chapter 1

BEAT FOR LOVE

“iya bibi, Kai lagi di jalan. Kai tutup dulu telponnyayah ?” Ujar seorang pemuda lalu menggeser tombol merah di layar handphone nya. Ia kini tengah mengemudikan mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi, membelah jalanan yang terlihat cukup sepi. Hanya terlihat beberapa mobil yang berseliweran berlawanan arah. Mungkin hujan lebat yang mengguyur daerah ini membuat orang-orang malas untuk sekedar keluar rumah.

“trrrttt..tttrrrttt….” suara mesin mobil yang dikemudikan Kai sesaat sebelum terhenti dengan sempurna.

“God ! kenapa nih ? kenapa mobilku berhenti ?” Ujar Kai. Ia lalu meraih tombol starter di dekat stir kemudi, memutar

kuncinya beberapa kali. Dan hasilnya? Mobil itu tak juga menunjukan tanda-tanda akan hidup kembali.

“God! Kenapa bisa aku lupa isi bensin?” rutuknya saat ia mendapati alat pengukur bensinnya menunjukan warna merah. Ia lalu memukul keras stir didepannya. Meluapkan segala kekesalannya.

“come on, Kai. Tenang , sekarang waktunya berfikir cerdas. Ok! Sekarang aku dimana?” ujarnya pada dirinya sendiri. Ia lalu mengerang frustasi saat mendapati mobilnya terjebak di dekat sebuah halte tanpa penghuni. Tapi kemudian atensinya tertuju pada sosok gadis dengan payung biru yang tengah menyebrang dijalan di depannya.

“apa dia manusia? Sudahlah, aku tidak peduli” ujar Kai, ia pun membuka pintu mobil di samping kanannya. Dengan gerakan cepat, Kai segera berlari kearah gadis itu sambil menutupi kepalanya dengan kedua tangannya.

“Ya! Kau ! Ya! payung biru!” teriak Kai, tapi sepertinya gadis itu tak mendengar panggilan Kai karena ia sama sekali tak menghentikan langkahnya. Fikiran gadis itu terkunci oleh sesuatu yang saat ini memenuhi otaknya. Entahlah apa itu.

“Ya !” kini Kai sudah berada satu langkah didepan gadis itu. Gadis itu memekik kaget saat mendapati Kai menarik tangannya yang tengah memegang payung dengan satu

tarikan cepat. Dan kini payungnya melindungi mereka berdua dari hujan lebat itu. “bisa beritahu aku dimana pom bensin?” ujar Kai. Gadis itu lalu menarik kasar tangannya yang dipegang oleh Kai, hingga kini hujan mengguyur kembali tubuh Kai. Gadis itu semakin menundukkan payungnya, takut pandangannya akan bertemu dengan pemuda di depannya yang sama sekali tak dikenalinya. Gadis itu lalu menunjuk pada sebuah papan plang jalan yang berada tidak jauh dari tempat mobil Kai berhenti.

‘Pom bensin 2 km’ gumam Kai saat membaca papan plang jalan yang ditunjuk gadis dihadapannya.

“2 km? mana mungkin aku mendorong mobil sendiri 2 km. Tolonglah, dorong mobil aku” ujar Kai dengan nada lebih merendah. Entah karena hujan yang menelan suaranya, atau karena Kai memang memelankan suaranya, Suara Kai benar-benar terdengar memelas saat itu. Tak ada nada kesombongan yang biasa ia perlihatkan.

“ok, jika kau tak mau mendorong mobil ku. Tolong beritahu dimana aku bisa membeli bensin? Dimanapun terserah, tapi jangan di tempat yang jauhnya minta ampun itu” ujar Kai sambil mengusap pelan tengkuknya, merendahkan harga dirinya untuk saat ini. Meminta tolong pada seorang gadis, apalagi yang baru saja ia lihat benar-benar bukan gayanya. Gadis itu hanya menatap kosong pada Kai. Beberapa saat kemudian gadis itu melangkah pergi meninggalkan Kai.

“tolonglah ! kumohon !” teriak Kai di sela-sela hujan yang terus mengguyur tubuhnya dengan kasar. Gadis itu sepertinya tak mendengar teriakan Kai karena ia masih melanjutkan langkahnya. Dan disaat Kai mengacak-acak rambutnya kasar karena frustasi, gadis itu sudah berada dihadapannya lagi, memayunginya dengan payung birunya. Gadis itu lalu mengisyaratkan sesuatu pada Kai dengan gerakan tangan. Ia menengadahkan tangannya lalu melipat jari telunjuk,jari tengah dan juga jari manisnya lalu menempelkan tangannya didekat telinga.

“maksudmu.. berikan handphoneku kan?” ujar Kai yang tidak yakin dengan tebakannya.

Gadis itu lalu mengangguk. Dengan raut wajah bingung, Kai akhirnya memberikan handphonenya pada gadis itu. Gadis itu lalu mengetikkan sesuatu di layar handphone Kai, tak lama kemudian ia menyerahkan kembali handphone tersebut. Kening Kai berkerut halus saat ia melihat sebuah nomor telpon di layar handphonenya.

“nomor siapa ini?” tanya Kai, gadis itu tak menjawab dan lantas membalikkan badannya meninggalkan Kai dengan kebingungannya.

Sadar hujan mulai mengguyurnya lagi, Kai segera berlari menuju halte yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri.

“nomor siapa ini?” gumam Kai. Kini ia tengah terduduk di halte dengan keadaan seluruh bajunya basah total. Ia lalu mencoba menghubungi nomor yang tertera di handphonenya.

“hallo! Ini dengan pom pengisian bensin, ada yang bisa saya bantu?” ujar seseorang diseberang telpon saat panggilannya mulai tersambung.

“ah, ya. Mobil ku kehabisan bensin, letaknya di dekat sebuah halte dan juga ada papan jalan yang bertuliskan ‘pom bensin 2 km’ ” ujar Kai.

“baik, kami segera kesana” ujar orang tadi. Setelah itu Kai segera menutup panggilannya.

“gadis itu… ia menolongku. Baiklah, aku akan menemuinya besok disini. Ya! Aku harus!” tekad Kai.

*

Kai menurunkan sedikit kaca jendela mobilnya. Ia melihatnya, ia melihat gadis itu .

Dia di sana sedang duduk tenang di bangku halte. Ia tampak sedang bersenandung dengan ipod dalam genggamannya. Sesekali ia tersenyum sambil menutup matanya, seakan meresapi makna lagu yang sedang ia dengarkan. Suasana halte itu tidak cukup ramai, hanya ada tiga orang yang tengah menunggu bus disana.

Entah untuk yang keberapa kalinya Kai menguntit gadis itu seperti ini. rasanya ingin sekali ia menemui gadis itu, berterimakasih dan mengajaknya mengobrol. Bukannya hanya berdiam diri menatap gadis itu dari dalam mobilnya—seperti yang ia lakukan beberapa hari ini. Tapi Kai tidak seberani itu. Ia takut gadis itu menolak kehadirannya.

Entah kenapa, semenjak kejadian hari itu, dadanya terus bergemuruh merindukan sosok gadis itu.

Ia ingat pernah bertemu dengan gadis itu sebelum pertemuan mereka kemarin.

Disisi lain, gadis itu termenung sendiri. Ia selalu memilih untuk duduk di pojok, dengan sebuah ipod yang selalu menemaninya. Ia bisa melihat lebih jelas jalan lebar didepannya darisana. Entahlah, sepertinya hal itu menarik sekali bagi gadis itu. Karena setiap hari, ia datang ke halte itu hanya untuk memandangi jalan. Dari sudut halte.

Sendiri.

.

.

Kai baru saja selesai memarkirkan mobilnya

di pelataran parkir sebuah Universitas ternama. Yah, universitas dimana ia bisa menuliskan namanya diantara jejeran murid-murid terpilih yang bisa masuk ke universitas swasta itu.

Kai memang bukan bagian dari mereka yang memiliki otak cerdas diatas rata-rata, tapi dengan bangga ia melangkahkan kakinya disana dengan menyandang status sebagai anak dari pemilik Universitas tersebut.

“Kai !” seorang gadis cantik dengan genitnya menghampiri Kai

“wae?” ujar Kai malas. Bagaimana tidak? Gadis itu selalu menguntitnya kemanapun ia pergi. Aish, ia benar-benar jengah melihat kelakuan genitnya itu. Tapi sayangnya, ia

pernah mencintai gadis itu. Dulu.

“bisakah kau lebih hangat padaku huh? ” tanya gadis itu sambil mengapit lengan Kai manja.

“bisakah kau melepaskan aku barang sedetik pun?” ujar Kai yang terlihat mulai kesal. Ia melepas paksa tangan gadis yang bernama

Shin Jaehee itu.

“shireo! Neo ‘naekoya’ !” ujar Jaehee menekankan pada kata terakhirnya.

“terserahlah!” ujar Kai sambil terus melangkahkan kakinya menuju kelas.

.

.

Suasana kelas cukup ramai, terdengar beberapa teriakan yeoja yang tengah bergosip, atau namja-namja yang

menceritakan akhir pekan mereka dengan para yeoja cantik. Tapi hal itu tidak mempengaruhi Kai, ia terus saja mendengus kesal karena Jaehee terus saja menceritakan hal yang sebenarnya ia tak ingin dengar. Jaehee memang sangat menyukai Kai, yah, seluruh kampus tahu hal itu, dan itu sebabnya mereka tampak terbiasa atau lebih tepatnya membiasakan diri melihat tingkahnya yang selalu genit dan mencari sensasi di depan Kai.

Tapi satu hal yang mereka tidak ketahui.

Kai pernah ‘mencintai’ Jaehee sampai sebelum kecelakaan tragis itu terjadi.

Semua mahasiswa seketika terdiam saat mendengar pintu ruang kelas mereka terbuka. Benar saja, Jung il woo songsaengnim yang membuka pintu, seperti biasa, fashion guru yang satu ini benar-benar teenager, ia bahkan terlihat seperti mahasiswa lainnya. Sebuah kaos putih dan blazer merah menghias tubuhnya, dan jangan lupa dengan kacamata hitam yang setia bertengger di hidung mancungnya.

tapi tunggu dulu, dia tidak datang sendiri. Jung songsaeng datang bersama seorang gadis!.

Mata Kai membulat seketika saat melihat wajah gadis itu.

“yeoja itu…” gumamnya tanpa sadar. Suara begitu pelan, tapi Jaehee masih mendengarnya dengan jelas. Jaehee langsung mendelik tajam pada yeoja itu, tapi hanya sebentar karena pandangannya ia alihkan pada Kai yang masih saja betah memandangi gadis itu.

“Kai.. kau mengenalnya?” tanya Jaehee tajam. Kai hanya menatap Jaehee sekilas lalu memfokuskan pandangannya pada gadis di depan sana.

“apa itu urusanmu jika aku mengenalnya atau tidak?” ujar Kai datar. Jaehee tidak terima dengan jawaban Kai. Lalu ia kembali memandang sinis yeoja di depan.

‘lihat saja apa yang bisa kulakukan padamu jika kau menghalangiku dengan Kai’ batin Jaehee.

“annyeonghaseyo, joneun Park Nara imnida. Bangapseumnida” ujar gadis itu sambil membungkuk sopan. Setelah ia memperkenalkan diri, jung songsaeng mempersilakan ia duduk di sebelah Oh Sehun. Nara mengangguk paham lalu melangkahkan kakinya menuju bangku kosong disebelah Baekhyun.

“annyeong, Oh Sehun imnida” ujar Sehun saat Nara sudah duduk tepat disampingnya, ia mengulurkan tangannya pada Nara. Nara melemparkan senyumnya lalu menyambut tangan itu.

“Nara imnida” ujar Nara kemudian menggeser kursinya dan segera mendudukan diri diatas kursi itu.

.

.

Nara duduk di pojok Halte tempat dia biasa menunggu bis, menatap kosong langit biru dengan awan putih yang mengembang memenuhi langit dengan indahnya. Langit yang sama, tapi rasanya jauh berbeda satu tahun terakhir. Langit itu tidak terlihat seindah biasanya, mungkin karena Nara hanya melihatnya sendiri. Sudah lebih dari 5 tahun ia menatap langit itu bersama kekasihnya, Chanyeol.

Park Chanyeol.

Nama itu selalu terukir dalam memori dan hati seorang Park Nara. Setiap saat, bayangan sosok lelaki itu selalu muncul dan tak pernah berhenti bertengger di benaknya.

Tatapan matanya, tawa bodohnya, genggaman tangannya, semuanya. Nara tak pernah lupa.

Sudah satu tahun Nara merenung, melakukan hal yang sama setiap harinya, duduk di pojokan halte bis itu selama yang ia bisa. hal ini bahkan dirasa jauh lebih baik, karena awalnya, Nara hampir seperti mayat hidup yang hanya berdiam diri di dekat jendela dikamarnya. Menatap langit seoul yang terlihat semakin mendung untuknya.

Nara menghela nafas, lagi. Udara disekitarnya terasa menipis, membuatnya sulit untuk sekedar mengisi rongga paru-parunya. Air matanya mulai menetes lagi. Ia kembali teringat pada sosok malaikatnya.

Park ‘Creepy’ Chanyeol

Hari ini adalah akhir pekan, biasanya ia akan pergi ke ketaman bersama pria tinggi itu, membeli eskrim lalu pria itu akan menggenggam tangannya, membawanya

kesungai Han—tempat pertemuan pertama mereka. Tapi itu dulu. Saat pria itu masih ada. Saat pria itu masih bernafas dengan udara yang sama dengannya.

Hingga akhirnya, ia lebih memilih untuk menghabiskan akhir pekannya dengan duduk berdiam disudut halte bus yang tak jauh dari rumahnya dengan ditemani mp3 player—pemberian Chanyeol, yang setia menyenandungkan lagu bernuansa romance yang sangat bertolak belakang dengan suasana hatinya saat ini.

Halte yang sebenarnya malah mengingatkannya pada kecelakaan tepat dijalan yang saat ini ditatapnya. Kecelakaan yang membuat detak pria itu berakhir dan mengubah hidupnya.

Nara masih diam dalam duduknya, Meski tubuhnya berguncang karena isak yang semakin menjadi. Tatapannya masih terkunci pada jalan yang masih sepi itu. Hatinya terasa sakit, tak kuasa menahan rasa bersalah yang terus menghantuinya.

“Aku hanya ingin melihatmu bahagia.” Semilir angin yang menggelitiknya seolah memperdengakan suara yang sangat dikenalnya—sekaligus dirindukannya. Kalimat itu adalah kalimat yang diucapkan Chanyeol saat mereka sedang bergurau di dalam mobil Chanyeol, beberapa menit sebelum mobil itu bertabrakan.

“Oppa, kau selalu bilang kalau kau hanya ingin melihatku bahagia bukan? Aku janji, aku akan hidup bahagia untukmu oppa. Kau akan melihatku hidup bahagia.”

Nara tersenyum, “aku mencintaimu, Park Chanyeol”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet