarnya dengan nada rendah dan segores nada frustasi di dalamnya, frustasi akibat gerakan cerdas Taekwoon .
Tidak mau berlama–lama, Jaehwan mulai bergerak naik turun untuk menekan tubuh Taekwoon , mengenai titik manis pemuda di bawahnya, teriakkan pun langsung muncul. Tidak peduli dengan ribut, Jaehwan langsung menumbuk titik itu berkali–kali, makin lama makin keras.
"S–sebentar lagi—aahh!" Taekwoon masih meremas lengan Jaehwan , kali ini lebih keras karena bagian bawahnya serasa tertarik dan siap mengeluarkan benihnya.
"Bersama," suara berat itu menyahut.
Mereka tertarik, keluar menemui kenikmatan putih yang luar biasa secara bersamaan. Jaehwan ambruk di samping Taekwoon , sementara Taekwoon memejamkan matanya karena kelelahan.
"Kau puas?" Taekwoon bertanya dengan suara parau, ia masih memejamkan matanya dan mengatur napasnya yang memburu.
Jaehwan terkekeh kecil dan lalu mengacak rambut lepek Taekwoon , "Belum, tapi kau lelah. Tidur lah, deer."
Fin.
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
annah_13 #1
Chapter 12: