Cordis







 

Cordis;
_______________________________________________________________________________
                               

Dulu, saat kami sama-sama masih mendiami bangku sekolah dasar, ada hal yang benar-benar tak kupedulikan saat bersahabat dengannya. Tak masalah untuk saat ini. Kami sahabat yang akur, kadang bertengkar—namun itu hanya untuk beberapa saat sebelum aku kembali tersenyum padanya. Dia adalah gadis yang baik, aku mengakuinya. Jadi tak mungkin aku akan berburuk sangka kepada si Manis itu.

.

Aku sering bertanya, “Minah, saat kita sudah besar, kita akan tetap menjadi sahabat, kan?”

Dan Minah akan menjawab dengan suka hati, “Tentu. Memangnya siapa yang berani memisahkan kita, Hyeri-ku sayang?”

Setelahnya kami akan tertawa bersama, mengolok pertanyaan yang sudah terngiang jelas bagaimana akhirnya. Tak ayal aku selalu mengeluh saat pertanyaan yang sama persis itu kembali menohok hatiku dengan nelangsa agar kalimat itu diucapkan kembali. Namun itu ternyata menjadi pertanda, bahwa tak lama lagi persahabatan kami akan runtuh.

.

Sekarang, kami mendiami bangku sekolah menengah atas. Aku sama sekali tak mengingat hal yang sangat tak kupedulikan beberapa tahun lalu. Namun kami tak lagi seakur dahulu, mengingat seberapa sibuknya Minah dengan pacar barunya—sayangnya, aku bahkan tak tahu siapa laki-laki beruntung itu, dan sedikit sedih mendengarnya. Gadis manis itu sekiranya tak pernah lagi membantuku belajar matematika dan biologi sehari sebelum ulangan, setidaknya tak kusebut itu sebagai pernghambat persahabatan kami.

“Minah, ada waktu tidak? Besok, kan, ulangan harian matematika—tahu, kan, maksudku?” Aku menelepon Minah hari ini, dengan hati yang tenang dan penuh harap. Minah biasanya tak akan menolak tawaranku, namun beberapa hari yang lalu ia melakukannya. Aku hanya was-was, begitu tak mendengar suaranya beberapa detik.

“Bagaimana, ya? Hyeri-ku, hari ini hari Minggu dan aku akan pergi dengan—“

“Oh, tidak apa-apa. Aku juga akan pergi bersama Hanbin pagi ini. Bagaimana kalau sore? Bisa, kan, Minah?” Aku tersenyum tipis saat mendengar suara hela napasnya. Tak biasanya Minah begini, dan aku sadar betul apa yang terjadi. Belakangan ini Hanbin—sebut saja dia pacarku, bertingkah agak aneh.

Tentu saja, aku agak aneh mendengarnya. Tapi bagaimana jika itu kenyataan? Tak bisa dielak, kan? Hanbin mulai menjauhiku, Minah juga. Kisahku ini sudah sangat pasaran, tapi aku sama sekali bingung dengan jalan pikiran Minah yang sepertinya berubah itu. Mereka—pacaran, ya?

"Apa? Siapa kau bilang? Han—Hanbin?” Agaknya Minah terkejut, bisa terlihat dari nada yang ia keluarkan.

“Kenapa, Min? Yang kutanyakan itu, apa sore kau bisa? Bukan tentang Hanbin, kok. Oh ya, kenapa kaget? Kau sudah tahu kan, Hanbin dan Hyeri-mu ini pacaran sejak setahun yang lalu? Tak perlu kaget kalau begitu, Sayang.”

Sungguh jahat. Ternyata aku jahat, ya? Oh, aku tak tahu… Hanbin dan aku sudah saling mengenal sejak SD, aku juga mengenalkannya dengan Minah. Kami pacaran satu tahun yang lalu, tapi Minah tak peduli. Sekarang, dia terkaget-kaget seperti itu. Siapa yang salah, apa kami bertiga?

“Aku…”

/fin./

_______________________________________________________________________________

(A/N).

So sorry~ aku tahu ini cerita jelek and absurd banget TT Aku masih 12 tahun, belum punya pengalaman banyak. Jadi maaf ya~




 

( h a r l e q u i n. )

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet