Inevitable

Inevitable

Di sekolahku, anak-anak klub basket bisa dibilang merupakan gerombolan siswa paling populer. Tapi ada satu anak yang menonjol tanpa perlu mengikutsertakan diri ke dalam klub itu. Kim Taehyung namanya.

Dia terkenal bukan karena kemampuannya di bidang olahraga yang mengagumkan, atau karena kepintarannya yang di atas rata-rata, dia terkenal karena reputasi buruknya. Kim Taehyung itu dewa kematian. Namanya sudah menjadi representasi dari ketakutan itu sendiri. Cuma orang yang cari mati yang mau menantangnya.

Kim Taehyung menjadikan UKS sebagai rumah kedua. Rasanya aneh jika dalam seminggu dia absen sekali saja. Aku yang petugas PMR begitu hafal dengan wajahnya, selalu babak belur dengan luka di sekujur tubuhnya. Apa sih yang dilakukannya? Kenapa sih dia masih belum dikeluarkan sampai saat ini?

Dia juga cukup populer di antara gadis-gadis, yang menurutku sangatlah aneh. Bukan rahasia kalau perempuan suka bad boy, tapi serius, Kim Taehyung ini memberi definisi baru untuk kata “bad”, dia membawa istilah itu ke level yang berbeda. Meski begitu, tidak bisa disangkal kalau wajahnya memang tampan. Aku benci mengakuinya, tapi aku sudah terlalu sering melihat muka itu hingga aku hafal setiap inci dari struktur wajahnya, mulai dari kedua kelopak matanya, hingga tulang pipinya yang sempurna.

Sayangnya aset wajah tampannya itu tidak pernah ia jaga.

“Ouch! Pelan-pelan!” geramnya. Suaranya yang berat menggema di seisi ruang UKS.

“Aku sudah berusaha sebisanya, jenius. Makanya lain kali pikir-pikir dulu sebelum kau memutuskan untuk terlibat dalam pertengkaran bodoh,” kataku ketus. Kim Taehyung memutuskan untuk mengacuhkanku. Dia meraba pipinya yang merah bersimbah darah, meringis kesakitan.

“Jangan disentuh! Bisa infeksi.” Aku menggenggam pergelangan tangannya dan menjauhkannya dari luka di bagian pipinya. Dia memandangku dengan sorot matanya yang tajam, jelas-jelas menunjukkan rasa tak suka, tapi aku sudah kebal dengan tatapan itu.

“Jangan bergerak. Aku ingin semua ini cepat selesai agar aku bisa kembali lagi ke kelas.”

Dia mendengus, mengalihkan pandangannya dariku ke dinding putih di depannya. Dia terlihat tidak tertarik ketika aku mengambil sehelai kapas dan meneteskan obat merah di atasnya. Meskipun sedang dalam keadaan seperti ini, Kim Taehyung tetap menolak untuk menunjukkan sisi lemahnya. Seperti biasa, dia tidak pernah berusaha untuk menyembunyikan sikap arogannya, bahkan ketika dia butuh bantuan. Tapi aku sedang tidak ingin mengeluh sekarang, karena dia yang tidak berbicara saja sudah merupakan suatu kejadian langka.

“Tahan,” kataku ketika menyentuhkan kapas itu ke pipinya. Taehyung terlihat kesakitan, tapi dia tidak mengeluh. Aku memindahkan kapas itu ke tepi bibirnya, dan kelopak matanya, kemudian pelipisnya, aku tak bisa ingat semuanya.

Aku mengambil perban di kotak P3K, Kim Taehyung mengamatiku ketika aku dengan hati-hati membuka gulungan perban dan membalutkannya ke sekeliling punggung tangannya yang terluka.

“Pelan-pelan.” Dia sesekali berjingkat ketika perban itu mengenai lukanya.

Aku berhasil menyelesaikan pekerjaanku dengan cepat, dan aku beruntung bahwa kali ini dia tidak berbicara, mengeluh, atau mengumpat terlalu banyak.

Aku membereskan obat merah, perban, serta kapas bekas yang bertebaran di meja samping ranjang Taehyung. “Kau boleh istirahat di sini, aku mau kembali ke kelas.”

“Sooyoung.” Suaranya yang berat dan kasar memanggilku.

“Apa?”

“Apa yang dikerjakan petugas PMR lain? Kenapa selalu kau yang menanganiku?”

Aku memandangnya. Itu pertanyaan yang aku sendiri tidak tahu jawabannya.

“Mereka takut padamu, kurasa. Dan luka-lukamu selalu parah, jadi mereka berpikir akan lebih baik jika ketua PMR yang menanganimu.”

Taehyung tidak berkata apa-apa lagi. Dia menatapku tajam, lama. Aku mulai merasa tak nyaman berada di dalam satu ruangan sempit bersama preman sekolah, terutama jika dia terus menatapku dengan tatapan mematikannya yang terkenal itu.

“Aku harus pergi,” kataku cepat. “Istirahatlah.”

Aku melangkah keluar, meninggalkannya, berdoa dalam hati bahwa Kim Taehyung tidak terlalu bodoh untuk terlibat dalam pertengkaran yang lain. Karena sungguh, aku sudah bosan menghabiskan waktuku mengurusi luka Taehyung yang terus bertambah bahkan sebelum luka lamanya mengering.

~~~***~~~

“Sooyoung-ah, apa Taehyung baik-baik saja?”

Aku mendongak dari buku yang kubaca. Oh Seunghee yang duduk  tepat di depanku telah membalikkan tubuhnya ke arahku, berbicara dengan suara rendah agar guru yang berada di depan kelas tidak mendengar percakapan kami.

“Kurasa begitu,” jawabku singkat.

“Apa lukanya parah?”

“Cukup serius, tapi dia masih hidup.”

“Apa dia masih di UKS sekarang?”

Aku mulai merasa terganggu dengan semua pertanyaan yang diberikan gadis itu. Memangnya kenapa sih dia begitu peduli dengan bocah itu? Aku bahkan tak yakin kalau Taehyung tahu namanya. Taehyung tak pernah punya waktu untuk peduli dengan perempuan.

“Iya, kenapa?”

Seunghee terdiam sejenak.

“Aku khawatir dengannya.”

Aku mengenal Seunghee, kami sekelas selama dua tahun terakhir. Dia adalah gadis yang ceria dan bersemangat. Ini adalah kali pertama aku melihat ekspresi kecemasan di wajahnya.

Kamshahamnida, Sooyoung-ah. Maaf mengganggu.” Dia menundukkan kepalanya dan berbalik, kembali ke tempat duduknya. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memperhatikannya. Dan aku jadi bertanya-tanya mengapa keberadaan Taehyung begitu memberi pengaruh besar pada gadis itu. Dia terdiam di bangkunya, merenung, kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. Mengenal Seunghee, dia bukan tipe gadis penggemar yang akan meninggalkan sekotak cokelat atau sepucuk surat berwarna merah muda di loker Taehyung. Mungkin mereka sudah saling mengenal sejak lama.

Aku memutuskan bahwa itu bukan urusanku, dan kembali ke buku diktat yang kubaca.

~~~***~~~

Pelajaran terakhir adalah Sejarah, guru yang mengajar kelasku terbilang guru senior, dan bagiku suaranya yang lembut itu lagu nina bobok paling ampuh. Mungkin dia terlalu tua, atau sudah terlalu bosan untuk mengingatkan murid yang memilih mengorok daripada memperhatikan pelajarannya, jadi aku berhasil menikmati tidur siang yang tenang selama pelajarannya. Aku bahkan tak langsung bangun ketika bel tanda pelajaran telah selesai berdering di seluruh koridor sekolah.

“Sooyoung-ah, Sooyoung-ah.”

Aku terlonjak, menatap sekeliling seperti orang linglung. Seulgi berdiri di hadapanku, tangannya memegang bahuku.

