Morning Glory

Not The Worst

1. Morning Glory
1.
Masih terlalu pagi untuk menikmati bubble tea dingin sambil bengong menatap dapur yang kosong. Tidak ada makanan. Hanya ada kulkas kosong dan sisa bubble tea milik Luhan. Salahkan Luhan jika perutku bermasalah. Bubble tea dingin di pagi buta dan perut kosong bukan kombinasi yang solid. 
Aku mendesah menatap rambut coklatku yang acak-acakkan di layar tv. Aku lapar dan semua member pergi, ada jadwal. Tadinya aku ingin menyuruh Kris tinggal tapi tidak mungkin. Kris pemimpin di M, agak sulit untuk mengajaknya santai sedikit. Jadi aku menyuruh Tao tinggal tapi Manager Hyung mendampratku dan menyuruhku belajar. Besok ada ujian disekolah, fisika. Itu favoritku dan Luhan. Kami berdua bisa bersantai sambil menjawab beberapa soal fisika. Bagi banyak orang fisika memang memuakkan. Orang menjulukiku physics freak dan menambah kata king untuk Luhan. Physic freak terkeren abad ini, mungkin. Karena aku belum menemukan yang lebih keren dariku. Kalau Luhan? Sepertinya semua orang tahu kalau wajah Luhan tidak cocok dibilang keren, maksudku, kalian pasti setuju 'kan kalau wajah Luhan itu feminim? 
    Aku memandang sup kari sisa semalam. Masih cukup banyak,setidaknya cukup untuk mengganjal perut sampai siang. Semalam semua member tidak nafsu makan karena seorang penggemar gila meneror Chen. Yun Kyung Ah namanya. Wanita itu benar-benar gila. Semalam bukan kali pertama dia meneror kami. Ia sudah sangat sering meneror kami. Seharusnya kami sudah terbiasa. Tapi mana mungkin kami bisa terbiasa dengan hal-hal seperti surat darah atau bangkai tikus yang dibungkus didalam kotak berwarna merah jambu dengan pita manis diatasnya. Tidak mungkin bisa. Dalam waktu seribu tahun pun tidak akan bisa.
Mungkin masih ada makanan kecil yang tersisa dikamar Chanyeol. Kudengar tadi malam Chanyeol dan Baekhyun begadang. Manager memberi mereka PR, dua lagu setiap minggu, kalau oke lagu itu akan disimpan, kalau jelek keduanya disuruh mengulang. Semua member pernah mengalami kesulitan seperti itu. Aku ingat Yixing pernah begadang sampai mimisan karena mengoreksi ulang aransemen buatannya yang dibilang hambar dan monoton. Aku juga pernah mengalaminya. Berlatih melafal huruf ‘s’ sampai mulutku terasa kebas. Karena, hei, mana ada rapper cadel?
Aku tidak bisa keluar sana untuk membeli makanan. Kabar terakhir yang kudengar Korea Utara menyerang Hanam. Keluargaku sudah diamankan. Semalam Ibuku menelpon. Dia menangis dan menyuruhku menyusul mereka. Aku―tidak, kami semua tidak bisa pulang. Urusan kontrak dan kewajiban seorang entertainer membuat kami tetap bekerja. Irasional memang. Tapi strategi politik disini memang seperti itu. Memanfaatkan gairah remaja dan orang-orang seperti kami. Kami semua orang-orang pilihan, diseleksi secara ketat. Fisik, bakat dan mental. Kami adalah orang yang berambisi tinggi dan tidak mudah menyerah. Mungkin banyak yang menyerah ditengah jalan tapi aku dan memberku tidak, kami merobek garis finis dan bersama-sama membuka perlombaan baru. Kali ini kami berkelompok, bukan persaingan individu. Awalnya semua terasa asing. Kericuhan, teriakkan, lampu kamera, sentuhan-sentuhan ditempat yang tidak wajar. Semua itu sulit dan kami berdua belas memakan waktu cukup lama untuk beradaptasi. Pil penenang sebelum tidur, pil penenang saat bangun tidur, pil penenang saat keluar asrama. Sebagian besar dari kami mengonsumsi pil penenang seperti makan pisang. Langsung lahap, tak perlu dikunyah juga bisa ditelan. Ini memang menyedihkan dan menurutku pilihan hidup yang cukup bodoh. Tapi jangan salahkan aku, waktu itu aku masih naif dan tidak berpikir panjang. Diotakku hanya ada segelintir gambaran tentang popularitas yang akan kudapatkan, uang yang banyak untuk berhura-hura dan masa depanku yang terasa cerah. Selama menjadi peserta didik masa depanku selalu dipertanyakan. Kapan aku debut? Akankah aku didebutkan? Siapa memberku nanti? Seperti apa mereka? Bagaimana kehidupanku nanti? Semuanya masih abu-abu dan saat penandatanganan kontrak terjadi, abu-abu itu memudar dan timbulah setitik warna putih yang menyebar dan mendominasi. Kalian tahu bagaimana rasanya? Rasanya manis. 
Sudah hampir setengah tahun sejak Korea Utara menyerang Bucheon. Aku masih ingat tubuh Baekhyun yang gemetaran sambil menggenggam telepon genggamnya. Saat itu kami sedang nonton Secretly Greatly ditelevisi lalu acara kami terpotong. Sebuah berita mengganggu dan sore hari kami yang manis itu pun menjadi runyam. Bucheon diserang dan kami semua bungkam. Tidak ada yang bergerak, atmosfir terasa menghilang dan pasokan udara menyempit. Kris adalah orang pertama yang berinisiatif merangkul pundak Baekhyun. Kris terlihat agak canggung tapi aku tahu ia tulus. Dan Tao menjadi Tao, dia orang pertama yang menangis sambil menanyakan Baekhyun apa yang harus dilakukan. Luhan memakinya sambil berbisik, menyuruhnya diam saja dan berkata; seharusnya yang bertingkah seperti itu adalah Baekhyun, bukan Tao. Lalu semuanya hening, tak ada yang berbicara setidaknya selama sebelas menit. Sebuah rekor dan pencapaian yang patut dibicarakan tapi tak ada yang membicarakannya saat itu. Akhirnya Kris beranjak dan berbisik pada Suho menyuruhnya untuk memperhatikan Baekhyun, lalu Kris pergi. Menemui Manager kami, mungkin. Suho dan Chanyeol meremas tangan Baekhyun sambil sesekali berkata; “Semuanya akan baik-baik saja,” Dan Baekhyun tetap bungkam, sekujur tubuhnya basah oleh keringat, tubuhnya bergetar hebat dan matanya memerah. Nafasnya tersengal-sengal dan dadaku terasa nyeri. Bucheon adalah rumah Baekhyun, tempat ayah, ibu dan kakaknya tinggal. 
Selama hampir satu bulan Baekhyun bungkam dan suasana asrama jadi tidak enak. Maksudku kalian tahu ‘kan Baekhyun itu seperti apa? Jika seorang teman kalian yang paling berisik tiba-tiba bungkam dengan alasan yang tidak enak, apa yang kalian rasakan? Kalau aku, aku merasa hampa dan nama Byun Baekhyun tercetak dikepalaku dengan huruf kapital. Setiap aku memejamkan mata, aku teringat tubuh Baekhyun yang mengurus dan Bucheon. Lalu keadaan membaik. Keluarga Baekhyun selamat dan Bucheon bangkit kembali. Semuanya kembali normal, tidak ada serangan lagi. Lalu Korea Utara menyerang Daegu dan terakhir Hanam. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Yang jelas tidak ada sesuatu yang baik tentang perang. Setidaknya itu menurutku. Dan aku takut.
Setelah kenyang aku memutuskan kekamar, mengobrak-abrik lemari Luhan untuk mencari rokok. Biasanyaa Luhan menyembunyikan benda itu dibawah tempat tidur, didalam kotak sepatu tapi sepertinya Luhan kehabisan stok. Aku mencari benda itu dikamar Baekhyun dan Chanyeol. Aku menemukan dua bungkus Winston, masih disegel plastik. Sepertinya milik Chanyeol karena setahuku favorit Baekhyun itu L&M. Aku mengambil sebatang lalu beranjak kekamarku. Aku tidak bisa merokok di balkon, beberapa penguntit dan paparazi mungkin menunggu momen seperti itu diluar asrama kami. Aku dan Luhan biasa merokok dikamar. Duduk dikasur dan membuka jendela, sambil minum Bubble Tea. 
Aku mengambil pemantik milik Luhan didalam lemari lalu menyalakan rokokku dan menyesapnya. Aku tidak ingat kapan aku mencoba rokok paling pertamaku, tapi aku ingat Kris yang mengajariku. Saat itu aku memergokinya merokok diatap gedung SM. Ia terlihat panik saat aku mengancamnya akan memberitahu Kim Youngmin jika ia tidak mengajariku. Awalnya iseng dan ingin terlihat keren karena Kris benar-benar terlihat mengagumkan saat merokok, tapi karena efek nikotin aku jadi ketagihan. Diantara semua memberku, Baekhyun dan Luhan adalah perokok berat. Suho yang paling bersih dan Chanyeol kadang-kadang pakai ganja. Kami semua seperti tikus didalam rumah. Manager kami tidak tahu bahwa kami semua tidak sehat. Suho adalah pengkonsumsi sejati pil penenang. Dia memang tidak merokok dan menghisap ganja, tapi apa bedanya? Kami semua pecandu dan hanya Baekhyun yang pernah tertangkap basah dan dipukili habis-habisan. Setelah itu kami semua menjadi ekstra hati-hati dan kami belum menyentuh narkoba, setahuku tidak ada yang pernah. Semoga saja.
Aku terbangun saat mendengar kegaduhan dikamar sebelah. Kim Jongin. Aku ditinggalkan bersama anak itu. Pinggangnya memburuk. Sejak debut tidak ada perkembangan yang memuaskan selain kondisi pinggangnya cukup baik untuk sementara. Tidak pernah kata sembuh total keluar dari mulut dokter. Seakan-akan dua kata itu tabu. Tapi biarkan Saja. Setidaknya anak itu bisa istirahat. Sejak memulai tour kami, Kim Jongin jadi agak berlebihan. Dia memang berlebihan, itu sudah tabiatnya. Maksudku, itu bagus. Sifat seperti itu sangat dibutuhkan di industri palsu seperti ini. Tapi apa perlu sampai seperti itu? Entah anak itu bodoh atau naif. Dia tidak perlu mengeluarkan segalanya, tidak perlu mengikis sampai batas maksimal. Dia terlahir sebagai seorang penari. Dia natural dan ekspresinya oke. Tidak sepertiku. Ekspresi datar mendominasi wajahku dan sukses membuatku terlihat malas. Ingat julukan The Lazy Dancer? Aku cukup stres dibuatnya. Maksudku, dia temanku, oke? Kami seumuran dan dulu kami tidak terpisahkan. Dulu.
Kim Jongin berubah. Menurutku ia terlalu dibayang-bayangi sosok Kai. Aku ingin menamparnya dan berkata itu tidak penting. Memangnya dia pikir hanya dia yang memiliki nama panggung? Masih ada Kris, Suho dan jangan lupa Lay, Xiumin, Chen. Dia visual dan dituntut untuk menjadi sempurna, dia senter group ini dan itu semua melelahkan. Aku tahu itu, tapi setidaknya tersenyumlah padaku sedikit. Dulu kami selalu menertawakan kertas kosong lalu entah kenapa sekarang rasa humor idiot itu menyusut dan menghilang. Aku tidak mengerti. Bukan hanya aku dan Kai. Dulu kami bahagia. Kami semua. Walaupun masih menjadi siswa pelatihan, walaupun jauh dari orang tua,walaupun memiliki masa depan yang tidak jelas, walaupun kurang tidur. Ini soal privasi―tidak, ini soal hidup. Kami tidak memiliki hidup, ya kami memang hidup. Tapi kami hidup dalam kematian. Maksudku, semuanya terasa berat dan sulit, semuanya dikejar waktu dan kerja keras, udara terasa terbatas dan pikiran terasa pendek. Dulu, walaupun dari asrama ke tempat pelatihan jalan kaki atau naik bus setidaknya waktu kami tidak direnggut. Kami masih punya kebebasan dan aku bisa ganti pacar setiap hari. Tidak ada yang menilai (selain pelatih kami, itu juga tidak masuk hitungan), dan dulu dalam pikiran kami hanya ada menari, menyanyi dan harapan. Kalau sekarang yang ada hanya; jadwal, pembagian gaji (kami cuma dapat 30%) dan image. Kami terlalu naif dan sekarang kami tidak bisa menikmati apa yang sudah kami pilih. Aku dan memberku sudah mencoba, tapi tetap tidak bisa. Terlalu sulit.
2.
Aku tersentak saat mendengar kegaduhan untuk kedua kalinya. Punggungku kehilangan darahnya dan telapak kakiku terasa panas. Ada sesuatu yang tidak beres. Aku tahu itu.
Aku bergegas keluar kamar, setengah berlari, aku melesat melewati dapur lalu membeku didepan kamar Kim Jongin. Aku terdiam cukup lama. Kalian boleh mengolokku, silahkan saja. Aku memang seorang pengecut dengan gengsi sebesar kelapa sawit. Situasinya tidak semudah itu. Aku dan Jongin tidak pernah bicara lagi, sekali pun tidak. Hanya didepan publik dan kamera. Rasanya seperti ada dinding bata yang membatasi diriku dengannya. Namun, karena firasat buruk yang makin menajam, aku langsung membuka pintu kamarnya. Maaf, tapi itu cuma naluri seorang sahabat lama.
Aku memandang kamar ini. Kamar Kim Jongin dan Do Kyungsoo. Sudah lama tidak kesini dan tidak ada yang berubah selain seprai dikedua kasur milik mereka berdua. Kamar ini masih rapi didaerah Kyungsoo dan berantakan didaerah Jongin. Kamar ini masih seperti dulu. Bahkan figura itu masih diposisi yang sama. Di atas meja, disamping tempat tidur Kim Jongin. Aku terpaku memandangi figura itu, didalamnya ada aku, Jongin dan Moonkyu. Pandanganku sedikit memburam. Ingat, hanya sedikit. 
Kim Moonkyu; meninggal dua tahun yang lalu, bunuh diri. Seorang sahabat dan teman seperjuangan. 
Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya. Tenggorokanku tercekat, nafasku sedikit memburu.
Aku berjalan pelan kearah figura itu, mengambilnya dan memandanginya. Kim Moonkyu bunuh diri karena gagal debut untuk kedua kalinya. Ia gantung diri dikamarnya dengan maninggalkan selembar surat penuh kata maaf. Diantara kami, Jongin yang paling histeris saat mengetahui kematian Moonkyu. Itu wajar, Kim Jongin lebih dulu mengenal Moonkyu, lalu aku datang dan bergabung.
“Apa yang kau lakukan?” 
Aku tersentak dan membalikkan badanku lalu menatap Kim Jongin. Ia terlihat tidak sehat dan aneh. Tangannya yang memegang daun pintu terlihat gemetaran dan ekspresi wajahnya seperti berkata: “Enyahlah!” Lalu aku membeku, menatap kaus putihnya, kaus favoritnya, kaus bergambar Pororo. Terdapat noda berwarna merah, noda sebesar telapak tangan Chanyeol. Kurasa Jongin menyadari arah pandanganku sebab ia langsung menunduk dan berdeham, lalu berkata, “Aku ingin sendiri. Kau bisa pergi.”
Aku memejamkan mataku. Dia tidak terlihat oke dan aku tidak bodoh. 
“Apa kau baik-baik saja?”Tanyaku sambil meletakkan figura itu.
Jongin hanya menatapku, cukup lama dengan ekspresi yang tidak bisa kubaca. Aku menunggu dan memantapkan hatiku bahwa ini adalah saat terakhirku. Kesempatan terakhirku untuk mencoba memulai lagi persahabatan kami. Jika tidak berhasil, maka, selamat tinggal Kim Jongin. Bukannya aku tidak peduli, tapi aku sudah terlalu memperdulikannya dan ia tetap acuh. Jadi aku harus apa?
Akhirnya, aku bertanya lagi, “Apa yang kau lakukan?” Itu pertanyaanku. Kurasa simpel dan tepat. Sebab Kim Jongin memejamkan matanya dan memijat pelipisnya. Dia tidak ingin diganggu, aku tahu itu. Tapi aku ingin mengganggunya, seperti dulu. Mengejeknya Si Hitam Jongin; Kkamjong. Lalu dia akan tertawa sambil memukulku dan aku membalas pukulannya kemudian kami berakhir berguling-guling dilantai sampai baju kami kusut dan rambut kami ikut-ikutan kusut.
Jongin mendesah lalu menjawab, “Minum wine, apa lagi?”
Bohong. 
“Bohong,” Aku menatapnya tajam. Ingin rasanya berteriak, memakinya, memarahinya habis-habisan. 
Berhentilah bertingkah menyedihkan Kim Jongin. 
Suatu saat nanti aku akan berkata seperti itu. Tidak sekarang tapi akan kukatakan nanti dengan jelas dan keras. Mungkin sambil menamparnya.
“Kita tidak memiliki wine,”
Walau pun sedikit aku melihat tubuhnya sedikit terlonjak dan ekpresi wajahnya yang membeku.
“Itu wine milikku. Jadi sekarang ka-“
“Kau tidak bisa minum wine. Lambungmu lemah.”
Skakmat! 
Kim Jongin terdiam cukup lama, ia mendesah gusar lalu berkata, “Aku ingin sendiri oke?”
Aku menggeleng pelan. “Apa yang terjadi denganmu?”
Aku menatap Jongin yang menunduk sambil mengatur nafasnya. Lalu aku berjalan pelan sambil terus menatapnya, mencari-cari letak bola mata hitamnya itu. 
“Kau sakit?”
“Tidak!” Kim Jongin menjawab secepat angin dan berbohong secepat cahaya. Cahaya memang cepat, tapi masih terlihat. Benarkan? Kalian mengerti maksudku‘kan?
Aku menggeleng pelan dan berjalan sedikit lebih cepat. Mencengkram bahunya dan mendorongnya kedinding lalu menatap mata yang kucari-cari itu. 
“Kau sakit.”
Kim Jongin menggeleng, lalu aku membentaknya, “Itu bukan pertanyaan, brengsek!” Kim Jongin tetap menggeleng lalu menunduk menatap jempol kakinya. 
Aku emosi dan marah pada sifat keras kepalanya. Tidak bisakah ia berhenti berkata baik-baik saja? Aku bukan orang asing yang baru ditemuinya beberapa menit yang lalu. Aku sahabatnya dan aku sudah melihatnya marah ratusan kali, melihatnya menangis ribuan kali dan melihatnya tertawa 6723562237528 kali.
Aku menghentakkan tubuhnya kedinding, mencengkram dagunya dan memaksanya menatapku.
“Tatap aku,”
Ia masih tidak mau menatapku, matanya bergerak-gerak liar menatap benda lain selain mataku.
“Tatap mataku, keparat!”
Ia menggeleng pelan. 
“TATAP AKU!”
 Aku berteriak tepat didepan wajahnya dan berhasil membuatnya terlonjak tapi ia tetap tidak mau menatapku.
Persetan dengan publik.
Aku menonjoknya, tepat di tulang pipi dan aku memakai cincin. Jongin terjatuh cukup kencang. Aku tidak peduli dengan pinggangnya yang sakit, lagipula pinggangnya memang sudah tidak ada harapan untuk sembuh total. Jadi untuk apa kupikirkan? 
Aku menghampirinya dan mencengkram kerah kaosnya sambil memukuli wajahnya dan rahangnya. Ia tidak melawan. Itu aneh. Dulu kami sering baku hantam seperti ini, tapi ia selalu melawan. 
Cukup lama Jongin pasrah menerima pukulanku tapi akhirnya ia meronta. Lalu aku melepaskannya dan ia melesat kencang.
“Ya! Kim Jongin, ini belum berakhir!” Aku memanggilnya dan berlari menyusulnya.
Ia berlari kearah kamar mandi sambil membekap mulutnya. Tanganku berusaha menggapainya dan berhasil. Tepat didepan pintu kamar mandi dan tepat setelah ia membuka pintu kamar mandi. Aku berhasil menarik kaosnya dan menghentakkan tubuhnya kebelakang hingga ia terjengkang. Aku menarik tubuhnya dan memaksanya duduk dilantai lalu aku berjongkok sambil mencengkram bahunya.
“Tidakkah kau tahu kalau aku mencemaskanmu!?”
Ia menatapku dengan tatapan memohon dan tangannya masih membekap mulutnya. Ia terus menggelengkan kelapanya tanpa artian pasti. 
“Apa yang terjadi padamu!?”
“Kau berubah!”
“Kau bukan Kim Jongin!”
“Kau benar-bena-”
Aku merasa jantungku turun kedasar perut lalu naik lagi ke ubun-ubun. Aku merasakan hal seperti itu untuk ketiga kalinya. Pertama, saat aku mendengar kabar tentang kematian Moonkyu. Kedua, saat kakekku meninggal dan ketiga saat aku meneriaki Kim Jongin yang terus menggelengkan kepalanya lalu tatapanku teralihkan. Aku menatap nanar keadaan kamar mandi yang kacau. Kakiku terasa lemas saat melihat kubangan darah sebesar jam weker dilantai kamar mandi. Kubangan darah itu memantulkan bayangan wajahku seakan-akan mengejekku. 
Aku terkesiap saat Kim Jongin meronta dan melarikan diri, masuk kekamar mandi dan menutup pintunya. Tanganku gemetaran dan kepalaku mendadak terasa sakit. Semuanya butuh proses tapi saat ini itu tidak penting karena sahabatku sedang tidak baik-baik saja.
Aku berteriak memanggil Jongin. Memukul pintu kamar mandi, bahkan aku menendangnya dan berteriak sampai tenggorokkanku terasa terbakar. Jongin menahan pintu kamar mandi agar aku tidak bisa masuk. Sial, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Jongin bertingkah seperti itu? 
“Ya! Jongin buka pintunya!”
“Apa yang kau lakukan, eoh!?”
Aku terus-terusan berteriak sambil mendorong pintu itu. Tapi anak itu tetap bersikap keras. Tak habis akal aku berjalan mundur dan mengambil ancang-ancang kemudian berlari dan menendang pintu kamar mandi. Kurasa Jongin terpental.
Benar, ia tersungkur cukup kencang dan kurasa lengannya memar. Aku menatap Jongin yang merangkak kekloset lalu memuntahkan isi perutnya. Jantungku berhenti seketika saat melihat kedalam kloset, bau besi dan amis. Merah dan kental.
Darah.
Aku menatap Jongin yang menyandarkan kepalanya di kloset. Tubuhnya gemetaran dan nafasnya putus-putus. Tangannya menggenggam pinggiran kloset hingga baku-bakunya jarinya memutih
Aku panik. Sangat panik. Tadinya terbesit diotakku untuk menggotong Jongin kerumah sakit lalu menelpon Suho atau Kris, mungkin Xiumin. Tapi yang akhirnya kulakukan adalah membentaknya. Aku membentaknya hingga leherku tercekat, atau mungkin aku menangis? Kurasa tidak. Aku hanya hampir menangis. Hampir.
“Apa yang sebenarnya terjadi padamu!?”
Itu bentakkanku yang pertama. Aku berteriak tepat disamping telinganya, membuat tubuh Jongin sedikit berjingkat.
“Apa kau sakit!?” Itu yang kedua dan langsung disusul dengan cepat oleh bentakkan ketiga; “Kenapa kau diam saja!?”
Aku mencengkram bahunya, kencang sekali hingga Kim Jongin meringis dan berusaha melepaskan tanganku dari bahunya. Lalu berteriak ,“Kenapa kau selalu menyembunyikan semuanya!?” didepan wajahnya.
“Kenapa kau selalu bertindak seperti semuanya oke!?”
“Harus berapa kali kukatakan, eoh? Setidaknya beritahu aku!”
“Kau sahabatku. Aku sahabatmu Jongin! Aku bukan orang asing!”
Aku membentaknya sambil mencari mata hitam kelamnya itu. Tapi ia terus menunduk hingga aku mendesah gusar.
“Sekarang jawab aku Kim Jongin.” Aku berusaha untuk terdengar mengintimidasi. Mungkin Jongin yang keras agak sedikit melunak jika aku bersikap tenang.
“Apa kau baik-baik saja?”
Ia terdiam. Cukup lama tapi aku masih tetap menunggu sedikit lebih lama dan ia tetap bungkam.
“Aku bilang, apa kau baik-baik saja?”
Ia hanya mengendikkan bahunya.
Dasar bocah tengik. Jawaban macam apa itu? Aku lebih muda darimu tapi sifatmu ternyata jauh lebih kekanak-kanakan. Tidak berperasaan. Apa dia tidak tahu kalau sekarang tubuhku terasa panas dingin? Mau marah tapi kasihan, mau nangis tapi, untuk apa aku menangis? Aku tidak menangis, hanya berkaca-kaca, oke?
Entah untuk keberapa kalinya aku menghela nafas berat dihadapan Kim Jongin Idiot ini. Yang jelas aku tidak sempat menghitungnya. Lalu entah kenapa emosiku meluap hingga kepalaku terasa berat. Seperti mau pecah.
Aku mencengkram dagunya dan menghentakkan kepalanya agar Jongin menatapku. Lalu aku membentaknya lagi.
“Apa kau baik-baik saja!?”
“Aku baik-baik saja Sehun-ah..”
Itu jawabannya. Suaranya terdengar serak dan nyaris hilang. Terdengar menyedihkan dan ia masih berkata bahwa ia baik-baik saja. Ingatkan aku untuk menulis dijidat semua orang kalau Kim Jongin itu idiot, tolol dan naif.
“Apa kau baik-baik saja!?”
Aku membentaknya lagi. Pertanyaan yang sama itu sukses membuat Kim Jongin mengerutkan dahinya yang lebar.
“Apa kau baik-baik saja, eoh!?”
Lagi.
Aku bertanya pertanyaan yang sama berkali-kali sampai mulutku terasa berbusa dan wajah Kim Jongin makin berkerut. Setiap pertanyaan selalu kusertai dengan nada yang mengintimidasi dan intonasi yang kutinggi-tinggikan. Lalu akhirnya jawaban yang kutunggu-tunggu keluar dari mulut sahabatku itu. Simpel tapi sukses besar membuat hatiku remuk.
“Aku tidak baik-baik saja...”
Suara yang serak dan nyaris hilang itu.
Setelah menerima jawaban itu aku justru menangis kencang seperti bayi. Lalu memeluknya dan terus-terusan bergumam “Kau tidak baik-baik saja,” Mungkin kalau dihitung sekitar sepuluh kali lebih aku bergumam seperti itu. 
Kim Jongin juga menangis. Dia menangis dalam diam. Aku tahu dia menangis, bahuku basah dan tubuhnya berguncang dalam pelukanku.
Saat itu aku sadar bahwa aku sangat merindukan sahabatku yang satu ini. Dia selalu ada didekatku tapi entah kenapa aku merasa dirinya hilang. Blur atau apalah.
Kami berdua berpelukan dan menangisi satu sama lain. Kami berdua saling merindukan sosok masing-masing. 
Silahkan ejek kami homo. Aku tidak peduli. 
2.
    Setelah insiden melodrama tadi aku menarik Jongin kedapur dan memaksanya duduk. Dia diam saja. Duduk seperti anak hilang dengan mata bengkak dan sembab. Sedangkan aku sibuk membuatkannya susu coklat. Lalu aku terkekeh karena wajah temanku itu benar-benar terlihat jelek. Lihat saja bibirnya yang tebal itu membengkak dan matanya ikutan bengkak hingga membuat matanya terlihat sipit dan menonjol. Seperti kacang walnut.
“Apa yang lucu?”Tanyanya, nyaris tidak terdengar sebab suaranya bertambah kacau. 
Aku hanya menggeleng lalu meletakkan susu coklat disampingnya dan bergumam pelan, “Sekarang beritahu aku, apa yang terjadi?”
Aku dapat melihat dari ekor mataku kalau Kim Jongin tidak suka dengan topik yang kubuka barusan. Tapi, mana mungkin aku membuka topik tentang Maria Ozawa disaat seperti ini. Aku masih peduli dengan sahabatku oke? Walaupun Maria Ozawa itu imut.
Jongin mendesah sambil menutup wajahnya yang terlihat kusut itu. “Aku cuma kebanyakan makan aspirin, oke?”
Aku mengeryit. Aspirin? Untuk apa dia makan aspirin? Ah, iya. Pinggangnya pasti sakit. Tapi makan aspirin kebanyakan tidak akan menimbulkan efek yang berlebihan seperti itu ‘kan? Setahuku tidak.
“Lalu apalagi yang kau makan?”
Ia hanya mengendikkan bahunya. “Obat tidur?” 
Ia menunduk sambil bergumam pelan, “Aku juga minum banyak, tapi gak ngaruh apa-apaan. Mungkin.”
Aku menatapnya gusar. Dia gila atau idiot? Obat tidur dan aspirin, kombinasi yang benar-benar negatif. Lebih negatif dari bubble tea di pagi buta dan perut kosong.
“Terus?” Akau bertanya padanya, agak sedikit kasar. Ia menoleh menatapku, lalu menunduk lagi. Memainkan ujung bajunya yang masih bernoda darah.
“Aku belum makan dan pagi ini dingin sekali. Jadi aku minum jahe panas.”
Itu dia! Sudah kubilangkan kalau Kim Jongin itu bodoh? Jahe dan aspirin? Benar-benar idiot. Maksudku aspirin dan jahe sama-sama memiliki sifat anti penggumpalan darah. Seharusnya jahe dan aspirin tidak boleh dikonsumsi bersama, itu bisa melipatgandakan proses penggumpalan darah. Jika terjadi pendarahan didalam perut, maka darah tersebut akan dimuntahkan jika sudah menghitam. 
Aku menatap Jongin yang masih setia memainkan ujung bajunya. Kalau ada waktu aku akan membuat riwayat hidup Kim Jongin yang Idiot. Dia satu tingkat lebih tinggi dariku dan pengetahuan medisku jauh lebih luas. Aku berani bertaruh kalau Jongin idiot itu tidur selama pelajaran biologi. Atau jangan-jangan dia juga tidur saat belajar sistem reproduksi? Maksudku, itukan pelajaran yang lumayan membangkitkan hasrat.
“Minum susumu lalu istirahat. Kalau kau merasa mual, pusing atau apa pun, jangan sungkan untuk memberitahuku.”
Sumpah, mendengar diriku sendiri berkata seperti itu membuatku merasa lebih bijak. Kim Jongin ‘kan seharusnya bertingkah lebih dewasa dariku, aku yang paling muda disini dan didepanku ada anak bayi besar yang sedang meminum susunya dengan baju berlumuran darah. 
“Ingat beritahu aku jika terjadi sesuatu.” Aku berkata padanya dengan penuh penekanan sambil menepuk punggung kurus itu, lalu pergi menuju kamarku. Bukannya aku jahat karena meninggalkan Jongin sendirian setelah mengalami tragedi keracunan-aspirin-dan-jahe. Tapi aku butuh waktu berpikir tentang hal yang barusan terjadi dan hal yang dulu sekali terjadi. Aku butuh banyak waktu untuk mengumpulkan mozaik-mozaik hidupku dan mempelajarinya lagi. Aku memang terlalu muda untuk melakukan hal itu, tapi setelah begitu banyak hal yang terjadi belakangan ini aku merasa harus banyak-banyak mengoreksi mozaik-mozaik hidupku. Jadi disinilah aku, duduk diatas kasur dengan jendela terbuka dan sebatang Winston ditanganku.
    Entah kenapa hal yang kuingat adalah pertemuan pertamaku dengan Xiumin; Kim Minseok. Trainee JYP yang nyasar ke SM. Saat itu hari pertamaku menginjakan kakiku dikantor SM, sebagai trainee. Aku masih ingat rasanya. Jantungku yang berdetak hingga menyentuh indra pendengaranku, kaki dan tanganku yang gemetaran juga tubuhku yang panas-dingin. Masih segar dalam ingatanku, telapak kakiku yang terasa panas saat aku memperkenalkan diri dengan suara lantang. Saat itu para juri memuji kepercayaan diriku, padahal aku tegang setengah mati.
Tidak ada yang spesial pada hari pertamaku menjadi trainee. Hanya penjelasan tentang sistem SM yang saat itu tidak aku pahami sedikit pun, lalu mereka menjelaskan tentang peraturan peserta didik, juga mempertingatkan kami untuk memiliki nilai rapot yang stabil. Setelah itu kami mulai berlatih. Kalau tidak salah kami hanya berlima waktu itu dan salah satu diantara kami berlima adalah Minseok. Pipinya tembeb sekali dan tubuhnya gemuk, benar-benar berbeda dengan Minseok yang sekarang. Tapi dari segi sifat dia sama sekali tidak berubah. Minseok yang pendiam. Saat itu Minseok sudah dilatih selama satu tahun tapi justru aku yang banyak omong. Salahkan Kwangjoo. Waktu itu dia bilang peserta didik perempuan SM cantik-cantik, ‘kan aku jadi penasaran dan nanya ini itu.
Walaupun berkesan ‘tak kelihatan’ Tapi Minseok memiliki tempat yang spesial dibenakku. Jangan salah sangka, dia hanya memberi kesan pertama yang amat sangat baik. Dan dia baik. Keterlaluan baik. Waktu itu aku pulang malam karena ada latihan tambahan sebab gerakkanku tidak pas dan pelatihku belum puas. Aku masih SMP waktu itu dan Minseok baru lulus SMA. Aku pulang naik bus dan bus terakhir sudah pergi empat puluh lima menit yang lalu. Aku terpaksa pulang jalan kaki sebab kedua orang tuaku saat itu ada di Jeju dan Kakakku pasti sibuk pacaran. Kesempatan mumpung ayah dan ibuku pergi. Dia pasti tidak mau acara pacarannya itu diganggu, terutama olehku. Oke, jangan salahkan wajahku jika pacar kakakku malah salah fokus setiap aku mengganggu acara pacaran mereka. Wajahku ini takdir Tuhan. Jadi maaf saja. 
Saat itu aku pulang jam sebelas malam. Terpaksa jalan kaki karena masih terlalu gengsi untuk numpang tidur dirumah pelatihku atau teman peserta didikku. Aku masih baru disini, walaupun cerewet tapi aku punya batasan dan sepertinya urat maluku belum putus. Jadi aku mandi dan beres-beres, setelah itu aku mengistirahatkan kakiku sebentar sambil menghayal tentang BoA. Tadi aku bertemu denganya dan dia tersenyum tipis. Aku cuma bisa bengong karena sumpah otot perutnya benar-benar mengagumkan. Aku baru lihat yang seperti itu. Setelah menghayal tentang BoA dan kakiku terasa kuat, aku memutuskan pulang. Dan ketika aku membuka pintu ruang latihan menari, tebak siapa yang kulihat?
Kim Minseok. Duduk dilantai sambil memeluk tas ranselnya. Dia menoleh kearahku dan tersenyum. Aku tidak berbohong dan tidak melebih-lebihkan tentang kenyataan bahwa aku ingin melahap pipi Minseok karena pipinya mengingatkanku dengan bakpao dan saat itu aku keroncongan.
“Aku menunggumu Sehun!” Serunya, sambil berdiri dan membersihkan celana bagian belakangnya yang kotor.
Aku tersenyum canggung karena Minseok berbicara informal padaku. Maksudku kita ‘kan baru beberapa kali bertemu dan baru pertama kali ngobrol? Pertama kali menyapa sepertinya lebih cocok.
“Anyeonghaseyo Hyung-nim?” Aku menyapanya dan kata nim diakhir kalimatku terdengar seperti sebuah pertanyaan yang mungkin hanya aku yang bisa mendengarnya. Aku bingung oke? Harus memanggilnya Hyung, Hyung-Nim atau Minseok-Ssi?  Atau Sunbae? Sunbaenim?  Biar bagaimanapun dia tetap seniorku jadi aku harus menghormatinya karena senioritas di Korea itu dijunjung tinggi. Agak muak juga sebenarnya apalagi kalau kau masih terlalu muda. Beruntungnya jadi yang tua...
“Kudengar orang tuamu di Jeju dan rumah kita searah jadi tak ada salahnya ‘kan aku mengajakmu pulang bareng?”Dia terdengar canggung dan ragu-ragu tapi berusaha menyatakan ketulusannya sambil tersenyum canggung. Aku tidak tega untuk menolaknya, jadi aku mengangguk sambil tersenyum. Lagi pula aku tidak memiliki alasan untuk menolak ajakannya.
    Malam itu tidak terlalu dingin, justru cenderung panas ditambah tubuhku yang memang panas sehabis latihan tadi dan Minseok membelikanku bubble tea. Dia terlihat berusaha terdengar asik tapi malah terkesan sok asik karena sumpah Minseok tipikal orang yang susah membuka pembicaraan, canggung dan lebih baik diam. Sedangkan aku? Aku hanya menikmati bubble tea sambil menjawab pertanyaan Minseok tanpa ada niatan untuk balik bertanya. Aku lelah, oke? Dan Minseok tampaknya lelah juga tapi ia berusaha menghidupkan suasana. Dan akhirnya kami berjalan dalam diam dan Minseok mengantarku sampai kedepan pintu rumahku. Aku bertanya-tanya semalaman apakah aku dan Minseok tetangga? 
    Aku terkejut keesokkan harinya saat Kwangjoo mengatakan kalau ternyata rumah Minseok tinggal jalan kaki saja dari tempat latihan. Apa maksudnya? Maksudku, untuk apa Minseok mengantarku pulang dan balik lagi. Kenapa dia berbohong? Mengatakan kalau rumahnya dan rumahku searah. Memang searah tapi rumahnya hanya berjarak sekitar sepuluh meter dari tempat latihan, sedangkan rumahku harus naik bus. Kalau jalan kaki bisa menghabiskan watu setengah jam lebih. Aku ingin bertanya tapi yang kulakukan adalah diam dan memperhatikan. Tidak lama aku menemukan jawabannya. Jawaban yang simpel. Minseok peduli padaku, itu dia. Tidak salah lagi. Bukannya kepedean atau apa, tapi aku memperhatikan Minseok selama hampir sebulan dan dia selalu memperhatikanku, menanyakan keadaanku dan menepuk punggungku saat aku merasa tertekan. Lalu tak lama kemudian aku menyadari kalau Minseok peduli pada semuanya. Dia diam tapi bertindak dan diam-diam semua orang menaruh kepercayaan padanya, juga mencarinya untuk menemukan ketenangan. Sudah kubilangkan kalau sampai sekarang Minseok tidak berubah? Di benar-benar tidak berubah.
    Lalu aku ingat pada mata panda dan wajah seram milik Zitao. Saat itu kelompokku dan Minseok sudah di bubarkan sebab dua membernya memilih menyerah dan kami dipisah-pisah. Saat itu Minseok satu kelompok dengan Luhan dan aku bersama Jongin, Taemin dan Moonkyu. Lalu Zitao datang, menggantikan Taemin yang sudah didebutkan. Kesan Zitao benar-benar berbanding balik dengan Minseok. Wajahnya super seram dan selalu mengintili Yifan, tapi kurasa Yifan tidak masalah dengan itu. Kami satu kelompok hanya beberapa bulan, sebab Zitao dipindahkan ke kelompok lain. Selama beberapa bulan itu Zitao hanya diam. Mungkin karena bahasa Koreanya buruk dan wajahnya, ia berkesan seperti orang jahat. Ditambah sifat agresif yang penuh ambisinya itu. 
Kurasa saat pertama kali kami bertemu, Zitao tidak suka padaku. Mungkin karena semua orang menyukaiku dan semua orang mengabaikannya. Kurasa orang-orang tidak bermaksud begitu. Kami dibatasi oleh batasan bahasa dan wajah Zitao membuat semua orang segan untuk menatapnya. Bahkan Jongin menunduk saat disuruh mengajarkan Zitao sebuah gerakan yang cukup sulit. Ya, aku tidak bisa menyalahkan Zitao, sebab Jongin juga takut pada Kyungsoo yang kecil itu.
Tapi ada satu hal yang membuatku―entahlah, menyadari? Bahwa Zitao bukan orang yang selama ini kami kira. Hal itu adalah saat Zitao bertemu Yifan. Wajahnya langsung sumringah dan dia bergelendotan manja di pundah Yifan sesuka hati. Maksudku, Yifan? Semua orang segan padanya. Dia tinggi dan tidak terlihat bersahabat. Terlihat dingin dan sok tampan. Walaupun memang tampan. Aku tidak memiliki masalah dengan orientasi seksual tapi aku akui saat bertemu Yifan, mulutku langsung menganga lebar dan menatapnya yang saat itu berlalu didepanku. Padahal waktu itu Yifan sedang bersin dengan hebohnya, tapi sumpah dia tetap menawan. Aku menceritakannya sesuai fakta dan tidak kulebih-lebihkan.
Yifan dan Zitao. Dua sejoli itu, dulu adalah sejenis “kelompok pertemanan?” yang paling disegani. Tapi mereka berdua terlihat baik-baik saja dengan semua persepsi kami. Zitao tidak mengerti apa yang kami bicarakan tentang dia dan Yifan menanggapi hal jelek yang kami katakan dengan bijaksana. Pada akhirnya Zitao masuk kelompok Yifan, bersama Luhan dan Minseok, juga satu lagi bernama Kevin. Sejak saat itu aku jarang bertemu dengan mereka. 
3.
    Aku tersentak saat mendengar pintu kamarku terbuka. Rokok yang kupegang berusaha kututpi di balik tanganku dan berharap-harap cemas aku tidak menyundut tanganku sendiri. Aku sudah siap dengan tampang polosku dan menatap orang yang membuka pintu.
Ternyata Jongin. Kupikir Manager Hyung. Tubuhku langsung merileks dan jantungku yang berdetak kencang, perlahan kembali normal.
Aku menatap Jongin yang memandangku dengan tatapan ragu. Aku menyesap rokokku yang panjangnya tinggal menunggu mati dan benar rokokku habis. Aku membuangnya keluar sambil bertanya , “Apa apa?” pada Jongin.
Ia hanya mengendikkan bahunya, lalu menutup pintu dan duduk sambil memeluk lututnya di lantai, disamping tempat tidurku, dibawah jendela dan disampingku.
“Entahlah, aku hanya tidak ingin sendiri.” Kurasa Jongin menjawab pertanyaanku dengan menanyakan dirinya sendiri.
Apakah ia ingin kutemani? Atau ingin sendiri? Atau mungkin ia hanya berusaha memperbaiki hubungan kami. Oh, ayolah, apakah tidak cukup adegan dramatis tadi? Kuharap Jongin datang kesini untuk menggila. Jadi aku menawarinya sebatang Winston.
Aku tidak menyangka ia akan tertawa sambil mengambil Winston yang kutawari. Maksudku, sudah tidak mendengarnya tertawa tanpa sebab. Dulu Luhan sering menceritakan lelucan dalam bahasa Cina dan Jongin tertawa paling kencang. Padahal dia tidak tahu lelucon apa yang Luhan ceritakan.
