Find You

Find You

 Find You

(Based on FTISLAND song ‘Primavera’ and some photos of Minhwan :3)

Asuka

Choi Minhwan (FT Island) | Seo Youkyung (AOA) and others · Friendship | Lil’ bit romance · Oneshot · T

A/N: Menye-menye nya di bawah sajaaa.... Happy reading! :)

·

Asuka_Copyright 2015


 

---

Choi Minhwan hanya mengatupkan mulutnya tertib, membiarkan Song Yunho—teman seperjalanannya selama di Venesia—berbincang bersama dua orang pasutri yang jika ditaksir berusia lebih dari separuh abad. Namun meski demikian, keduanya terlihat masih kuat dan berseri-seri. Cepat tanggap menyahuti tiap perkataan Yunho.

Obrolan ketiganya terdengar samar-samar, tetapi masih cukup jelas untuk ditangkap oleh indera pendengaran Minhwan yang tumpul sedari dalam kandungan. Oleh karena itu ia perlu menggunakan alat yang mirip earphone di kedua telinganya, hanya pada saat-saat tertentu memang. Selagi lelaki itu membenahi letak alat bantu dengarnya, dari arah dapur muncul seorang wanita muda membawakan baki berisi dua mug yang mengepulkan asap lembut disertai aroma menggugah. Minhwan bisa menebaknya, itu pasti seduhan cokelat panas.

“Terima kasih. Maaf kami merepotkan saja,” Yunho bicara pada wanita muda itu setelah kedua mug dibagikan pada mereka. Minhwan tahu itu bukan bahasa Korea ataupun Inggris. Yunho mengucapkannya dalam bahasa Itali, bahasa yang belum Minhwan kuasai sepenuhnya.

“Kakak ‘kan sudah mengatakannya jauh-jauh hari, jadi kenapa kami harus keberatan. Ayah dan ibu juga sudah setuju.” Wanita berambut cokelat itu tersenyum bersahabat, baik pada Yunho maupun Minhwan sebelum menempati kursi kecil sambil memeluk baki. Begitu pula dengan kedua pasutri yang menduduki kursi kayu di seberang keduanya.

Yunho terkekeh lega, mengatakan terima kasih sekali lagi. Kali ini Minhwan tahu maksudnya. Pria itu mengajaknya untuk menginap di rumah itu selama mereka mengunjungi Venesia selama dua minggu ke depan. Mulanya Minhwan sungkan dan nyaris melarang Yunho yang mengajaknya pindah dari penginapan ke rumah keluarga Brown, saudara angkatnya tersebut. Namun pria itu meyakinkan Minhwan bahwa mereka bisa tidur di sana tanpa harus dimintai tarif seperti ketika di hotel atau penginapan berbintang. Ujarnya, tidak salah menghemat pengeluaran selama di negeri orang tersebut.

“Kami terkadang kesepian di sini. Hanya ada Alice seorang, dan dia justru tidak banyak bicara,” ujar Tn. Brown, pria bersweater rajutan abu-abu itu bergurau sambil menunjuk putrinya, Alice Brown. Ny. Brown turut membenarkan, membuat wanita berambut cokelat—bernama Alice itu tersipu mendengar ucapan kedua orangtuanya.

“Kami senang karena kalian mau menginap di sini, di rumah tua ini,” imbuh Ny. Brown terlihat senang. Alice menerjemahkan kalimat kedua orangtuanya dalam bahasa Inggris hingga Minhwan mengangguk paham. Jika sekedar kalimat sederhana seperti ‘terima kasih’, ‘maaf’ atau ‘selamat pagi’, Minhwan tak butuh seorang translator.

Pembicaraan pagi mereka berakhir ketika bunyi berisik ceret uap mendesis nyaring dari dapur. Segera saja Alice melompat ke ruangan yang hanya disekat oleh bufet kayu jati setinggi perut, mematikan kompor. Setelahnya ia tak kembali ke ruang tamu dan mulai terlihat sibuk.

Ny. Brown menawari Yunho, juga Minhwan untuk sekedar sarapan bersama, membuat Minhwan segan untuk menolak meskipun perutnya masih terasa penuh karena setengah jam yang lalu ia sempatkan menyantap breakfast di restoran hotel tempat mereka menginap. Barangkali, jika hanya sepotong wafel atau roti gandum masih muat berjejal di usus-usus pencernaannya.

Seusai sarapan, pasangan Brown pamit pergi ke pertemuan warga sementara Alice tetap berada di rumah. Yunho memilih untuk ke luar sebentar—setelah bersikeras mengajak serta Minhwan namun pria itu menolak—sementara Minhwan menuju balkon yang langsung menghadap ke aliran sungai di mana gondola-gondola berarak perlahan membawa penumpangnya ke tujuan. Ia sudah mempersiapkan segala hal, termasuk kamera digital untuk memotret keindahan kota yang terletak di wilayah Venero, Italia ini.

Minhwan perlu menjepret yang ia anggap penting, demi menunjang sebuah naskah yang akan ia tulis nanti. Sebagai seorang novelis, pria itu tak segan-segan mengunjungi beberapa tempat yang ia canangkan untuk setting pada karya fiksinya. Hingga detik ini, belasan buku telah ia tulis dan beredar di negerinya. Kali ini, Minhwan menjatuhkan pilihannya pada kota Venesia, Kota Kanal yang tersohor sebagai latar salah satu novelnya.

Ia akan pergi ke beberapa lokasi besok atau lusa, pikirnya hari ini cukup hanya memotret pemandangan dari balkon kediaman keluarga Brown. Tepat pada bidikan ke lima, suara wanita sayup-sayup tertangkap pendengarannya. Minhwan menurunkan kamera kemudian berbalik dan menemukan sosok Alice tengah tersenyum padanya. Wanita itu melangkah lebih dekat.

“Maaf jika aku mengganggumu. Tapi, bolehkah bertanya sesuatu?”

Minhwan mengangguk kecil sebagai tanda setuju pada permintaan Alice yang terucap dalam bahasa Inggris. Wanita itu semakin melebarkan senyumnya, seperti aliran sungai kota Venesia yang kadang meluap kala musim dingin.

“Apa kau ini, Minari? Penulis novel roman dari Korea itu?” Minhwan mendapati binar ketertarikan dari kedua mata Alice saat menatapnya. Pria itu tak mengira Alice akan mengenalnya sebagai Minari—itu nama pena Minhwan di setiap novelnya.

‘Benar. Apa kau terkejut?’

Alice memahami gestur yang diperlihatkan oleh Minhwan. Wanita itu segera menutup mulutnya dengan dua tangan kemudian berlari masuk sebelum kembali lagi dengan membawa tiga buah buku di tangannya. Buku yang sangat dikenali Minhwan.

“Aku- aku salah satu dari penggemarmu, Mr. Minari. Lihat, aku punya tiga dari novelmu dalam terjemahan bahasa Inggrisnya!”

Mata sipit Minhwan melebar, ia sudah tahu bukunya telah diterjemahkan ke beberapa bahasa, namun ekspektasinya tak sampai sejauh ini. Tidak heran sih, jika Alice mengaku seperti tadi. Kemudian dengan hormat Alice meminta kesediaan Minhwan untuk membubuhkan tanda tangan di buku novel yang ia dapatkan dari toko buku online. Kelihatannya ia girang sekali bisa bertemu langsung dengan si penulis berdarah Korea ini. Sebuah kehormatan lain sebab kini novelis itu justru menginap di rumahnya.

“Kak Yunho tidak berbohong. Dia berusaha meyakinkanku bahwa ia bekerja untuk seorang penulis novel muda di Korea Selatan. Dan setelah melihatmu, aku tidak meragukan kak Yunho lagi,” jelas Alice begitu Minhwan mengembalikan ketiga buku miliknya. Pria itu tersenyum merendah dan berterima kasih, ia sadar kesuksesan yang diraihnya hingga detik ini tak lepas dari izin Tuhan dan juga campur tangan jasa kedua orangtua—angkatnya. Jangan lupa, saudara-saudara angkatnya pun masuk hitungan. Mereka yang membiayainya sekolah sampai memberi dukungan penuh atas cita-citanya dalam dunia literasi. Jika bukan karena motivasi dari mereka semua, Minhwan tak akan berdiri sekuat ini dengan kekurangan yang ia miliki.

“Semoga kau betah di sini.” Alice kembali masuk ke dalam dan meninggalkan Minhwan seorang diri. Pria itu kembali menatap aliran sungai di bawahnya, mengulangi kegiatannya tadi. Mengarahkan lensa kameranya pada alat transportasi air yang silih berganti melintas dan pernak-pernik kota Venesia yang khas.

Minhwan puas dan berhenti memotret. Sekarang ia memeriksa hasil jepretannya satu persatu sambil masih bersandar di pagar pembatas balkon. Memunggungi aliran sungai. Jemarinya setia menekan tombol next berulang kali sembari terus tersenyum, hingga senyum itu terhenti berkembang saat tiba di sebuah foto.

Ia nyaris tak mempercayai penglihatannya kini. Bukan karena gambar tentang sedikitnya penumpang vaporetto yang menarik perhatiannya, tidak juga karena ia membidik itu dengan tak sengaja. Melainkan sosok yang sedang berdiri di dalam vaporetto dengan gestur menjelaskan dan tangan terarah ke salah satu bangunan di sisi kiri-kanan itu—semacam guide tour, sosok yang tidak begitu asing baginya.

Minhwan memperjelas tampilan gambar dengan cara menzoom-in hasil jepretannya tersebut, mengamati lebih teliti apakah terdapat kekeliruan pada netranya dalam mengenali sosok gadis berambut terang dan berkulit pucat alami tersebut. Ia jelas mengetahui ciri itu, yang dalam ilmu kedokteran disebut sebagai kelainan genetika, albino. Kelainan yang membuatnya harus menerima olokan dari segelintir orang karena berbeda dari yang lain. Minhwan sudah terbiasa dengan perbedaan itu, sedari dulu malah. Perbedaan yang membuatnya merasa memiliki ikatan bersama orang itu. Perbedaan yang justru membuat mereka berdua tampak sama.

Karena menurutnya vaporetto bergerak cukup lamban, Minhwan memutar cepat tubuhnya, mencari-cari keberadaan kendaraan air mirip perahu itu di segala arah. Namun tak ia temukan, dengan segera vaporetto yang membawa serta orang itu telah lenyap dari pandangannya. Tersisa hanya gondola-gondola dengan Gondoliere yang sibuk mengusahakan kendaraannya agar maju.

Minhwan mendesah kecewa, ia menaruh harapan terlalu tinggi rupanya. Mustahil orang itu berada di sini. Untuk apa? Memangnya mungkin? Agaknya ia hanya sekedar berhalusinasi karena setelah disadari, Minhwan menyimpan sebongkah kerinduan untuk orang itu. Wajar kan bila netranya membentuk bayangan-bayangan semu dari sesuatu yang tidak mirip menjadi nyaris serupa? Minhwan menatap kelu kamera di tangannya. Satu yang luput dari kesadarannya, bahwa tak ada yang tidak mungkin di dunia ini selama Tuhan menghendakinya.

---

Minhwan hanya sesekali tersenyum pada calon penumpang vaporetto yang berada di samping kiri dan kanan tubuhnya hari itu. Tujuan mereka sama, yaitu menaiki kendaraan serupa perahu yang kemarin sempat terjepret oleh kameranya di balkon keluarga Brown. Di belakangnya, terdengar suara pria berbicara dalam bahasa China dengan cepatnya. Cerewet, sama seperti Yunho yang tadi bersikukuh ingin menemani ekspedisi hari kedua Minhwan. Namun pria bermata sipit itu menolak dengan halus, mengisyaratkan bahwa ia mampu bepergian seorang diri tanpa harus dikhawatirkan begitu berlebihan.

Beberapa saat kemudian, vaporetto mulai tampak dari hulu sungai. Para penumpang bersiap-siap untuk naik, begitu pula dengan Minhwan. Setelah seorang pemandu pria menginstruksikan penumpang tentang bagian mana yang digunakan sebagai jalan masuk, berduyun-duyun pelancong itu memuati vaporetto dan menempati tempat duduk yang tersedia. Sebagian memilih tetap berdiri—dengan posisi aman tentu saja.

Minhwan duduk bersisian dengan seorang pria paruh baya beretnis Hindi, tidak lebih tua jika dibandingkan ayahnya. Pria itu menyapanya dengan cara menangkup telapak tangannya secara vertikal di depan mulut. Minhwan membalasnya. Sesudah itu keduanya sama-sama memusatkan perhatian pada seorang guide tour yang didampingi seseorang di dekat kursi supir.

Pada mulanya Minhwan tidak begitu memperhatikan, ia lebih suka mengamati pedestrian Venesia di tepian sungai yang masyarakatnya didominasi oleh orang-orang berumur tua. Mereka tampak menawarkan suvenir pada pejalan kaki yang melintas. Minhwan mengangkat kameranya yang telah siap, kemudian mengabadikan momen itu. Ia tersenyum puas.

Buongiorno! (selamat pagi!) Bagaimana kabar Anda semua? Selamat datang di tur vaporetto...” guide tour pria itu menyapa semua orang dalam bahasa Italia. Kemudian ia melanjutkan kalimatnya menggunakan bahasa Inggris, peralihan tersebut tidak sampai di situ saja sebab ia menyerahkan urusan jelas-menjelaskan kepada seorang rekannya. Yang diminta menggantikan segera tanggap, berdiri dan menarik perhatian sebagian besar penumpang dengan gayanya yang meyakinkan.

Transformasi dari jenis suara bariton pria menjadi mezzosopran wanita menggelitik Minhwan juga akhirnya. Meski telinganya tidak begitu peka untuk membedakan kedua warna suara tadi, setidaknya ia tahu ada yang berubah. Hal itu memancing inderanya memusat pada guide tour yang tak disangka olehnya seorang wanita. Untuk beberapa detik Minhwan mematung, tak berkedip sebelum percikan air Canal Grande mencuri kesempatan melompati bibir vaporetto dan mengenai wajahnya. Air dari pengayuh seorang gondoliere yang berpapasan dengan vaporetto terbang begitu saja.

Minhwan masih terpaku menatap wanita berambut tergerai sepanjang bahu yang kini menjelaskan lokasi-lokasi serta bangunan yang terkenal di Venesia. Dari Campanile di San Marco, sampai Bridge of Sighs yang menyimpan legenda. Benar-benar fasih seakan ia adalah ensiklopedia berjalan.

Akan tetapi bukan itu alasan utama Minhwan termanggu dalam diamnya bahkan sampai mengabaikan tombol kameranya. Wanita itu, kulit pucat serta rambut terangnya mengingatkan Minhwan dengan seseorang dari masa lalunya dahulu. Gadis kecil yang selalu mengandalkannya ketika menerima ejekan di sekolah dasar. Menyuruk di lengannya sambil mengusap hidung yang memerah dan berair. Mereka bagai tak terpisahkan, seolah memang diciptakan untuk bersama.

Sepanjang perjalanan di atas vaporetto, Minhwan tak mengalihkan pandangannya dari wanita yang rekannya panggil dengan nama Eugene tersebut. Begitu rute vaporetto telah kembali ke tempat pemberangkatan tadi, para penumpang meninggalkan perahu tersebut untuk melakukan sesuatu yang lain lagi. Kecuali Minhwan. Ia membawa kakinya mendekati sepasang guide tour—lebih tepatnya wanita yang kemarin tak sengaja ikut terfoto oleh kameranya.

Sepasang guide tour itu berhenti bercakap-cakap saat menyadari ada seorang penumpang menghampiri mereka. Keduanya menoleh lalu menunjukkan ekspresi yang berbeda masing-masing. Guide tour pria itu hanya tersenyum kemudian berlalu tak acuh. Tidak dengan guide tour wanita, ia terdiam sembari menatap wajah Minhwan lekat-lekat. Seakan tidak asing dengan pria itu.

“Mi..Min-minhwan? Choi Minhwan?!” bibirnya tergagu melafalkan sebuah nama dan disambut senyuman hangat dari si pemilik nama.

‘Apa kabar, Youkyung?’

---

Senja di atas Rialto Bridge berangsur ramai. Apalagi jika malam tiba, maka dengan indahnya lampu-lampu bangunan di sepanjang bibir Grand Canal menyala serentak dan memantulkan cahayanya di atas permukaan sungai. Berkilauan. Menambah nilai eksotik dari jembatan tertua di Venesia tersebut.

Setelah pekerjaannya selesai, Youkyung menuntun Minhwan menuju Rialto Bridge dan mengajaknya bicara banyak di sana. Tak terhitung hari-hari yang sudah mereka lewati hingga akhirnya dipertemukan kembali hari ini. Sudah belasan tahun sejak Minhwan dan Youkyung meninggalkan panti asuhan, diadopsi oleh dua keluarga yang berbeda. Seperti mimpi dapat berjumpa lagi.

“Kau tidak sependek dulu, Minan! Kini tinggi kita sama—atau mungkin sekarang aku lebih pendek darimu. Katakan, bagaimana kau bisa tiba-tiba ada di sini? Aku benar-benar merindukanmu,” Youkyung meluapkan perasaan bahagianya setelah sekian tahun tak melihat Minhwan. Teman lamanya sekaligus sahabat terbaik yang pernah ia miliki.

‘Aku juga. Katakan dulu perihal dirimu, bagaimana bisa gadis penakut ini menjadi pemandu wisata vaporetto? Tak bisa kupercaya..’

Youkyung melayangkan pukulan ke bahu Minhwan yang terkekeh karena berhasil menggoda gadis itu. Sejak dulu Minhwan memang begitu, sebentar waktu membantunya, lalu menjahilinya sampai puas.

“Berhenti atau aku akan menjitakmu!” ancam Youkyung berpura-pura galak. Kemudian ia memulai peta kehidupannya selepas meninggalkan panti asuhan, seminggu setelah sepasang suami istri lain memboyong Minhwan. Menjelaskan betapa kedua orangtua angkatnya begitu menyayanginya sampai-sampai mereka memutuskan pindah karena tidak tahan melihat Youkyung harus dicibiri setiap hari oleh teman sekolahnya.

“Sebenarnya, bukan karena alasan itu juga. Ada penyebab lain. Ayah dipindahtugaskan ke Italia, jadi sekalian saja membawaku jauh-jauh dari mulut pengejek itu. Setidaknya masyarakat di sini mau menerima keadaanku. Kami tinggal dengan damai, sampai kemudian...” Youkyung mendesah pelan, menjeda kalimatnya sejenak. Minhwan masih setia mendengarkan.

“...sampai pada tiga tahun lalu, ayahku meninggal. Kini aku dan ibu hidup dengan uang pensiunan ayah, juga tambahan dari gaji pekerjaanku sebagai guide tour.”

Minhwan menjatuhkan telapak tangannya ke pundak Youkyung, menepuknya pelan. Tentu tidak mudah bagi gadis ini, namun sekarang Minhwan ingin menyemangatinya. Sebagai ganti ketiadaannya selama ini.

‘Kau jauh lebih tegar dari Youkyung yang kukenal dulu. Kau tidak cengeng lagi.’

Youkyung menekuk wajahnya melihat ucapan Minhwan. Melihat? Ya, ia memahami kalimat pria itu melalui gerakan yang ditunjukkannya dan Youkyung telah hafal bagaimana cara berkomunikasi dengan Minhwan. Ia sudah mempelajarinya sekian lama, sepanjang jalan persahabatan mereka. Ia memahami pria itu lebih dari dirinya sendiri.

Grazia! (terima kasih!)” ucap Youkyung pendek, setengah mengejek. Minhwan tertawa lantang melihatnya. Namun selanjutnya ia memuji paras Youkyung bahwa gadis itu sekarang jauh lebih cantik dari waktu terakhir mereka bertatap muka, yang kemudian membuat Minhwan harus menerima sebuah tinju di pundaknya.

Youkyung lalu mendesak Minhwan agar menceritakan tentang hidupnya. Pria itu menyerah, lalu bersiap menguraikan kisahnya.

‘Aku punya banyak saudara di Seoul. Ada Kak Jonghun, Kak Siwon, juga tiga orang adik perempuan. Ayah dan ibu hobi sekali mengoleksi anak. Masing-masing dari kami dijemput dari panti asuhan yang berbeda-beda. Hidupku ramai sekali, bukan?’

Minhwan menunjukkan foto semua orang di galeri ponselnya pada Youkyung. Gadis itu mengerang iri, benar-benar keluarga besar! Berbeda dengannya yang menjadi anak satu-satunya untuk keluarga Seo hingga detik ini.

“Hebatnya! Eh tapi, kau belum memberitahuku alasanmu berada di sini! Ayo cepat katakan!” Youkyung menagih satu lagi rasa penasarannya yang belum terjawab. Minhwan menenangkannya sebelum mengatakan tujuannya ke Venesia.

“Untuk keperluan naskah? Maksudmu, kau ini sutradara?” Youkyung asal menebak. Minhwan menggeleng tegas.

“Produser film, ya? Atau mungkin... Penulis?! Ah ya, pasti penulis! Itu cita-citamu sejak dulu ‘kan, Minan!” Pekik Youkyung tak tertahankan. Ia nyaris melompat dari pijakannya ketika Minhwan mengangguk kecil. Turut bahagia atas pencapaian sahabatnya itu.

“AAH!! Minhwan akhirnya!! Kau jadi penulis novel!” Youkyung masih menjerit-jerit dan dengan spontan ia memeluk Minhwan yang hanya bisa terbengong-bengong. Kaget mendapat perlakuan seperti itu dari gadis ini. Pelukan terakhir mereka adalah saat hari perpisahan itu, beriring tetesan air mata kanak-kanak.

“Anng.. Anng..” Mulut Minhwan terbuka, terbata merangkai kata yang tak berbentuk sempurna. Mana bisa Youkyung mendengarnya, ia tenggelam dalam bahagia. Namun respon orang-orang di sekeliling mereka cukup menyadarkan Youkyung. Gadis itu lekas-lekas melangkah mundur, membebaskan Minhwan dari pelukannya.

Mianhae-yo. Aku terlalu senang. Mianhae, Minan.” Youkyung menggaruk daun telinganya kikuk. Tanpa ia ketahui pipinya merona dan sedikit hangat. Minhwan hanya mengusap tengkuknya sambil menggerakkan kepala—tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Ia tak pernah sesalahtingkah ini ketika Youkyung memeluknya waktu mereka sekolah dulu.

‘Tidak apa-apa. Lagipula, aku hanya penulis biasa.’ Minhwan menggelengkan kepala, kurang sepakat pada euforia Youkyung yang menurutnya agak berlebihan. Ia tak sehebat itu sehingga pantas dielu-elukan demikian.

Youkyung masih tersenyum malu-malu. Ia melemparkan pandangannya ke aliran sungai di bawah jembatan, kanal utama yang membelah dua bagian besar kota Venesia. Gadis itu berpikir bahwa dirinya dan Minhwan tak ubahnya seperti kedua bagian kota yang sering disebut tempat pensiun karena mayoritas penghuninya adalah generasi berusia lanjut itu. Takdir menjembatani pertemuan mereka, layaknya Rialto Brigde yang menyatukan bagian tersebut.

‘Hey..’

Minhwan menyentuh pundak Youkyung setelah beberapa saat mereka saling diam. Gadis itu menoleh menunggu teman lamanya itu mengeluarkan bahasa isyaratnya kembali.

Kau bilang kau guide tour, kan? Aku punya sebuah permintaan..’

Gadis berkulit superpucat dengan rona merah muda yang lebih jelas di kedua tulang pipinya itu menyipitkan sepasang matanya, sembari menggerak-gerakkan dagunya ke atas. Meminta Minhwan jangan menggantung-gantung kalimatnya.

Minhwan tersenyum misterius, ‘aku mau kau jadi guide tourku besok. Bawa aku berkeliling mendatangi tempat-tempat menakjubkan di Venesia.’

Salah satu alis Youkyung naik seiring pipinya yang menggembung sehingga membuatnya terlihat menggemaskan sekali. Ah, Minhwan menahan diri untuk tidak mengangkat tangan dan mencubitnya sepuas hati.

Kedua tangan Youkyung terlipat di depan perutnya, bermaksud menggoda Minhwan. “Berani bayar berapa memangnya? Tarifku sebagai guide tour pribadi tidak murah lho..”

Tubuhnya oleng beberapa saat ketika Minhwan dengan sengaja menyenggolnya. Tawa gadis itu terlepas begitu saja ke udara, ditingkahi burung-burung yang melintas di atas sana.

“Baiklah, baiklah! Anggap saja sekarang aku Jinny, si Jin cantik yang baik hati. Besok kita bertemu di St. Mark’s Square, pukul setengah delapan pagi. Kau akan mudah menemukan tempat itu karena semua orang di Venesia tahu letaknya. Jika kau tersesat, tanya saja. Hehehe.” Youkyung memeletkan lidahnya jahil seolah tak berperasaan. Minhwan menghela napasnya melihat kelakuan gadis itu. Yah, ia tak perlu takut tersesat jika mengajak Yunho juga bersamanya besok. Pria itu pasti senang ia ajak jalan-jalan.

‘Oke. Jangan mengecewakanku.’

Jeritan protes Youkyung melengking tatkala dengan tidak sopannya Minhwan memberantaki rambut pirangnya kemudian berlari menjauh. Menghindar dari serangan Youkyung yang tidak terima diperlakukan demikian di tengah umum. Keduanya menghabiskan sisa sore dengan berlarian membentuk pusaran sambil tertawa-tawa, menghapus segala kerinduan yang masih tertinggal.

---

“Kau bilang apa tadi? Menemui teman? Di sini?” Yunho bertanya dua kali disertai tatapan sangsi kepada Minhwan. Keduanya telah menginjakkan kaki di lanmark kota Venesia, Piazza San Marco atau yang kemarin Youkyung sebut St. Mark’s Square. Sebuah taman yang terkenal di kota itu, terbukti ramai dikunjungi turis maupun masyarakat domestik. Minhwan telah melihatnya hari ini. Ia berdecak kagum, tempat itu di kelilingi bangunan-bangunan bergaya klasik dengan puluhan pintu. Minhwan juga terpukau pada sebuah menara yang tinggi menjulang, bersebelahan dengan bangunan berkubah setengah lingkaran.

‘Iya. Teman lamaku, kami bertemu kemarin dan membuat janji di sini, hari ini.’

Pria bermantel cokelat itu menyipitkan mata, curiga. Ia mencium sesuatu di balik ekspresi berseri-seri yang Minhwan tunjukkan. Sesuatu yang lebih dari sekedar ‘pertemuan teman lama’.

“Dia orang Korea seperti kita?”

Minhwan mengangguk lagi, sayangnya Yunho tak bisa melihat itu karena kemudian ia terlampau sibuk menghindari serangan burung-burung merpati yang entah kenapa gencar mendekatinya. Tidak seperti pengunjung lain, Yunho kewalahan menjinakkan hewan-hewan bersayap itu.

Minhwan menyinsing lengan matel hitamnya demi mengecek arloji di pergelangan kirinya. Semestinya gadis itu sudah tiba mengingat sekarang jamnya menunjukkan pukul delapan kurang limabelas menit waktu setempat. Ataukah ia saja yang terlalu bersemangat?

Minhwan celingukan sampai akhirnya ia melihat sosok yang begitu mencolok di antara kerumunan turis yang tengah mengambil foto beramai-ramai. Orang itu mengenakan sebuah topeng khas Venesia, tampak berusaha menembus keramaian.

Begitu Minhwan ingin melangkah, Yunho menahan bahunya dan bertanya mau ke mana. Pria itu hanya menunjuk ke arah depan. Namun ketika ia kembali memusatkan netranya pada tempat yang tadi, sosok yang diyakininya Youkyung itu sudah lenyap. Minhwan dilanda bingung. Selagi ia menggerutu dalam hati, seseorang mengendap-endap dari arah yang tak dilihat Minhwan dan...

“DOOORR!!!”

Baik Minhwan ataupun Yunho sama-sama terkejut. Lebih terkejut lagi ketika ia melihat wajah si pelaku. Hampir saja venetian mask itu menakutinya. Sementara gadis yang memakai topeng berwarna keemasan berhias bulu-bulu di setiap sisi matanya itu terkikik kegelian.

Ya! Tangsin-i nugu-seyo?!” Yunho memekik spontan dalam bahasa ibunya. Tidak peduli apakah orang itu keturunan Korea atau bukan. Minhwan mengurut dadanya sembari mengatur nafasnya yang terlanjur marathon. Ia mendelik kesal pada Youkyung yang kini melepaskan topeng uniknya kemudian meminta maaf pada mereka.

“Dia kah teman yang kau maksud itu, Minhwan?” Telunjuk Yunho mengacung pada Youkyung. Minhwan mengangguk pelan.

“Maaf aku sedikit terlambat. Ibu harus datang ke pertemuan warga dan pekerjaan rumah aku yang selesaikan pagi ini,” jelas Youkyung sebelum menyapa Yunho. “Anyeong haseyo. Youkyung imnida.

Pria itu hanya mengangguk cepat-cepat, menurunkan level kekesalannya setelah dikagetkan seperti tadi begitu tahu siapa gerangan gadis berambut pirang ini. Ia berdehem sembari memperkenalkan diri dan mulai paham akan sesuatu. Minhwan lalu mengernyit ketika Yunho mendadak pergi mencari penjual makanan burung di sekitar sana.

“Harusnya aku tahu tempat ini mirip penangkaran hewan. Kalian berdua, santai-santai saja dulu. Kita bertemu satu jam lagi di sini, ya.” Tangan kiri Yunho terangkat sebelum tubuh itu menjauh perlahan dan hilang ditelan keramaian.

“Paman tadi siapa? Kukira ia tak ada dalam foto keluarga yang kau tunjukkan kemarin.” Youkyung menyimpan topeng venetiannya ke dalam tas selempang yang cukup besar. Tangannya merapikan beberapa helai rambut yang sedikit berantakan tertiup angin.

‘Dia orang kepercayaan ayahku. Beliau yang bertanggung jawab atas diriku selama di sini.’ Jelas Minhwan yang ditimpali Youkyung dengan anggukan. Namun kemudian ia terheran-heran saat pria itu ngeloyor hendak pergi sambil menarik pergelangan tangannya.

“Mau ke mana?”

Minhwan menoleh, ‘Membeli pakan burung. Aku tak mau jadi santapan mereka.’

Youkyung menggoyangkan telunjuknya. Ia melepaskan kekangan tangan Minhwan lalu membuka penutup tasnya. Mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Minhwan terdiam mengamati.

“Kau pikir sudah berapa lama aku tinggal di sini, hah? Untuk urusan seperti ini, aku sudah tahu harus membawa apa saja. Ini,” Youkyung menyerahkan sebungkus pakan burung ke pelukan Minhwan dan menyuruh pria itu membukanya.

Minhwan tergelak, ternyata gadis ini masih cerdik. Setelah ia merobek bungkusan pakan, isinya ia bagi kepada Youkyung agar mereka berdua bisa memberi makan burung bersama-sama seperti yang orang-orang di sana lakukan.

Minhwan berjongkok sambil mengulurkan tangan berisi pakan di samping Youkyung yang sudah tertawa riang ketika dua burung merpati singgah dan mematuki makanan dalam telapak tangannya. Mendengar tawa itu, Minhwan merasa seakan ada semilir angin musim semi yang hangat menerpanya. Entah untuk alasan apa saat melihat Youkyung sekarang, Minhwan rela meski harus terdampar di dunianya yang sunyi, di mana suara-suara menghilang. Asalkan ada gadis itu di sampingnya, semua akan baik-baik saja.

“Kemarikan, Minan. Merpati ini kelihatannya lapar.” Youkyung menggerakkan tangannya, meminta bungkusan di tangan Minhwan. Pria itu memberikannya sambil masih menatap lekat wajah gadis tersebut dari samping.

Sebagian rambut Youkyung tersibak oleh angin dari kepakan sayap merpati yang terbang. Gadis itu menjerit tertahan, kegirangan. Tak memperhatikan Minhwan yang terpaku memandanginya dalam diam. Mengingat masa-masa sulit mereka sewaktu di panti dulu. Masa di mana banyak sekali tatapan iba sekaligus mengucilkan yang mereka terima dari sekeliling.

“Minan, mengapa orang-orang tidak menyukai perbedaan?” Tanya Youkyung tiba-tiba tanpa menoleh. Minhwan tergeragap dan meminta gadis itu mengulangi pertanyaannya. Youkyung mengarahkan wajah padanya dengan ekspresi yang berubah serius.

“Apakah salah menjadi berbeda? Kenapa mereka takut pada perbedaan?” Suara Youkyung melirih namun binar matanya masih tegas. Mempertemukan mata mereka dalam satu titik. Seakan hati mereka benar terhubung oleh benang tak tampak, Minhwan pun pernah sesekali memikirkan hal itu namun tak berani mengutarakannya.

‘Berbeda bukan berarti buruk. Tuhan memiliki tujuan ketika menciptakan makhluk-Nya berbeda-beda.’

Youkyung tersenyum tipis kemudian menatap ke depan. “Mungkin karena aku berbeda, aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Bukankah kau juga begitu, Minan? Sejak dulu kita selalu berbeda di mata orang-orang, mungkin karena itu pula aku tak diinginkan oleh kedua orangtua kandungku..”

Minhwan terkesiap mendengarnya, serta merta ia menarik bahu gadis itu agar menghadap padanya. ‘Ada apa denganmu? Kau tidak seharusnya berkata demikian! Hidup kita jauh lebih baik bahkan dengan segala kekurangan ini! Youkyung, sadar!’

Badan Youkyung bergetar karena lengan besar Minhwan mengguncang bahunya kuat-kuat. Ia melihat ada setitik kemarahan di manik mata sipit tersebut. Perlahan Youkyung menurunkan tangan Minhwan dan menuai senyum. Otot wajah Minhwan masih menegang saja.

“Hey, tenanglah. Aku tak bermaksud apa-apa mengatakan itu. Aku tahu hidup ini pantas disyukuri, apapun adanya. Lagipula, tanpa perbedaan ini, aku tidak akan pernah merasa ‘sama’ denganmu, Minan. Aku mempunyai teman seperjuangan semenjak bertemu denganmu.”

Minhwan terdiam, berhenti menggusak Youkyung sedemikian rupa. Ia terpana mendengar ucapan gadis itu. Memang benar, Minhwan juga meyakini demikian. Ia sadar perbedaan dalam dirinya yang membuat mereka seolah sepenanggungan. Bersedih sekaligus tertawa untuk alasan yang sama. Ia yang tak berpendengaran baik dan tuna wicara serta Youkyung yang albino, perbedaan yang besar namun dalam sisi lain mereka sama.

“Karena kau, aku tidak lagi merasa sendirian,” sambung Youkyung.

‘Aku juga bersyukur telah mengenalmu,’ ujar Minhwan membalas senyum Youkyung tak kalah lebarnya.

Mereka menyetop aksi tatap-menatap itu kemudian berdiri. Youkyung menepuk-nepuk telapak tangannya, mengenyahkan remah-remah pakan burung yang masih menempel. Minhwan merogoh sakunya, mengambil sapu tangan kemudian memberinya pada Youkyung. Gadis itu berterima kasih kemudian.

“Masih betah di sini?  Baguslah. Ini untuk kalian.” Yunho sudah kembali. Lelaki itu menyodorkan dua gelas besar americano dalam rak kertas di tangannya. Minhwan dan Youkyung menerimanya masing-masing satu.

“Terima kasih, paman. Tapi aku tidak harus membayarnya, kan?” Gurau Youkyung.

“Tadinya aku ingin memberi gratis. Tapi jika kau berbaik hati, boleh juga. Hahaha.”

Ketiganya lebur dalam gelak tawa sampai Youkyung mengajak untuk mencari tempat duduk. Mereka perlu melemaskan kaki yang sejak tadi betah bertugas menopang beban. Di samping itu, Youkyung ingat tadi pagi ia sempat membuatkan beberapa tangkup roti isi untuk dimakan bersama. Gadis itu mengeluarkan kotak bekalnya lalu menawarkan pada Yunho juga yang sekarang sibuk bercerita tentang Rio Batario, kanal kecil di dekat San Marco yang sempat ia kunjungi tadi pada kedua orang itu.

---

Minhwan terbangun dengan keringat dingin di dahinya pagi ini. Yunho yang tidur di sampingnya ikut terjaga sebab sedari tadi tangan Minhwan tidak bisa diam. Seolah berusaha melepaskan diri dari sesuatu.

“Kau bermimpi buruk, ya?” Lelaki itu mengusap matanya yang masih mengantuk. Minhwan tak menjawab, hanya menatap langit-langit kamar di rumah keluarga Brown yang ia tempati sampai hari ini. Tak berjumpa lagi dengan Youkyung sejak kunjungan mereka ke Piazza San Marco empat hari lalu membuat Minhwan berhalusinasi tak karuan tadi malam.

Ia bermimpi sangat aneh. Minhwan ingat di mimpinya Youkyung diganggu bandit malam di sebuah jalan yang sepi di sudut kota Venesia sementara dirinya berusaha untuk menyelamatkan gadis itu. Malang berakhir tragis, setelah para bandit itu menertawainya karena kesulitan bicara, tubuhnya dihujami pukulan sehingga Youkyung menangis keras. Dan saat itu pula Minhwan terbangun.

“Tidak bertemu gadis albino itu beberapa hari saja kau terlihat gelisah sekali. Aku khawatir di hari kepulangan kita nanti kau meraung-raung bahkan pingsan.”

Minhwan menepuk perut Yunho menggunakan punggung tangannya hingga lelaki itu mengaduh bercampur tawa. Ia malu ketahuan memikirkan Youkyung sepagi ini. Namun, yang membuat Minhwan gundah bukan masalah bandit-bandit semu dalam mimpinya, melainkan tangisan Youkyung. Hatinya ngilu melihat gadis itu menangis, bahkan di alam bawah sadarnya.

Yunho sudah bangun dengan sempurna, mengabaikan Minhwan yang duduk tercenung di tepi ranjang. Tiga hari lagi mereka akan kembali ke Korea, bahan yang ia butuhkan sudah terkumpul cukup banyak. Sebaliknya Minhwan hanya punya sedikit sisa waktu bersama Youkyung. Perpisahan itu akan kembali menyela pertemuan mereka.

“Kau mandi setelah aku, ya? Alice mungkin sudah menyiapkan sarapan untuk semua orang,” tutur Yunho mengingatkan Minhwan. Ia tak menyahut, hanya membiarkan Yunho keluar dengan menyampirkan handuk di pundaknya.

Sepeninggal pria itu, Minhwan kembali termanggu. Untuk beberapa detik ia terlihat seperti berpikir, baru kemudian menarik penutup tasnya dan mengeluarkan sebuah jurnal bersampul hitam. Alih-alih menyelesaikan ilustrasi atau outline untuk novel terbarunya, Minhwan justru menulis sesuatu yang lain. Sebuah sajak.

Si penulis muda itu tengah berusaha menciptakan puisi kontemporer yang tak jarang juga ia buat selama ini. Jika sedang bosan dan idenya macet, Minhwan biasanya akan menyelingi kegiatan menulis novelnya dengan membuat puisi. Yang kali ini terasa berbeda, karena sumber inspirasinya begitu dekat. Ya, amat dekat.

