What's Your Name?

What's Your Name?

Title: What’s Your Name?

Author: Asuka

Cast(s): Minhwan FT Island as Choi Minhwan || Hyejeong AOA as Shin Hyejeong || Jonghun FT Island as Choi Jonghun (detektif Choi) || Hongki FT Island as Lee Hongki (Opsir Lee) || Seunghyun FT Island as Song Seunghyun (reporter Song)

Cameos: Wonbin as Oh Wonbin || Jaejin FT Island as Lee Jaejin || Song Yunho || Minhyuk CN Blue as Kang Minhyuk

Genre: lil-bit action || crime || romance || angst || dan entahlah -_-

Length: One-shot (but, very very loooong-shot kkkk)

Rate: PG-17

A/N: ini FF Absurd! Oke? Maaf jika menyakiti mata kalian yang sengaja atau tidak sengaja telah membacanya! No bashing, no plagiarism!

 

Asuka_Copyright@2014

 

Geu saram-eun, ireumi mwoeyo?” – someone

*

Sebuah senapan laras panjang yang pucuknya mengarah pada suatu titik tertentu tampak angkuh menyangga dirinya di tripod berkaki tiga yang menyentuh ubin rooftop salah satu bangunan pencakar langit kota Incheon. Di belakangnya tampil seorang pria berpakaian serba gelap—bahkan sunglass-nya tampak memantulkan sinar matahari musim panas. Pria itu telah selesai memasang peredam suara pada senjatanya, ia tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menarik pelatuk setelah target ditemukan.

Tubuh tegap itu membungkuk, melepaskan kacamata hitamnya kemudian menaruh mata kanan di lubang pengintip yang terdapat pada bagian atas senjata api. Ia arahkan benda hitam pelontar peluru tersebut ke arah sebuah mobil bercat metalik di jalan raya yang kemudian penumpang di dalamnya keluar.

“Ini dia... Saatnya, tiba.”

Target sudah ditentukan dan....

TEK

PSSIIUU!

Cukup sebiji timah panas saja, sanggup menggegerkan pedestrian di bawah sana. Mereka menyaksikan seorang eksekutif ternama telah terkapar dengan peluru yang menembus kepalanya. Bidikan yang jitu.

Keriuhan itu berbaur dengan raungan sirine ambulans, disusul kemudian mobil patroli polisi yang merapat ke TKP. Si penembak hanya menyeringai puas dari tempatnya, tugas yang dilimpahkan padanya telah terselesaikan dengan baik hari ini. Selanjutnya ia tinggal merapikan seluruh perlengkapan menembaknya ke dalam sebuah kotak... gitar—sebagai kamuflase.

Tanpa peduli pada keributan yang semakin bertambah di bawah sana, ia melangkah pergi sembari menempelkan ponsel di telinga, memberi laporan bahwa misinya hari ini telah selesai di bawah langit musim panas Incheon.

-oOo-

Mata beriris kelam itu berakomodasi dengan begitu kuat terhadap sebuah tulisan yang termuat dalam headline-news koran di tangannya. Ia mencoba merangkai informasi yang diterima oleh otaknya atas kejadian yang berlangsung begitu cepat tiga hari lalu. Ketika terjadi pembunuhan atau tindak kriminalitas apapun yang belum terpecahkan, sudah barang tentu menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang detektif profesional yang bekerja untuk kepolisian.

Seminggu yang lalu, di Incheon juga terjadi kasus penembakan seorang eksekutif tanpa diketahui siapa pelaku dan apa motifnya. Asumsi sementara, ada oknum yang tidak suka kemudian membayar seseorang untuk membunuh mereka. Jabatan eksekutif memang beresiko, begitu pikirnya.

“Detektif Choi, orang yang anda cari sudah tiba.” Salah seorang petugas kepolisian berpangkat opsir kepala menghampirinya diiringi seseorang yang langsung mengulum senyum sopan. Si detektif tampan itu melipat koran yang dibacanya kemudian berdiri dan menyapa dua orang di hadapannya tersebut. Tidak lama setelah petugas polisi tadi pergi dan mendapat ucapan terima kasih darinya, tangan kekar nan putih itu terulur ke depan menanti sambutan calon lawan bicaranya yang baru.

“Shin Hyejeong imnida.” Gadis berambut cokelat terang itu menjabat tangan si detektif sekaligus menyebutkan namanya.

“Detektif Choi. Choi Jonghun.”

Arrayo.” Sepasang alis rapi milik Choi Jonghun naik serempak, seperti sudah menduga itu sebelumnya. “Siapa yang tidak tahu dengan Detektif muda berdedikasi seperti anda. Seluruh pelosok Incheon saya rasa mengenal anda.”

Seceruk senyum merendah terlukis di wajah Jonghun mendengar jawaban dari Hyejeong. Ia bisa saja menyombongkan diri, tetapi bukankah ia tetap harus bersahaja?

“Ah, itu terlalu berlebihan. Tidak semua orang tahu aku,”

“Tidak terkecuali penjahat juga. Anda musuh bagi mereka.” Hyejeong coba bergurau, tetapi pada kenyataannya memang seperti itu. Polisi dan detektif adalah ancaman utama bagi pelaku kriminal.

Kali ini Jonghun tersenyum lebih lebar, cenderung tertawa hingga menampakkan deretan gigi serinya yang tersusun dengan sempurna.

“Kau keliru, nona. Masih ada yang tidak mengenalku. Contohnya, mayat atau orang mati. Mereka tidak akan menyalamiku meski aku bergaya sekelas Holmes sekalipun.” Jonghun membalas joke Hyejeong hingga keduanya sama-sama tertawa kecil, nyaris membuat pria itu lupa tujuan awalnya meminta untuk bertemu dengan wartawati perempuan ini.

Selang beberapa detik, detektif berusia 26 tahun itu berdehem dan menyudahi obrolan basa-basi antara mereka. Hyejeong pun seperti itu, ia mulai memasang tampang ingin tahu. Tenggorokannya terasa gatal ingin cepat-cepat bertanya serta fokus pada permasalahan sebenarnya.

“Hyejeong-Ssi, kau pasti tahu apa maksudku mencarimu. Ini ada hubungannya dengan kasus penembakan di depan gedung hotel minggu lalu. Kudengar kau mencari beritanya dan terjun langsung ke TKP?” Pertanyaan pertama dari Jonghun. Itu belum terlalu menarik, sama seperti situasi di tempat mereka kini—kantor polisi yang ramai oleh interogasi berbagai kasus kriminal kelas menengah.

“Itu benar. Kebetulan gedung tempatku bekerja tak jauh dari sana. Sayangnya, kasus ini masih belum jelas dan sudah ada kasus yang serupa lagi.”

Jonghun manut-manut, namun kemudian ia punya ide. Bicara masalah berat seperti ini menurutnya tidak kondusif di tempat seriuh kantor polisi. Jadi, terbersit di benaknya untuk mengajak Hyejeong berpindah lokasi.

“Ceritakan padaku lebih detailnya di Coffee Shop seberang.”

-oOo-

Nada lembut dari instrumen paten Beethoven mengalun dari tiap sudut kedai kopi modern yang sengaja dipasangi pengeras suara itu, menemani para pengunjung yang masyuk menyesap kopi aneka jenis di cangkir masing-masing.

Tak terkecuali Jonghun serta Hyejeong, pasangan detektif dan wartawati tersebut mengambil tempat di samping jendela kaca besar sehingga mereka tetap bisa mengawasi lalu lalang para pedestrian di luar sana. Duduk berhadapan di meja yang sama.

Sebenarnya, bukan sekedar kebetulan pria yang memilih detektif sebagai profesinya itu menemukan Hyejeong, wartawati dari sebuah kantor berita online untuk menjadi rekannya. Melainkan sang atasan memang mencanangkannya untuk bekerja sama dengan Hyejeong yang dinilai sangat diakui keakuratan informasinya. Jonghun sendiri sudah mengetahui sejak lama kiprah gadis itu di dunia jurnalis dari mulut rekan-rekan polisinya, hanya saja baru kali ini mereka bertatap muka secara khusus.

“Aku punya beberapa foto korban dan lokasi kejadian. Kau bisa melihatnya,” Hyejeong mengangsurkan sebuah kamera DSLR dari dalam tas yang sudah berpindah dari pundaknya ke atas meja, mempersilakan Jonghun untuk memeriksa hasil jepretannya guna keperluan penyidikan. Susunan kalimat gadis itu berubah menjadi lebih longgar setelah tadi Jonghun memintanya untuk tidak berbicara dalam aksen formal, sebab pria itu pikir ia tak setua kelihatannya.

Jonghun menerima kamera Nikon tersebut dan mengecek satu persatu foto yang jumlahnya mencapai belasan. Ada foto saat korban dimasukkan ke dalam mobil ambulans, ada pula foto area yang digarisi kapur berbentuk manusia, tanah tempat tersungkurnya korban. Di deret terakhir, adalah kumpulan foto mayat setelah melalui proses autopsi.

Tak ada perubahan yang signifikan pada ekspresi wajah Jonghun usai disuguhi gambar-gambar pucat dan berdarah sang mayat. Dia tampak sudah sangat terbiasa.

“Bagaimana kau bisa mendapatkan gambar-gambar ini? Maksudku, tidak semua orang bisa sembarangan mengambil foto saat proses evakuasi. Bahkan wartawan sekalipun.” Tatapan sarat kesangsian dapat Hyejeong tangkap dari sorot mata Jonghun yang masih setia menggenggam kamera miliknya.

Gadis itu menyeringai samar, dia merasa menang kali ini. Kemudian tangannya bergerak menunjukkan ID resmi jurnalisnya yang tergantung di leher, membuka mulut untuk berkata, “Dengan wewenang ini, aku punya cara tersendiri untuk mendapatkan segala informasi yang dibutuhkan.”

Lagi-lagi tawa Jonghun mencair, ia mengangkat cangkir Single Espresso miliknya yang mulai mendingin ditelan durasi, meminumnya kembali. Obrolan tentang kasus lebih menyedot perhatiannya ketimbang secangkir Espresso. Apalagi narasumbernya seperti Hyejeong ini, bisa-bisa Jonghun mendadak tidak waras lalu mengencaninya.

“Kau cerdik sekali, Hyejeong-Ssi.” Puji Jonghun selesai meletakkan cangkir kopinya dengan perlahan. Hyejeong hanya tertawa ringan, tak menanggapi dengan serius lelucon dari pria tampan di depannya itu. Kemudian ia meminta kameranya kembali dengan alasan ada beberapa foto yang mesti dicek ulang. Siapa tahu ada yang terhapus atau dilupakan keberadaannya.

Saat itu juga, Jonghun menyadari keanehan pada arloji yang melilit dipergelangan tangan sebelah kiri Hyejeong. Ia melihatnya ketika gadis itu mengulurkan kedua tangannya untuk mengambil alih kamera dari Jonghun.

“Maaf, tapi apa kau keberatan jika aku ingin melihat arloji itu?” Jonghun menunjuk alat penunjuk waktu tersebut menggunakan dagunya yang bergerak kecil. Hyejeong menyadarinya, “Oh? Ini? Hanya arloji biasa.”

“Justru itu. Kurasa arloji digital tidak cocok untuk dikenakan seorang gadis sepertimu. Lagipula, arloji itu tidak berfungsi, bukan?”

Mata Hyejeong membulat samar, ia tak menyangka pandangan Jonghun teramat jeli. Pantas saja ia dijuluki detektif pintar bermata elang, penglihatannya begitu lugas dan akurat. Sepintas lalu orang biasa tidak akan tahu jikalau arloji Hyejeong itu ternyata memang mati. Ia memakainya sekedar untuk mengingat sesuatu.

Matta. Ini memang arloji pria, apa terlihat jelek padaku? Aku hanya suka bentuknya, kupikir menyenangkan jika dipakai sekali-sekali.” Hyejeong berniat tidak akan menjawab lagi apapun pertanyaan dari Jonghun seputar arloji itu, walau tampaknya pria ini penasaran.

Ani-ya. Maksudku bukan begitu. Kau ini lucu, benda rusak masih dipakai.” Desis Jonghun mulai paham bahwa Hyejeong tidak berminat untuk meneruskan obrolan mereka tentang arloji. Meski di dalam hatinya ada serentet pertanyaan, seperti: apa orang yang memberinya arloji itu adalah orang yang cukup berharga hingga untuk membuangnya amat sulit? Atau, jika kau mau aku bisa membelikan yang lebih bagus dari itu, bagaimana? Dan masih banyak lagi pertanyaan lain yang tak lazim bermunculan di benak Jonghun. Hey, kau harus profesional, Tuan Detektif!

Keduanya meneruskan obrolan masalah kasus dan Jonghun menjelaskan kepada Hyejeong tentang tugas dari atasannya bahwa mereka diberikan kepercayaan untuk mengusut kasus ini bersama-sama sebagai partner. Jonghun butuh seseorang seperti Hyejeong—maksudnya wartawan—untuk mempermudahnya menggali informasi. Hyejeong sudah mendapat konfirmasi dari bosnya bahwa ia akan dipasangkan dengan seorang detektif untuk menemukan titik terang kasus penembakan kaum eksekutif, dan pada akhirnya ia bisa mendapatkan berita untuk media online tempatnya bekerja.

“Mari kita bekerja sama menyingkap kasus ini, Hyejeong-Ssi.” Gadis itu mengangguk sebagai tanda persetujuan, selang beberapa saat Jonghun terlihat menggagas saku celana panjangnya dan mengangkat sebuah panggilan telepon. Tampaknya dari rekan polisi atau sesama detektif. Hyejeong menyesap Cappucino terakhir di cangkirnya sambil melirik Jonghun yang masih berbincang-bincang melalui telepon selularnya. Sesekali pria itu tampak menjauhkan benda pipih berwarna putih tersebut dari telinganya dengan wajah sulit dilukiskan.

Arraseo, arraseo, Hongki-ah! Aku akan segera ke sana sekarang juga.” Tutupnya mengakhiri pembicaraan. Setelah menyimpan kembali ponsel ke dalam saku, Jonghun mengangkat kepalanya, menatap Hyejeong yang menunggu.

“Hyejeong-Ssi, kurasa pertemuan kita hari ini sudah cukup. Aku akan mengabarimu lagi jika ada yang perlu dibicarakan. Mendadak aku mendapat panggilan,” saat akan berdiri dari kursinya, Jonghun kembali menjatuhkan tulang ekornya ke tempat duduk dan menanyai nomor ponsel Hyejeong. Sejak tadi mereka belum bertukar nomor ponsel. Gadis itu dengan senang hati menyebutkan angka-angka nomor pribadinya sementara Jonghun dengan cepat mengetiknya di ponsel.

“Aku akan menghubungimu nanti. Sampai jumpa.” Pamit Jonghun sebelum membayar seluruh minuman mereka berdua. Hyejeong tak sempat menolak sebab pria itu terburu-buru pergi. Ia hanya menghela nafas pendek sembari melihat kepergian Jonghun menyeberang ke kantor polisi tempat pertemuan pertama mereka tadi.

Tidak lama kemudian, ia kembali teringat akan sesuatu saat kedua lensa matanya melihat keberadaan arloji rusak di pergelangan tangannya. Hati Hyejeong mencelos aneh, membenarkan pernyataan Jonghun beberapa menit yang lalu, juga bertanya-tanya mengapa ia masih saja menyimpan arloji yang bahkan nama pemiliknya saja ia tidak tahu.

[Flashback] / 2 tahun yang lalu

Malam itu, Hyejeong baru pulang dari tugas pertamanya sebagai wartawan. Ia diterima setelah berkali-kali mencoba dan gagal di beberapa perusahaan berita. Karena terlalu senang, Hyejeong malah menyanggupi tugas melebihi kapasitas waktu yang seharusnya ia miliki. Dan, hasilnya ia pulang kemalaman.

Menurut Hyejeong, itu wajar-wajar saja sebagai pemanasan mengingat wartawan baru sepertinya masih perlu banyak pengalaman di lapangan. Tanpa ia sadari lebih jauh, kala itu menjadi perjumpaan pertamanya dengan seseorang yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh Hyejeong.

Untuk pulang ke rumahnya, gadis itu harus berjalan kaki lagi setelah menumpangi bus karena kediamannya terletak ke dalam gang yang hanya bisa dicapai dengan motor atau sekedar jalan kaki. Hyejeong bukan gadis penakut meski jalanan yang ia lalui terbilang minim penerangan, hanya ada lampu jalan yang jarak satu dengan yang lain terpaut cukup jauh.

Diiringi senandung lirih dari mulutnya, Hyejeong menyusuri jalan sempit itu dengan tembok-tembok di sisi kiri dan kanan. Namun kemudian ia terkejut saat ada segerombolan pria datang dengan tergesa-gesa dari arah berlawanan. Hampir saja Hyejeong tertabrak jika tidak pandai-pandai menghindar.

“Apa-apaan orang itu? Tidak lihat jalanan di sini sempit?!” Omelnya sengit sembari menata kembali perjejakannya yang sempat kacau. Baru sekitar dua meter ia melanjutkan titian langkah, sesuatu menjegal kakinya hingga nyaris terjungkal ke depan. Setengah mendengus, Hyejeong berusaha bangkit dan merapikan pakaiannya. Ia lalu memeriksa apa ada sesuatu yang mengganggu perjalanannya tadi, jika benar maka ia harus menyingkirkan itu agar tidak ada lagi orang yang bernasib sama sepertinya—hampir terjatuh.

Dan Hyejeong terjejak mundur sambil membekap mulutnya sendiri ketika menemukan seseorang bersandar pada tembok kusam dengan kaki yang terulur ke depan. Kaki itulah yang tadi menghalangi pergerakannya. Sebelumnya, Hyejeong tak menyadari keberadaan orang itu di antara keremangan gang.

Cho-chogiyo...” Hyejeong berusaha menegur walau dalam hati ia menentang tindakannya sekarang. Terdengar rintihan terputus-putus dari orang itu, sepertinya ia tengah kesakitan. Hyejeong jadi tidak sampai hati untuk berlari pergi dan meninggalkannya di sana sendirian.

Dengan amat hati-hati disentuhnya pundak orang itu, “Gwaenchanayo?

Bukannya menjawab atau apa, orang asing itu malah mencengkram lengan Hyejeong yang menumpu di pundaknya. “To-long.. A-tol-ong..” dari tangannya bisa diketahui bahwa ia gemetar hebat. Erangannya yang tadi halus menjadi sedikit lebih keras, kesakitan yang menderanya bertambah kuat barangkali.

“A- begini saja. A-aku akan menolongmu! Ka-kau, bisa berjalan tidak? Aku ba-bantu memapahmu, ya?” Orang itu tanggap kemudian segera mengaitkan tangannya di bahu Hyejeong. Rupanya ia paham bahwa gadis itu tidak mungkin kuat menggendong dirinya yang jauh lebih besar dari postur tubuh Hyejeong.

Huft! Benar saja. Hyejeong merasa pertambahan beban yang kentara kala pria asing itu sudah menyerahkan sepenuhnya urusan berjalan kepadanya. Namun mau tidak mau, demi kemanusiaan Hyejeong lakukan semua itu. Ia tak ingin ayah atau ibunya yang sudah damai di sisi Tuhan akan mengamuk karena mengabaikan orang yang butuh pertolongan seperti pria ini.

“Jangan pingsan, jebal..” Hyejeong merengek karena khawatir pria itu tak sadarkan diri. Beruntung, sampai di rumahnya pria itu masih menunjukkan tanda-tanda kesadaran. Ia cukup tangguh dengan sebuah luka goresan di tangan sebelah kirinya yang terus menerus mengeluarkan darah.

Hyejeong lekas melompat ke sana-sini, mengumpulkan barang-barang yang bisa digunakan untuk memberi pria itu pertolongan pertama atas lukanya. Dibebatnya luka gores lumayan dalam itu setelah membersihkannya. Yakin pendarahan di tangan pria itu sudah mereda, Hyejeong dengan sigap membaringkannya di sofa dan berlari ke dapur untuk menyiapkan air hangat, niatnya untuk diminum si pria.

Begitu kembali, Hyejeong menyaksikan pria asing itu melepaskan topi yang sedari awal menutupi separuh wajahnya. Ekspresi menahan sakitnya tidak mengotori gurat tampan pahatan Tuhan itu. Ia juga mulai menanggalkan arloji yang sejak tadi mengekang pergelangan kirinya, di mana terdapat perban yang Hyejeong balutkan. Setelah itu barulah ketegangan di wajahnya mengendur sedikit demi sedikit.

Hyejeong menaruh gelas berisi air hangat di atas meja dan membiarkan sepi mengisi atmosfer di sana. Mungkin pria itu butuh istirahat dan tidak ingin diganggu saat ini. Itu terlihat ketika ia terus memejamkan mata hingga pagi menjelang.

[Flashback end]

Hyejeong tak pernah menjumpainya lagi setelah hari itu. Pria tersebut menghilang, sekedar menghabiskan sarapan pagi bersamanya. Untuk menyelesaikan makannya saja, seperti orang yang diburu hantu, jadi ia mana punya waktu menjelaskan apa yang terjadi padanya malam itu.

Hyejeong tak pernah tahu identitas orang tersebut, hanya arloji yang dikenakannya kini lah satu-satunya barang pengingat tentang pria asing itu. Karena terdapat noda darah, Hyejeong mencucinya dan alhasil arloji itu rusak dengan sendirinya termakan waktu. Satu hal yang meyakinkan Hyejeong bahwa pria itu bukan orang jahat adalah, ia tidak memanfaatkan kebaikan hati Hyejeong dengan cara tinggal lebih lama di rumahnya. Pria itu mungkin menghindari atau menyelamatkan Hyejeong dari asumsi-asumsi miring orang sekitar ketika tanpa sebab membawa seorang pria tanpa ikatan apa-apa ke rumah sehingga ia lebih memilih pergi meski tahu kondisinya belum membaik.

Geu saram-eun, ireumi mwoeyo? (Orang itu, siapa namamu?)” Hyejeong menggumam sendiri di kursinya, masih berada di Coffee Shop yang perlahan menyepi. Entah sudah berapa menit lamanya ia melamunkan masa lampau, hingga tak menyadari lagi seseorang bertubuh jangkung memasuki pintu tempat itu dan menatapnya takjub. Karena melihat gadis itu seperti menerawang, dengan iseng si jangkung berambut cepak itu mengagetkannya.

“DOORR!”

Hyejeong terjengit di tempatnya kemudian melayangkan sebuah pukulan ke bahu pria kurus yang dikenalinya tersebut. Menggerutui tingkah jahil hoobae-nya itu.

Geumanhae, Seunghyun-Ssi! Kau mau melihat aku mati kejang terserang penyakit jantung, huh?” Semburnya disambut kekehan geli dari orang yang ia panggil Seunghyun itu. Si pemilik nama kemudian acuh tak acuh menempatkan diri di kursi yang sebelumnya sempat diduduki oleh Jonghun.

“Habis, kau terlihat melamun begitu, sunbae. Jadi, aku pikir kau kerasukan arwah dan kucoba mengusirnya dengan cara mengejutkanmu. Suaraku bagus, kan?” Ajunya yang langsung mendapat cibiran dari Hyejeong. Disusul tatapan yang berarti ‘hanya dor, dan suaramu tidak lebih dari teriakan monyet sakit jiwa.’

“Sedang apa di sini? Kau menungguku untuk berkencan? Wah ide bagus!” Pekik Seunghyun membuat Hyejeong harus menahan rasa malu. Lelaki ini memang muka tembok, baru bergabung dengan perusahaan mereka enam bulan saja sudah membuat orang lain naik pitam melihat kelakuannya. Sedang Seunghyun hanya cengar-cengir setiap menyaksikan para senior yang kewalahan menghadapinya.

“Jangan berpikir macam-macam!” Hyejeong sudah bersiap untuk meninggalkan tempat itu diikuti Seunghyun yang batal memesan kopi karena insting mengekornya tidak akan tahan jika terlalu lama menjauh dari Hyejeong. Menurutnya, ia bisa tiba di tempat itu juga karena ‘feeling of Hyejeong’ yang menuntunnya. Hey, tidakkah kalian berpikir Seunghyun itu lebay? (sebenarnya sih, author yang lebay, hehehe)

Detik berikutnya Seunghyun sudah berteriak lagi karena ia telah mendengar kabar bahwa Hyejeong akan dipasangkan dengan seorang detektif muda dalam menuntaskan sebuah kasus penembakan. Ia tidak rela jika gadis yang dikaguminya itu terjerat pesona si detektif yang konon kabarnya tampan tingkat dewa.

Sunbae jangan sampai jatuh cinta padanya! Mengerti?!”

“Song Seunghyun, tutup mulutmu sekarang juga!”

-oOo-

Segepok uang berselimutkan amplop cokelat dijatuhkan ke atas meja kayu berpulitur oleh seorang pria berjas yang duduk di belakang meja. Setelahnya ia memberi isyarat agar seseorang menerima uang tersebut sebagai imbalan atau mungkin hadiah.

“Itu bayaranmu, Choi Minhwan. Aku puas dengan kinerjamu, kau semakin lihai saja menembak bahkan dengan jarak sejauh itu.” Ucapnya disertai senyum culas. Yang diajak bicara hanya membungkuk takjim kemudian mengambil tunai pembayaran untuknya. Dalam hatinya bertanya, apa motif gangster kelas kakap ini memakai jasanya untuk membunuh orang-orang tertentu? Permusuhan? Iri? Apapun itu yang jelas Minhwan terlanjur terlibat di dalam dunia kelam ini.

Keputusan untuk bergabung bersama kawanan yang paling dibenci seluruh polisi di pelosok negeri adalah karena ia tidak ingin diinjak-injak lagi seperti beberapa tahun yang lalu. Setiap hari dikejar-kejar oleh penjahat berdasi membuat Minhwan ingin membalik semua itu. Ia bermimpi berada di atas angin dan balas menindas orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya, serta melenyapkan kedua orangtuanya. Dan di sini, impiannya itu dengan mudah terwujud.

Gamsahamnida. Senang bisa bekerja sama lagi dengan anda, Tuan Oh.” Pamitnya hendak segera meninggalkan ruangan khusus leader gangster tersebut. Namun pria bernama lengkap Oh Wonbin itu kembali memanggilnya. Memperlihatkan sebuah foto yang sepertinya adalah target keberikut bagi Minhwan. Wonbin menjelaskan bahwa lelaki yang ada dalam foto tersebut adalah musuh bagi mereka, Minhwan harus bisa melenyapkannya sebelum berhasil membongkar kasus penembakan yang otaknya adalah Wonbin—dengan kaki tangan Choi Minhwan.

“Dia sangat cerdik dan pintar, kau harus berhati-hati dan susun rencana sebaik mungkin. Detektif Choi bukan orang yang gampang kau bidik dengan peluru.” Papar Wonbin sementara Minhwan mengamati secarik foto di tangannya. Ia tersenyum remeh, baginya lelaki detektif bukan target yang sulit. Namun ekspresinya memudar seiring kesadarannya akan sosok yang tanpa sengaja ikut terperangkap dalam gambar bersama detektif Choi. Gadis itu... Kenapa bisa?

Jantung di balik rongga dadanya berdentum hebat, menggigilkan seluruh persendiannya. Minhwan tak bisa membantah jika sesungguhnya ia pernah melihat gadis itu sebelum ini. Mereka pernah bertemu, masih segar dalam ingatannya meski itu telah terjadi beberapa tahun yang lalu. Mana boleh ia melupakan orang yang telah dengan tulus menolongnya setelah dianiaya para penjahat malam itu. Tidak, Minhwan harap ini hanya sebuah kebetulan.

Ya, Choi Minhwan. Wae geurae? Kau tidak mau menyanggupi tugas kali ini? Kepala orang itu mahal sekali, kau tahu?” Desakan dari Wonbin mengembalikan Minhwan ke alam sadarnya. Buru-buru ia mengangguk dan segera undur diri sambil menjejalkan foto tadi ke dalam saku celana jinsnya.

Di luar, Minhwan berusaha menenangkan pikirannya yang tiba-tiba berantakan setelah melihat sosok gadis tadi. Baginya tak masalah tidak mengetahui nama gadis penolongnya itu, tetapi kenapa rasanya aneh saat ia harus pergi tanpa sempat berterima kasih? Bahkan setelah hari-hari itu, Minhwan masih menyempatkan diri untuk mengintip keseharian gadis tersebut sebelum akhirnya ia pindah dan Minhwan kehilangan arah.

“Apa benar hidup seperti ini yang kuinginkan?” Minhwan mengusap wajahnya kalut. Ia berniat melupakan hal ini sejenak dengan cara pergi melihat pertunjukkan musim panas yang diadakan di pusat kota. Cukup menyamar sedikit, sudah aman. Lagipula, ia jarang menunjukkan diri ke publik jadi sedikit kemungkinan ada orang yang akan mengenalinya.

Demi melaksanakan niatnya, Minhwan rela bergerah sejenak di balik lapisan jaket kulit dan topi olahraga miliknya. Meskipun aman, bukan berarti ia bisa gegabah dan tampil terang-terangan di hadapan orang banyak dengan wajah asli. Minhwan belum mau tertangkap.

Ia keluar dari kereta bawah tanah dan meninggalkan area stasiun. Dari kejauhan sudah terlihat berbondong-bondong sekumpulan pedestrian yang juga memiliki tujuan sepertinya, menonton pertunjukkan musim panas. Akan semakin mudah ketika banyak orang, Minhwan tinggal membaur di antara jubelan manusia dan selesai.

Sedikit terlambat baginya, kerumunan sudah memenuhi pinggir jalan di mana tempat itu akan menjadi jalur bagi peserta parade beraneka kostum nantinya melintas. Baru kali ini Minhwan menyesali tinggi badannya yang kurang memenuhi kriteria untuk ukuran pria sepantarannya, ia terpaksa harus berjinjit dan menyela sebagian orang agar mendapat posisi yang strategis untuk menonton. Namun berkali-kali tubuhnya terlempar keluar dari kerumunan, seperti ombak yang kembali ke pantai tiap angin bertiup dari arah laut.

“Tck, menyusahkan!” Umpatnya. Minhwan menyerah berdesak-desakan, ia menunggu siapa tahu nanti ada celah untuknya barang sedikit. Sambil menunggu waktu itu tiba, ia berjalan-jalan sambil melihat-lihat stan yang tak kalah ramai diisi pengunjung. Selang beberapa saat, dengusan terlahir darinya ketika melihat tali sepatu kets yang terburai. Suka tidak suka, Minhwan terpaksa membungkuk untuk menyimpulnya.

“Bahkan tali sepatu ini mengerjaiku sekarang.” Minhwan pastikan ikatannya tak akan berantakan lagi. Saat menegakkan tubuhnya kembali, ia malah menyenggol gelas plastik berisi minuman yang dipegang oleh seorang gadis. Orang itu melintas bertepatan dengan berdirinya Minhwan, otomatis tangannya membentur bahu Minhwan.

Jeosonghamnida!” Minhwan meminta maaf lebih dulu dan hendak segera berlalu jika saja gadis itu tidak menahannya. Ia menyesalkan minumannya yang tumpah dan tanpa sengaja mengotori bagian bahu jaket Minhwan.

Mianhae, chogiyo. Ah, lihat jaketnya jadi kotor! Biar aku bersihkan dengan saputangan,” gadis yang di lehernya tergantung sebuah kamera itu tergesa-gesa merogoh tasnya walaupun Minhwan sudah menolak. Ia masih menyodorkan saputangan miliknya kepada Minhwan hingga pemuda itu mengangkat wajahnya dan terbelalak. Tidak asing.

N-neo..?”

Minhwan menelan ludahnya gugup. Tak menyangka akan bertemu di tempat ini. Suaranya tertahan di tenggorokan, tak sanggup tercetus melalui bibirnya. Orang yang baru saja ia pikirkan benar-benar berdiri di depannya sekarang. Minhwan memang berharap bisa menjumpainya suatu hari nanti, tetapi bukan saat ini. Belum waktunya.

“Kau, seperti aku pernah meli—”

Jeosonghamnida.” Minhwan menyentak lengan gadis itu, melepaskan diri dari tangan yang menahannya. Dengan terburu-buru ia menyelinap di antara kerumunan manusia yang ramai berlalu lalang, menyembunyikan sosoknya lebih daripada menghilangkan jejak dari kejaran polisi. Mengelabui perasaan sebenarnya yang terpatri dalam lubuk hatinya.

“Aku ingin menemuimu, tetapi.. tidak bisa..”

-oOo-

Hyejeong tercenung sepulangnya dari pusat kota di mana sedang berlangsung pertunjukkan musim panas yang selalu diadakan setahun sekali. Bukan karena barusan ia bertemu dengan hantu, atau pun kamera untuk menyimpan foto dokumentasinya rusak, tetapi kemunculan orang itu telah membuatnya serasa terlempar ke dimensi berbeda yang hanya diisi oleh mereka berdua.

Dari tatapannya Hyejeong tahu pria itu masih mengenalinya, tetapi mengapa ia langsung pergi saat Hyejeong berusaha mengingatkannya? Pria yang tak ia ketahui namanya itu, si pemilik arloji usang dua tahun lalu, sudikah memberitahukan barang inisialnya saja? Salah satu sisi hatinya tak membiarkan pria itu lenyap tanpa sedikit pun identitas.

Tanpa ia sadari, rajutan langkahnya telah menyatu dengan lobi tempatnya bekerja. Pintu putar bergerak pelan, mempersilakan Hyejeong melewatinya dan saat itu juga dirinya disambut oleh Seunghyun yang menghambur heboh. Gadis itu hanya menoleh tanpa bersuara, karena Seunghyun lebih dulu memberondonginya dengan kalimat-kalimat.

Sunbae, syukurlah kau sudah kembali. Detektif Choi mencarimu..” Nada bicaranya merendah pada kalimat terakhir, tampaknya ia setengah rela memberitahukan hal itu pada Hyejeong. Bagi Seunghyun, Jonghun tidak lebih dari detektif yang pandai memanfaatkan kesempatan.

“Hyejeong-Ssi!” Seruan Jonghun mengalihkan perhatian Hyejeong dari Seunghyun yang mulai mencibir. Detektif tampan itu berjalan dari tangga ke arah mereka dan bergabung. Ia hanya melirik sekilas pada pria jangkung di sebelah Hyejeong tersebut kemudian fokus pada gadis bermarga Shin itu.

“Oh, Jonghun-Ssi. Apa ada sesuatu? Aku mendapat tugas meliput acara musim panas di pusat kota, maaf jika membuatmu menunggu lama.” Hyejeong menyambutnya dengan senyuman. Seunghyun yang sudah panas hanya mampu menatap wajah Jonghun dan senior perempuan idolanya itu secara bergantian, tanpa bisa melakukan apa-apa. Dalam hati ia mengumpat sejadinya.

Jonghun tersenyum maklum, memberitahu secara tersirat bahwa dirinya rela menunggu selama apapun itu jika demi Hyejeong. Sayang gadis itu bukan ahli dalam membaca raut wajah. Maka obrolan mereka dibuka dengan topik biasa, mengenai pekerjaan. Seunghyun terus meniup-niup poninya tanpa mau beranjak sejengkal pun dari sana, ia pikir ia harus mengawasi tingkah laku detektif kepolisian itu.

“Aku menunggu pesan darimu, tetapi tak kunjung masuk. Jadi, kupikir lebih baik langsung datang ke sini saja.” Hyejeong memiringkan kepalanya beberapa derajat, belum menyadari bahwa beberapa hari sebelumnya Jonghun telah coba menghubunginya dengan maksud agar gadis itu mengiriminya pesan. Dasar Hyejeong tidak peka, ia mana peduli ada nomor asing masuk ke dalam log panggilan ponselnya. Setelah diingatkan, barulah ia mengangguk dan meminta maaf.

“Ayo makan siang bersamaku sambil membicarakan kelanjutan kasus penembakan itu.”

“Kebetulan liputanku sudah selesai. Kita bisa bicarakan kelanjutan kasus kemarin hari ini. Seunghyun-Ssi, jika bos sudah kembali tolong katakan padanya bahwa aku pergi bersama detektif Choi. Beritahu juga, aku akan selesaikan artikel itu nanti malam. Harap bantuanmu.” Hyejeong menitipkan pesan melalui Seunghyun, bos sedang pergi menemani istrinya yang melahirkan pagi ini. Pria itu mengangguk sebelum mewanti-wanti Hyejeong agar selalu hati-hati.

“Apa tidak bisa bicaranya di sini saja?” Cibir Seunghyun setelah melihat kepergian Hyejeong bersama Jonghun.

“Juniormu itu, kuperhatikan sangat mencemaskanmu. Apa dia suka padamu?” Tanya Jonghun dengan sengaja, ia bisa membaca gestur yang Seunghyun tunjukkan. Pria itu seperti tidak suka ketika ia berada di dekat Hyejeong.

Mwoya? Itu karena dia kekanak-kanakan. Eh, hari ini biar aku yang traktir.” Saran Hyejeong, yang hampir Jonghun tolak. “Memang kenapa kalau aku?”

Gadis itu membuang nafas, “Kau mau menghinaku ya? Meski gajiku tidak sebesar bayaran kerjamu, untuk membeli dua porsi seafood tidak akan membuatku miskin. Jadi, jangan biarkan aku selalu mendapat sesuatu yang gratis ketika bersamamu.”

Jonghun menyerah. Hyejeong menerbitkan senyumnya. Untuk sejenak gadis itu terlupa akan seseorang yang ia temui di pusat kota tadi. Entahlah jika kejadian tadi terulang lagi, dan ingatannya bangkit untuk kesekian kalinya.

-oOo-

Hyejeong mengulum senyumnya menyaksikan tingkah dua orang pria yang bersamanya kini. Jonghun tampak berkali-kali mengusap wajahnya sendiri ketika mulut Hongki yang jika bisa berbusa, akan melebihi banyaknya busa detergen itu belum mau berhenti mengoceh. Pria itu khawatir dagu Hongki akan segera lepas karena kicauan yang tiada berujung.

Acara bincang-bincangnya bersama Hyejeong terpecah sejak Lee Hongki, pria yang bekerja sebagai Opsir polisi nan cerewet itu tiba-tiba muncul dan merengek minta bergabung di sebuah rumah makan satu jam yang lalu. Bukan Jonghun tidak suka, malah Hongki menawari bantuan atas kasus yang ditanganinya sekarang. Hanya saja, kebawelan itu yang cukup mengganggu.

Ketiganya kini sedang dalam perjalanan menuju ke sebuah apartemen di mana ada seorang rekan Hongki yang ujarnya memiliki data tentang sindikat gangster level teratas yang digadang-gadang kuat kaitannya dengan kasus penembakan di Incheon beberapa waktu ini.

“Para gangster akan melakukan hal keji sekali pun, demi keamanan seluruh kawanannya. Tidak mustahil ia membunuh orang-orang yang dirasa mengancam keberadaan mereka.” Hongki berujar lebih logis setelah tadi hanya berkata hal-hal yang tidak begitu penting. Selanjutnya ia berterima kasih pada Hyejeong yang dengan senang hati menghitung serta makanannya untuk dibayarkan bersama Jonghun di rumah makan tadi.

“Bukan masalah. Oh ya, Hongki-Ssi, sudah berapa lama kau menjadi Opsir polisi? Tampaknya kau begitu menikmati pekerjaanmu.” Hyejeong mencondongkan sedikit kepalanya ke arah depan agar suaranya dapat didengar oleh Hongki yang berjalan di sebelah kanan tubuh Jonghun. Pria itu terkekeh singkat sebelum menyebutkan nominal tahun masa kerjanya.

“Dia melamar jadi polisi karena ingin mengikutiku, kau tahu? Ia tidak mau kalah,” timpal Jonghun tanpa disuruh. Hongki terkekeh lebih keras, “Geurae, apapun yang dikatakan oleh Choi Jonghun adalah benar. Kau puas, Jong?”

Hyejeong ikut tertawa mendengar kedua sahabat itu meributkan hal sepele. Mereka hanya berjalan kaki setelah meninggalkan area stasiun bawah tanah menuju apartemen rekan Hongki. Hyejeong dan Jonghun hanya mengekor Hongki yang menuntun mereka memasuki lobi sebuah gedung apartemen kelas menengah lalu kemudian menghampiri lift.

Ketika pintu lift di area lobi terbuka, Hongki yang berdiri paling depan tanpa sengaja bersenggolan dengan seseorang bermasker hitam yang keluar dari dalam lift. Praktis mulutnya mendumel tak acuh tanpa niatan menahan orang tadi. Hanya spontanitasnya.

Jonghun menyeringai aneh karena wajah sahabatnya itu tampak lucu ketika sedang kesal atau mengomel. Sementara Hyejeong sekedar melirik orang bertopi gelap dan berjaket kulit itu tanpa minat. Ia lalu memposisikan diri di antara Hongki dan Jonghun tatkala pintu lift tertutup otomatis usai telunjuk Hongki menekan tombol angka di dinding elevator persegi panjang tersebut. Entah Hyejeong hanya salah lihat atau apa, yang jelas orang tadi tampak menyembunyikan salah satu tangannya ke dalam jaket.

“Kenapa Yunho hyung-nim tidak mengangkat telepon dariku?” Dengan heran Hongki bertanya—lebih kepada dirinya sendiri—sambil menatap layar ponsel yang ia gunakan untuk menghubungi rekannya itu. Tidak ada jawaban.

Hyejeong mengerjapkan matanya, kemudian bertanya, “Mungkinkah dia tidak ada di tempat?” Jonghun mengangguk pula.

Hongki menggeleng. “Tidak mungkin. Sebelum berangkat tadi aku sudah mengiriminya pesan yang mengabari bahwa aku akan datang bersama kalian. Kenapa sekarang tidak ditanggapi?”

Ketiganya serentak melangkah keluar dari lift, masih dengan kegiatan Hongki yang setia menempelkan benda pipih berlayar datarnya ke daun telinga. Setapak demi setapak mereka semakin mendekati nomor apartemen yang dituju. Sesekali terdengar desahan Hongki karena panggilan teleponnya tak kunjung diangkat.

Hyejeong bertukar pandang bersama Jonghun, menunggu Hongki bersuara di depan interkom samping pintu apartemen bernomor 106.

Hyung-nim. Na-ya, Lee Hongki. Kau bisa mendengarku?” Pria itu mengulangi panggilannya sampai tiga kali dan ia jadi tidak sabar pada ke empat kalinya. Insting Jonghun langsung berkata ada yang tidak beres. Hyejeong pun demikian. Ia menggigit bibir bawahnya dengan risau. Apa telah terjadi sesuatu yang tak diinginkan?

! Ada apa sebenarnya? Ke mana Yunho hyung pergi, huh?” Kesal Hongki sambil mencoba menyentak-nyentak kenop pintu yang terkunci. Sia-sia. Melihat hal itu, Jonghun berinisiatif turun, memanggil petugas keamanan untuk membantu menjebol pintu tersebut. Ini tidak bisa dibiarkan.

“Hongki-Ssi, eottohke?” Hyejeong memberi Hongki tatapan panik, bingung dan lain sebagainya. Sementara pria bermarga Lee itu terus berusaha menggedor-gedor pintu sambil menunggu Jonghun kembali dengan harapan ia mengajak bala bantuan yang cukup.

Tiba-tiba saja Hyejeong teringat pada pria aneh bermasker yang tadi bersinggungan dengan Hongki di depan lift. Penampilannya mencurigakan, mungkinkah...

“Jangan-jangan...,”

Ekspektasi berlompatan dengan liar di kepalanya, bertepatan saat Jonghun tiba bersama tiga orang petugas keamanan dan seorang resepsionis wanita. Hyejeong, pun Hongki diminta mundur agar memudahkan petugas membuka paksa pintu apartemen tersebut. Setelah berjuang hampir dua puluh menit, pintu akhirnya terkuak dan Jonghun buru-buru menerjang masuk disusul yang lain di belakangnya.

“KYAAAAA!!!” Ringkingan histeris resepsionis menyadarkan Hyejeong ada sesuatu yang mengerikan. Ia terjengit tegang di samping Hongki yang sudah berteriak kalap. “Yunho hyung-nim!”

Hongki mungkin akan tanpa sadar menyentuh pisau yang tertancap di leher bagian samping yang menyebabkan korban meninggal karena kehabisan darah jika saja Jonghun tidak segera menariknya menjauh. “Jangan bodoh! Sidik jarimu bisa tertinggal di sana jika bertindak gegabah, Opsir Lee Hongki!” Jonghun berseru mengingatkan Hongki akan status polisinya.

Hyejeong berusaha menenangkan resepsionis wanita yang tampak syok, tak dipungkiri lututnya terasa lemas juga. Ini pembunuhan. Lagi. Ia mencoba berpikir lebih jernih, menenangkan diri di antara kesibukan Jonghun bersama petugas keamanan memeriksa keadaan jasad Yunho yang sudah tak bernyawa.

Tubuh lelaki itu terkapar di samping pintu, pada kenop ditemukan bercak merah yang diperkirakan darah si korban. Sebelum kematiannya, kemungkinan korban sempat meraih kenop pintu untuk keluar mencari pertolongan. Hanya saja, ia tidak sestabil seharusnya dengan tusukan di daerah urat nadi leher sehingga tanpa sengaja menekan tombol kunci pada pintu. Begitu kiranya dugaan sementara yang diberikan Jonghun. Hongki sendiri bergegas menelepon kantor kepolisian tempatnya bertugas, melaporkan telah terjadi tindak kejahatan dan pembunuhan.

“Orang itu... Aku yakin orang itu...” Gumam Hyejeong terlalu masyuk sampai tidak menyadari Hongki sempat mendengar perkataan lirihnya. Maka dengan semangat menggebu-gebu, Hongki mendekat ke tempat Hyejeong.

“Kau bilang sesuatu, Hyejeong-Ssi? Orang itu... Siapa?”

-oOo-

Minhwan meringis saat mengolesi antiseptik ke atas luka goresan di punggung tangannya. Luka itu ia dapatkan setelah berjuang melumpuhkan Song Yunho di apartemennya beberapa jam yang lalu. Oh Wonbin tiba-tiba saja memberinya tugas untuk menghabisi seorang peretas ulung sekaligus mata-mata andal yang dianggap akan menghambat misi kelompok mereka.

Minhwan sangka akan mudah membungkamnya, tetapi ternyata tidak. Pada mulanya, pria itu tidak berniat melenyapkan Song Yunho jika saja si peretas sekaligus mata-mata itu mau berdamai dan negosiasi dengannya. Minhwan menilai Song Yunho begitu keras kepala dan terpaksa jalan satu-satunya adalah menarik pelatuk pistol padanya.

Entah Song Yunho yang terlalu kuat atau memang Minhwan sedang kurang konsentrasi, tembakan berperedam suara miliknya belum mampu mencabut nafas si pemilik raga sehingga Song Yunho sempat melawan. Pisau lipat yang pria itu sabetkan mengenai punggung tangan Minhwan sebelum tusukan berbalik mengenai dirinya sendiri. Beruntung, Minhwan masih sempat melarikan diri dan menyembunyikan tetesan darah dari tangannya dengan cara membebatnya di dalam jaket.

“Tua bangka menyebalkan!” Makinya sebelum melempar jaket kulit yang sudah menguarkan bau anyir darah ke dalam bath-up kamar mandi. Minhwan membongkar kotak P3K di lemari, mengambil perban kemudian melilitkannya di daerah luka yang sudah berhenti mengeluarkan darah.

Detik berikutnya ia mendecakkan lidah kesal, ponsel di atas nakas berbunyi nyaring. Setelah melihat siapa kontak yang memanggilnya, Minhwan tertawa sengit. “Satu ini lagi. Hhh- apa tidak bisa membiarkanku bernafas lega barang semenit? Tahunya menyuruh saja.”

Meski menggerutu, ia menyambutnya juga. “Yeobosseo..”

“........”

Ye? Arraseumnikka. Song Yunho sudah beres. Hm, detektif itu? Secepatnya? Ye, akan segera saya lakukan.” Minhwan mengakhiri pembicaraan dua arah itu kemudian memejamkan matanya kalut. Ia merasa seperti diatur-atur, namun mau bagaimana lagi? Sudah terlanjur jauh dan untuk berbalik adalah sangat beresiko. Lagipula, bukankah Minhwan sudah putuskan itu sebagai jalan hidupnya?

Oh Wonbin lah yang selama ini sudi menampungnya lalu berlanjut mengajarinya untuk menjadi salah satu kawanan gangster. Ia diterima di kawanan itu, sudah cukup membuat Minhwan dihargai dan dianggap di antara orang-orang. Masa-masa sebelum itu ia hanya merasakan tindasan demi tindasan dari manusia-manusia yang mengatasnamakan hutang kedua orangtuanya. Begitu Minhwan bertemu Oh Wonbin, ia seperti dilahirkan kembali namun dari dunia yang begitu kelam. Tidak apa baginya, toh Wonbin selalu memperhatikan dan mengamankannya dari ancaman luar.

Diambilnya sebuah foto polaroid dari dalam saku celana kemudian memperhatikannya. Seringaian miring yang ia tunjukkan pada sosok detektif muda dalam gambar itu perlahan memudar kala fokusnya beralih kepada siluet gadis di samping kiri yang kala itu bersama si detektif.

Bagaimana kalau gadis itu ada hubungannya dengan detektif ini? Bagaimana kalau tiba-tiba gadis itu mengacaukan rencananya untuk menghabisi si detektif? Bagaimana kalau... bagaimana kalau... dan bla bla bla. Begitu banyak pertanyaan Minhwan lontarkan untuk dirinya, seputar gadis yang tampak di foto bersama detektif targetnya, gadis yang ia temui di pusat kota hari ini, gadis yang dua tahun silam menolongnya dari kebrutalan para debkolektor.

Sanggupkah ia mengemban tugas yang kali ini? Akan mudah jika saja tidak ada gadis itu.

-oOo-

Di ruang kerja, Hyejeong membolak-balik kertas laporan berita miliknya, tidak fokus menyusun lembaran-lembaran kuarto selama otaknya masih dibayangi oleh kejadian tiga hari yang lalu di apartemen Song Yunho. Entah apa sebabnya, feelingnya mengatakan bahwa pria berpenampilan aneh di lift hari itu ada kaitannya dengan kematian Song Yunho.

Ia belum mengatakan kecurigaannya baik kepada Jonghun maupun Hongki. Hyejeong takut bertindak menuduh tanpa bukti. Tetapi ia tidak bisa tinggal diam karena menurut Jonghun semua kasus yang terjadi akhir-akhir ini tampak bersimpul satu sama lain. Dilihat dari cara eksekusinya, kemungkinan besar pelakunya adalah orang yang sama. Kesimpulannya hanya satu, tembakan.

“Tck, aku harus melakukan sesuatu.” Pikirnya sembari menarik keluar ponsel dari dalam tas kemudian mendial nomor telepon Jonghun. Tidak cukup lama, suara khas pria itu menyahutinya dari seberang sana. Mungkin sedikit surprise ketika Hyejeong meneleponnya lebih dulu.

“Jonghun-Ssi, ada yang perlu kubicarakan denganmu. Ini masih tentang kasus yang kita diskusikan bersama. Bisa bertemu nanti sore?”

Senyum kelegaan mengembang di paras manisnya setelah mendapat jawaban setuju dari Jonghun. Seunghyun yang bersiap mengetuk pintu kaca transparan ruang kerja Hyejeong jadi terkesima sebab baru kali ini ia menyaksikan gadis itu melukiskan lengkungan teramat lebar di wajahnya. Seunghyun tersipu-sipu sendiri, layaknya anak kecil yang dipuji gurunya.

Sunbae-nim!” Panggil Seunghyun setelah mengetuk tiga kali, menggerakkan engsel leher Hyejeong untuk menoleh padanya. Ketika Hyejeong mempersilakannya masuk, barulah Seunghyun memperlihatkan seluruh tubuhnya.

“Ini bahan yang kau minta aku carikan, sunbae. Selain itu, kutambahkan sedikit barangkali kau membutuhkannya.” Pria berlesung pipi itu menyodorkan setumpuk dokumen kepada Hyejeong yang kemudian berterima kasih. “Mianhae, selalu merepotkanmu.”

Seunghyun menggeleng sambil mengusap bagian tengkuknya, berkata tidak pernah merasa direpotkan oleh Hyejeong. Ia melakukan semua itu dengan tulus dan sudah jadi bagian dari tugasnya. Sepeninggal Seunghyun, Hyejeong mempersiapkan segala yang ia perlukan untuk dibawa menemui Jonghun nanti sore.

-oOo-

“Maksudmu kau curiga pada orang aneh yang berpapasan dengan kita di depan lift apartemen waktu itu?” Jonghun mengangkat kepalanya yang tadi tertunduk menatap koran, melebarkan bukaan kelopak mata pada Hyejeong. Gadis itu mengangguk ragu, ia masih takut berspekulasi.

“Bisa saja dia pengunjung penghuni apartemen lain, tapi mungkin kau ada benarnya juga. Kenapa kita tidak coba minta rekaman CCTV apartemen?” Gagas Jonghun berbinar-binar. Hyejeong mengangguk lagi, ia setuju dengan ide pria itu. Jika kasus ini dapat terselesaikan dengan cepat, siapa tahu kasus penembakan eksekutif juga dapat terungkap. Bukankah Jonghun dan kepolisian berpikir semua ini bersinergi?

Hyejeong turut bangkit dari duduknya di bangku pelataran kantor Jonghun, mengikuti ke mana perjejakan pria itu menggiringnya. Hyejeong tidak menyadari sama sekali jikalau ada dua orang yang sejak tadi mengamati mereka dari kejauhan dan ikut bereaksi ketika menyaksikan Jonghun dan Hyejeong akan berangkat ke suatu tempat. Dua pria yang gerak-geriknya mencurigakan itu kemudian membuntuti kepergian mereka secara diam-diam.

“Ketika suasana sedang sepi, kau tahan mereka. Aku akan membidik detektif konyol itu dari tempatku. Pastikan gadis yang bersamanya tidak menghalangi rencana kita.” Instruksi dari yang mengenakan masker kepada si jangkung yang belum jua memakai masker hitamnya.

“Hey, Choi Minhwan! Kenapa tidak tembak keduanya saja, untuk apa pilih-pilih target?! Atau... kau mengiba si gadis?” Matanya yang sipit semakin mengecil ketika menatap rekannya dengan penuh kecurigaan. Ia mencium sesuatu yang terselubung. Minhwan mendecak, memberi death-glare pada pria di sampingnya.

“Sudah, turuti saja! Minhyuk, kau hanya diminta membantu, tidak perlu banyak memprotes! Kahja, kita bisa kehilangan mereka jika tidak cepat-cepat.” Dengusan Minhwan memutus perseturuan kecil mereka. Keduanya bergerak lambat namun pasti, menguntit jejak Jonghun dan Hyejeong.

Sejak keluar dari kereta bawah tanah, Hyejeong merasa seperti mereka diikuti. Namun begitu ia menoleh ke belakang, tidak ada siapa-siapa yang patut dicurigai. Jonghun sempat bertanya alasan kenapa gadis itu berkali-kali mengecek jalanan yang baru saja mereka lalui. Belum sempat ia membuka mulut untuk mengatakan kecemasannya, seseorang yang memanggul postman-bag di bahu kanan datang dari arah berlawanan dan menunjukkan sebuah euforia ketika melihat Jonghun. Bak seorang fans yang bertemu idolanya.

“Kau lihat? Aku bahkan digemari seperti artis, bukan?” Jonghun dengan senang hati membubuhi tanda tangan di buku tulis lelaki bertubuh tinggi tersebut, karena sebelumnya ia juga pernah diminta hal demikian oleh gadis-gadis yang mengaku kagum atas kinerjanya sebagai detektif selama ini, sama seperti alasan lelaki yang kini di hadapan mereka.

Hyejeong hanya menggeleng ringan, merasa geli dengan kepercayaan diri Jonghun hingga mendadak detektif itu mengerang keras dan darah mengucur dari lengan kiri atasnya. Seseorang telah menembaknya dari satu tempat! Hyejeong berteriak kaget, ia segera menopang tubuh Jonghun yang terhuyung. Kesakitan.

Wae? Waeyo? Tuan Detektif kau terluka? Ah, aku akan mencari bantuan segera!” Pekik orang yang tadi meminta tanda tangan dari Jonghun bergesa pergi, karena di sana sedang benar-benar sepi dan tidak ada pejalan kaki lain kecuali mereka. Hyejeong tersedu panik sebab dilihatnya lengan Jonghun sudah basah oleh darah dan ia tampak kesakitan. Ada sebutir timah panas bersarang pada otot lengan kirinya.

“Jonghun-Ssi! Bertahanlah! Akan segera datang bantuan! Siapapun tolong kami!” Hyejeong berteriak tanpa satupun orang yang akan mendengar. Ketika ia memutar kepala ke arah perginya pria yang tadi, sempat dilihat olehnya seringaian jahat terpatri di wajah orang itu. Ia tampak senang bagai kejadian ini sudah direncanakan. Tak lama sosoknya menghilang di balik pepohonan di tepi jalan.

“Pasti dia bagian dari komplotan..” Desis Hyejeong yakin. Hingga Jonghun memintanya untuk menyobek lengan jaketnya dan mengikatnya di sekitar luka agar pendarahan tidak terus terjadi. Hyejeong mengikuti perintah dari Jonghun, setelah itu menelepon ambulans. Ia harus segera membawa pria itu ke bangunan medis untuk mendapat pertolongan.

-oOo-

“Apa sudah merasa baikan, Jong?”

Jonghun tersenyum ramah menyambut perhatian dari orang-orang ketika membesuknya ke rumah sakit hari ini. Terlebih lagi ada Hyejeong di sana, gadis itu membawakan sekeranjang buah yang katanya dari rekan-rekan sekantornya. Yang paling mencolok adalah Hongki, dia seperti menemukan ‘kembarannya’ ketika bersua dengan Song Seunghyun, junior Hyejeong dan mereka tampak serasi(?).

“Jangan membuat keributan di rumah sakit!” Tegur bos Hyejeong pada Seunghyun yang sedang mengobrol tentang hobi bersama Hongki. Selebihnya hanya tertawa melihat keduanya, termasuk Jonghun. Ia berterima kasih pada Hyejeong karena menurut yang lain, kunjungan besar-besaran ini adalah ide dari gadis itu.

“Hey! Berterima kasihlah pada kami juga!” Sambar Hongki tidak terima, membuat tawa semua orang kembali berderai. Di kala kepala polisi menyarankan Jonghun untuk beristirahat sejenak dari kasus utamanya, Hyejeong berpikir untuk pamit. Masih ada sesuatu yang harus ia lakukan.

Jeosonghamnida.” Hyejeong memisahkan diri diiringi tatapan separuh tidak rela dari Jonghun. Hyejeong berpikir keras di mana bisa menemukan pria jangkung yang hari itu menjumpai mereka. Ia sangat yakin semua ini ada hubungannya.

Langkah Hyejeong tercipta di atas trotoar dan sebentar lagi ia harus menyeberangi zebra-cross saat lampu berbentuk orang-orangan berubah menjadi hijau. Aba-aba dari traffic-lamp menuntun Hyejeong untuk melangkah lebih jauh. Tiba di pertengahan garis-garis putih di atas jalan raya, matanya terbelalak menemukan sosok yang dicarinya beberapa hari ini tepat berdiri di hadapannya dengan tak acuh. Penampilannya sama seperti hari itu.

Neo! Kau orang yang hari itu, bukan?! Mengaku!” Todong Hyejeong tepat di depan hidungnya. Seketika orang yang ditunjukinya itu berusaha menyembunyikan wajahnya dan menyiapkan ancang-ancang untuk berlari. Ia kelabakan sebab gadis itu tampak tidak gentar menghadapinya. Lagipula, mana mungkin ia bisa berlaku kasar mengingat keberadaan mereka di tengah kota yang begitu banyak pedestrian. Melukai gadis itu secara terang-terangan sama artinya menggali kubur bagi kawanannya.

Hyejeong tidak mau kehilangan jejak, maka dikejarnya pria jangkung yang mulai ambil langkah seribu. Beberapa orang keheranan menatap mereka yang sudah seperti peserta marathon estafet, bedanya ini jalan raya dan bukan arena pelari.

YA! Berhenti kubilang! Aku akan memaafkanmu jika berhenti sekarang, dengar?!” Hyejeong tidak putus asa begitu saja meski harus terengah dan peluh bermunculan di pelipisnya. Pria itu kuat sekali, mungkin karena kaki panjangnya itu maka ia tidak kelelahan dalam berlari.

“Hey! Apa kau tuli, huh? Aku hanya ingin bertanya!” Nafas Hyejeong serasa dipotong, perutnya sudah sakit karena tersengal. Ia terbatuk, saat itu juga tas selempangnya terjatuh, talinya putus dengan tiba-tiba. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan baik oleh orang yang dikejarnya untuk menghindar lebih jauh lagi.

“Sial! Gadis itu gigih sekali!” Pria jangkung berhoodie abu-abu itu kemudian menghilang di mulut sebuah gang. Hyejeong yang kerepotan sempat melihatnya, setelah meraup tasnya dan bangkit gadis itu kembali meneruskan pengejarannya.

Langit semakin meredup, pertanda siang akan segera lengser, bertransformasi menjadi senja. Hyejeong tidak begitu peduli, tekadnya sudah dibulatkan. Rasa penasarannya tidak akan terpuaskan sebelum berhasil menanyai orang itu tentang motif pengincaran Jonghun tempo hari.

“Haah.. Menghilang ke mana orang itu? Cepat sekali! Hhh..” Hyejeong telah mencapai mulut gang di mana pria tadi lenyap sembari memegangi perut bagian atasnya yang terasa sesak, sejenak mengatur nafasnya yang terlanjur panjang pendek.

Hyejeong memasuki gang sempit itu lebih dalam lagi, memang tidak tampak ujungnya tapi ia juga tidak berniat menyusuri hingga akhir. Hanya memeriksa sekedarnya.

“Kasus ini jadi gelap lagi. Huufft.” Gadis itu menyudahi pencariannya, sadar hari hampir malam. Berbalik menuju mulut gang kembali dengan setengah menyesal. Satu petunjuk bergerak telah meninggalkannya.

“Aku ‘kan hanya ingin membantu Jonghun untuk mengungka—Hfftt..”

Hyejeong merasakan tubuhnya tersentak ke samping dengan cepat, seseorang baru saja membekap mulut serta menariknya hingga masuk ke sela-sela tembok yang sempit dan pengap. Jantung gadis itu berdegup sangat keras ketika mendapati dirinya didesak ke tembok bata oleh seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di depannya dengan satu tangan membungkam mulut Hyejeong. Ketakutan mendadak saja menyergap di setiap tarikan nafas yang ia ambil.

Hyejeong membuka mata lebar-lebar demi mengenali siapa kira-kira orang ini, apa berniat jahat atau memiliki maksud lain terhadap dirinya. Betapa terperanjatnya Hyejeong begitu melihat dengan jelas paras pria yang jarak antara mereka tidak lebih dari lima inci. Dia... dia... dia pria dua tahun yang lalu.

“Untuk apa kau mengikutinya?” Sebuah pertanyaan to the point bernada skeptis terlontar begitu saja dari lisan pria itu, masih belum melepaskan bungkamannya dari mulut Hyejeong. Gadis itu hanya mampu menggeleng patah-patah, sementara suaranya tidak bisa keluar dengan mulut tertutup.

Sadar Hyejeong kesulitan untuk menjawabnya, pria itu memindahkan tangannya ke tembok di sebelah kiri kepala Hyejeong. Mengunci tatapan Hyejeong dalam matanya yang sipit namun sanggup menggetarkan bilik di dada kiri gadis itu.

“Aku... Aku hanya...”

“Menyerah saja. Jika kau ingin selamat, berhenti untuk mencari tahu.” Potongnya masih dengan nada yang sama seperti tadi. Hyejeong tidak menggeleng, tidak juga mengangguk. Ia terkesima menatap pria yang selama ini masih diingatnya, bahkan tidak pernah lupa.

“Kau.. Kenapa bisa ada di sini? Apa hub—”

“Dengarkan baik-baik!” Lagi-lagi ia memangkas kalimat Hyejeong hingga gadis itu terdiam, “Aku tidak akan segan-segan menyakiti detektif temanmu itu jika kalian masih keras kepala. Lupakan kasus itu, butakae (aku mohon). Ini peringatan terakhir dariku, jika sa—”

Ya!”

Kini giliran Hyejeong memberontak, ia mendorong pundak tegap pria di depannya hingga jarak mereka lumayan melonggar. Pria itu kaget karena tak terpikir olehnya Hyejeong akan seberani ini. Sayang hal itu adalah kesalahan bagi Hyejeong, dengan sekali sentilan pria itu sudah bisa mengembalikan situasi seperti semula. Dan, kali ini wajah keduanya bak hanya disekat oleh sebatang spidol yang diletakkan secara vertikal.

“Aku sudah mengatakannya padamu, jadi jangan menyesal jika kelak terjadi sesuatu yang buruk.” Kalimat itu terdengar seperti sebuah ancaman. Hyejeong menelan ludahnya gugup, ia bahkan bisa merasakan hembusan hangat uap nafas pria itu menerpa kulit wajahnya. Namun dari pantulan matanya, Hyejeong menemukan sesuatu yang bertolak belakang. Seakan pria di depannya itu mengkhawatirkan keselamatannya.

Belum sempat Hyejeong bertanya lebih lanjut, pria itu sudah berbalik meninggalkannya. Gadis itu heran, jika memang tujuannya adalah untuk mengancam, kenapa tidak sekalian saja ia dibunuh sekarang? Ataukah pria itu masih mengenali Hyejeong?

Begitu Hyejeong terlepas dari monolognya, orang tadi sudah lenyap tak berbekas. Membiarkannya lolos begitu saja setelah menyampaikan sebuah ancaman atau... peringatan akan adanya bahaya?

I-ireumi.. mwoeyo? Nuguseyo?”

-oOo-

‘Gadis itu mengejarku! Kurasa ia berbahaya!’

Minhwan mengutuk perkataan Minhyuk. Pria itu mengadu kepada Oh Wonbin bahwa gadis wartawan yang bersama Detektif Choi tersebut berusaha mencari tahu tentang mereka, menyelidiki kelompok mereka. Mendengar itu semua, Wonbin berang dan menambahkan gadis wartawan itu ke dalam daftar target yang harus Minhwan singkirkan secepatnya.

“Salahku mengajaknya bekerja sama! Aarrgh, Kang Minhyuk pengacau!” Rutuk Minhwan seorang diri di kamarnya yang sudah berantakan. Sejak tadi ia uring-uringan. Bagaimana tidak, gadis yang ingin ia lindungi justru menjadi salah satu korban yang akan dieksekusi olehnya. Minhwan tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya bila tangannya harus dinodai dengan darah gadis itu. Ia tidak peduli pada yang lain, tetapi tidak bisa mengabaikan gadis yang pernah menyelamatkannya dua tahun lalu tersebut. Entah kenapa hal itu sangat membekas dalam benaknya hingga saat ini.

Yeoja ige, aku tidak sanggup menyakitinya seujung jari pun...” Minhwan risau. Ia mungkin saja mengeksekusi detektif Choi itu, namun tidak dengan gadis yang selalu terlihat bersama lelaki tersebut. Hatinya berkata tidak, perasaannya menolak untuk melakukan hal gila itu.

Rambut-rambut cokelat di kulit kepalanya dicengkram dengan kuat, berusaha mengusir kekalutan yang menjerat pikirannya. Minhwan tertunduk lesu dengan wajah masam di samping tempat tidurnya, ia harus akui bahwa gadis yang tidak diketahui namanya itu terlanjur tertanam kuat di pikiran serta hatinya. Meski tak pernah lagi berjumpa sejak dua tahun lamanya, perasaan itu tak dapat dipungkiri maupun diasingkan. Keadaan dunia kelam inilah yang membuat Minhwan merindukan seseorang yang mampu mengajaknya bangkit.

“Bagaimana aku melakukannya? Ije eotteokarago?”

Setelah terpejam beberapa waktu, Minhwan terjaga kala pagi menjelang. Ia membuka mata dan menemukan dirinya harus menyelesaikan misi atas detektif Choi itu sekarang. Mau tak mau, ia bangkit dan bersiap-siap. Menurut informan orang kepercayaan Wonbin, detektif itu akan keluar dari rumah sakit hari ini. Itulah waktu yang tepat bagi Minhwan untuk mengeksekusi.

“Jika gadis wartawan itu bersamanya, DOR! Tembak saja keduanya. Jadi, sekali tembak, dua burung didapatkan.” Begitu perintah Wonbin kepadanya. Entah Minhwan akan melakukannya atau tidak, yang pasti ia tetap berangkat menuju rumah sakit.

Sebagai antisipasi, dikirim juga tiga orang kaki tangan Wonbin untuk mengawasi. Pertama agar memastikan Minhwan melakukan tugasnya dengan benar, kedua adalah untuk melindungi Minhwan bila pria itu membutuhkan bantuan darurat. Yang kali ini sangat beresiko.

Minhwan bukan tidak tahu jika ada tiga orang yang mengawalnya dari kejauhan, ia hanya berpura-pura seperti sedang bertugas sendirian. Minhwan hanya membawa sepucuk short-gun yang diisi penuh, bukan jenis senjata api mematikan yang biasa ia gunakan selama ini.

Sneakers gelapnya telah sampai di seberang rumah sakit dan ia bersembunyi di balik pertokoan sementara menunggu sang detektif keluar dari bangunan medis tersebut. Sorot mata dingin Minhwan menatap lurus ke arah pintu keluar rumah sakit besar Incheon, tangannya sudah bergerak mempersiapkan senjata yang disembunyikan di belakang telinga. Kemudian ujung pistol menjadi lurus ketika sosok pria tampan dengan tangan terbalut gips tampak muncul dari pintu utama rumah sakit.

Namun niatannya tertahan sebab di belakang detektif Choi tersebut muncul pula gadis itu. Tidak lama posisi mereka menjadi sejajar, membuat Minhwan tidak fokus lagi dan kehilangan konsentrasi. Ia menurunkan pucuk pistol lalu melihat ke tiap sudut di mana masing-masing kaki tangan yang tadi mengikutinya telah bersiap dengan pistol yang mengarah tepat pada detektif Choi dan gadis itu. Berhasil atau tidak ia menembak, tiga orang itu tetap akan melepaskan peluru mereka secara bersamaan dan sulit dihindari.

Setelah berpikir keras, Minhwan menyimpan pistolnya dan berlari kencang ke arah detektif Choi dan gadis itu. Keduanya kaget, terlebih gadis itu yang tercengang melihat kehadiran Minhwan di sana.

“Hyejeong-Ssi, siapa dia?” detektif Choi bertanya pada gadis di sampingnya. Ah, jadi namanya Hyejeong? Minhwan lega bisa mengetahui namanya sekarang. Ia tak gentar lagi, malah lebih berani merentangkan kedua tangannya bermaksud melindungi dua orang itu di belakang tubuhnya.

Ya, ada apa ini? Kenapa kau tiba-tiba muncul?” Hyejeong mendesak Minhwan untuk menjawab. Ketiga kaki tangan Wonbin tampak mendecak sebal dari posisinya, mentertawai tindakan konyol Minhwan. Bocah itu cari mati rupanya, pikir mereka.

“Kalian berdua, segera cari tempat berlindung jika tidak ingin tertembak! Palli!” Suruh Minhwan semakin membuat Jonghun dan Hyejeong mengernyit tidak mengerti. Sampai sebuah suara dengan lantang menarik perhatian ketiganya.

“Hey, kau! Akhirnya berani juga menampakkan diri!” Seseorang berwajah cute tampak garang mengacungkan sebuah senjata api dengan sebelah tangan ke arah Minhwan yang menatapnya aneh. Ia pikir tak pernah mengenal pria itu sebelumnya.

“Lee Jaejin! Sedang apa kau di sini, huh?” Jonghun orang pertama yang bertanya, disusul Hyejeong, “Lee Jaejin-Ssi! Turunkan dulu senjatamu!”

Yang disuruh seakan tuli, ia malah tertawa sengit sambil masih saja meracau dan mengumpati Minhwan. Kakinya terus bergerak maju, dibarengi pernyataan-pernyataan pahit atas kematian Song Yunho yang ternyata adalah paman kandungnya. Ia bilang telah bersumpah untuk membalas kematian Song Yunho dengan tangannya sendiri, dan waktunya telah tiba. Si pembunuh telah ada di depan mata.

“Jadi, kau pelaku penembakan selama ini?” Wajah Jonghun berubah marah, ia mengambil jarak daripada Minhwan yang meringis panjang. Sementara dari samping, Hyejeong menatapnya tak percaya, orang yang ditunggunya dua tahun ini ternyata pelaku kejahatan yang tengah diburunya.

Mianhae...” Ujarnya disertai ekspresi penyesalan. Menyesal tak bisa menemui Hyejeong lebih cepat.

“Sudah kuduga kau akan muncul hari ini. Choi Jonghun adalah target terbesar dan termahal kalian, bukan? Tetapi sekarang aku akan membalik keadaan, hah!” Berang Jaejin yang semakin mendekat. Jonghun ternganga, ia tak pernah tahu dirinya menjadi incaran utama para gangster di kota ini. Ia kira hanya gadis-gadis yang tertarik padanya, ternyata penjahat juga?

“Lee Jaejin jangan menembak!” Teriakan Jonghun bagai angin lalu karena di detik selanjutnya terdengar bunyi letusan pistol. Terjadi dua kali—tidak, tepatnya tiga kali.

DOR!

DOR!

DOR!

Jonghun bersama beberapa masyarakat awam yang kebetulan melintas langsung merapat ke tanah, itu salah satu cara agar terhindar dari baku tembak. Ia masih sempat menoleh ke segala arah, mencari-cari keberadaan Hyejeong dan berharap gadis itu selamat. Hyejeong sendiri tengah gemetar dalam dekapan Minhwan, wajahnya memucat setelah menyaksikan tembakan dari banyak arah.

Lee Jaejin ternyata tidak jadi menembak Minhwan, ia membidik salah satu kawanan gangster yang bersembunyi. Itu bunyi tembakan pertama. Tembakan kedua berasal dari pistol Opsir Lee Hongki—yang tidak tahu dari mana bisa muncul—dapat bagian melumpuhkan salah satu kawanan yang bersembunyi di seberang jalan. Letusan terakhir, begitu dekat dengan telinga Hyejeong. Dan korbannya adalah.. Choi Minhwan sendiri.

Minhwan tahu akan ada begitu banyak polisi yang secara diam-diam mengamankan kepulangan detektif Choi dari rumah sakit, maka dari itu ia lebih mengkhawatirkan Hyejeong. Saat mengetahui salah satu kaki tangan Wonbin akan menembak Hyejeong, dengan sigap Minhwan memutar tubuh gadis itu dan merelakan punggungnya yang tertembus peluru. Malangnya, peluru itu mengenai punggung kirinya, mungkin lebih parah lagi yaitu sampai ke jantungnya.

Y-ya.. Ch-chogiyo... Ka-kau, kau bisa me-mendengarku..?” Suara Hyejeong gemetar, ia terduduk lemas sambil menumpukan kepala Minhwan di atas paha. Pria itu menatapnya sendu, darah dimuntahkan dari mulutnya dan sakit disertai panas datang dari bagian punggungnya di mana sebutir peluru telah bersarang. Hati Minhwan kelabu, sekaligus membiru layaknya langit siang hari ketika bisa melihat wajah gadis itu sedekat ini, sejelas ini, di detik-detik terakhir.

“Ma-maafkan ak-ku.. Akhh- tidak bi-sa.. berte-rimaka..sih de-ngan.., huk! Le-lebih baik..”

Hyejeong menggeleng keras, air mata menganak sungai dari sepasang kelopak matanya. Ia menangisi pertemuan mereka yang seperti ini, menyakitkan. Ia ingin melihat pria itu tersenyum, berbicara, bukan kesakitan, dan sulit berkata-kata layaknya sekarang.

Chogiyo... Chogiyo! Chogiyo!” Hyejeong tidak tahu harus memanggil Minhwan dengan cara apa, ia bahkan tidak pernah tahu nama pria itu hingga detik ini. Minhwan tersenyum kecil dengan bibir kelunya yang hampir tidak bisa digerakkan lagi, ia ingin sekali saja memanggil nama gadis itu dengan lidahnya secara langsung.

“Hye..jeong.. Hyejeong-ah.. Ga.. gamsa-ham..nida..”

Chogiyo! Berhenti bicara! Seseorang tolong panggilkan ambulans, cepat!” Raung Hyejeong panik karena nafas Minhwan sudah terputus-putus. Ia berharap Minhwan selamat meski harus menjalani hukuman atas kejahatannya selama ini. Setidaknya itu lebih baik daripada melihatnya mati di sini.

Minhwan menggeleng lemah, tangannya terangkat pelan dan langsung disambut oleh tangan Hyejeong. Jonghun meneguk ludah menyaksikan pertautan jari jemari kedua orang itu.

“Hyejeong-ah... Aku hanya- ha-nya ingin, me..manggil nama-mu.. sa..ja..”

Andhwe! Kau harus bertahan!” paksanya tidak rela. Minhwan nyaris memejamkan matanya, namun sebelum itu ia sempat berucap, “Choi.. Min- Hwan.. Itu- na..maku.. Min..hwan.. Ban..gapseum..nida, Hye..jeong.. A-annyeong..

Pria itu memejamkan matanya dengan sempurna. Meledaklah tangis Hyejeong meratapi jasad Minhwan yang telah terbujur kaku di atas pangkuannya. Tubuh itu mendingin bersamaan dengan raungan sirine mobil polisi. Ketiga kawanan gangster tadi segera diringkus dan digiring masuk ke dalam mobil patroli. Mereka resmi ditahan.

YA! Irreonna! Choi Minhwan irreonnayo! Minhwan-Ssi, kau dengar aku?! Choi Minhwan nappeun-nom! Choi Minhwan!!” Hyejeong menangis sejadinya, hatinya serasa dihentak ke dasar bumi hingga remuk tak bersisa. Orang yang bahkan belum sempat ia titipkan perasaan khusus itu kini telah benar-benar tiada. Permohonannya tak terkabul.

Jonghun beringsut mendekat, menepuk-nepuk pundak Hyejeong. Berkeinginan supaya gadis itu lebih kuat menghadapinya. Hatinya mungkin pernah sakit, tetapi pasti tidak sesakit yang Hyejeong rasakan saat ini. Jaejin dan Hongki turut mengucapkan belasungkawa. Song Seunghyun yang datang terlambat kini ikut menangis seperti Hyejeong, coba merasakan hal yang sama.

“CHOI MINHWAN!”

 

“CHOI MINHWAAAAANNN!!!”

 

SLAP!

 

Minhwan tersentak lalu mengedipkan kedua matanya berkali-kali, menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Ia memeriksa sekelilingnya, mengenali setiap wajah yang bertebaran di setiap bangku sekaligus memastikan matanya masih berfungsi dengan baik. Pria itu menggosok matanya yang terasa berat sampai sebuah suara cempreng yang tadi membangunkannya kembali meledak tepat di sebelah kupingnya.

“CHOI MINHWAN!”

“Berisik! Aku sudah bangun, tahu!” Minhwan mengorek-ngorek kupingnya yang mendadak tuli akibat teriakan itu. Seunghyun—teman sekelasnya yang bertubuh jangkung-langsing itu hanya cengengesan kemudian memberitahunya sesuatu. Dosen yang bersangkutan berhalangan hadir.

“Bagaimana kau tahu?” Minhwan menegakkan punggungnya yang penat akibat terlalu lama menelungkup ke meja. Pantas saja suasana kelasnya mendadak bising, ada alasan mengapa seperti itu.

Seunghyun mendecak, “Sejak aku masuk tadi kau sudah tertidur, jadi saat Hongki sunbae datang mengabari, tidak ada yang bisa kau dengar, eh? Lagipula, tumben kau tertidur di kelas?” Pria keturunan Song itu memicingkan mata curiga pada Minhwan. Ia menyangka sahabatnya itu begadang hingga tengah malam untuk menonton film yang tidak-tidak. Minhwan langsung membantahnya, dia bukan lelaki macam itu.

“Aku... hanya bermimpi. Mimpi yang aneh...” Gumamnya sambil sedikit memiringkan kepala, mengingat-ingat setiap potongan dari alam bawah sadarnya.

“Mimpi apa? Demi Tuhan, Choi Minhwan. Sampai kiamat pun aku tidak pernah rela jika kau memimpikan tentang Choi Junhee!” Sengit Seunghyun dan mendapat cibiran dari Minhwan. Ia bahkan tidak tertarik dengan mahasiswi jurusan musik tradisional itu. Namun karena tidak ingin mendebat Seunghyun, Minhwan mengabaikan kecemburuan hiperbola tak logis sahabatnya itu kemudian meneruskan penjelasan tentang mimpi panjangnya tadi.

“Aku bermimpi menjadi seorang penembak untuk kawanan gangster. Lee Hongki sunbae adalah Opsir polisi, sedang Choi Jonghun sunbae seorang detektif muda. Dan Lee Jaejin...” Minhwan mengalihkan sejenak perhatiannya kepada Lee Jaejin yang sedang bermain kuis di papan tulis bersama teman-temannya, Seunghyun menunggu dengan penuh minat.

“Jaejin hyung adalah keponakan dari orang terakhir yang kueksekusi. Dia hampir menembakku dengan pistol, Seung.” Minhwan menoleh dan menemukan Seunghyun menatapnya lekat, terkagum.

“Lalu, lalu.. Aku ada di mimpimu tidak?” Tanyanya antusias. Minhwan mengangguk, ia bilang Seunghyun adalah reporter pemula yang cerewet. Detik itu juga Seunghyun menggebrak meja, memprotes tidak terima. Beruntung suasana kelas sedang sama ributnya, jadi sekencang apapun pria itu berteriak tidak lantas membuatnya jadi pusat perhatian.

Minhwan tertawa geli melihat reaksi Seunghyun, harusnya ia tak mengatakan hal itu. Kemudian ia teringat pada titik poin dari mimpinya. Gadis itu, gadis yang di dunia nyata ini bahkan belum pernah sekalipun ia temui.

“Kau tahu, Seung? Pada akhirnya di mimpi itu aku tertembak karena harus menyelamatkan seorang gadis. Namanya...”

Tidak sampai pita suara Minhwan bergetar untuk membunyikan sebuah nama, kehadiran dua orang senior di depan sana menginterupsinya. Seunghyun dan semua mahasiswa menjadikan kedua pria dari fakultas yang sama itu sebagai tumpuan penglihatan, tak terkecuali Minhwan juga.

Annyeong hasseo, hoobae-deul. Maaf mengganggu kelas kalian, namun saya selaku ketua Senat harus memberitahukan hal ini. Berdasarkan kesepakatan bersama dosen kemahasiswaan, kita diminta untuk mengumpulkan laporan kegiatan ekstrakurikuler secara kolektif per tingkat semester. Ada semacam pendataan....”

Dengungan demi dengungan memenuhi ruang kelas, ada yang malas mengumpulkan laporan lah sebab jarang mengikuti ekstrakurikuler, ada pula yang tidak suka dengan aturan semacam itu. Minhwan hanya mengangguk, ia termasuk mahasiswa yang rajin dan patuh terhadap peraturan kampus. Seunghyun terlihat misuh-misuh di bangkunya, terhitung sebagai yang sering absen dalam kegiatan di luar perkuliahan.

Seusai berkoar-koar, Choi Jonghun beserta wakilnya meninggalkan kelas yang masih riuh rendah. Sebagian ada yang memutuskan untuk keluar, karena merasa dosen tidak mengajar mereka jam ini, sisanya masih bertahan di sana. Seunghyun memutar tubuhnya menghadap Minhwan lagi, ia menagih lanjutan cerita mengenai mimpi pria itu tadi.

“Tadi kau bilang seorang gadis? Apa dia cantik?”

Minhwan tidak menjawab. Ia hanya mengambil selembar kertas kemudian mencoretkan sebuah nama dengan pena. Disuruhnya Seunghyun membaca tulisan tersebut. “Hye..jeong? Nama gadis itu Hyejeong?”

Minhwan menghela nafas panjang, ia tak menyangka yang tadi itu hanya sekedar mimpi. Begitu lama, dan... begitu nyata. Bahkan tembakan yang mengenai punggungnya di dalam mimpi seakan benar-benar menembus jantungnya. Apa mungkin sebuah pertanda? Tetapi apa?

Minhwan kembali tersentak saat Seunghyun menarik lengannya agar mengikuti ke mana arah pandang semua mahasiswa kini tertuju. Suasana mendadak hening karena seseorang melangkah masuk ke dalam kelas mereka. Gadis muda berkacamata itu tampak mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas, diletakkannya tumpukan buku di atas meja dosen sebelum bersuara.

Morning, all. Saya kira kalian pasti sudah tahu bahwa dosen bahasa asing sedang tidak bisa mengajar hari ini. Oleh karena itu, beliau memberi saya tugas sebagai pengganti selama satu hari sebagai asisten dosen. So, semoga kita bisa bekerja sama.”

Sambutan dari seluruh penghuni ruangan tersebut cukup bagus. Para mahasiswi berbisik-bisik kagum, karena melihat asisten dosen tersebut tampak muda—bahkan sepantaran mereka. Sementara yang mahasiswa sibuk bertepuk tangan girang, siapa yang tidak bersemangat diajar oleh gadis dengan senyum lembut itu.

Minhwan tidak berkedip melihatnya, ia mengabaikan gemuruh permintaan teman-temannya yang penasaran ingin berkenalan dengan sosok di depan kelas tersebut. Minhwan bahkan tidak memperhatikan betapa lebar senyum konyol Seunghyun di sampingnya. Ia terlalu kaget dan nyaris tidak percaya pada matanya saat ini. Jantungnya menambah kecepatan dengan sendirinya kala tanpa sengaja pandangan mereka bertemu pada satu titik. Gadis itu—seakan—melihat ke arahnya dan tersenyum samar.

Joneun, Shin Hyejeong imnida. Senang bisa bertemu kalian semua.”

 

 

FIN

 

 

Bang! Ending macam apa ini haah?! Bikin pusing, jadi bingung? Sama! XD aku yg nulis jg pengen ketawa rasanya baca ini FF hahaha *ngenes* faktor kelamaan ga nulis FF lagi, jadinya sekali nulis lagi jadi berantakan dan membosankan, huh! Aku cuma nulis apa yang terlintas di otak sih, jadi ya... inilah hasilnya Aku akuin, aku kangen menulis, tanganku gatel aja pengen ngetik FF, tapi tapi tapi berhubung kuliahan udah—hampir—semester akhir yaudin musti ngedahuluin yang wajib kan ya... tugas ini-itu, belum kerja segala macem heuh~ ide FF melambai macet wkwkwk :D semoga kalian ga pening tiba2 setelah membacanya hehehe...

 

Satu lagi, ide aneh tuk FF ini muncul begitu aja pas aku bangun pagi yg malemnya mimpi Minhwan jadi penjahat *uhuk* perlu waktu tiga hari buatku menyelesaikan One-shot terpanjang yg pernah terjadi dalam sejarah menulisku ini. Idenya ngalir gitu aja, ya aku ikutin ke mana ujungnya dan ternyata berpangkal di...... seperti ending cerita hehehe. Ketebak ga endingnya bakal gitu? Kalau ga, wah makasih banyak ya hahaha. Kalau ga suka, anggap aja kalian lagi sial pas nemu FF ini -_-

 

Terakhir, mungkin cara nulisku belum ada perkembangan, gitu-gitu aja dari dulu, jadi silakan aja kasih masukan, kritik, dan saran yang membangun biar ke depannya aku bisa nulis FF yg lebih baik lagi! *hug Minan(?)* Lagi, Lop yu ayam ganteng yg aku menye-menye(?)kan sebagai cast di FF yg jumlah halamannya ada lebih kurang 22 lembar kerja Ms.word (9.900+ words with line spacing 1) ini!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet