VIEW

VIEW

Melangkah pendek, Jongin menghampiri kekasihnya yang sedang duduk melamun. “Kau melamun lagi?” Tanyanya.

Soojung tersadar. “Oh, kau.”

“Kali ini, melamunkan apa?”

Gadis itu beranjak, lalu berjalan pelan mengitari Jongin yang duduk. Perlahan, tangannya melingkar pada leher Jongin. “Tidak ada, pikiranku selalu kosong.” Ia berhenti di belakang Jongin. Lengannya itu semakin kuat mencengkram.

Jongin tersenyum. “Hari ini kau cantik sekali.” Ujarnya sambil membelai jemari Soojung.

Sungguh, dalam bayangan Jongin, Soojung adalah gadis manis yang pendiam. Dia tidak pernah melakukan hal aneh.

Tangan kiri Soojung yang bebas menjamah kepala Jongin. Ia bermain dengan rambutnya. “Pujianmu berlebihan.” Ujarnya sambil mencabuti rambut Jongin satu-persatu.

Jemari Jongin terasa dingin, digenggamnya tangan sang kekasih, sambil menyandarkan kepalanya di perut Soojung. “Kau sedang memijat kepalaku?”

“Hmm.”

“Jangan di sana, pundakku terasa pegal.”

Soojung tersenyum. Ia berhenti bermain dengan rambut, kemudian turun ke pundak Jongin melalui leher pria itu. Soojung menggoreskan kukunya yang panjang hingga terbentuk sayatan panjang pada leher Jongin.

“Kapan terakhir kali kau memotong kuku?” Tanya Jongin.

“Tiga puluh menit yang lalu,” Soojung menjawab sambil menggesek-gesekkan kukunya di pundak Jongin. “Dengan pisau.”

“Kenapa tidak tanya? Aku punya potong kuku. Sudah kubilang jangan memotongnya dengan gunting, hasilnya jadi tidak bagus.” Jongin memejamkan matanya. “Ngomong-ngomong, di mana kau belajar memijat? Enak sekali.”

Bibir Soojung menyunggingkan senyum satu sudut. “Jongin, bagaimana penampilanku hari ini?”

Jongin memutar tubuh, matanya memandangi Soojung dari ujung kaki hingga pucuk kepalanya. “Anggun,” Jeda sejenak. “Kau lebih anggun dengan rok selulut seperti itu, dan… hmm, jepit rambut itu, lucu sekali.” Nilainya tentang sang kekasih sambil tersenyum lebar.

Sang gadis terkekeh. Baginya, tak ada yang lebih keren dari menggunakan kaos dan celana pendek seperti sekarang. Dengan warna favoritnya, hitam. Sedangkan untuk Jongin yang polos, “Kemejamu bagus.” Puji Soojung.

“Ah, terimakasih.” Kata Jongin sambil tersipu malu.

“Mau kubuatkan teh?” Tawar Soojung yang disambut anggukan oleh Jongin.

Lima menit kemudian, Soojung kembali dengan dua cangkir minuman. Siapa pun yang melihatnya tentu akan merasa jijik. Merah. Warna merah yang ada dalam dua cangkir itu sangat jelas. Cairan kental yang mengalir dalam tubuh manusia.

Jongin mengangkat cangkirnya. “Dari mana kau dapat teh hijau?”

“Lehermu. Tubuhmu.”

“Hm? Kapan kau melakukannya?”

“Beberapa menit yang lalu.”

“Kapan-kapan kita lakukan itu bersama.” Mendengarnya, Soojung tersenyum. “Kudengar, teh dari Boseong memang yang terbaik.”

Soojung terkekeh. “Ya, darahmu memang yang paling segar.”

*

Hari ini, Soojung berjanji akan menemani Jongin ke Boseong untuk memetik daun teh. Bukan kencan pertama, tapi Jongin selalu merasa berdebar-debar.

“Sepertinya cuaca mendukung.” Jongin tersenyum sambil memandang langit yang cerah. Cahaya matahari sedikit menyilaukan matanya.

Soojung memandang lurus Jongin. Derasnya hujan yang membanjiri wajah pria itu tak memberi ampunan. Mereka berdua basah kuyup. Sementara petir menyambar-nyambar, Soojung mencengkram erat—sangat erat—tangan Jongin.

Pria itu tersenyum hangat melihat jemarinya digandeng. Kemudian mereka mulai berjalan.

Sepanjang mata memandang, hanya hamparan lapang yang luas, serta tanah yang menggunduk dengan nisan di ujungnya. Soojung sangat menyukai tempat yang disebut kuburan ini. Baginya, ini adalah rumahnya.

“Aku baru sekali ke perkebunan teh, dan udaranya memang benar-benar segar.” Ujar Jongin sambil merebahkan diri di tanah.

“Kau suka?”

Jongin mengangguk. “Mau mulai memetik teh?”

Soojung tersenyum. Matanya memandang Jongin sangat tajam. “Memetik teh, ya. Tidak masalah.”

Jongin tersenyum lebar, lalu berdiri. Karena sangat dekat dengan pohon teh, memudahkan Jongin untuk memetiknya beberapa.

Sementara Soojung mengekor di belakang Jongin, tangannya sibuk memberi tanda pada Jongin, yaitu menggoreskan kukunya di lengan pria itu. Serta melubangi kepalanya. Kaki Soojung yang bebas beradu dengan tanah, membuat lubang di sana.

“Kita dapat banyak.” Ujar Jongin sembari menggabungkan hasil petikan  tehnya dengan milik Soojung.

“Jongin, bagaimana kalau kau mundur sedikit?”

“Hm? Memangnya kenapa?”

“Daun teh di situ jelek.”

Jongin menurut. Ia berbalik dan melangkah maju menghampiri Soojung. Namun yang terjadi adalah, pria itu jatuh terperosok dalam lubang yang Soojung buat. Bahkan di dalam sana, pria itu masih tertawa lebar sambil merapikan hasil panennya.

Tangan Soojung mendukir pasir, memasukkannya pada lubang itu. Bibirnya masih menyungging senyum sudut yang terlihat sangat jahat, persis seperti tokoh penjahat yang sedang mengancam korbannya di drama-drama.

“Soojung ayo pulang. Ini sudah cukup.” Ucap Jongin.

Lubang itu sudah tertutup. Jongin tak terlihat lagi walau hanya sepucuk helai rambutnya. Sembari menyeka bekas pasir di tanganya, Soojung mengatakan, “Ya, ayo pulang.”

 

-fin.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet