and when you're gone, will they say your name?

final chapter

 

 

#

 

Mereka pikir mereka akan bertahan, tapi hal seperti itu takkan terjadi di dunia nyata.

 

Tidak di sini, tidak dengan kontrak dan manajemen, tidak di dunia hiburan yang keras dan mengintimidasi. Mereka memang sudah meraih ketenaran, menyabet puluhan penghargaan dan mendapatkan perhatian banyak orang. Tapi itu cerita lama, belasan tahun yang lalu. Setiap hari, idola baru muncul di layar kaca. Lebih muda, lebih tampan, lebih menjanjikan.

 

Nama mereka memang sudah cukup terkenal untuk disejajarkan dengan senior-senior yang mencapai panggung lebih dulu daripada mereka. Tapi semuanya telah berubah. Mereka tidak semuda yang dulu lagi, tidak bisa menampilkan senyum yang sama lagi seperti masa-masa awal mereka debut. Fans datang dan pergi, ada yang tetap bertahan.

 

Tapi mereka tidak.

 

#

 

Enam belas tahun setelah terjun ke dunia hiburan (sekitar delapan belas tahun untuk Jaebum dan Jinyoung), semua anggota berusaha untuk mencari jalannya masing-masing. Jinyoung mencoba keberuntungannya untuk berakting lagi, sementara Jaebum menggunakan diplomanya di departemen film untuk bekerja di balik layar. Sisanya masih berkutat di musik dan tari. Youngjae bahkan berusaha untuk menjadi produser musik.

 

Satu-satunya yang melenceng adalah Jackson.

 

“Bermain anggar lagi?” Jinyoung hyung bertanya ketika Jackson datang ke kantor agensi untuk mengonfirmasi bahwa dia takkan melanjutkan kontraknya. Jackson pikir Jinyoung hyung tidak senang dengan kabar ini, tapi lelaki itu hanya tersenyum. Jinyoung hyung sering tersenyum akhir-akhir ini, mungkin kebiasaan itu muncul setelah anak kembarnya lahir, Jackson pikir. Atau mungkin Jinyoung hyung sudah terbiasa dengan ini, seperti Sunye dan lainnya.

 

“Aku sudah cukup lama ada di Korea, sepertinya.” Jackson mengedikkan bahu. “Ibuku berkata mungkin ini waktunya pulang ke rumah.”

 

Jinyoung hyung menanyakannya beberapa hal, kebanyakan tentang apa yang akan ditinggalkannya. Apakah kau takkan merindukannya, ini semua, maksudku. Apakah kau sudah membicarakannya dengan anggota lain. Apakah mereka setuju. Jackson menjawab setiap pertanyaan Jinyoung dengan tenang, sesekali membuat gurauan, seperti yang selalu ia lakukan.

 

Sebelum Jackson melangkah pergi, Jinyoung hyung berkata lagi. Masih dengan senyum, bibir dan matanya. “Korea akan selalu menyambutmu. Ini adalah rumah keduamu.”

 

Jackson percaya akan hal itu.

 

#

 

Jackson bertemu dengan Youngjae di studio rekaman. Pria itu duduk di tempat Jinyoung hyung biasa duduk untuk menilai mereka. Jackson menemukan hal ini cukup lucu. Waktu bergulir sangat cepat, dia pikir. Mungkin karena aktivitas mereka yang tak terlalu berubah. Rekaman, panggung, mikrofon, kamera. Semakin mereka terbiasa dengan semua hal itu, semakin mereka tidak menghitung berapa hari yang mereka habiskan di industri ini.

 

Ada beberapa pemuda lain di ruangan itu, menggenggam headphone di tangan kanan dan secarik kertas di tangan kiri. Ketika Jackson masuk, mereka segera berdiri dan membungkukkan badan. Mereka menggumamkan salam yang tak jelas, mungkin berkata “Selamat siang, sunbae” dengan suara gugup dan tubuh yang gemetar.

 

“Mereka akan debut tahun depan.” Youngjae memberitahunya ketika kelima pemuda itu masuk ke dalam ruang rekaman.

 

“Mereka cukup cantik.” Jackson berkomentar, menarik kursi dan duduk di sebelah Youngjae.

 

Youngjae tertawa, menatap Jackson sekilas. “Lebih cantik dari kita.”

 

"Aku tidak setuju dengan hal itu. Kita jauh lebih cantik.” Sebenarnya Jackson berbohong. Para pendatang baru itu lebih menarik daripada mereka, semua orang bisa melihatnya. Mereka lebih tinggi, lebih mancung, lebih putih. Tapi Jackson hanya ingin mendengar Youngjae tertawa lagi, jadi dia mengatakan hal tak masuk akal itu.