“Ayo pulang.”

Aku mengusap mataku, menguap, dan meregangkan tanganku. Seulgi menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum kecil, tapi aku tidak ingin repot-repot menjaga tingkahku di depan seseorang yang sudah mengenalku sejak kami masih memakai popok.

Aku melihat sekeliling. Sebagian besar murid telah meninggalkan kelas, ruangan terasa sepi hanya dengan aku, Seulgi, dan beberapa anak yang sedang melaksanakan tugas piket. Di ujung, aku melihat dua orang sedang berdebat dengan seru. Jang Yeeun dan Jeon Jungkook, mereka ini jarang sekali akur, selalu berargumen setiap saat. Tapi entah mengapa di mataku kedua orang ini terlihat seperti sejoli kasmaran bahkan saat mereka berusaha memukul satu sama lain dengan sapu.

“Duluan saja,” kataku kepada Seulgi. “Aku harus ke UKS.”

“Kim Taehyung lagi?”

Aku mengangguk. “Sayangnya begitu.”

“Kamu benar-benar perhatian ya.”

“Ini kewajiban kok.”

Aku membereskan alat tulis serta buku-buku yang berserakan di meja. Kemudian aku sadar bahwa aku baru saja menggunakan buku diktat Matematika-ku sebagai alas tidur. Aku mengernyit ketika menemukan air liur di sampulnya.

“Kamu yakin nggak apa-apa?” Seulgi bertanya, wajahnya terlihat khawatir.

“Tenang saja, preman sekolah sedang luka parah, ingat?”

Aku bangkit dari bangku, melangkah bersama Seulgi menuju pintu kelas. Seulgi melambai singkat ke arahku ketika dia melangkah menuju gerbang depan sekolah, sementara aku berjalan menuju ke UKS yang terletak di dekat halaman belakang sekolah. Aku membalas lambaian tangannya dan bergegas.

Koridor sekolah cukup sepi, tak banyak orang yang kutemui selama perjalanan menuju UKS. Ketika kubuka pintu ruangan, aku mendengar suara, tapi bukan suara berat dan maskulin milik Kim Taehyung.

Aku punya dugaan. Tapi aku belum bisa memastikan. Aku melangkah, membuka tirai yang membatasi ruangan utama, dan menemukan Kim Taehyung terbaring di atas ranjangnya. Matanya menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Seorang gadis duduk di tepi ranjangnya, terlihat khawatir. Aku segera menyadari bahwa gadis itu adalah Oh Seunghee.

“Seunghee?”

Gadis itu mendongak, terkejut ketika melihatku. “Sooyoung?”

Taehyung memandangku untuk sepersekian detik, kemudian tatapannya kembali dialihkan ke arah langit-langit bercat putih pucat.

“Maaf, tapi jam pelajaran sudah selesai, kalian harus pulang,” kataku, lebih kepada Taehyung yang kini terlihat makin tidak peduli, karena dia baru saja memejamkan matanya.

Seunghee menatap Taehyung, mengguncang bahunya pelan. “Taehyung, ayo kita pulang.”

Tidak ada jawaban.

“Yah! Gadis ini sedang berbicara padamu, hargailah sedikit!” bentakku, tapi Kim Taehyung bergeming.

Seunghee tersenyum ke arahku, senyumnya lembut dan menghangatkan. “Taehyung memang keras kepala.” Dia memandang Taehyung, yang matanya masih terpejam rapat, wajah gadis itu terlihat damai, di saat yang sama terluka. Aku masih takjub akan betapa pedulinya Seunghee pada orang macam Kim Taehyung.

Dia mengalihkan pandangannya ke arahku, tersenyum sekali lagi. “Aku permisi dulu.”

Aku hanya membeku ketika dia berjalan melewatiku menuju pintu keluar. Taehyung membuka salah satu kelopak matanya, mengintip ketika Oh Seunghee berjalan meninggalkan ruangan.

“Kau ini kenapa sih?”

Taehyung membuka matanya, menatapku dengan pandangan bertanya.

“Dia peduli padamu!”

Aku sendiri heran akan betapa marahnya aku saat ini. Nafasku sesak, dadaku terasa sempit, egoku meraung tak terkendali. Jantungku berdebar keras seolah menyanyikan genderang perang. Aku berusaha menahan keinginan kuat untuk mencekik Taehyung saat itu juga. Tinjuku mengerat, seluruh tubuhku bergetar hebat, keringat dingin mengalir di pelipisku. Aku hampir tak bisa membedakan amarah dan rasa takut.

“Kau keberatan?” Kim Taehyung menatapku tajam, ekspresinya tak terbaca.

Aku memberanikan diri untuk membalas tatapan Taehyung, tapi dia tidak terlihat sama terintimidasinya seperti aku. “Ya, kau tidak pantas mendapatkannya.”

“Kenapa tiba-tiba kau peduli dengan kehidupanku? Seunghee temanku semenjak kami masih kanak-kanak, kami bertetangga dan pergi ke sekolah yang sama sejak kecil, keluarganya mengenalku seolah aku adalah bagian dari mereka, dan begitu juga sebaliknya. Kenapa kau begitu keberatan kalau dia memberikan perhatian kepada temannya sendiri?”

Aku membisu, semua kalimat yang ingin kuucapkan tersangkut di tenggorokan.

Taehyung bangkit dari tidurnya, mengernyit ketika menggunakan telapak tangannya yang terluka sebagai tumpuan. Aku segera menghampirinya, tapi dia memberi isyarat padaku untuk menjauh. Taehyung selamanya akan jadi manusia yang arogan, dan aku mengutuknya karena itu. Aku hanya diam, mengawasi ketika Taehyung berhasil turun dari tempat tidur dengan usahanya sendiri. Kakinya bergetar hebat, aku memperhatikan lututnya yang terluka parah, tidak mungkin dia bisa menopang tubuhnya dengan kedua kaki itu. Dia menyangga tubuhnya ke tempat tidur dengan tangannya yang terluka, tapi rasa sakit membuatnya melepas tumpuannya. Dia bisa saja ambruk ke lantai dan melukai lututnya lagi kalau saja aku terlambat menangkapnya.

“Dasar bodoh!” bentakku, menahan lengan kanan Taehyung ke pundakku. Taehyung punya tubuh yang lebih besar dariku, dan jelas berat, aku terengah hanya dengan merasakan beban itu di bahuku. “Seunghee benar, kau memang keras kepala! Bagaimana caranya kau bisa pulang dengan kondisi seperti ini? Seharusnya tadi kau pulang saja dengan Seunghee! Sifatmu yang keras kepala itu bisa merugikan dirimu sendiri tahu! Bisa tidak kau menghargai orang lain, sekali sa–“

Aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku. Taehyung menyambar bibirku dan menciumnya dengan kasar. Aku bisa merasakan desah nafasnya di pipiku, juga tangannya meremas rambutku pelan. Aku bisa merasakan darah dari luka di bibirnya. Tubuhku membeku, otakku berteriak untuk melepaskan diri, tapi syaraf-syarafku terasa mati. Aku memejamkan mataku erat, terengah keras, paru-paruku melolong meminta oksigen.

Taehyung menjauhkan kepalanya, matanya yang tajam menatapku, seolah berhasil menembus pikiranku.

“Kau itu cerewet, sadar tidak?”

Aku terlalu terguncang untuk bisa menjawab apa-apa.

“Seunghee pasti sudah jauh. Bisa antarkan aku pulang?”

Rasanya seperti mau pingsan. Untungnya kami sedang berada di UKS saat itu.


.:: fin ::.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
raihaanaa #1
Chapter 1: Apakah masih ada harpaan utk melanjutkan ff ini thor???...
fangirlingsohard
#2
Chapter 1: Ahhhh.. so sweetttttt❤