Kamu

Aku memandang hamparan langit biru di hadapanku. Aku berbaring di padang rumput, tempat kenanganku bersama laki-laki itu. Aku menaruh satu tanganku di hadapan wajahku, mencoba menyaring sinar terang yang menuju langsung pada mataku. Aku memejamkan mata dan gambaran itu kembali, cerita mengenai hari-hari menyenangkan yang kubagi bersamanya. Hari-hari di mana setiap waktunya kuhabiskan bersamanya, setiap tawa maupun tangisku. Senyumnya terbayang dalam pikiranku, membuatku tersenyum miris saat ini.

Flashback

Malam itu hujan, malam di mana kami mengadakan pesta kecil-kecilan, namun tetap tidak lebih waras dibanding pesta-pesta sebelumnya. Aku dan dia menjadi pusat pesta itu, bukan dalam artian romantis memang. Kami dikenal sebagai pasangan, sahabat, pembuat onar. Tanpa dia, suasana memang akan sepi, aku hanya mengikutinya saja.

Larut malam dan dia memutuskan akan mengantarku pulang –meskipun saat itu dia belum memiliki kendaraan apapun. Dia takut aku akan kena marah ibuku, memang ibuku mudah sekali cemas karena banyak sekali alasan –terutama mengenai pergaulan. Mereka masih melanjutkan pesta –atau yang tersisa darinya, ketika kami pamit.

Hujan, deras. Aku tak membawa payung, aku bahkan tak membawa apa-apa ketika aku pergi, hanya diriku yang dibalut gaun dan sepatu kets –terlalu asal. Dia memarahiku karena sebagai wanita aku benar-benar tidak memikirkan banyak hal –terlalu santai katanya. Aku marah balik padanya, dia sebagai laki-laki mengapa tidak berinisiatif untuk melindungiku. Kami masih di depan tempat reunian, adu kata-kata. Toh, akhirnya dia melepas jaketnya juga dan menjadikannya ‘payung’ kami. Aku tersenyum.

Ketika sampai rumah, aku pulang basah kuyup dan rambutku lepek karena air hujan. Namun tetap kami tertawa bersama. Aku takut dia sakit jadi menyuruhnya untuk mengeringkan badan dan makan sup hangat, namun dia menolak.

End

Aku mengusap rambutku yang kering terbawa angin, rindu akan malam itu. Aku tak keberatan jika pulang basah kuyup, jika kamu yang mengantarkanku sampai depan rumahku.

Flashback

Dia mengajakku pergi lagi siang ini. Aku menolak dan memberikan alasan bahwa ibuku ingin aku pulang cepat. Dia masih tetap bersikeras meskipun aku sudah berjalan hingga halte bus. Dia mengatakan tak akan lama. Terakhir kali, dan setiap kali dia memberikan kata-kata itu, pada akhirnya aku akan pulang paling tidak saat matahari terbenam. Sama sekali tidak sebentar. Namun toh aku tetap setuju.

Aku meminta digendong sebagai gantinya, dan dia bersedia, dia tersenyum bahagia seolah mendapatkan hadiah yang paling dia inginkan. Dan dia berjongkok di hadapanku, menyuruhku naik ke atasnya.

Aku tak menyesal pulang malam, hari itu, meskipun aku dimarahi oleh ibuku. Oh, aku tak pernah menyesal kemanapun saat aku bersamanya. Karena aku pasti selalu pulang dengan tawa, bahagia, lepas semua beban hati ini. Terutama karena hari itu dia mengajakku ke padang rumput yang luas dan cantik. Aku bertanya bagaimana dia dapat mengetahui tempat ini. Dia hanya tersenyum bangga sambil menepuk dadanya. Sombong.

Kami tidur terlentang bersampingan, menatap indahnya langit biru dan awan-awan yang membentuk benda-benda. Kami bercanda dan beradu pendapat, tentang sebenarnya awan itu berbentuk apa? Aku juga marah padanya ketika dia menaruh rumput yang dia cabut di atas mukaku. Aku menggelengkan kepalaku dan terbangun mencoba membersihkan wajahku. Dia sudah berlari jauh, sambil tertawa terbahak.

End

Akan gila jika aku mencabut rumput di sampingku lalu aku menaruhnya sendiri di wajahku –namun toh kulakukan juga. Dan seketika air mataku menggenang di pelupuk mataku yang tertutup. Aku bersedia terkena marah oleh ibuku setiap hari, selama alasannya adalah dirimu.

Flashback

Dia menceritakan wanita lainnya lagi pagi ini. Aku hanya menggelengkan kepalaku dan tetap berkonsentrasi pada buku yang kubaca –buku ini menjadi bestseller hanya setelah satu bulan. Dia masih mengoceh, mengenai betapa cantiknya wanita ini, mengenai betapa mulusnya kulit wanita ini, dan yang lainnya. Aku tak memberikan perhatian padanya. Dia marah padaku, aku kembali marah padanya. Kami bertengkar lagi seperti kucing dan tikus.

“Seriuslah mengenai wanita!” aku membentakmu dan kembali membaca buku di tanganku. Sungguh aku menyesal telah mengatakannya.

Dia tak membalasku, tidak dengan sindiran atau apapun, tidak sama sekali. Dia terpaku ditempatnya dan terlihat bingung. Aku bertanya padanya, kenapa? Dan dia menceritakan, semuanya. Mengenai bagaimana dia bertemu dengan gadis ini, bagaimana hatinya benar-benar terpaut padanya hanya ketika pertama kali bertemu. Bagaimana kau memasang wajah itu. Kau memaki dirimu sendiri ketika kau ingat, kau lupa menanyakan namanya. Lalu takdir memilihmu, takdir mempertemukannya denganmu lagi. Kau tidak membuang waktu.

Lalu kau meminta pendapatku.

Pendapatku? Hatiku sakit, aku tahu aku kalah. Seribu banyak gadis yang kau ceritakan padaku, tak ada yang bisa menandingi gadis ini. Karena, ketika kau menceritakan mengenai gadis ini padaku, tidak ada seperti apa warna bajunya, tidak ada seperti apa parfumnya, tidak ada tingginya berapa, tidak ada bagaimana cara berjalannya. Tidak ada. Yang ada hanyalah bagaimana dia memikat hatimu tanpa semua itu.

Aku berkata, “Go for it!

Setelah mendengarnya, kau pergi, berlari, entah kemana. Tapi aku tahu, kau menemui gadis itu. Aku merasa bodoh setelahnya. Aku mencoba membaca lagi, namun aku tak bisa. Tak bisa berkonsentrasi, dan air mataku menggenang, menghalangi pandanganku.

End

Aku bersedia bertengkar denganmu setiap hari, asalkan kau tetap disampingku.

The End.

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet