Antagonist (Chapter 1 : Meet the Antagonist)

Antagonist

Pardon? Tadi lo . . . . bilang apa?”

 

I said I’m sorry. Gue enggak bisa tanda tangan.” Gadis dengan mata gelap yang dingin itu lalu bersandar di kursi besarnya, menatap tajam lawan bicaranya yang mulutnya baru saja ia buat menganga. Dari balik meja besar yang memisahkan dirinya dengan si lawan bicara, gadis itu menelan bulat-bulat tatapan penuh gelagak amarah yang dilemparkan kearahnya, tanpa kesulitan apapun. “Tujuan dan sasarannya masih terlalu lemah, plus that enormous budget you planned to spend, only for a new school-based event? Lo pikir dengan begitu ada sponsor yang mau nyumbang?”

 

“Tapi gue udah ganti bagian-bagian yang waktu itu lo bilang jelek!” Suara lawan bicaranya sudah tinggi, gadis yang terduduk di kursi besar itu sudah dapat memperkirakan kalau pembicaraan dengan pemuda di depannya ini akan segera berakhir kurang dari empat puluh lima detik.

 

“Ya masalahnya bagian-bagian itu masih jelek.”

 

I’ve change it for like . . . five times!”

 

“Dan masih jelek.” Hening sesaat. Pemuda itu memandangi gadis di depannya tidak percaya. Dibalik kacamatanya, tatapan gadis itu tenang dan kaku bahkan, seperti permukaan air yang membeku. Tangan gadis itu terlipat tenang di bawah dadanya, pandanganya lurus, tidak ada bagian tubuhnya yang bergerak-gerak, menandakan kalau gadis itu berada dalam tingkatan emosi yang sangat stabil, terlalu stabil. Berbanding terbalik dengan lawan bicaranya yang terlihat seperti sudah berasap saking panasnya.

 

Pemuda itu menarik nafasnya, berusaha menekan dalam-dalam amarahnya meskipun tinjunya sudah terkepal dan sangat siap untuk melayang. “Okay . . . let’s put it this way. Kita kan temen seangkatan, lo pasti tahu usaha seperti apa yang udah gue lakuin buat membangun ekskul gue sampai akhirnya sekarang kita bisa buat acara. So please, I beg you, my team’s dream is in your hand. Sign it.” Pemuda itu kehabisan kata, hanya itu usaha terakhir yang dapat ia lakukan. Dengan mantap ia kembali mendorong proposal di atas meja kayu besar itu kearah gadis yang tatapannya tidak pernah lepas darinya.

 

I’m sorry, I’m not playing friends right now. If you wanna make it, you gotta fight for it.” Dua kalimat itu langsung meniup segala niat si pemuda untuk bersikap tenang.

 

“Asal lo tau, proposal di depan lo adalah keringat dan air mata temen-temen gue, yang artinya temen-temen lo juga. You’re a total monster if you don’t wanna sign it.” Telunjuk pemuda itu mengarah kearah wajah si gadis selama ia berbicara dengan nada tinggi.

 

Then your friends’s tears and perspiration is not enough. Or maybe I am a monster.

 

Lalu terdengar gebrakan meja, yang sebenarnya sudah gadis itu duga. Ia tersenyum manis, seperti mencibir segala amarah dan maksud yang pemuda di depannya coba untuk sampaikan semenjak ia menginjak ruangan itu. Ia kemudian mengambil proposal yang terletak di atas meja kayu besarnya dan menyerahkannya kembali kepada si pemuda. “If you said this project is so important to you, you better spend your energy on it rather than yelling at me, don’t you think?

 

Sekejap proposal di tangannya sudah berpindah tangan, disambar dengan cara yang kasar. Namun, senyuman itu tidak sedikitpun meninggalkan wajah si gadis. Tiga puluh detik sudah berlalu dan sekarang pemuda itu baru saja bangkit dari tempat duduknya lalu berjalan cepat kearah pintu keluar ruangan OSIS. Lima belas detik lagi dan tugas gadis itu untuk hari ini selesai.

 

You really are, an antagonist, Ishani.” Senyuman Ishani semakin lebar ketika ia mendengar kata-kata itu tepat sebelum pintu keluar terbanting tertutup.

 

Thanks, Za.” Gumam gadis itu, bersungguh-sungguh.

 

Diantara sekian banyak orang di dunia, Ishani¾Shani¾ adalah salah satu orang yang menikmati peran antagonisnya, dan selalu menginginkannya.

 

***

 

Mulanya, Ishani menganggap bahwa mungkin dirinya memang terlahir sedikit jahat, keras, dan rendah toleransi. Meskipun itu bertentangan dengan karakter kedua orang tuanya yang pada dasarnya merupakan orang baik-baik dan jauh dari karakter super tegas yang  dimiliki Shani. Kalau ketegasan ada levelnya, mugkin kedua orang tuanya akan berada dalam tingkat moderate, mereka baik dan tegas pada waktu-waktu yang memang diperlukan saja. Tetapi kalau Ishani, dia mungkin berada di level high, tingkat dimana orang-orang akan memanggilnya denga sebutan ‘galak’.

 

Tapi belakangan, Shani sepertinya mulai mengerti kenapa ia bisa memiliki sifat ‘beringas’ begini, apalagi semenjak ia menyabet posisi tertinggi Student Body alias OSIS di sekolahnya. Ia tidak suka¾koreksi, sangat tidak suka¾melihat seseorang yang mendapatkan sesuatu tanpa berusaha dengan kemampuan mereka sendiri.

 

 Tidak seperti sebagian teman-teman di sekolahnya yang mungkin ketika lahir sudah ditunjuk sebagai ahli waris, atau sudah menyandang nama besar keluarga, Shani lahir di tengah himpitan ekonomi ketika sang Ayah masih berjuang untuk menstabilkan usaha yang dimilikinya. Shani dan kakak laki-lakinya Indigo, pernah dititipkan di salah satu rumah famili mereka yang dermawan karena sang Ayah sempat tidak mampu membiayai kedua anaknya. Meskipun saat itu Shani masih kecil, tapi ia sudah bisa mengerti, mengerti karena tangisan kangen Indigo yang selalu ia dengar setiap menjelang tidur. Pengalaman itu telah membenamkan sifat keras ke dalam diri Shani yang sekarang. Rasa tidak suka akan orang-orang yang menyia-nyiakan dan menganggap mudah sesuatu. Karena semenjak kecil ia telah belajar betapa berat perjuangan sang Ayah untuk menggapai keinginannya.

 

Itulah mengapa Shani menolak mentah-mentah proposal Derza. Ia mendengar dari salah satu anggota OSIS kalau proposal yang sampai di tangan Shani bukanlah buatan Derza, melainkan buatan dari karyawan di kantor Ayahnya. Karena itulah sejak pertama melihat covernya saja Shani sudah tahu kalau ia tidak akan pernah menandatangani dan meloloskan proposal tersebut. Permintaannya untuk perbaikan di sana-sini juga hanya untuk membuat pemuda itu eneg saja. Bull ketika Derza mengatakan itu adalah hasil keringat dan air mata anggota ekskulnya.

 

“Shan, elo pidato yah, buat penutupan Science Fair?”

 

“Hah? Suruh Rengga lah, dia ketua panitianya, kan?”

 

“Dia juga pidato nanti, tapi dia mau lo yang secara resmi nutup acaranya.” Kalimat ini membuat Shani mengangkat kepalanya dan menoleh ke sekretarisnya di OSIS, Jona.

 

“Kalo mau resmi-resmian minta Principal Erwin dong, masa gue?” Shani kemudian menutup buku teks sejarah di hadapannya dan mengambil beberapa lembar persetujuan yang Jona sodorkan kearahnya. Kepala sekolah mereka, Mr. Erwin pasti akan sangat antusias melakukanya.

 

“Ya lo kayak nggak tau aja sih, si Rengga kan naksir sama lo. Somehow he tried to involve you as much as he can.” Goda Jona, mendorong pelan bahu si ketua OSIS di sebelahnya. Sore itu, selain membahas Science Fair yang sebentar lagi akan digelar, mereka juga akan mengadakan rapat internal untuk mendiskusikan salah satu agenda kegiatan OSIS Marlow High yang paling penting, yaitu Marlow Cup, atau lebih gaul dikenal dengan sebutan Macau. Apalagi sore itu rencananya mereka akan mulai melakukan seleksi murid-murid yang mendaftar untuk menjadi ketua panitia Macau.

 

“Basi deh, Jon.” Balas Shani santai sambil membantu Jona meletakkan minuman kemasan di atas meja untuk rapat sore itu. Berita kalau si mantan anak cupu Marlow High alias Rengga Dirdjo naksir berat sama si ketua OSIS galak memang bukan lagi topik asing di sekolah mereka.

 

“Tapi si Rengga hebat juga lho. I mean, lo tau dia kelas sepuluh cupunya kayak apaan. Kalo beneran demi elo dia sampe jadi ketua panitia Science Fair, Shan, gue buka jalan deh buat doi.” Dan Jona mendapatkan sebuah pelototan dari Shani untuk kalimatnya yang satu itu.

 

“Lo sekretaris apa konselor sih?” Jona hanya terkekeh pelan diledek begitu oleh Shani. “Pecat, nih.” Ujar Shani lagi, tentu saja tidak serius. Menjadi rekan kerja seorang Shani, membuat tidak hanya Jona, namun semua anggota OSIS terbiasa dengan celetukan-celetukan tajam nan dingin milik ketuanya, bahkan ketika ia bercanda.

 

“Ampun Bu Ketua, cuma menyarankan.” Dengan itu Jona berlalu mengambil laptopnya dan meletakkannya di atas meja, untuk notulis rapat nanti. Shani sendiri kemudian mengambil handphonenya dan kembali mendapat chat dari Indigo, isinya tidak lain tidak bukan fotonya dengan sang pacar yang juga sama-sama sedang studi di Manchester. Gadis itu hanya terkekeh karena akhirnya si kuper Digo dapat pacar juga, dan semenjak itu hobi baru kakaknya adalah mengirimkan fotonya dengan sang pacar kepada adiknya.

 

“Eh, Shan, tapi menurut lo, dia jadi ketua Science Fair beneran demi elo nggak sih?” Shani mendengus malas, lagi-lagi pertanyaan tentang Rengga.

 

“Kenapa nggak lo tanya langsung aja ke orangnya?”

 

“Serius? Gue tanya beneran nih!” Dan Jona mendapat pelototan lagi dari Shani.

 

“Jon . . . please.”

 

“Tapi, kalo si Rengga beneran jadi ketua demi elo kan, so sweet aja gitu.”

 

Shani bersumpah, novel-novel roman picisan yang selalu dibaca Jona sepertinya mulai menjarahi kepala mungil sekretarisnya itu.

 

“Nggak mungkin.” Jawaban singkat Shani dengan cepat membuat Jona kehilangan semangat untuk membicarakan Rengga. 

 

Annyeong haseyo chingudeul!1

 

“Speak in bahasa, please,” adalah respon otomatis yang diberikan Jona dan Shani begitu mendengar sapaan cerah dari pemuda berkulit susu yang baru saja masuk.

 

You guys are so cold.” Pemuda yang juga memiliki mata sipit serta rambut hitam lurus berponi lempar khas itu kemudian duduk di tempat langganannya, di samping kursi utama miliki Shani. Mungkin tidak sedikit orang yang akan terkejut apabila tahu kalau pemuda barusan, Kim Jongdae, merupakan wakil ketua OSIS Marlow High. Jangan tertipu tampang asli Koreanya, sebenarnya Jongdae menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jakarta. Membuat si ‘Jong Oppa’ (begitu dia suka dipanggil), bisa nyerocos dalam bahasa Indonesia dan membuat orang pribumi macam Shani dan Jona minder karena sepertinya kosa kata Jongdae lebih banyak dari mereka. Namun terkadang, beberapa anak jahil juga suka memanggil Jongdae dengan sebutan Chen chen karena paras sang wakil ketua OSIS yang lebih mirip dengan keturunan Tionghoa daripada keturunan negara kiblat K-Pop itu.

 

Di sekolah Shani memang terdapat banyak orang asing karena status sekolahnya yang merupakan sekolah Nasional Plus. Tapi untuk mengikuti organisasi macam OSIS, orang-orang asing tersebut cenderung tidak mau ikut-ikutan. Makanya, penduduk sekolah mereka sempat heboh juga waktu Jongdae mengajukan diri sebagai wakil ketua OSIS, dan akhirnya terpilih pula.

 

“By the way, gosipnya Shani bikin rekor lagi ya, nolak proposal si Derza?”

 

“Semenit kurang.” Shani mengangguk mantap.

 

“Hah, pertama kali nih gue ngeliat orang seneng banget nolakin proposal.” Gurau Jongdae, “Doi marah-marah tuh tadi di kelasnya.”  

 

“Wajar ya kalo gue nolak proposal dia. Kalo lo jadi gue lo juga pasti nolak.” Shani menjawab Jongdae dingin, sibuk membalas chat dari kakaknya.

 

“Sekarang apa masalahnya?”

 

“Pertama, itu proposal bukan dia yang bikin. Kedua, dia itu ketua ekskul DJ, yang eskulnya aja nggak jelas dan belom di resmiin sekolah, terus dia mau bikin acara party? Yang bener aja.”

 

“Kok lo bisa tau kalo itu proposal bukan dia yang bikin?” Jona menampik tangan Jongdae galak ketika pemuda itu berusaha membuka minuman kemasan yang sudah disediakan khusus untuk rapat.

 

“Gue tau dari Fara. Panjang ceritanya, Jong. Lain kali aja gue ceritain.” Shani memasukkan handphonenya ke kantung dan segera duduk di samping Jongdae.

 

“Jangan lupa ya. Gue juga perlu tau, Shan.” Ujar Jongdae sambil memandangi Shani serius. Tentu sebagai wakilnya, ia perlu tau alasan jelas Shani menolak proposal Derza. Gadis itu hanya mengangguk pelan menanggapi permintaan Jongdae. Satu alasan mengapa Shani memilih pemuda itu untuk menjadi wakilnya adalah, karena ia menyeimbangi ketegasan seorang Shani. Jongdae memiliki rasa empati serta toleransi yang tinggi, sehingga terkadang Shani yang suka tidak mau tahu, bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda.

 

“Eh, Shan, tunggu deh. Lo udah nge-cek pendaftaran calon ketua Macau, belom?” Jona yang saat itu sedang serius melihat layar laptopnya tiba-tiba heran ketika ia melihat nama dalam daftar email dari murid-murid yang mengajukan diri sebagai calon ketua.

 

“Kemaren sih terakhir. Kenapa? Banyak yang daftar lagi?”

 

“Enggak sih . . . cuma . . . lo berdua sini deh, ini beneran nggak sih?” Dengan raut wajah heran, Jongdae dan Shani menghampiri Jona dan melihat daftar nama yang terpampang. Salah satu nama yang ada dalam daftar inbox email tersebut memang kemudian membuat Shani dan Jongdae ternganga sedikit.

 

“Kai Putra . . .” Gumam Shani. Nama itu tidak terasa asing di mulutnya.

 

“Ini . . . Kai? Seriusan Kai?” Ujar Jongdae tidak  percaya.

 

“Dia serius nih mau apply?” Jona beberapa kali meng-scroll up dan scroll down layar di laptopnya sebelum akhirnya kembali membuka email dari Kai dan melihat kalau Kai mengirimkan semua persyaratan yang diminta. “Guys, kayaknya dia serius deh.” Lanjut gadis itu.

 

Shani hanya memandangi layar laptop tanpa memberikan komentar apapun. Di kepalanya sedang berputar banyak pertanyaan yang tidak akan mungkin ia lontarkan di sini. Ketiga anggota OSIS yang penasaran itu masih memantengi layar laptop Jona ketika seseorang mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruang rapat.

 

Dari tempat mereka bertiga, terlihat jelas kalau orang yang baru saja masuk pasti habis melakukan aktifitas fisik yang lumayan melelahkan, karena keringat terlihat menetes dari dahi dan pelipisnya. Kemudian sosok itu tersenyum.

 

“Eh, pas banget. Gue mau nanya, application gue masuk nggak?”

 

“Panjang umur lo, baru kita omongin. Kesurupan apa lo apply-apply beginian?” Sambil menyambut  sosok tersebut Jongdae dengan santai berjalan ke arah pintu ruang rapat dan mengajaknya untuk masuk.

 

“Jon, panggil gue kalo semua udah ngumpul ya.” Ujar Shani pelan, dan dengan itu ia berlalu. Ketika berpapasan dengan sosok berkeringat tadi Shani tidak berkata apa-apa, ia bungkam hingga langkah membawanya keluar ruangan.  

 

Ia menarik nafasnya dalam-dalam ketika akhirnya keluar. Karena udara yang ia hirup barusan penuh dengan aroma masa lalu, masa ketika cinta pertama membuatnya keranjingan, ketika hatinya yang alot sempat lumer oleh pelukan hangat perasaan itu, dan di dalamnya ada orang itu, ada Kai.

 

Tidak ada yang tahu, dan tidak ada yang perlu tahu kalau si tokoh antagonis bisa jatuh cinta.

 

***

 

Namanya Kai Putra Bawana. Kai.

 

Sebut namanya di tengah kerumunan siswi Marlow high dan semua mata mereka akan mendelik gesit kearah siapapun yang baru saja menyebut nama Kai. Mereka tidak akan menoleh, hanya mendelik. Telinga mereka akan menjadi super sensitif seperti radar ketika nama dengan tiga huruf itu disebut. Dari reaksi itu saja, kita kita tidak perlu hal lain untuk membuktikan kalau pemuda yang satu ini, meskipun ia tidak pernah mengakuinya, adalah salah satu selebriti sekolah di Marlow High. Tapi ada yang membuat Kai berbeda dari gerombolan selebriti Marlow lainnya seperti Nara atau Juan. Kai memang tidak setampan Juan yang blasteran Amerika Latin, atau tidak sekeren Nara ketika sedang melibas lawan dalam pertandingan-pertandingan rugby-nya. Well, darah campuran Indonesia-Jepang Kai memang membuat pemuda itu punya ketampanan yang unik, tapi ada hal selain fisik yang sulit dijelaskan, namun selalu membuat Kai menjadi perhatian.

 

Lucunya adalah, Kai mungkin bukan pemuda yang membuat para siswi (junior maupun senior) menjerit ketika ia sedang bermain futsal atau basket di lapangan, tetapi sebenarnya, sosoknya lah yang siswi-siswi itu buntuti di tengah teriknya lapangan. Mereka mungkin tidak akan menyapa Kai ketika berpapasan di kantin seperti mereka menyapa Nara, tapi setelah bertemu mata dengan pemuda itu, senyum sumringah mereka akan terkembang di belakang Kai. Mereka juga mungkin tidak pernah membicarakan Kai dengan heboh di tengah jam sekolah seperti ketika mereka bergosip tentang Juan, tapi jika handphone gadis-gadis itu dibuka, pasti ada saja, pembicaraan yang berhubungan dengan Kai dalam chatroom mereka.  

 

Kalau ada istilah secret admiror, mungkin bagi gadis-gadis itu Kai adalah secret crush mereka. Dan Shani pernah menjadi bagian dari mereka.

 

“Sumpah?! Kai?!”

“Nggak bisa lebih keras suaranya?”

“Sorry sorry. Nyesel gue nggak dateng rapat kemaren.”

“Hm.” Gumam Shani sambil menyeruput jus alpukat dalam genggamannya, dengan gelisah melihat ke sekeliling kantin mereka yang mulai ramai di jam istirahat pertama. Begitu yakin tidak ada yang memperhatikan, ia kemudian membenarkan posisi kacamatanya. “Out of 90 students in our batch why him?”

“Berarti fix nih dia salah satu calon ketua Macau?” Anandhita memastikan. Shani mengangguk pelan kearah sang sahabat yang duduk di depannya. Reaksi Anandhita selanjutnya adalah desahan nafas yang terdengar sedikit prihatin.

“Lo masih ngobrol sama dia nggak sih sebenernya, Shan?”

“Lo pernah liat gue ngobrol sama dia nggak?” Pertanyaan Shani dijawab dengan gelengan pelan dari Dhita. Gadis berparas ayu itu kemudian menyampirkan rambut panjangnya ke belakang.

 

“Tapi dia masih jadian nggak si . .?”

 

“Masih.” Jawab Shani tanpa membiarkan sahabatnya selesai. Ia terlihat tidak peduli namun sebagai seorang sahabat yang profesional perubahan air muka Shani yang samar terlihat sangat jelas di mata Anandhita. Kesedihan itu jelas masih ada di sana. Berkali-kali Anandhita pernah berusaha untuk membuat sahabatnya itu lupa. Entah sudah berapa kali ia mencoba mengenalkan Shani dengan pemuda-pemuda yang dikenalnya. Tapi ada daya, Shani adalah Shani. para pemuda itu selalu mundur dengan sendirinya karena sahabatnya itu tidak membiarkan mereka untuk masuk.

 

“Yaudahlah. Dia juga belom tentu kepilih kan.” Anandhita berusaha menghibur.

 

“Makanya minggu depan pas calon-calon itu pada presentasi lo dateng ya.” Shani mengingatkan Anandhita, karena sebenarnya sahabatnya itu juga merupakan salah satu anggota OSIS seperti dirinya.

 

“Hahah biar gue bisa bantu lo nggak ngelolosin Kai?”  

 

“Ya nggak juga. Kalo emang presentasinya paling bagus ya mau gimana lagi.” Ketika Shani baru saja akan menyuap soto ayam yang dari tadi diabaikannya seorang gadis tiba-tiba merangkul pundaknya dari belakang, disusul dengan gadis lain yang menghampiri Shani dan Anandhita dengan seyuman cerah.

 

“Hai OSIS people! Sumpah dari jauh muka lo berdua serius banget tau nggak?” Ayesha atau Echa, langsung duduk di samping Shani, tanpa melepaskan rangkulannya.  

 

“OSIS nggak ada masalah kan, Shan?” Dinda dengan manis mengambil tempat duduk di samping Anandhita dan meletakkan tempat minum shocking pink-nya yang selalu Anandhita bilang menyilaukan.

 

“OSIS-nya sih nggak. Ketuanya nih lagi krisis masa lalu.” Canda Anandhita, dan ia segera mendapat lirikan galak dari Shani.

 

“Eh eh cerita doong, hari ini kering gosip nih!” Echa, mood maker kelompok mereka tentu saja menjadi orang yang paling heboh ketika mendengar kata-kata dari Anandhita.

 

“Cha, gue lagi makan lo goyang-goyang mulu please deh.” Mendengar nada protes dari Shani Echa langsung melepas rangkulannya sambil menggumam, “sorry.”

 

 “Emang kamu kenapa Shan?” Tanya Dinda lagi lembut. Berbanding terbalik dengan kepribadian hyper Echa, Dinda adalah tipikal gadis yang disayang semua orang karena kelembutan dan kecantikannya. Kalau kata Echa, Dinda adalah tipe calon-calon Istri pejabat yang punya misi untuk menengakkan keadilan dan perdamaian di bumi Indonesia.

 

“Gatau tuh Dhita.”

 

“Ini masalah ‘si kecap manis’ deh pasti?” Tiba-tiba Echa nyeletuk.

 

“Seratus buat Echa.” Timpal Anandhita, raut wajah kaget segera terlihat muncul di wajah Dinda dan Echa. Kode ‘si kecap manis’ yang dibuat secara sepihak oleh Echa untuk menyamarkan nama Kai memang selalu jadi topik sensitif diantara mereka berempat, terutama untuk Shani tentunya.

 

“Lah?! Gue cuma bercanda loh.”

 

“Emang dia kenapa?” Tanya Dinda.

 

Sebelum menjawab pertanyaan kedua temannya Shani menghela nafasnya dan meletakkan sendok serta garpunya di atas piring, “Nggak kenapa-kenapa kok, Din. Gue sama Dhita cuma kaget dia nyalonin diri jadi calon ketua Macau.” Jawab Shani dengan suara yang pelan.

 

“HAH?!”

 

“Serius deh kalian semua punya masalah sama volume suara.”

 

“Dia kan anaknya¾” Belum selesai dengan kalimatnya, Echa memilih untuk bungkam ketika beberapa sosok baru saja memasuki kantin. Sebagian besar kepala menoleh kearah mereka, meskipun tidak lama. Salah satu dari sosok tersebut adalah objek yang sedang menjadi pembicaraan mereka saat itu.

 

Shani melirik sedikit kearah sosok Kai. Banyak yang bilang dia berubah. Mungkin iya, secara fisik. Tapi bagi Shani, Kai tetaplah Kai. Tawanya yang lepas tetap sama, caranya berjalan, caranya menggoyangkan kepala untuk merapikan rambutnya yang terlalu lurus, ataupun kebiasaannya menggigit dompet setiap kali habis membayar dan akan membuka bungkus snack kesukaannya. Semua masih sama persis seperti 3 tahun yang lalu. Menyadari kalau ia masih sangat hafal gestur-gestur kecil khas Kai secara detail, Shani langsung memalingkan pandangannya.

 

See? He’s one of them. Dan mereka bukan tipe yang . . . you know . . leadership-ish gitu loh.” Lanjut Echa, menoleh sebentar kearah sosok Kai dan orang-orang yang berada di sekitarnya seperti Juan, dan Nara.

 

“Ya kita liat aja nanti dia serius apa nggak.” Shani menjawab sambil menyuap makanan ke mulutnya. Ia sendiri sebenarnya agak deg-degan dengan kasus ini, karena kemarin ketika rapat Jongdae sempat bilang kalau presentasi yang Kai kirim bagus. Untuk Shani, tidak masalah kalau memang Kai yang harus terpilih, tapi masalahnya adalah, kalau benar Kai yang terpilih itu artinya Shani akan¾eh, bukan¾harus menghabiskan banyak waktu dengan Kai untuk rapat, diskusi, serta persiapan Macau lainnya yang cenderung panjang. Dan ia sudah lama sekali tidak berbicara dengan Kai.

 

“Semangat ya bu ketua.” Ujar Dinda sambil melemparkan senyuman tulus, yang dibalas Shani dengan anggukan pelan.

 

***

 

Pop quiz man. Gue dapet D masa.” Adalah kalimat protes pertama yang Juan lontarkan ketika mereka baru saja duduk di kantin.

 

“Kelayapan mulu sih lo.” Nara buka mulut, sekalian memasukkan potongan roti ke dalam mulutnya.

 

“Ngacalah. Ke PIM kan lo kemaren? si Akbar liat.” Balas Juan lagi.

 

“Lo nggak tau Akbar tidur mulu? Ngimpi kali dia.” Nara berujar dengan mulut yang sibuk mengunyah.

 

“Modus lo.”

 

“Cot.”

 

“Ribut deh lo berdua.” Kai akhirnya buka mulut juga sambil berdiri, berniat untuk memesan makanan.

 

“Eh, bro,  titip dong. Lo mau beli apaan?” Juan dengan cepat menarik kemeja seragam Kai sebelum pemuda itu meninggalkan meja.

 

“Gatau nih.” Sambil berdiri Kai menyapu pandangannya ke sekeliling kantin dan mencari-cari makanan yang ingin dia pesan, hingga pandangannya kemudian berhenti pada sosok berkacamata yang sedang asik memakan soto ayam sementara teman-teman di sekitarnya heboh mengobrol, agak jauh dari tempat ia dan teman-temannya duduk. Kai terdiam sebentar sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk kembali.

 

“Lah kok duduk lagi?” Juan bertanya sambil menoleh kearah pandangan mata Kai, dan ia menemukan sosok Shani. “Hahaha kenapa lo? Takut ya beli makanan deket Shani? Cups.”

 

“Apaan sih.” Tukas Kai galak sambil mencoba untuk mencari makanan di sisi lain kantin.

 

“Tapi si Shani galak banget emang. Kemaren Derza marah-marah di kelas gara-gara proposalnya ditolak lagi sama doi.” Nara memberikan informasi setelah ia menelan roti dalam mulutnya.

 

“Yaah, tekor deh lo Kai apply jadi ketua Macau.” Ledek Juan.

