Follow me, Everywhere!

Bekerja dalam dunia yang seperti ini membuat mata hatiku terbuka lebih lebar setiap harinya. Tentang kemanusiaan. Aku mulai memahaminya sekarang.

Aku menyelesaikan gelar Sarjana Pendidikan Dokter ku 2 tahun yang lalu. Setelah selesai mengucap sumpah aku direkrut untuk menjadi dokter trainee di salah satu rumah sakit internasional di Seoul. Sungguh beruntungnya diriku yang hanya 5 besar peringkat dalam satu angkatan ini.

“Dokter, tenggorokanku sakit”, seperti saat ini, seorang anak kecil dengan rambut mangkuk mengeluh sakit padaku.

“Sini coba noona lihat tenggorokanmu. Ayo buka, aaaaa”. Anak kecil itu dengan patuh membuka mulutnya. Hingga kulihat warna kemerahan disekitar dinding kerongkongannya.

“Ini cuma radang biasa syukurlah”, aku tersenyum kearah ibunya yang sedaritadi was was. “Sedikit obat dan larangan untuk minum yang dingin akan membuatnya sembuh dengan cepat”.

Selembar resep obat kuberikan kepada ibunya, ia tersenyum dan mengucapkan terimakasih.

“Mwo? Noona? Kau lebih pantas dipanggil Ahjuma oleh anak itu”, suara cempreng penuh dengan celotehan menusuk. Oh, jangan sekarang Byunbaek jelek.

“Aku capek, bisakah celotehanmu kau tahan sampai besok pagi?”.

“Aigooo, dokter ini galak sekali. Aku nggak mau periksa disini lagi”, rengek Baekhyun. Ia tertawa singkat kemudian menarik kursi pasien yang terletak di depan meja kerjaku dan mendudukinya.

“Mau makan dulu sebelum pulang?”, tawarnya.

“Aku sibuk, banyak laporan yang harus aku selesaikan”, jawabku ketus sambil melepas jas putihku.

“Sombong sekali, kau kira pasienku tidak sebanyak dirimu? Aku juga punya banyak laporan untuk dikerjakan. Aku cuma bosan sama masakanmu. Aku ingin sekali sekali ke restauran mahal”.

“Delivery saja, makan dirumah”.

Bisa kulihat dari ekor mataku dia memutar kedua bola matanya.

“Kau ini, bahkan sudah jadi dokter pun kau tetap pelit”. Kini byunbaek jelek itu mendengus dan menatap sinis kearahku.

“Delivery sekarang atau makan masakanku. Kecuali kau mau membiarkan perutmu kosong sampai besok pagi. Ayolah byunbaek cerewet kita sama sama banyak tugas hari ini. Kau mau rapat besok kita tidak punya bahan?”. Aku memasukkan berkas berkasku kedalam tas. Dan ada beberapa yang harus aku bawa karena berkas hari ini bertambah banyak.

“Arra arra! Tapi temani aku makan ya”.

“Bayar punyaku kalau begitu”.

Dia, byunbaek jelek cerewet dan berisik, adalah temanku di sekolah menengah, sekolah atas, pendidikan dokter, rekan kerja, dan tetangga sebelah apartemen. Bosan? Absolutely yes! Seperti sekarang ini aku dan si jelek ini selalu berangkat dan pulang bersama.

“Ah itu bis nya. Kajja”, dia beranjak dan mendorong punggungku pelan untuk naik ke bis. Dipilihkannya tempat yang berada tepat di tengah tengah bis. Aku duduk diantaranya dan jendela yang mulai berkabut karna hawa dingin.

Kulirik sebentar rolex-ku. Sudah pukul 10 malam. Kusandarkan punggungku yang rasanya hampir terbelah. Aku menghela nafas. Sungguh ini sudah sangat larut tapi masih ada saja pelajar yang berkeliaran. Baekhyun melihat mereka. Jarak tiga bangku kosong dari kami. Sepertinya mereka murid sekolah menengah atas.

“Kau ingat?”, tiba tiba suara cemprengnya mendengung ditelingaku.

“Mwo?”

“Dulu waktu kita masih berseragam seperti mereka”, baekhyun menunjuk sepasang remaja baru gaul dengan dagunya.

“Hahaha, masih sangat jelas ketika kau kalah telak olehku”.

***

“Anyeong!”, sapa seseorang bermata sipit dan berambut hitam. Aku tidak tahu namanya, tapi aku selalu saja melihatnya. Dimana mana. Aku serius ketika aku bilang aku melihatnya dimana mana. Di beberapa kelas sains, praktek biologi, club bahasa inggris, kewarganegaraan, hapkido, renang, perpustakaan. Oh sungguh seperti 24 jam aku bersamanya.

“Yayaya, kau sudah menyapaku 5 kali hari ini di kelas fisika, biologi, matematika, lab kimia, club bahasa inggris dan ini yang ke enam”.

“Kau melihatku? Bahkan kau menghitungnya! Astaga! Aku terlihat!”, ia berteriak keras sekali.

“Apa maumu? Cepat katakan dan pergi dari sini”.

“Kalahkan aku dalam kuis matematika hari ini dan aku tidak akan mengikuti kelasmu lagi”.

Astaga, si sipit kecil ini sombong benar rupanya.

“Baiklah. Terserah kau saja”.

“Kau yakin sekali nona. Kalau kau kalah…”

“Apa?”

“Ijinkan aku mengantarmu pulang hari ini. Sampai depan pintu”.

“Mwo?!! Kenapa kau begitu ingin? Apa maksudmu sebenarnya?!”

“Nona, kau takut?”

“Ani! Takkan kubiarkan kau menang namja sipit!”

***

“Hahaha bodohnya aku mengikuti taruhanmu Baek jelek!”, aku tertawa mengingat masalaluku dengannya. Betapa bodohnya aku yang tersulut amarah hanya karena pancingan pancingan kecil yang keluar dari mulut tipis menyebalkan miliknya.

Begitulah aku mengenal pria yang sekarang duduk disebelahku ini. Dulu matanya sipit, rambutnya polos, badannya kecil dan pendek. Sekarang, dia adalah dokter pujaan para suster dirumah sakit! Oh, dan jangan lupa matanya yang indah—walaupun karna eyeliner, dan rambut hitam blondenya.

Dulu baekhyun remaja sering membuat taruhan taruhan konyol hanya untuk sekedar tau namaku, makanan kesukaanku, olahraga yang kusukai, cita citaku, dan bahkan pertanyaan setelah lulus aku akan kuliah dimana.

“Aku tahu sifatmu yang mudah terpancing nona bodoh! Haha”, ia menyenggol lenganku sambil tertawa puas.

“Tapi aku tak sepenuhnya kalah. Nilai kita hanya beda 2,5 poin Baek”.

“Haha iya iya, aku tahu. Dan kau ingat seiring berjalannya waktu taruhan kita semakin tidak masuk akal?”.

“Taruhan itu kau yang buat Baek. Dirimu yang dulu begitu terobsesi denganku. Ya kan? Hahaha”, candaku sambil menjewer telinganya.

“Kau tahu, dulu aku mati matian latihan berlari hanya untuk bisa mengalahkanmu? Agar kau mengizinkanku mengunjungi rumahmu?”

“Ya aku masih ingat. Sangat ingat”.

***

“Kau! Apa lagi yang kau mau dariku?! Aku tidak akan terpancing kata katamu lagi Byunbaek jelek!”. Astaga, Si Sipit jelek lagi. Oh ayolah, aku sudah cukup lelah hari ini dan ingin segera pulang. Kenapa dia menghentikanku di gerbang sekolah?

“Kalahkan aku di ujian lari jarak jauh minggu besok!”

“Kau bercanda? Aku tau nilai olahragamu sangat payah. Dan kau menantang pemegang medali perak?”, sahutku menyombongkan diri. Kulipat tanganku di dada dan memandangnya remeh. Jujur, aku sudah sangat malas meladeninya kala itu.

“Aku serius. Kalau kau menang, aku tak akan mengikutimu lagi”.

“Bagus, kalau aku kalah? Tapi tak mungkin aku kalah darimu”.

“Ikutlah aku ke suatu tempat”.

Sepanjang perjalanan pulang aku malah memikirkan perkataan Si Byunbaek jelek itu. Kenapa dia? Sebegitu kukuhnya dia terhadapku. Aku tahu sekarang. Dia adalah Byun BaekHyun. Pemegang peringkat pararel sekolah yang selalu tak bisa kulangkahi. Selama ini aku hanya belajar dengan apa yang aku bisa dan apa yang aku punya. Aku tak terlalu menargetkan namaku untuk muncul di layar LCD sekolah ketika pengumuman peringkat. Aku juga tidak terlalu peduli dengan nama nama yang muncul disana.

Byun Baekhyun. Pararel sekolah tiga tahun berturut turut. Apa yang dia mau dariku? Ke suatu tempat? Tempat apa?

TBC

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet