Final

Too Lucky To Have You

 

I found you, in my darkest hour
I found you, in the pouring rain
I found you, when I was on my knees
And your light brought me back again
Found you in the river of pure emotion
I found you, my only truth
I found you with the music playing

I was lost 'til I found you

(The Wanted - I Found You)

 

X x x X

 

Choi Minho, seorang namja paras tampan dan proporsi tubuh yang sempurna merupakan salah satu mahasiswa popular di universitasnya. Prestasinya dalam bidang akademik maupun non-akademik dipuji oleh banyak orang. Tidak heran banyak perempuan atau bahkan laki-laki yang menggilainya.

 

Berbanding terbalik dengan segala prestasi yang di dapat dari olah otaknya itu, nilai dalam kehidupan sosialnya masih bobrok. Playboy. Ya, mungkin itu satu kata yang cukup untuk mendeskripsikan seorang Choi Minho dalam prespektif sosialnya.

 

Tipikal mahasiswa popular lainnya, Choi Minho dan genk-nya itu hampir setiap malam akan mengunjungi sebuah club terkenal di Seoul atau bahkan berpindah dari satu pesta ke pesta lainnya. Gemerlap kehidupan hedon itu tidak dapat dia lepaskan dari dirinya.

 

Setidaknya itu yang ada dalam benaknya.

 

Sampai pada suatu hari ia bertemu dengan seseorang yang berhasil memutar balikkan segala idealisme kehidupan bodoh dalam otak jeniusnya itu.

 

Lee Jinki.

 

Namja yang selalu berada di sudut perpustakaan, terlihat dengan tekun membaca buku yang berada di hadapannya tanpa mengindahkan keadaan sekitarnya. Minho pernah beberapa kali mendengar namanya sebagai pemegangan nilai tertinggi di jurusannya.

 

Entah bagaimana rasa penasaran mulai menyelimuti Minho, dia mulai mencari-cari segala informasi tentang Jinki dengan mudah. Tentu saja karena dia memiliki berbagai macam sumber informasi.

 

Setiap sore pukul tiga, Jinki akan datang ke perpustakaan kampus, menempati satu sudut yang sama. Terpaku diam disana selama beberapa jam hanya untuk membaca, dia bahkan akan menghabiskan beberapa jam lebih lama jika sedang mengerjakan tugas. Mata karamelnya itu begitu lekat dan serius melakukan semua itu.

 

Dia tidak pernah menyadari, bahwa seorang Choi Minho selalu memandanginya dari meja yang bersebrangan.

 

Memang sebenarnya bukan hobi Minho untuk mengunjungi perpustakaaan, tapi bukan berarti dia sama sekali tidak pernah memijakkan kakinya ke tempat tua itu. Belajar untuk ujian tengah semester selalu dia jadikan alasan agar bisa mampir kesana setelah jam kuliah berakhir dan teman-temannya selalu memaklumi hal itu, karena walau bagaimana pun Minho tidak akan membiarkan prestasinya itu turun.

 

Sore itu pun Minho datang lagi ke perpustakaan. Matanya langsung menangkap sosok Jinki yang sudah menempati meja di sudut yang sama. Setelah mengambil beberapa buku, Minho nempati meja yang bersebrangan dengan namja itu.

 

Tangannya itu dengan cekatan menulis beberapa poin-poin penting dari buku filsafat, namun matanya itu sesekali melirik kearah namja berparas manis yang hanya berjarak beberapa meter dari hadapannya.

 

Dia masih tidak tahu, kenapa dia bisa begitu penasarannya dengan namja pasif itu. Padahal mereka sama sekali tidak pernah berbicara. Pertemuan satu arah ini pun hanya terjadi di perpustakaan, tapi Minho sama sekali tidak bisa melepaskan pandangannya dari namja itu.

 

“Hey, Minho-ya!” Sebuah tepukan di pundak berhasil membuyarkan lamunan Minho. Dia menoleh kesamping hanya untuk menemukan seorang namja blonde yang tengah tersenyum lebar kepadanya.

 

“Apa yang seorang Lee Hongki lakukan di perpustakaan, huh?” Minho langsung menghujam namja itu dengan pertanyaan sarkastik karena telah berhasil menghancurkan konsentrasi belajarnya. Well… belajar mengintai Lee Jinki.

 

Namja bernama Hongki itu terkekeh, memamerkan ginsulnya. “Jangan kau kira hanya kau saja yang butuh belajar, Minho-ya. Aku harus memperbaiki nilaiku agar orang tuaku mengizinkanku bermain dalam band lagi.”

 

Minho mengangguk setuju. “Yeah.. kegiatan bandmu itu benar-benar banyak menyita waktumu.”

 

Said someone who sometimes call as a party-addicted.” Kali ini Hongki berhasil membalas sarkasme Minho.

 

“Aku bukan party-addicted, hyung.” Minho mengelak. “Bagaimana dengan band ? Sukses ?”

 

“Ya, kau bisa melihat dari berapa banyak postingan foto yang ku-update setiap kali manggung.” Hongki mengembangkan senyum kebanggaannya. “Kalau kau kembali, pasti band kita akan lebih terkenal.”

 

Minho hanya tertawa kecil. Ya, setahun yang lalu Minho dan Hongki berada dalam band yang sama. Dikarena beberapa masalah dan perbedaan pendapat, Minho angkat kaki dari band tersebut namun sampai saat ini mereka masih bisa menjalin pertemanan dengan baik.

 

“Kau sendirian kesini, hyung?” Minho memulai dengan topik pembicaraan lain.

 

“Tidak. Aku kesini sekalian ingin bertemu…. Oh, Onew hyung!”

 

Minho seketika terdiam saat Hongki menyapa namja di sebrangnya. Namja yang biasanya diam terpaku, menoleh keasal suara tersebut.

 

Onew?

 

“Hey, hongki. Kenapa lama sekali huh?” Jinki mulai membereskan buku-buku dan catatannya kedalam tas, lalu menghampiri Hongki yang masih berdiri disebelah Minho.

 

“Maaf, hyung tadi aku ada urusan dengan dosen.”

 

“Aku sudah lama menunggumu sampai bosan, tahu.” Ujar Jinki dengan nada sedikit ketus.

 

Hongki hanya terkekeh. “Oh ya, hyung. Kenalkan ini Choi Minho, temanku.” Hongki menepuk pundak Minho.

 

Minho berdiri dari kursi, lalu menghadap langsung dengan Jinki. Dalam hati dia sudah mengucap beberapa rutukan pada Hongki untuk memperkenalkan dirinya secara tiba-tiba, namun karena sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini Minho hanya mengembangkan seulas senyum sambil sedikit membungkukkan badannya.

 

“Choi Minho.”

 

“Lee Jinki imnida ~ ” Jinki membalas dengan gesture yang sama. “Aku tidak menyangka kalau kau berteman dengan Hongki, Minho-sshi.”

 

‘He knows me?’

 

Berbagai macam pertanyaan tiba-tiba kembali bermunculan dalam benaknya. Sepertinya informasi yang dia dapat mengenai Lee Jinki masih kurang detail.

 

“Aku sudah pernah bilang padamu, hyung kalau Minho pernah bergabung dalam bandku.” Hongki menjawab duluan.

 

“Oh iya, aku lupa.” Jinki tersenyum, memamerkan eye-smile dan gigi kelincinya.

 

DEG.

 

what was that?’ Minho terdiam sesaat.

 

“Baiklah. Kami duluan ya, Minho. Sampai nanti~ “ Hongki melambai sambil menyeret Jinki keluar dari perpustakaan.

 

Setelah kedua namja itu tidak terlihat lagi, Minho kembali terduduk sambil merutuki dirinya. Entah apa yang terjadi padanya, namun senyum manis Jinki masih terpatri dengan jelas dalam memorinya.

 

X x x X

 

Malam semakin larut, namun kehidupan malam di kota Seoul baru saja dimulai. ‘Lucifer’ salah satu klub malam terkenal di Seoul merupakan tempat yang biasanya di kunjungin Minho bersama dengan genk-nya.

 

Di lantai VIP mereka bersama dengan beberapa wanita  seksi duduk, berbagai jenis minuman keras tersedia di meja. Minho duduk terdiam dengan segelas vodka di tangannya, dia sama sekali tidak fokus dengan pembicaraan yang di lakukan oleh teman-temannya.

 

“Minho, bagaimana menurutmu ?”

 

“Huh? Apa?” Minho menoleh pada Jonghyun yang tadi sudah menyikut lengannya.

 

Jonghyun berdecak pelan. “Kau bengong saja dari tadi. Kami membicarakan wanita disana, haruskan kita mengajaknya kesini?”

 

Mata Minho mengikuti arah pandang Jonghyun pada seorang yeoja berbalut mini-dress motif leopard yang cukup ketat namun melekat dengan sempurna pada tubuhnya. Rambut blonde-nya tergerai dengan indah. Yeoja itu menoleh kearah Minho, mata mereka bertemu. Obisidan itu memancarkan aura seduktif yang tidak dapat ditolak oleh namja manapun.

 

Dengan langkah bak model, dia berjalan ke lantai dansa. Meliuk-liukan tubuhnya dengan gerakan menggoda, matanya masih tertuju pada Minho.

 

“Sepertinya hari ini hari keberuntunganmu, Minho.” Jonghyun menyengirai setelah memperhatikan kontak diam mereka berdua.

 

Minho terdiam, dalam benaknya masih tersirat jelas sebuah senyuman. Dia tidak tahu kenapa dia sama sekali tidak bisa menghilangkan namja itu dari pikirannya. Baru kali ini dia memikirkan seseorang dengan begitu intensnya.

 

People come and go.

 

Itu salah satu alasan mengapa Minho tidak pernah bertahan dalam satu hubungan. Dia juga tidak pernah mempedulilan sesuatu dengan begitu serius, terkecuali dalam hal akademik. Selain itu tidak ada lagi hal cukup pantas untuk di pertahankan untuknya.

 

“Yah! Kau mau mendekati yeoja itu atau tidak ? kalau tidak aku yang akan kesana.” Timpal Dongwoon yang sedari tadi masih belum mendapatkan seorang yeoja pun dalam pangkuannya.

 

Pemikiran Minho teralihkan. Dia menghunuskan pandangan tajam pada Dongwoon. “Tidak, tidak.. dia mangsaku.” Minho meneguk habis vodkanya lalu beranjak mendekati yeoja tersebut.

 

Dongwoon mengerang kecewa, diikuti dengan gelak tawa yang lain.

 

Tidak sulit untuk seorang Choi Minho mendapatkan kepuasan duniawi, karena pada dasarnya tidak ada satu pun orang yang dapat menolak entitas dirinya. Tidak heran kalau banyak yeoja maupun namja yang jatuh kepelukannya dengan mudah.

 

Namun arogansi yang dimilikinya itu tidak akan mau membiarkan salah seorang pun mengklaim dirinya. Dia memilih bebas. Tanpa ikatan. Tidak ingin terbelenggu dalam suatu hubungan yang hanya membuang waktu.

 

Menyangkal.

 

Dia selalu menyangkal apapun yang bertahan lama dalam memorinya. Minho merapatkan dirinya pada yeoja tersebut, mencoba mengalihkan bayangan seseorang yang bermunculan dalam otaknya. Pengalihan yang dilakukan dengan melimpahkan hasrat pada orang lain.

 

Metode bodoh yang biasa dilakukan seorang Choi Minho.

 

Pagi itu dia terbangun, sebuah tangan melikar pada pinggangnya. Dia menoleh kesamping, menemukan sosok yeoja semalam masih tertidur pulas. Pakaian mereka berserakan di lantai. Senyum kemenangan hampir terpatri di bibirnya, namun bayangan namja berparah manis bernama Lee Jinki itu kembali muncul.

 

Minho mengacak rambutnya dengan sedikit frustasi. Sebenarnya ada apa dengan dirinya ?

 

Hari itu Minho masih tetap mengunjungi perpustakaan. Mengambil tempat yang sama, bersebrangan dengan meja Jinki. Ia semakin penasaran dengan perasaan aneh yang menjalar pada dirinya saat ini. Bagaimana seorang Lee Jinki bisa membuatnya seperti itu ?

 

“Oh.. hei, Minho-sshi.” Minho cukup kaget dengan sapaan dari namja tersebut. Biasanya dia sama sekali tidak mengindahkan orang maupun keadaan sekitarnya jika sedang berkutat dengan buku.

 

Sebuah senyum manis kembali menghiasi wajahnya.

 

“Hei, Jinki hyung.” Ia menaruh buku-bukunya dimeja, membalasnya dengan sebuah senyum simpul.

 

Jinki tertawa kecil. “Kau bisa memanggilku ‘Onew’, itu nama panggilanku.”

 

“Ah, tapi sepertinya lebih sopan kalau memanggil ‘Jinki hyung’.”

 

“Well.. terserah padamu, sih.” Sebuah pembatas buku ia sematkan pada buku yang tengah dibacanya. “Kau sering datang kesini ?”

 

Tepat seperti dugaan Minho, Jinki memang tidak pernah memperhatikan dirinya sebelum dikenalkan oleh Hongki. Padahal dia cukup sering mengunjungi bersamaan dan mereka duduk saling berhadapan.

 

“Ya, begitulah.” Minho menjawab singkat.

 

“Oh ya, kau jurusan sastra kan?” Tanya Jinki yang dibalas dengan anggukan oleh Minho. “Kebetulan sekali, aku sedang tertarik dengan sebuah no– AH!”

 

BRUK!

 

Sebelum Jinki berhasil beranjak dari meja, kakinya tersandung dengan kaki kursi. Tubuh Jinki terhempas kelantai dengan cukup keras. Membuat kegaduhan yang dapat terdengar oleh seluruh pengunjung perpustakaan. Dengan panik Minho segara menghampiri Jinki, membantu namja itu untuk duduk.