Minhwan menulisnya untuk Youkyung. Gadis yang ia kenal sejak kecil itu. Namun tak tahu apa sebabnya, ia justru berat menyelesaikan bagian akhir puisi tersebut. Kendati hanya perlu dua atau tiga baris lagi saja, dan puisinya akan sempurna. Minhwan gelisah dan—

CEKLEK.

— “Kau mau mandi sekarang atau tidak?” Pintu kamar terbuka dan Yunho masuk dengan wajah lebih segar. Minhwan tersipu sambil cepat-cepat menutup buku jurnalnya. Ia segera berdiri dan menyambar handuknya lalu berjalan ke pintu.

---

“Kenapa mendadak sekali, sih? Untungnya hari ini aku tidak ada jadwal mengantar tur. Jika memang ingin jalan-jalan—seperti hari itu—harusnya kau katakan sejak kemarin!”

Minhwan menahan senyumnya melihat Youkyung yang setibanya di tempat janjian mereka langsung menyerocos. Seolah terpaksa datang ke sana menemui Minhwan.

‘Ya sudah kalau kau keberatan. Aku tidak memaksa, pulang saja sana.’ Minhwan berpura-pura kecewa dan hendak berbalik saat teriakan kesal Youkyung menembus alat bantu dengarnya. Ia melirik pada gadis itu.

YA! Berani-beraninya kau! Aku sudah meluangkan waktuku demi dirimu dan ketika aku sudah di sini, dengan entengnya kau menyuruhku pulang?!”

Tatapan Youkyung menyiratkan bahwa kali ini ia benar-benar kesal. Bahunya turun-naik ketika Minhwan menyentuhnya. Youkyung masih menatap pria itu dengan sengit selagi tangan Minhwan bergerak menunjukkan sebuah isyarat.

‘Maafkan aku. Jangan marah, aku tak sungguh-sungguh ingin mengusirmu.’

Youkyung tak merespon, ia bergeming beberapa saat hingga membuat Minhwan kehabisan akal. Pria itu selalu mati gaya jika tak berhasil memohon pada teman gadisnya ini. Melihat wajah Minhwan yang tiba-tiba kuyu, Youkyung tidak tahan lagi dan tawanya lepas. Minhwan terpelongo dibuatnya.

“Ahahaha...! Wajahmu benar-benar lucu, Minan! Hahahaha...!”

Minhwan baru mengerti, yang tadi itu hanya akting. Youkyung mengerjainya sampai-sampai gadis itu terpingkal-pingkal sekarang. Minhwan hanya membiarkan gadis itu memuaskan tawanya, baru kemudian ia meraih pergelangan tangan Youkyung dan menyeretnya.

Mwo-ya? Kita mau ke mana?”

‘Sebagai hukumannya, kau harus membayariku naik gondola seharian. Aku tidak terima penolakan.’

Youkyung mendecak ketika Minhwan menghampiri beberapa gondola yang tertambat di sepanjang tepian sungai. Ia memilih salah satu lalu mengajak gadis itu masuk bersamanya. Tak ada pilihan lain, Youkyung mengikutinya.

Saat ini mereka sudah menyusuri kanal-kanal yang di kiri dan kanannya berdiri bangunan-bangunan khas Italia dengan warna yang beragam. Sesekali gondola yang mereka tumpangi berpapasan dengan gondola lain. Belum ada percakapan antara keduanya dan kesunyian itu diisi oleh nyanyian pelan sang gondolier tua.

Youkyung melirik Minhwan yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak serius dengan jurnalnya sejak tadi. Youkyung berusaha mengintip apa yang sedang Minhwan tulis di sana namun selalu gagal.

“Kau sedang membuat apa, ha? Cerita untuk novelmu?” Youkyung bertanya juga akhirnya. Minhwan mengangkat wajahnya sambil tersenyum misterius. Dari gelengannya Youkyung tahu apa jawaban untuk pertanyaannya tadi.

‘Aku akan memberitahumu ketika ini selesai.’ Minhwan kembali menulis. Youkyung mengangguk pasrah kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia mengenali daerah itu, yang pasti tidak jauh dari Bridge of Sighs, sebuah jembatan yang menghubungkan dua bagian penjara di kota Venesia.

Minhwan mendongak saat gondolier mengatakan sesuatu dalam bahasa Italia. Selanjutnya ia melihat ke arah Youkyung yang langsung menerjemahkan ke bahasa Korea. “Ia bilang kita akan melewati Bridge of Sighs.”

Gadis itu menunjuk ke arah jembatan yang dibangun oleh Antonio Contino sekitar abad ke-17 tersebut sambil menjelaskan beberapa keterangan tambahan. Termasuk kenapa orang-orang menamainya demikian. Youkyung juga mengatakan bahwa di sana ada ruang tahanan.

Sekali lagi gondolier berambut putih itu berbicara dalam bahasa ibunya, membuat Minhwan mengernyit dan menyikut lengan Youkyung. Sementara gadis itu tampak membulatkan matanya, perlahan semburat merah jambu menghiasi tulang pipinya.

‘Apa katanya?’ Minhwan penasaran.

Youkyung tergeragap sebelum berhasil menata hatinya. “Itu.. gondolier ini bilang menurut kepercayaan masyarakat Venesia, bila ada sepasang kekasih berci—maksudku, bersama dalam sebuah perahu melewati bagian bawah jembatan ini pada sore hari, maka kisah cinta mereka akan abadi.”

Minhwan mengangguk kecil sembari membulatkan mulutnya. Ia tidak tahu jika Youkyung—sengaja—melewatkan sebuah pernyataan tentang kepercayaan tersebut. Youkyung terlampau malu bila harus mengatakannya. Pria itu sudah selesai dengan jurnalnya kemudian melemparkan gurauan yang menurut Youkyung sama sekali tidak lucu.

‘Kalau begitu, kau harusnya mengajak seorang kekasih ke mari. Siapa tahu kepercayaan itu ada benarnya, kan?’

Youkyung tersenyum masam. Ia tak begitu suka Minhwan menyinggung hal itu, karena baginya hanya ada seorang yang sejak dulu mampu memberinya perasaan nyaman. Orang yang selalu melindunginya dan sepertinya orang itu sama sekali tidak sadar.

“Aku lebih senang mengajakmu, Minhwan. Kurasa, persahabatan kita akan lebih abadi setelah melewati tempat ini. Kau benar-benar teman terbaik yang pernah dan masih kumiliki.”