Mengingat kejadian itu, aku jadi ikut-ikutan melepas tawa. Walaupun tidak tahu apa yang lucu, tapi tertawa itu menular, jadi aku tidak gila. Yang gila justru orang disampingku ini, tertawa karena ditawari rokok. Selera humor yang aneh dan cukup unik. Walaupun masih ada Park Chanyeol yang bisa tertawa kapan saja, bahkan aku berani bertaruh kalau ada setan tiba-tiba muncul dari tanah, Chanyeol pasti akan tertawa. Efek ganja, kurasa.
    Jadi disiang menjelang sore itu, aku dan Jongin menghabiskan waktu bersama. Bernostalgia ini itu. Setelah sekian lama, akhirnya kami menemukan titik kenyamanan pada diri kami masing-masing. Tapi, kurasa Jongin tidak sepenuhnya kembali. Dia hanya mencoba kembali. Mungkin butuh proses, tapi aku senang. Walaupun kejadian melodrama tadi itu agak memalukan dan cukup kacau, juga absurd, tapi kurasa tidak masalah. Dan aku mulai berpikir, kenapa Jongin tidak dari dulu saja keracunan keracunan-aspirin-dan-jahe? 
“Apa kau masih menghubunginya?” 
Aku menengok menatap Jongin yang memandangku dengan seringai yang menurutku membuat wajahnya jadi lucu.
“Siapa?”
Ia hanya mengendikkan bahunya lalu menjawab dengan gayanya yang serampangan itu, “Heejin? Daehee? Siapa pun mantanmu yang cantik-cantik itu,”
Aku tertawa kecil sambil menggelengkan kepalaku, “Tidak. Aku sudah melupakan mereka. Kurasa.”
Kini Jongin yang tertawa. Ia melempar bantalnya padaki lalu memekik, “Itu tidak adil! Kau sangat tidak berperasaan. Jumlah mantanmu nyaris menyaingi Luhan Hyung. Aku hanya punya satu dan sampai sekarang aku masih memikirkannya.”
Aku menangkap bantal yang dilempar Jongin lalu memeluknya, “Kau benar-benar lover-boy Jongin-ah. Maksudku, kau memiliki tubuh dan tampang yang sudah pasti digilai wanita. Apa spesialnya gadismu itu, siapa manamya? Mini?”
“Minki,” Ujar Jongin, membentulkan kesalahanku. Ia tersenyum dan aku berani bersumpah melihatnya pipinya merona.
“Hei-hei, kau tidak perlu merona!”
Jongin tersentak lalu menatapku dengan wajah cemberut, “Tidak,” ia mengerutkan alisnya lalu menegaskan sekali lagi, “Aku tidak merona.”
Aku tertawa kencang sekali hingga membuat Jongin nyaris terjembab dari atas tempat tidurku. “Ayolah, Kim! Kau membuat ribuan gadis mimisan dengan gerakkan dorongan pinggulmu dan ekspresimu yang oke itu.” Aku merangkul Jongin lalu mengejeknya, “Dan disini kau duduk, dengan rona merah dipipimu itu karena seorang gadis bernama Minki.”
Aku terbahak saat Jongin mendorongku sambil mengusap pipinya yang merona, berusaha menghapus ronanya, meskipun itu mustahil.
Aku berusaha menghentikan tawaku, karena kini Kim Jongin sedang menendangi pantatku sambil berteriak-teriak menyuruhku untuk berhenti tertawa. Akhirnya aku bisa mengontrol tawaku. Aku mengangkat tanganku dan menyuruh Jongin tenang.
“Dia pasti sangat spesial,” Aku menatap wajah Jongin yang sumpah sekarang sudah semerah kepiting rebus.
“Ya, dia sangat spesial.”
Dan aku berpikir. Siapa wanita paling spesial bagiku. Maksudku selain Ibuku.

TBC

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
atik_han #1
Chapter 7: Kok ga dilanjut sih , sayan sekali klo discontinued .. ditungu next chapternya
luhaena241
#2
Chapter 6: Lega....
Akhirnya mereka selamat x)
Kalau kata Sehun Jongin itu sesuatu, begitu pula cerita ini. Jalan ceritanya mendebarkan!
Hanya, dlm penulisannya msh terdapat beberapa kekurangan atau kesalahan, seperti pd diksi dan kosakata, serta huruf besar.... (:

Sippo....
Ditunggu kelanjutannya ya.
Selamat ujian! Semoga diberi kelancaran dan mendapatkan hasil yg terbaik (y)
kimihyun211 #3
Chapter 5: UWOOHHH Keren bgt!! AKu baca ini kayak ada di situ langsung. Oh my!!
Padahal tadinya aku berharap kalo jongin, sehun, dan soohyuk selamat,, tapii soohyuk rela mengorbankan diri begitu,, aduhh aku sedih bacanya.. T^T
Kaki Jongin gimanaa??? Bisa mati kehabisan darah diaaaa ><
Semoga Hun ama Jong bisa selamatt//
Keep writing! Fighting!! :))
aegyo_sehunnie #4
Chapter 5: actionnya keren n aq deg2an bacanya cz ga bs ketebak apa yg selanjutnya trjadi...
smga jongin n sehun selamat..
bdw kasian soohyuk :'(
luhaena241
#5
Chapter 5: Hmm, kenapa ga di-tag di action? Dan, indonesian atau bahasa?

Fighting for your exams ya! (:
luhaena241
#6
Chapter 5: Hi! ^^
Wah, sudah update ya, senangnya! =)
kimihyun211 #7
Chapter 4: Annyeong!! Aku reader baru di sinii :) aku suka banget ceritanyaaa!!! Keren and seru abiss :D nexttt yaaa ditunggu :))
luhaena241
#8
Chapter 4: Ga bisa review banyak..
Jln ceritanya ga ketebak, mendebarkan, dan sesuatu aja! >.<

Keep fighting ya! ^^
Ditunggu chapter selanjutnya
luhaena241
#9
Chapter 3: It's okay, Hun. Keadaan mendesak. Itu namanya pembelaan diri ;)
Uh, Jongin berkorban untuk Sehun ya :-( Atau itu memang rencananya :/
Uwah dugeun dugeun
luhaena241
#10
Chapter 2: Kalau Ju-on apa?