 

“Urusan gue bukan sama dia nanti.”

 

“Bukan sama dia gimana? Wong dia ketua OSISnya.”    

 

“Ya tapi kan gue yang punya acara.” Kai menanggapi, “kalo gue kepilih.”

 

“Yaah, kalo Shani yang milih sih kayaknya nggak ada yang dia lolosin.” Canda Nara yang kemudian disambut oleh tawa kecil dari Juan.

 

“Padahal waktu SMP gue sama Kai sempet deket banget gitu sama dia sama Dhita.” Tiba-tiba Juan mengungkit masa SMP dirinya dan Kai yang memang saat itu satu sekolah dengan Shani dan Dhita. Hal itu sempat membuat Kai mendesah malas.

 

“Si Shani emang galak dari SMP?” Tanya Nara.

 

“Galak sih, tapi nggak se-tegas sekarang kayaknya.” Juan menjawab, ia terlihat sedang berfikir, “Dulu dia asik kok, nggak rempong anaknya. Tapi gatau deh pas masuk SMA jadi jauh gitu. Iya kan Kai?”

 

“Gue mau katsu aja. Siapa yang mau?” Tanya Kai tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaan Juan.

 

“Gue!” Jawab kedua temannya bersamaan. Dengan satu anggukan Kai kemudian beranjak.

 

Sekali pandangannya kembali mendarat pada sosok Shani yang kali itu sedang tersenyum.

 

Ia pernah menjadi sahabatnya. Dulu. Kai, meskipun sampai sekarang ia masih suka mengabaikan pikiran itu, sedikit rindu bersahabat dengan seorang Shani. Karena itu pertama kalinya, seorang Kai pernah merasa kagum dengan teman sebayanya, apalagi seorang perempuan. Itu juga pertama kalinya ia tahu kalau ia bisa mengobrol berjam-jam dengan seorang perempuan tanpa harus terlibat dalam status hubungan seperti gebetan atau pacar.

 

Kalau kata kakak perempuannya, puberty changes everything. Tapi Kai tidak pernah percaya Shani menjauh karena hal itu. Pasti ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang sampai sekarang masih Kai tidak mengerti, dan ia tidak begitu ingin mengetahui hal itu.

 

Author's Note:

 

Hi guys! It's me again! There's a special reason why I made this particular fanfiiction in Bahasa. Because first of all, the background of this story happened in Indonesia, (obviously haha) daaan alasan kedua adalah karena nggak tau kenapa menurut gue paras Kai itu Indonesia banget. As one of the person that I followed in my twitter said, menurut dia Kai itu Jawa banget so, yeah, you can say her ff inspired me to make this.

 Enjoy guys! Critics are always warmly welcomed! :D 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
boboshinee #1
Chapter 7: Finallyyyyy!!!
diniramadanti #2
FINALLY UPDATE! YEAYYYYY I'M SO EMO.... KAI IS SOOOOOOOOO STUPID
boboshinee #3
Chapter 6: Busettt min rindu bget ama nih ff, lanjutkannn!! Kasian shanii hiks
parkaeraa
#4
Chapter 5: HAI!!! Please dong update lagi huhuhu sukaa sama ceritanya^^
boboshinee #5
Chapter 5: kak kpn update lagiii, kangen + kepoo nihhh!! ayoo semangatt kakak!!
BAALXX #6
shani pakabar ya?
BAALXX #7
Chapter 5: BAPER MAX BACA SAMBIL DENGERIN LAGUNYA. KAK. KAK. KAK. MONANG
diniramadanti #8
Chapter 5: Martabak greentea nya beneran dimasukkin! Muahahaha gue bacanya antara seneng sambil ketawa gini feb!
Great job banget btw gue msh pnsrn dgn masa lalu mereka huhuhu
Kita tgu update selanjutnya XD
BAALXX #9
Chapter 4: YALLAH, GUE BACA SAMBIL MAKAN PANCAKE DUREN TRS KAI BLG DUREN DUREN. YELAH PUSINK EUY PUSINK
ADUH SHANI X KAI TUH ADA APA SIH DI MASA LALUNYA ASDJAKSFJL. CANT WAIT! CEPET APDET AH>.<