Lidah Youkyung bergetar ketika mengucapkan kata ‘persahabatan’ dan ‘teman terbaik’. Ia tak berbohong, Minhwan memang sosok teman yang luar biasa dikaguminya hingga detik ini. Sama halnya dengan pria itu, bagi Minhwan tak ada orang yang mau menerimanya seringan Youkyung—setelah keluarga angkatnya tentu saja. Minhwan menyesalkan hatinya yang mencelos sebab Youkyung menganggapnya sebatas sahabat, tak lebih. Ia tak ingin mengingkari perasaannya sendiri namun juga tak bermaksud merusak hubungan pertemanan mereka.

‘Aku tersanjung mendengarnya. Semoga harapanmu terkabul, Youkyung. Aku pun bahagia bisa menjadi temanmu. Sangaaatt bahagia!’

Youkyung tertawa setelahnya, kemudian mengalihkan perhatian ke samping kiri tubuhnya. Minhwan hanya menghela nafasnya, ia mengawasi gadis itu dalam diam. Tangannya terangkat hendak merangkul pundak Youkyung, namun ada sesuatu yang membuatnya beralih menggenggam buku jurnal lalu menyodorkan benda itu pada gadis di sisinya tersebut.

“Ada apa?”

‘Aku menyerahkan jurnal ini padamu. Simpanlah, aku membuat puisi untukmu di halaman terakhirnya.’

Meskipun agak ragu, Youkyung menerima jurnal dari tangan Minhwan. Ia segan karena dipikirnya buku itu tempat Minhwan menyimpan seluruh ide-ide novelnya. Namun pria itu membantahnya.

‘Ide-ide itu ada di dalam kepalaku, bukan jurnal ini. Aku minta kau membukanya di rumah saja,’ ujar Minhwan mencegah tangan Youkyung yang hendak membuka lembaran jurnal.

“Kenapa?”

Minhwan tersenyum. ‘Tidak apa-apa. Anggap itu sebagai hadiahku karena tiga hari lagi aku kembali ke Korea. Hingga tiga hari ke depan aku tak bisa menemuimu.’

Sorot mata Youkyung seketika meredup. Kehilangan semangatnya.

---

6 month later.

Daun-daun yang berguguran melambai pelan dari balik jendela besar aula di mana Minhwan tengah duduk menghadapi para pembacanya yang mengantri untuk mendapatkan buku terbarunya. Pada hari ini launching novel Minhwan dihadiri tidak kurang dari tiga puluh peminat yang beruntung karena buku akan ditandatangani secara langsung olehnya.

Next!” Jonghun yang dipercaya sebagai pemandu acara memberi aba-aba pada pengantri selanjutnya. Minhwan menyerahkan novel yang sudah dibubuhinya tanda tangan kepada gadis berkepang itu kemudian bersalaman. Yang berikutnya terlihat sangat antusias, bahkan memberi kesan singkat.

“Penerbit Anda tadi bilang lokasi untuk novel ini kota Venesia, aku benar-benar tidak sabar ingin membacanya. Hwaiting!

‘Hwaiting!’ Minhwan mengangkat kepalan tangannya sejajar wajah kemudian berhigh-five. Satu persatu orang-orang itu meninggalkan antrian setelah mendapatkan bukunya hingga datang seorang gadis tepat pada buku terakhir sebelum Jonghun menutup acaranya.

“Tolong satu buku Bridge of Destiny,” ucap seseorang yang membuat Jonghun tercengang. Minhwan mengeluarkan buku ke atas meja lalu menandatangani halaman pertamanya seperti yang sudah-sudah. Ketika akan menyerahkan buku, Minhwan terdiam melihat seraut wajah tertutup venetian mask yang sekarang berdiri di hadapannya. Gadis berambut pirang itu mengangkap topinya sembari tersenyum.

“Aku sudah membaca puisi itu, Minhwan. Kau membuatku terkesan dan menyadari semuanya.” Orang itu menyingkap topengnya dan membuat Minhwan berdiri. Andai ia diberi kekuatan untuk berteriak, maka hal itu yang akan dilakukannya sekarang.

‘Youkyung, kau kembali...’

.

.

.

Seakan angin musim semi berhembus setiap kali aku mendengar tawamu.

Meskipun aku sendirian di dunia ini, di kota di mana suara-suara menghilang,

Tapi hati kita berdua terhubung.


 

Saat mata kita bertemu, kita tertawa,

Aku tak melangkah pergi,

Aku pun bahkan lupa untuk bernafas.


 

Aku ingin menjadi angin yang menyibak rambutmu,

Dan aku ingin memelukmu.

Kau tersenyum lembut dan bagiku dunia seakan berhenti. *)


 

Venice, sometimes.

--Minari Choi

.

.

.

.

.


 

END


 

*) FT Island - Primavera IND trans lirik


 

Hola! Aku seneng bisa kembali nulis FF lagi setelah hiatus kesekian kalinya xD akhirnya FF ini selesai setelah perjuangan yang panjang dan melelahkan (?)

Maaf yaa kenapa harus Minhwan, kenapa harus Youkyung -_- sebab ane ingin sedikit mengeksiskan nona Seo yang satu ini xD abisnya Youkyung kan cm muncul pas AOA black duang, kaga kayak temen2nya yang lain ._. maklum deh, half angel :3

Min-Kyung (Minhwan-Youkyung) adalah salah satu FnC couple besutan saya :D setelah Jae-Min (Jaejin-Jimin) ^^ jadi santai aja ya reader...


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Asuka_J12 #1
aku jg sukaaaa. Suka si Minhwan maksudnyaa :D
manisnya jgn banyak2 dong nanti diabet (?) hehe
Aku bermaksud bikin dua tokoh yg senasib dan jg sejodoh (?) ceritanya, jd bisa saling melengkapi eeaa~
Waah sequel? Ada ga ya? *mikir* :D
Hahaha kebalik ya tulisan Inggris pemandu wisatanya? Aah eonni tau lh englishku cetek wkwkwk
Anw thx eon udah meluangkn waktu buat baca ini dan ninggalin komen ^^d
byunleeteuk #2
Chapter 1: suka ceritanyaaaaa. pemeran utamanya novelis dan kedua pemeran utamanya disatukan karena ada kekurangan, terus ketemu lagi di suatu tempat dan momen yang tak terduga, jadi manis bangettt. terus momen-momen mereka bareng-bareng juga manis banget, mulai dari taman sampe yang naik perahu bareng. endingnya juga aku sukaaaaa, tinggal sequelnya nih kkkkk bagus kalo disambungin dari mitos yang dibilang sama gondoliernya (eh bener ga nulisnya?). terus bagus juga ff nya banyak ilmunya, jadi aku banyak tau tentang venesia dan beberapa istilah hehe. paling yang perlu perbaikan di penulisan aja saeng harusnya 'tour guide', terus annyeong haseyo kurang 'n' nya 1. over all bagus bangettt :3