 

Hyung! Hyung, gwaenchaha?

 

Sambil mengaduh, Jinki memegangi lututnya yang terbentur. “Appo..” Ia meringis, kedua obsidian itu terlihat berair menahan tangis.

 

“Pft- ..” Minho mencoba menahan tawanya. Ekspresi Jinki benar-benar sangat lucu. Mirip seperti anak kecil, padahal Jinki merupakan sunbaenya.

 

“Yah! Jangan tertawa, Choi Minho.” Jinki mengerucutkan bibirnya sebal, sebuah pukulan kecil mendarat di pundak namja tersebut.

 

Minho pun hanya bisa terkekeh pelan. “Kau benar-benar ceroboh, hyung.”

 

“Aku pun tidak tahu mengapa gravitasi sangat mencintaiku.” Ia berkata dengan nada sarkasme.

 

Minho mengulurkan tangannya, membantu namja itu untuk berdiri. Senyum cerah kembali mengembar diwajah Jinki seraya mengucapkan terima kasih.

 

DEG.

 

Minho kembali terdiam. Suara itu semakin jelas. Getaran itu semakin membucah. Seperti sengatan listrik pada setiap sendi dalam tubuhnya.

 

Tapi logikanya kembali bermain saat ini, sehingga tidak ada reaksi apa pun yang terpancar dari wajah maupun gesture tubuhnya. Hanya sebuah senyum kecil yang terpatri diwajah Minho.

 

“Apa yang ingin kau bicarakan tadi, hyung ?”

 

“Oh, aku sedang tertarik dengan sebuah novel detektif. Iniii !” Sebuah novel bersampul coklat ia tunjukan dengan mata yang berbinar.

 

“Sherlock Holmes ?” Minho menaikkan satu alisnya. Bukan hal asing lagi untuk seorang mahasiswa jurusan sastra Inggris dengan novel karya Sir Arthur Conan Doyle. Novelis Inggris spesialis novel misteri yang cukup banyak dijadikan contoh untuk penelitian penerjemahaan.

 

Jinki mengangguk. “Caranya dalam memecahkakn kasus sangatlah mengagumkan. Sulit untuk tidak terlarut dalam setiap ceritanya.”

 

“Ya, novel itu juga merupakan bahan untuk Penelitian Ilmiahku semester lalu.”

 

“Jinjja?! Wah, tak kusangka ternyata kau juga menyukainya. Tapi… mahasiswa peringkat tertinggi sepertimu memang sepantasnya menyukai hal-hal seperti ini.”

 

“Sepertinya kata-kata itu juga berlaku untukmu, hyung.” Seulas senyum kembali dikembangkan.

 

“Ah, kau tahu hal itu.” Sekilas terlihat semburat merah jambu dikedua pipinya. Rendah hati. Seperti yang dikatakan oleh para infroman Minho. Lee Jinki bukanlah seseorang yang menyombongkan segala hasil jerih payahnya.

 

Sikap manis itu justru semakin membuat Minho semakin jatuh pada entitas Jinki. Diacaknya surai brunette rambut Jinki dengan lembut. “Apa yang seorang Choi Minho tidak tahu.”

 

Ditepisnya tangan Minho dengan cepat. “Hormati sunbaemu ini, Minho-sshi.” Ucap Jinki tanpa berani menatap langsung wajah hoobaenya itu.

 

“Minho.”

 

“Huh?”

 

“Cukup panggil aku ‘Minho’.”

 

Kali ini kedua obsidian itu saling bertemu. Minho menatap Jinki dengan pancaran yang sulit di tebak, namun terlihat sungguh menawan. Membuat kedua pipi Jinki kembali bersemu merah.

 

Jinki menundukkan kepalanya sedikit, mencoba menyembunyikan wajahnya. Sebuah anggukan kecil dia berikan sebagai jawaban. “Ne, Minho.”

 

X x x X

 

Semakin sering Minho bersama dengan Jinki, semakin berkurang segala kebiasaan-kebiasaan buruk Minho. Dia semakin memfokuskan dirinya untuk tujuan akademik. Kehidupan sosialnya masih berjalan dengan baik, namun hang out malam dengan genk-nya semakin jarang.

 

Tidak lagi ada pesta.

 

Tidak lagi ada minum-minuman keras.

 

Tidak lagi ada sosok yeoja atau pun namja berbeda yang pada setiap kali dia bangun pagi.

 

Lelah. Minho sudah tidak ingin lagi bermain-main dengan segala kegiatan kaum hedonisme itu. Mindset sosial bodohnya itu berubah dengan semakin seringnya entitas Jinki merasuki jalar logikanya. Lee Jinki telah melemahkan semuanya. Dia berhasil memonopoli atensi maupun pemikirannya.

 

Kali ini Minho tidak ingin pengalihan. Bahkan tidak butuh.

 

Saat ini dia hanya ingin Jinki dalam rengkuhannya.

 

“Min.. ? Hey, Stupid frogie!”

 

Minho meringis saat sebuah buku berhasil mendarat di kepalanya. Lamunannya siang itu kembali di hancurkan oleh orang yang justru merupakan pusat atensinya.

 

What is it, hyung?

 

“Kau bengong saja daritadi, mendengarkan ceritaku atau tidak?” Jinki berdecak sebal sambil memakan sandwich tuna, menu makan siangnya.

 

“Maafkan aku hyung, aku tadi hanya sedang menganggumi dirimu.” Senyum sejuta kilowatt terbentuk diwajahnya.

 

Seketika itu juga Jinki berhenti mengunyah. Seluruh wajahnya berubah menjadi merah padam. “Yah. Dasar gombal!” Jinki mencoba mendaratkan jitakan ke kepala Minho, namun dengan sigap Minho menghindarinya.

 

Dia tertawa lantang melihat reaksi Jinki. Benar-benar bukan tipikal orang yang pandai berbohong, karena semua yang dia rasakan dapat terlihat langsung pada reaksi wajahnya. Minho memang sering menggoda Jinki seperti itu, tapi sejatinya semua perkataan itu bukannya gombalan semata. Ia hanya mengatakan apa yang ia rasakan dengan jujur.

 

Kali ini Minho ragu.

 

Baru kali ini seorang Choi Minho ragu tidak akan bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Ia bahkan tidak tahu kalau Jinki akan menyukai namja sepertinya. Dia tahu Jinki pernah menjalin hubungan dengan beberapa yeoja sebelumnya, namun tidak dengan namja.

 

Hal itu terkadang membuatnya frustasi. Namun dia selalu bertekad, akan mengejar apapun yang sudah menjadi tujuannya sampai dia dapat. Dan dia tidak akan menyerah, tidak sampai pada saat Jinki benar-benar tidak mau melihat wajahnya lagi.

 

As clueless as ever.

 

Lee Jinki memang bukan tipikal namja yang peka dalam hal percintaan. Namun, Minho memang tidak pernah secara blak-blakan mengatakan sedangan mendekati dirinya. Mereka hanya membiarkan semuanya terjadi secara alami. Pertemanan merupakan awal yang tepat bagi mereka.

 

“Oh ya, hyung. Hari ini kita jadi melihat latihan band Hongki hyung?” Minho teringat dengan janji yang sudah dibuat dengan Hongki. Mereka biasa latihan disalah satu studio yang tak jauh dari kampus.

 

Dengan alasan ingin memamerkan kualitas vokalnya pada Jinki, Hongki berhasil mengajak mereka berdua untuk menemaninya. Padahal Minho tahu betul tujuan utama Hongki adalah untuk bernostalgia saat mereka masih dalam satu band yang sama.

 

Jinki melirik jam tangannya. Waktu hampir menunjukan pukul dua, waktu yang mereka janjikan pada Hongki. “Ah kau benar, ayo kita kesana!” Jinki bergegas menghabiskan makan siangnya, lalu menarik Minho keluar dari kafetaria.

 

Sesuai dengan dugaan Minho. Sesampainya disana Minho langsung disuguhi sebuah gitar oleh Hongki.

 

“Ayolah, Minho. Kita main bersama sekali saja, oke?” Hongki menatapnya dengan puppy eyes yang super duper aegyo.

 

Namun Minho malah memasang wajah datar. Justru rasanya dia ingin mencolok kedua mata Hongki (?) karena kesal.

 

“Tak apa, Minho-ya. Aku ingin melihat kau bermain gitar.” Kalimat yang terlontar dari Jinki itu berhasil mengubah jawaban Minho. Jinki duduk menatapnya dengan penuh antisipasi.

 

Minho pun mengambil gitar yang diberikan Hongki. Alunan lagu Severely memenuhi tiap sudut ruangan. Sudah cukup lama Minho tidak memegang alat musik petik itu, terasa sedikit canggung baginya. Dia mencoba untuk mengabaikan kehadiran Jinki karena jika menoleh sedikit saja, konsentrasinya akan langsung buyar.

 

Lagu berakhir disambut dengan tepuk tangan meriah dari satu-satunya penonton dalam studio itu. “Wah, kalian hebat! Minho-ya, kenapa kau tidak kembali dalam band saja?” pertanyaan itu dengan gamblangnya terlontar.

 

Wajah datar kembali dipasangnya. “Ain’t as easy as it seems.” Minho memberikan kembali gitar itu kepada Hongki.

 

Aura awkward mulai menyelimuti. Anggota band lainnya hanya bisa terdiam.

 

Hongki tertawa kecil. “Anyway, kalian harus menonton kami saat manggung di festival kampus minggu depan. Awas saja kalau kalian tidak menonton.” Hongki menunjukan pada mereka brosur festival mendatang.

 

“Tentu saja kami akan datang~”  Jinki langsung menyetujuinya.

 

Minho melirik tanggal yang tertera pada brosur itu. “Aku tidak janji akan datang ya.”

 

“Eh? Wae?!” Pertanyaan itu terlontar bersamaan dari Jinki dan Hongki.

 

“Aku sudah ada janji dengan dongsae– “

 

Belum sempat Minho menyelesaikan kalimat. Dua obsisidan namja bermarga sama itu langsung memelas, memancarkan tatapan belas kasihan layaknya anak anjing yang tersesat.

 

“Yah! Kalian tidak bisa memaksaku seperti itu.” Satu persatu Minho menyentil kening kedua namja bermarga Lee tersebut, walaupun notabennya mereka berdua adalah hyungdeulnya.

 

Mereka berdua meringis sambil mengusapi keningnya. “Hyung, pokoknya kau harus berhasil menyeret si frogie itu untuk menonton.”

 

“Baiklah, Hong. Aku pasti akan berhasil.” Jinki memberikan thumbs up dengan mantap.

 

Minho hanya bisa face palmed melihat tingkah kedua hyungdeulnya itu. Mereka benar-benar kompak kalau dalam hal seperti itu. Tanpa Minho sadari, Minho semakin sering bergaul dengan mereka dibanding dengan genk-nya.

 

Latihan itu selesai sampai sore, langit sore itu di selimuti dengan awan abu-abu yang tebal. Tidak dalam hitungan jam, hujan pun turun dengan deras. Minho dan Jinki yang saat itu tengah berjalan santai harus berlari-larian dibawah hujan. Beruntunglah apartment Minho letaknya tidak jauh dari situ.

 

Seluruh pakaian mereka sudah benar-benar basah. Tubuh Jinki sudah menggigil dengan suhu udara yang menurun drastis. Minho segera mengambil handuk dan pakaian ganti. Selagi  Jinki berganti pakaian, Minho membuatkan dua cangkir coklat panas di dapur.

 

“Min...” sebuah panggilan lirih terdengar dari arah kamarnya. Kepala Jinki tersembul keluar dari balik pintu.

 

“Waeyo, hyung? Ada lagi yang kau butuhkan?”

 

Jinki menggelengkan kepalanya. Secara perlahan dia keluar dari balik pintu. “Sepertinya hoodiemu ini terlalu besar untukku.” Jinki berkata dengan wajah yang tertunduk malu.

 

Hoodie putih itu sengaja dia berikan untuk Jinki karena cukup tebal. Namun ternyata memang kebesaran untuk Jinki, membuatnya terlihat kecil. Minho tertawa sambil mendekati Jinki, ditariknya pipi chubby hyungnya itu dengan gemas.

 

You’re so cute, hyung. Like a bunny.”

 

Jinki langsung menepis tangan Minho dari pipinya. “I’m not cute!” elak Jinki, mencoba menghunuskan pandangan tajam pada Minho yang justru membuatnya semakin terlihat manis.

 

Mereka duduk berdampingan di sofa, menonton acara televisi dengan dua cangkir coklat panas. Sambil sesekali mereka bertukar cerita, tanpa menyadari waktu berlalu dengan cepat. Padahal Minho sangat berharap waktu berjalan dengan lambat saat mereka bersama, agar Ia dapat menikmati setiap detiknya.

 

Jinki terbelak saat menyadari bahwa malam sudah hampir larut. Ia bergegas membereskan barang-barangnya untuk pulang.

 

“Bagaimana kalau kau bermalam disini saja, hyung? Sepertinya hujan baru akan berhenti di pagi hari.” Ujar Minho, dengan nada berharap bahwa Jinki tidak akan pulang.

 

Jinki menggelengkan kepalanya. “Tidak apa-apa, Minho-ya. Masih belum terlalu larut, boleh aku meminjam payungmu?”

 

“Aku tidak punya payung.”

 

Bohong. Choi Minho berbohong. Padahal ada satu payung yang tergeletak dekat rak sepatu, tampaknya Jinki tidak menyadari hal itu.

 

“Kalau jas hujan?”

 

Minho menggeleng.

 

Jinki menghela napas panjang. Minho memiliki sebuah kendaraan yang bisa mengantarnya pulang, tapi hal itu justru akan lebih merepotkan dirinya karena rumah Jinki cukup jauh. Mau tak mau Jinki pun akhirnya bermalam di apartment Minho.

 

Setelah berganti dengan piyama dan bersiap untuk tidur. Jinki baru menyadari bahwa hanya ada satu kamar tidur di apartment itu. Dia melirik Minho yang sedang mengambil selimut baru dari dalam lemarinya, tangan satunya sudah menenteng sebuah bantal.

 

“Aku akan tidur di sofa. Hyung silahkan tidur disini.” Belum sempat Minho keluar dari kamar, tangan Jinki sudah menghentikan langkahnya.

 

“Aku saja yang tidur di sofa, kau kan pemilik apartment ini.”

 

“Dan kau adalah tamuku, hyung.”

 

“Tapi… “ Jinki terdiam sesaat. Berpikir. “Kalau begitu lebih baik kita tidur dikasur saja, kasurmu juga cukup besar untuk berdua.”

 

Sebuah seringai terbentuk di bibirnya. “Oh, jadi kau ingin tidur satu kasur denganku, hyung?” Ia berkata dengan nada menggoda.

 

Dalam sekejap wajah Jinki langsung memerah. Dia mendaratkan sebuah jitakan ke kepala Minho. “Bu-bukan seperti itu maksudku, dasar kodok mesum! Sana, tidur di sofa saja.” Jinki buru-buru menyembunyikan dirinya dalam selimut diatas kasur.

 

Minho tertawa. Dia berbaring disebelah Jinki. Dengan natural tangan Minho langsung melingkari pinggang Jinki dari belakang. Membuat namja itu terhentak kaget. Ia mencoba melepaskan tangan Minho, namun usahanya itu justru membuat hoobaenya itu semakin merengkuhnya dengan kuat.

 

Jinki menyerah. Tapi hembusan napas Minho yang menerpa leher dan pundaknya itu membuat sekujur tubuhnya merinding, jantungnya semakin berpacu dengan cepat. Ia tidak lagi dapat membayangkan seberapa merah wajahnya saat ini.

 

Hening. Hanya terdengar suara bulir hujan yang menghantam bumi dengan bising. Minho semakin menarik Jinki dalam rengkuhannya. Dia dapat merasakan bahwa hyungnya itu tampak takut dengan skinship yang dilakukannya saat ini. Namun dia tidak peduli.

 

Hangat.

 

Suhu dan wangi tubuh Jinki begitu hangat dan memabukkan. Minho sama sekali tidak mau melepaskan namja itu dari pelukannya.

 

Sebuah kecupan lembut mendarat di pipi Jinki. Membuat namja itu semakin menggila. Dia tidak tahu lagi bagaimana bisa menghindari Minho sampai sebuah kata terlontar dari mulutnya.

 

“Salah.”

 

Minho mencoba memproses satu kata itu dalam otaknya. Pikirannya begitu absurd sehingga dia tidak bisa menemukan satu makna dari kata tersebut.

 

“Tidak seharusnya seperti ini.” Jinki kembali meneruskan.

 

“Apa maksudmu, hyung?”

 

Jinki memutar badannya, menghadap Minho. Obsidian coklat itu menghunuskan beribu tanya pada Minho, namun bibirnya mengatakan hal lain.

 

“Kau sudah kuanggap dongsaengku, Minho-ya. Dan afeksi yang kau berikan melampaui batas seorang hyung dan dongsaeng. Tidak seharusnya seperti ini. This isn’t right.” Kalimat itu terucap begitu saja, namun dapat mewakili segala pertanyaan dalam benak Jinki.

 

“Lalu?”

 

Clueless.

 

Apa maksud perkataannya itu? Afeksi yang dia berikan saat ini masih terhitung wajar baginya. Dia sendiri pun tidak ingin buru-buru, tapi dia ingin tetap melimpahkan Jinki dengan perasaan yang dia rasakan saat ini.

 

Baka.” Sebuah pukulan kecil mendarat di dada Minho.

 

Pancaran obsidian Jinki berubah menjadi lirih. Kesedihan, keraguan dan ketidakpastian tergambar jelas. Rasa bersalah mulai menyelimuti. Jemari Minho meraih pipi Jinki, mengelusnya dengan lembut. “Hyung, mianhae.”

 

Baka frogie. Don’t make me fall for you even more.”

 

Seperti sebuah petir tengah menyambar isi kepala Minho. Seluruh planning love confession yang sudah tersusun rapih sekejap langsung musnah. Ia terdiam selama beberapa detik, mencoba mengulangi perkataan yang baru saja dia dengar. Memastikan bahwa memang benar Jinki yang baru saja menyatakan cinta padanya.

 

“hyung.. mencintaiku?” Minho menatapnya dengan tidak percaya.

 

Jinki mengangguk, Ia menarik selimut mencoba menutupi wajahnya yang memerah. “Tapi kau dongsaengku, aku tahu pernyataan ini akan sia-sia. ”

 

“Lalu? Kau berharap aku adalah orang lain?”

 

“Tidak, tidak seperti itu.” Jinki segera menyangkal. “I’m your hyung, you’re my dongsaeng. Setidaknya hal itu sudah cukup bagiku untuk bisa bersamamu.”

 

“tapi, hyung… I fell in love with you too.”

 

Kali ini Jinki yang menatapnya dengan tidak percaya. Mulutnya terbata-bata untuk mengatakan sesuatu. Jinki sungguh berharap bahwa kali ini dia tidak bermimpi. Namun pancaran kejujuran dan ketulusan dari dua obsidian Minho telah menjelaskan semuanya.

 

“Aku ingin bersamamu, hyung.”

 

“Apa kau yakin?”

 

Minho mengangguk, mengembangkan sebuah senyum kebahagiaan. Mata Jinki terlihat berkaca-kaca, segeralah Minho menarik namja itu kembali dalam rengkuhannya. Memeluknya erat, semakin tidak mau melepaskannya setelah mendengar penyataan cinta darinya.

 

Di elusnya dengan lembut surai brunette itu. “A-aku tidak bermimpikan?” Jinki mencoba meyakinkan dirinya lagi.

 

“Tidak hyung, ini bukan mimpi.”

 

Masih dengan gerakan ragu, perlahan tangan Jinki mulai merengkuh punggungnya, memperat pelukan tersebut. Sempurna. Kedua entitas tersebut saling merengkuh tanpa menyisakan sedikit ruang. Seakan-akan mereka memang sudah di takdirkan untuk bersama.

 

“Aku mencintaimu.” Frasa lembut itu terdengar dengan jelas di telinga Jinki. Membuat jantung namja itu semakin berpacu tanpa ampun. Ia membalas bisikan itu dengan gumaman kecil, namun masih dapat ditangkap telinga Minho.

 

Tanpa berkata pun mereka tahu. Mereka bisa mendengar dari suara ritme jantung mereka yang hampir sama cepatnya. Bahwa mereka berdua saling mencintai.

 

Minho sangatlah bahagia. Akhirnya dia dapat memiliki seorang namja yang selama ini dia kagumi. Dia sangat menganggumi Jinki. Disaat jalar logikanya terpatri pada hukum sosial yang keji, Jinki bisa menghapuskan semua itu.

 

Dalam belenggu hitam pemikiran rasionalisnya, ia menyadari suatu hal. Bahwa cinta tidak di dasarkan pada logika, hal itu memang irasional namun bukan berarti akan menjadi parasit dalam kehidupan. Berbeda tempat. Cinta dirasakan dengan hati, dengan perasaan.

 

Karena seluruh rasionalisme yang menjadi acuan Minho tidak berguna saat Ia sedang menghadapi seorang Lee Jinki. Hanya dia, yang berhasil membuat Choi Minho kembali merasakan kehangat dalam hatinya.

 

.

.

.

 

Pagi itu Minho terbangun, tidak dengan orang asing yang berada dalam satu kasur yang sama. Namun, dengan sesosok malaikat yang tengah tertidur pulas dalam pelukannya,  membuat sebuah senyum lebar merekah dibibirnya. Ia memperhatikan setiap sudut wajah manis Jinki.

 

Sempurna.

 

Tak ada lagi yang dapat mendefinisikan entitas Jinki dimata Minho selain satu kata itu. Dan dia sangat beruntung karena bisa mencintai dan juga dicintai olehnya.

 

Dia berjanji. Tidak akan melepaskan Jinki. Apapun yang terjadi dia akan tetap bersamanya, menjaganya, dan mencurahkan seluruh kasih sayang dengan sepantasnya.

 

Karena mereka memang sudah ditakdirkan untuk bersama.

 

 

 

 

 

 

-THE END-

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
CHyun301 #1
Chapter 1: so sweeeeeeeeeet~ ahhh sukaaa udh lm pen bc pair ini kkk
loufvalatte
#2
Chapter 1: omo!!
they're so cute,,
qu suka bgt sama diksi.a,,
jalan cerita.a juga menarik, ,walaupun uda banyak yg kaya gini tapi yg ini terasa beda bgt
ini ada sequel.a kan?? wajib ada hehe!!
dubunyan
#3
heey hoo ~ this is so touched ! start at the first time .. hahaha beautiful story !! wow and the story not end yet right ~? haha can you make the sequel about this choifrogieya?


-winkeu-
flychicken97 #4
Chapter 1: oh! ini ff onho pertama dengan bahasa indonesiaaaaaaaaaaa!!! >< aku aku terharu... aku..tolong bikin lagi onho dengan bahasa indonesia plis plis plis. can i hug you? this is beautiful ><