 

“Sudah bicara dengan Jinyoung hyung?” Youngjae bertanya, tiba-tiba.

 

Jackson mengangguk. “Baru saja.”

 

“Apakah dia kaget?”

 

“Tidak sekaget Jaebum, pastinya.” Jackson tersenyum samar. Saat Jaebum mengetahui kabar itu sebulan lalu, dia tidak terlalu menyukainya. Tapi Jaebum tidak bisa melakukan apa-apa dalam situasi ini, hanya Jackson yang memegang pilihan untuk masa depannya sendiri. “Jinyoung hyung bahkan tidak bertanya kenapa.”

 

“Kau punya banyak alasan untuk keluar dari tempat ini, seperti anggar dan ibumu.” Youngjae menghela napas panjang. “Jinyoung hyung mungkin sudah menyadarinya sejak dulu.”

 

“Bahwa aku takkan bertahan cukup lama di sini?”

 

“Bahwa ada banyak hal yang lebih penting untukmu daripada ini semua.”

 

#

 

Jackson mampir ke Coffee Terior sebelum kembali ke apartemennya. Tidak hanya untuk segelas kopi dan kue keju, tentu saja. Dia juga ingin mengucapkan salam perpisahan pada semua orang sebanyak yang dia bisa.

 

Songyeon berdiri di balik mesin kasir, menyambutnya dengan senyum lebar. Tapi Jackson tahu perasaan senang itu akan memudar setelah dia memberitahu apa yang sebenarnya terjadi. Alih-alih terkejut, Songyeon merasa sedih.

 

“Kalau saja kau bisa tinggal lebih lama,” Songyeon bergumam. Sama seperti Jinyoung hyung, dia tidak bertanya kenapa. Sepertinya semua orang sudah tahu alasannya, Jackson pikir. “Apakah Youngji sudah tahu? Apakah aku harus meneleponnya? Dia sedang bekerja di sekitar sini, seingatku.”

 

“Itu ide yang bagus.” Jackson tersenyum, membawa kopi dan kue kejunya ke meja yang paling dekat dengan kasir.

 

Dari kursinya, dia bisa mendengar suara Songyeon dari balik dapur. Songyeon benar-benar menjelaskan semuanya pada Youngji lewat panggilan telepon kilat itu dan segera menyuruh Youngji datang ke kafe secepat yang dia bisa.

 

“Youngji akan datang sebentar lagi.” Songyeon berkata saat dia menghampiri meja Jackson, menyodorkannya sepotong kue keju lagi. “Kali ini aku yang membayar, karena mungkin kita takkan berjumpa cukup sering lagi.”

 

Jackson tersenyum, mengeluarkan beberapa guyonan lucu untuk Songyeon sebagai balasan kue kejunya. Songyeon duduk menemani Jackson selama beberapa saat, hingga Youngji akhirnya tiba.

 

#

 

Jackson pikir Youngji akan terkejut, tapi kenyataannya tidak. Youngji berusaha untuk tetap tenang, seperti setiap orang kebanyakan yang mendapati kabar ini. Seakan-akan mereka sudah mengetahui alasannya dan memakluminya, bahkan sebelum Jackson menjelaskan.

 

“Apakah kau sedih?” Youngji bertanya, menatap mata Jackson untuk menelusuri kejujuran di sana. “Dengan kepindahanmu, maksudku.”

 

“Tidak.” Jackson mengernyit. “Kenapa aku harus sedih, saat aku sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan dunia hiburan ini?”

 

“Apakah itu berarti kau senang?”

 

Jackson mengatupkan bibirnya selama beberapa saat, mengambil jeda untuk memutuskan kalimat yang tepat untuk diucapkan. Dia melihat Youngji sejenak, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah kopi dan kue keju yang masih tersisa di atas meja, kemudian ke balik jendela kafe. Di luar sana, hujan musim gugur mulai turun dengan derasnya. Dia bertanya-tanya apa yang dilakukan keenam pemuda lainnya di tempat lain.

 

Apakah mereka benar-benar setuju dengan keputusannya? Apakah mereka bisa merelakan salah satu dari mereka pergi? Apakah itu berarti nama grup mereka harus diganti? (Karena, kau tahu, mereka takkan tampil bertujuh lagi.)

 

Jackson menyerah dengan pertanyaan itu. “Aku tidak tahu.”

 

#

 

Youngji berpikir untuk mengadakan makan malam dengan anggota Roommate saat dia menyadari Jackson akan kembali ke Hongkong—dan mungkin takkan kembali ke Seoul dalam waktu yang cukup lama—tiga minggu lagi. Jackson tidak menolak rencana itu, tapi dia membiarkan Youngji yang melakukannya sendiri, seperti mengundang staf dan membuat janji dengan restoran.

 

Cukup banyak orang yang datang malam itu. Jackson merasa terharu hingga dia bisa merasakan matanya memanas, ketika orang-orang yang sudah lama tak dijumpainya menyambutnya dengan hangat. Beberapa bahkan memberikannya hadiah sebagai kenang-kenangan, dia benar-benar tak membayangkan hal ini akan terjadi.

 

Beberapa staf kamera menebak kalau dia kembali ke Hongkong untuk ibunya. Mereka tidak salah, meskipun hal itu bukan alasan utama. Setiap orang yang baru datang segera menghampiri Jackson dan memeluknya erat-erat, berharap agar dia tetap bahagia dengan apa yang dilakukannya dan mengingatkannya bahwa mereka semua mendukung apa pun pilihannya.

 

Dengan cepat suara tawa memenuhi ruangan, celotehan Gukjoo dan Seho bergema seraya soju dan samgyupsal diedarkan, Sunkyu membawa kedua putranya yang segera menjadi pusat perhatian. Mendadak Jackson merasa semuanya masih terasa sama, tapi juga sekaligus berbeda. Orang yang sama, lelucon yang sama, memori yang sama. Tapi mereka telah melewati pahit manis kehidupan selama belasan tahun belakangan, menjalani hidup sendiri-sendiri.

 

Setelah Sunkyu membawa anak-anaknya pulang, situasi mulai berubah liar. Dongwook mulai mengajak semua orang untuk mabuk. Seho tidak berhenti dengan cerita-cerita lucunya. Gukjoo terus menari di atas meja. Semuanya menjadi kacau, tapi Jackson menyukainya, cukup senang untuk tenggelam di dalam kericuhan itu.

 

Ketika satu per satu mulai tumbang karena alkohol yang membakar kerongkongan mereka, Youngji berinisiatif untuk memaksa mereka semua untuk pulang. Kangjoon terpaksa membawa banyak penumpang di mobilnya malam itu, tapi dia kelihatan tidak keberatan sama sekali. Dia hanya tersenyum samar, memberi tatapan polos ke sekelilingnya, sama persis seperti Kangjoon yang dulu. Youngji juga membawa beberapa orang, termasuk Jackson, untuk diantar pulang.

 

Jackson masih cukup sadar untuk duduk di jok depan dan mengajak Youngji untuk ngobrol, sementara Gukjoo dan lainnya mulai mendengkur di belakang mereka.

 

“Aku tidak terlalu puas.” Youngji berceletuk saat mobilnya mulai bergabung di jalanan. “Kita kehilangan inti makan malam ini, sepertinya.”

 

Jackson tertawa kecil. Dia tahu jelas apa yang ingin Youngji gambarkan untuk malam ini. Alih-alih memusatkan perhatian untuk membuat kenangan dengan Jackson sebelum dia pergi, semua orang malah sibuk sendiri dengan nostalgia belasan tahun lalu. Tapi sesungguhnya inilah yang Jackson butuhkan, karena dia tidak terlalu senang dengan konsep perpisahan.

 

“Rasanya kau cukup aneh malam ini, ngomong-ngomong.” Youngji berkata. “Kau tidak secerewet yang biasanya. Apakah kau tidak menikmati makan malamnya?”

 

“Apakah aku seharusnya tertawa dan meloncat-loncat gembira untuk mendapati ini makan malam terakhirku dengan teman-temanku, sebelum aku kembali ke Hongkong dan takkan berjumpa kalian lagi untuk waktu yang tak bisa kupastikan?”

 

“Bukan begitu maksudku.” Youngji menghela napas. “Rasanya kau seperti kehilangan sesuatu, bagian dari dirimu. Semangatmu. Atau kilatan di matamu. Sesuatu yang membuatmu tidak terasa utuh. Semua orang bisa melihatnya, karena kau terbiasa dengan stereotipe penuh semangat dan menggebu-gebu yang melabeli dirimu.”

 

Jackson tidak membuka mulutnya. Dia membiarkan Youngji berbicara lebih lama, menatap mata gadis itu lekat-lekat.

 

“Tapi mengetahui ada versi lain dari dirimu yang tenang seperti ini sedikit melegakanku. Karena melihatmu riang dan bersemangat setiap hari kadang membuatku khawatir dan bertanya-tanya, apakah anak ini hanya berakting, apakah dia sungguh-sungguh, apakah dia tidak berbohong. Melihatmu muram membuatku menyadari, pada akhirnya, kau masih waras. Kau masih manusia.” Youngji kemudian tertawa untuk alasan yang tak jelas, mungkin karena dia berpikir apa yang diucapkannya barusan tidak masuk akal, mungkin sebenarnya dia juga sudah ikut mabuk.

 

“Kau pikir apa yang akan terjadi jika aku tinggal lebih lama?” Jackson bertanya padanya, berusaha menggeser semua celotehan Youngji sebelumnya jauh-jauh dari mereka.

 

“Entahlah,” Youngji mengedikkan bahu, menangkap sosok Jackson di tengah kegelapan malam lewat sudut matanya. “Mungkin kau akan tetap seperti yang sekarang, aktif di dunia hiburan ini, menjadi publik figur, membuat orang-orang tertawa.”

 

“Kupikir itu yang membuatku ingin berhenti.” Jackson bergumam lembut. “Mungkin aku mulai lelah dengan semua ini, bertahan di tempat yang sama terus-menerus. Mendapatkan semua yang kau mau—uang, ketenaran, perhatian—tapi tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya kau butuhkan.”

 

“Lalu,” Youngji berdeham, “apa yang sebenarnya kau butuhkan?”

 

Jackson meringis keras. “Kenapa kau selalu menanyakan hal yang tak bisa kujawab?!”

 

“Aku tidak tahu!” Youngji ikut menaikkan nada suaranya, menoleh ke balik joknya sekilas untuk memastikan tidak ada yang terbangun karena dirinya. “Berhentilah memulai pertengkaran. Kita sudah terlalu tua untuk terus bertengkar.”

 

Jackson tidak menjawab, jadi Youngji pikir itu pertanda kalau lelaki itu setuju. Jackson terdiam beberapa saat, sebelum mulai membuka mulutnya lagi. “Aku tidak berpikir apa yang kubutuhkan ada di sini, karena itulah aku memutuskan untuk tidak tinggal lebih lama.”

 

“Jadi kau membenci hal ini—karirmu di sini?”

 

“Kadang ya, kadang tidak. Kau tahu maksudku.” Jackson tersenyum tipis. Setiap artis selalu punya masa-masa itu, jatuh cinta pada pekerjaannya dan dalam sekejap membencinya setengah mati. Hal itu sudah biasa di dunia hiburan seperti ini. “Tapi kadang, ada waktunya untuk memberitahu dirimu sendiri untuk berhenti. Bahwa ini semua sudah cukup, malah lebih dari cukup.”

 

Youngji turut tersenyum, merasa puas dengan jawaban lelaki itu dan mencoba menghormati keputusan yang dipilihnya. Mereka berhenti bicara tentang masa depan selama perjalanan, karena Youngji cukup sensitif untuk sadar bahwa Jackson tidak terlalu menyukai topik tersebut. Youngji menghidupkan radio, memilih siaran yang memutarkan lagu kesukaan mereka. Jackson membuka jendela, membiarkan angin musim gugur yang menusuk masuk ke dalam mobil.

 

Jackson menaikkan kedua kakinya di dasbor mobil—Youngji mengomelinya untuk beberapa saat, tapi akhirnya menyerah—dan mengeluarkan tangannya lewat jendela. Sesekali dia juga menyembulkan kepalanya ke luar sana, sesekali Youngji bisa melihat senyum lelaki itu perlahan muncul. Senyum tipikal Jackson, senyum yang sering Youngji temukan dulu, senyum yang tulus dan penuh semangat.

 

Bahkan, di balik kerutan di wajah mereka dan kantung mata yang tebal dan segala mimpi buruk yang seharusnya tak mereka lihat di industri ini, mereka masih orang yang sama seperti saat mereka pertama kali bertemu.

 

#

 

Manajemen meluncurkan berita tentang akhir karirnya seminggu sebelum dia terbang ke Hongkong. Internet menjadi gempar, netizen mengumbarkan banyak spekulasi tentang hal ini. Beberapa berpikir bahwa Jackson tidak melanjutkan kontrak karena hal yang buruk, Yugyeom menunjukkan artikel tersebut pada Jackson sambil tertawa.

 

Keenam pemuda lainnya membantu Jackson mengepak barang-barangnya, mengirimnya lebih dahulu lewat jasa pengiriman kilat. Jackson menghabiskan sisa minggunya di Korea hanya untuk duduk di asrama bersama anggota lain dan menerima tamu yang ingin mengucapkan salam perpisahan padanya.

 

Di hari jadwal penerbangannya, semua anggota turut mengantarnya ke bandara. Tidak banyak penggemar yang tahu soal ini, tidak banyak kamera yang beredar di bandara, jadi Jackson merasa lega.

 

Jinyoung hyung juga muncul di sana, beserta beberapa teman yang tidak keberatan untuk mengemui selama satu jam menuju Incheon. Jackson benar-benar berterimakasih pada mereka semua dan memeluk satu per satu orang yang ada di sana. Yugyeom mulai menangis, tapi Jackson berjanji pada dirinya sendiri dia takkan menitikkan air mata.

 

Ketika Jackson memeluk Youngji, dia merasakan tubuh gadis itu bergetar. Youngji juga menangis, Jackson tahu, jadi dia memeluknya sedikit lebih lama daripada yang dia kira. Setelah Jackson melepaskan pelukannya, dia berkata, “Tidak apa-apa. Bukan berarti aku takkan bertemu kalian lagi.”

 

Kemudian Jackson memeluk lelaki di sebelah Youngji, menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Tidak, dia tidak akan menangis. Tidak di depan mereka semua. Napasnya tercekat saat berkata, “Jaga Youngji baik-baik.”

 

Jackson bisa merasakan Minho mengangguk dan memeluknya lebih erat. “Sampai jumpa, kawan.” Minho berkata setelah mereka berpelukan.

 

Jackson memeluk teman-teman yang lain lagi sebelum melambaikan tangan pada semua orang dan membungukkan badannya. Lalu dia meraih kopernya, menggenggam erat tiket serta pasya, dan berjalan masuk ke dalam ruang tunggu. Berjalan, berjalan, berjalan, tanpa melihat ke belakang.

 

Karena dia tak mau semua orang yang dia tinggalkan melihat air matanya.

 

#

 

Jackson adalah orang terakhir yang Youngji antar pulang malam itu.

 

Saat Youngji menghentikan mobilnya di depan gedung apartemen Jackson, dia mendadak bertanya. “Apakah kau akan merindukanku?”

 

Jackson mendengus keras. “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja aku akan merindukanmu.”

 

Jackson segera membuka pintu mobil dan meloncat turun. Namun sebelum dia membanting pintu hingga tertutup, dia hanya berdiri di sana dan memandang Youngji yang masih tersenyum. Mendadak memori belasan tahun lalu berkelebat dalam pikirannya.

 

Jackson melihat Youngji lagi, dan mungkin dia sudah terlalu mabuk, tapi dia pikir dia bisa melihat wajah Youngji setiap hari tanpa henti. (Sungguh, dia benar-benar sudah mabuk.)

 

“Aku akan datang ke bandara untuk melihatmu minggu depan, bersama Minho.” Youngji tersenyum dan segera melambaikan tangannya. “Sampai jumpa, Wang Jackson!”

 

Pintu tertutup dan ban mobil mulai bergerak. Jackson menunggu di depan gedung apartemennya, hingga dia tidak bisa melihat mobil Youngji lagi.

 

“Sampai jumpa, Heo Youngji.”

 

 

#

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Dodio16 #1
Chapter 1:
1012yes #2
Chapter 1: sebenernya masih ada kelanjutannya ga siih ?? kenapa akhirnya bikin nyesek gini ya ampuuun
1012yes #3
Chapter 1: huaaaaah sumpah sedih bangeeet
miszeeta #4
Chapter 1: Andwaeeeee!!! *kwangsoostyle*
Altariaaa #5
Chapter 1: Ini seru banget. Sedihnya dapet, feelnya ... authornim jjang!!
ryulian #6
Chapter 1: Ahhhh,,, keren banget ini ceritanya, sedihnya dapet, ngena banget. Sequel pleaseeee
kimeunsoo
#7
Chapter 1: Aaaakkk! The plot twist!! I nearly screamed out loud at the airport scene ㅠㅠ
This is so sad, really. Especially the airport scene. I thought I've read about the mino thing but completely forgot about it, until the sentence about a man beside youngji appeared. Ah. Can't explain my feelingsㅠㅠ
Also, I do actually ship youngji with mino and I've read a jackji fic with mino as the plot twist but it wasn't this saaad. And it's kinda rare to find an indonesian fic with good plot and good writing style. Appreciate your work!!^^
koreadaebak #8
Chapter 1: Oh man this is so sad!! And the fact youngji has been end up with minho make this story more sadden TT.TT

btw storynya bagus n suka bgt cara author menuliskan alur ceritanya. kaya baca novel. Semoga lanjut membuat kisah2 jackji lainnya yg lebih indah yah ;)
parkhaa #9
Yaahh,, lanjutin dong.. Please
Sampai jackson and youngji menikah
Jebaall
emmadiangelo17
#10
Chapter 1: Why?? knp bikin cerita sedih begini??
tapi good job lah author~