Antagonist (Chapter 2 : Yes or No)

Antagonist
 

“Iya, Bu. Abis rapat Shani langsung pulang.” Sambil berjalan tergesa ke ruang rapat OSIS, Ishani memutar matanya, sedikit malas karena sang Ibu menelfonnya 5 menit sebelum presentasi para calon ketua panitia Macau dimulai.

 

“Iya Bu, Mang Udin udah standby di sekolah dari tadi.” Tambah Shani, ketika sampai di depan ruang rapat, dengan agak susah payah ia mendorong pintu dengan punggungnya hingga terbuka, karena salah satu tangannya sedang memegang telfon, dan tangan yang lainnya membawa map. Begitu Shani melangkah masuk, keempat belas anggota inti OSIS serta calon-calon ketua penitia telah hadir, Shani melemparkan senyuman tipis kearah mereka, masih dengan sang Ibu yang mengoceh di telinganya.

 

“Iya iya, Bu. Udah ya, aku mau rapat. Bye.” Dengan itu ia segera memutus sambungan telfon dan duduk di kursinya.

 

“Ketua OSIS dimarahin mama ya?” Bisik Jongdae iseng begitu Shani duduk di sampingnya, ia segera mendapat senggolan lumayan keras di pinggangnya, dari Shani tentunya. “Hi everyone! Thank you so much for coming today. Most of all, thank you so much for applying for this position, because I know it must’ve took a lot of courage to take a role as a leader.” Shani dengan lancar membuka rangkaian presentasi para calon ketua panitia Macau sore itu. Ia menatap satu demi satu empat murid yang mengajukan diri, kecuali Kai. Shani segera membuka mulutnya lagi ketika pandangannya hampir sampai kepada Kai.

 

“Oke jadi kita santai aja sebenernya. Nanti tolong satu-satu presentasiin tentang rencana sama konsep kalian kalau kalian jadi ketua panitia Macau kayak yang waktu itu kalian kirim ke kita buat pendaftaran. Jon, yang maju duluan siapa?”

 

“Oh! Emm . . . Randy. You’re first.”

 

“Okay.” Sambut pemuda tinggi berambut cepak itu. Shani kenal baik Randy, meskipun dia bukan merupakan anggota OSIS, tapi ia teribat dalam salah satu organisasi sosial yang biasanya diikuti oleh pelajar-pelajar mampu yang ada di Jakarta.  Shani tidak heran dengan kemampuan temannya yang satu ini.

 

Randy dengan percaya diri maju ke depan dan ia mulai membuka presentasinya. Shani kemudian bersender di kursinya. Ia melirik sebentar kearah Anandhita yang juga sudah ada di sana, mereka seperti sama-sama melemparkan tatapan mengerti satu sama lain ketika melihat sosok Kai yang duduk dengan wajah setengah tegang di depan mereka. Lalu Shani mengunci pandangannya pada Randy dan presentasinya sore itu. 

 

***

 

3 tahun yang lalu

 

Sampai menginjak umur 17 tahun, jika menoleh kearah  langit senja, yang akan bermunculan dalam kepala Shani selain warna oranye di ufuk adalah, suara bel sepeda, sedikit bau matahari, ring basket, dan pembicaraan dengan topik yang sepertinya tidak akan pernah habis. Setiap melihat semburat oranye hangat yang luntur di langit sore, memorinya dengan otomatis akan membawa dirinya kembali ke waktu dimana banyak senja yang ia habiskan bersama satu orang tertentu. 

 

“Rabu besok lo ikutan nonton basket nggak?” Shani bertanya. Ia terduduk di samping pemuda yang sedang menggigit dompetnya, dan dengan repot menusukkan sedotan pada dua teh kemasan dingin yang baru saja dibelinya. Tanpa diminta, Shani mengambil dompet dari mulut pemuda itu sambil menghela nafas, “kebiasaan deh.” Gumam gadis itu pelan.

 

“Gatau. Gue les drum Rabu. Udah sering cabut gue, nyokap udah marah-marah lagi.” Sambil menyerahkan salah satu minuman kemasan yang dibelinya kepada Shani, Kai kemudian meluruskan kakinya dan menggoyang-goyangkannya. Sore itu, seperti minggu sore biasanya, Kai akan menelfon Shani dan mengajaknya untuk bersepeda santai sebelum menyambut kesibukan sekolah keesokan harinya. Rumah mereka memang tidak begitu dekat, tapi biasanya Kai yang memang doyan naik sepeda akan menghampiri Shani di perumahannya dan mereka akan bersepeda di sana. Begitu malam menjelang, sebelum pulang mereka akan duduk-duduk sebentar di lapangan basket sambil minum.

 

“Kenapa? Lo sama Dhita mau ikut?” Tanya Kai.

 

“Dhita sih pengen. Gue biasa aja sebenernya, pengen ngeliat Juan doang. Lagian ini belom final, kan?” Shani menjawab, sedikit mengusap betisnya yang kotor karena duduk lesehan di tengah lapangan basket. Kai hanya menggeleng menanggapi kalimat dari Shani.

 

“Shan. Kalo gue pasti SMA di Jepang gimana?”

 

Gadis di sebelah Kai tanpa sadar menoleh tajam ke arahnya. Tanpa bisa ia kendalikan, wajah gadis itu dipenuhi dengan ekspresi terkejut sekaligus penasaran.

 

“Kenapa lo baru tanya sekarang?” Saat itu, perasaan nyaman yang Shani rasakan segera berubah dengan rasa khawatir yang menurut gadis itu sebenarnya agak sedikit berlebihan. Ia merasa, sebagai seorang teman memang wajar untuk merasa sedih apabila temannya akan pergi, tapi perasaan terkejut dan kehilagan yang mendadak ia rasakan terlalu intens.

 

Kai menoleh kearah Shani, menunjukkan wajah yang entah tersenyum, entah sedih, “Nyokap gue juga baru ngomongnya baru-baru ini. Sorry.” Gumamnya kemudian.

 

“Kapan berangkat?” Tanya Shani, membuang wajahnya dari tatapan Kai untuk menutupi rasa sedih yang tiba-tiba seperti membungkus dadanya.

 

Next term kayaknya. Kata Okaa-san the faster the better.” Jawab Kai. Terdengar begitu serius.

 

Banyak sekali yang ingin Shani katakan ketika tiba-tiba Kai berkata kalau ia akan pergi jauh. Seperti, “makanan di Jepang enak-enak, jangan makan ayam mulu.” Atau, “Lo pasti akan kangen main sepeda sama gue.”  

 

Namun pada kenyataannya, yang meluncur dari mulut gadis itu hanya,”Oh.” Lalu ia terdiam. Memilih untuk tidak mengatakan apa-apa daripada ia harus memperlihatkan rasa terkejut sekaligus sedihnya kepada Kai. Pemuda di sampingnya juga kemudian terdiam, sedikit ia melirik kearah Shani dan melihat temannya itu menunduk sambil menyeruput minuman yang dibelikannya.

 

“Shan?”

 

“Hm?”

 

“Lo percaya?”

 

Awalnya Shani harus mencerna dahulu pertanyaan Kai selama sepersekian detik sebelum ia akhirnya menoleh tajam kearah teman lelakinya itu dan memberikannya sebuah pukulan keras di bahu. Hal itu segera memancing tawa lepas Kai. Ia terpingkal hingga tawanya tidak lagi mengeluarkan suara. Selama ini Shani yang ia kenal selalu terjaga sikapnya dan susah untuk dikerjai karena terlalu pintar, ini kali pertama Kai melihat teman perempuannya itu terlihat terkejut, dan sedih namun berusaha untuk menahan perasaannya. Apalagi ekspresi Shani ketika Kai mengakui kalau semua hal yang ia katakan barusan merupakan kebohongan.

 

“Gue mau pulang ah!” Seru Shani, berdiri menahan malu sementara pada pipinya yang langsat muncul semburat merah. Saat itu ia merasa bodoh sekali. Jelas-jelas tadi Kai bilang ‘kalau’ tapi karena ia sudah keburu terkejut tiba-tiba Kai bertanya hal seperti itu, Shani menganggap kalau temannya itu akan benar-benar pergi.

 

 Ketika Shani melirik ke sampingnya Kai masih terpingkal dengan mata tertutup, dan mulut terbuka lebar. Bahkan pemuda itu nyaris berbaring saking hebohnya.

 

“Bodo ah! Mau pulang aja!” Serunya lagi, merasa benar-benar malu dan tertipu. Ia sudah siap angkat kaki dari tempatnya duduk tadi namun ia merasakan sebuah genggaman di pergelangan kakinya. Tentu saja itu Kai, yang meskipun masih tertawa, berusaha untuk menahan Shani.

 

“Shan ah. Jangan ngambek lah.”

 

“Abis lo random banget tiba-tiba ngomong SMA di Jepang.”

 

“Lah kan gue bilang ‘kalo’.”

 

“Iya yaudah gue salah.” Tepat ketika Shani benar-benar memutuskan untuk beranjak, Kai menggenggam pergelangan kakinya lebih kuat.

 

“Yaah si Shani. Sorry deh.” Ujar pemuda itu. Perlahan ia dapat melihat Shani mulai memutar badannya hingga menghadap pemuda itu hingga akhirnya gadis itu terduduk kembali di samping Kai. Meskipun masih dengan wajah yang cemberut. “Gue kira . . .”

 

Kali ini Shani menoleh, menatap Kai yang menggantungkan kata terakhir dari kalimatnya barusan.

 

“Gue nggak tau kalo lo bakal se-sedih itu kalo gue pergi.” Mendengar kalimat itu Shani memutar matanya malas dan kembali bangkit, kali itu Kai kembali tertawa dan ikut berdiri. “Sensi banget ni cewek.” Tambahnya, berusaha mengejar langkah Shani yang sudah lumayan jauh.

 

“Emang.” Kai hanya terkekeh mendengar balasan singkat dari Shani. Ia berusaha untuk bercanda dengan mendorong Shani dengan bahunya, dan dibalas dengan hal yang sama oleh si gadis. Kedua orang itu kemudian mengambil sepeda mereka, dan menuntunnya kembali ke rumah Shani, dimana mereka disambut oleh roti bakar strawberry.

 

Mungkin diantara senja yang lain di masa lalu. Senja ini adalah sore yang akan terus diingat Shani. Itu kali pertama Shani menyadari betapa ia akan merasa sangat kesepian apabila Kai pergi, padahal itu belum benar-benar terjadi. Membayangkannya saja sudah membuatnya sedih. Pada sore itulah, ketika ia dan Kai menuntun sepeda, Shani menyadari kalau perasaannya terhadap Kai bukan seperti perasaan seorang gadis kepada sahabatnya. Perasaan itu aneh, mengganggu, dan sering membuat jantungnya berderu. Tapi ia menyukainya.  

 

***

 

So we agree to pick him?” Anandhita angkat suara ketika para anggota OSIS lainnya terdiam, sedang berfikir tentunya. Saat itu presentasi telah selesai dan semua calon ketua panitia sudah keluar dari ruang rapat. Sekarang waktunya untuk memilih salah satu calon ketua yang nantinya akan menjadi rekomendasi utama OSIS kepada guru-guru serta kepala sekolah. Namun keempat belas anggota OSIS tersebut sedang terpilah antara dua nama yang paling dominan.

 

“Gue masih kurang yakin sebenernya. Konsepnya oke banget. Tapi pasti biayanya juga gede banget.” Laras, sebagai penanggung jawab keuangan tentunya langsung memperhatikan konsep acara dengan jumlah uang yang nantinya harus mereka dapatkan.

 

“Iya bener. Belom lagi . . bukannya gimana-gimana yah, cuma gue personally nggak yakin sama calon ketuanya.” Ujar Dipta, “boleh nggak konsepnya pake punya Kai tapi ketuanya Randy aja?”

 

“Nggak mungkinlah, Dip. Menurut gue kita harus hormatin yang punya ide.” Sela Jongdae cepat.

 

“Kalo menurut gue nih ya. Kai sih keliatannya niat banget. Lo liat kan presentasinya dia sampe bikin video gitu. So I think it’s okay for us to give him a chance?” Jona kali ini buka suara dan mengeluarkan pendapatnya.

 

“Sayangnya niat bukan berarti dia bisa, Jon.” Sela Dipta. Dari awal diskusi pilihannya memang sudah lebih condong kearah Randy, meskipun sepertinya sebagian besar anggota OSIS lebih memilih konsep Kai.

 

“Gue juga sependapat sama Dipta, sih. Kalo boleh ketuanya Randy tapi kita pake konsepnya Kai gue akan langsung setuju. Tapi, berhubung itu nggak boleh, jadi gue pikir kita akan tetep jadiin Kai ketuanya, tapi kita pilih salah satu orang yang menurut kita capable buat ngedampingin Kai sebagai wakil ketua.” Ujar Niki yang kemudian mengundang anggukan dari anggota OSIS lainnya.

 

Sementara semenjak awal diskusi Shani hanya sesekali mengeluarkan pendapat dan membiarkan anggota yang lain berdiskusi. Sebenarnya ia seratus persen sependapat dengan Dipta kalau konsep Kai memang sangat bagus, terlihat sekali kalau ia ingin mengembangkan Marlow Cup ke cabang-cabang perlombaan di luar olah raga. Tapi memang, reputasi Kai kurang  meyakinkan untuk dijadikan sebagai calon ketua, apalagi untuk rencana sebesar itu. Begitu mendengar pendapat Niki, Shani rasa Kai memang punya kesempatan untuk menjadi ketua.

 

“Shan? Gimana?” Jongdae, menepuk bahu Shani sebelum bersandar di kursinya dan menunggu jawaban dari ketuanya tersebut.

 

“Hmm . . .” Shani berfikir sebentar, ia mengambil handout dari presentasi Kai dan memperhatikannya sesaat sebelum ia akhirnya mengangkat kepalanya, “Gue sependapat sama Dipta juga. Tapi ide Niki juga bagus. Macau kan udah tahun ke 7, dan dari tahun ke tahun menurut gue kita play save banget dengan ngadain acara yang itu-itu aja. Jadi mumpung ada orang yang berani dan punya ide, gue nggak ngeliat ada yang salah dengan milih Kai.”

“Kalo lo setuju sama Niki berarti kita harus pilih orang buat ngedampingin Kai, Shan?” Tanya Arimbi.

 

“Iya. Tapi itu kalo kalian semua setuju milih Kai. Kalo kita fix pilih dia, kita bakal pilihin orang buat jadi calon ketuanya.  Tapi kalo kita setujunya sama Randy, kita nggak usah pilihin wakil ketuanya.” Lanjut Shani, menjawab pertanyaan dari Arimbi.

 

“Kalo gitu gue pilih Kai deh.” Jongdae menjadi orang pertama yang secara resmi mendukung ide Shani, sementara beberapa anggota lain terlihat masih berfikir.

 

“Gue juga Kai.” Jona kemudian menyusul Jongdae, “yang lain gimana? Menurut lo, Dip? Lo kan lebih milih Randy tadi.”

 

“Sebenernya kalo masalah ide gue lebih ke Kai, sih. Jadi kalo tadi Shani bilang gitu, gue fine kalo Kai yang kita rekomen ke guru, asal wakil ketuanya juga oke.” Mendengar pendapat Dipta, Shani mengangguk, ia kemudian melihat kearah anggota OSIS lainnya, mereka sedang berbicara satu sama lain, namun dari penglihatannya, Shani rasa dari awal mereka memang sudah jatuh hati dengan presentasi Kai, tapi memang tidak yakin pemuda itu bisa memimpin Macau hingga mereka memilih untuk melihat keputusan dari anggota yang lain.

 

“Kalo temen-temen yang lain prefer Kai juga nih?” Pertanyaan Niki kemudian disambut oleh anggukan dari anggota yang lain. Pemuda itu lalu menoleh kearah Shani, “Kayaknya kita fix Kai deh.”

 

Shani mengangguk sambil menggumam, “Okay.”

 

“Nah, kalo semua setuju Kai. Siapa nih yang mau kita tunjuk buat jadi wakil ketua?” Dante, salah satu anggota yang memang dari awal memang mendukung Kai akhirnya buka suara.

 

“Sebenernya sih, I’m thinking of Shani when I said Kai needs assistance.” Ungkapan jujur Niki langsung membuat sang ketua OSIS menengok tajam kearah anggotanya. Dapat ide darimana dia bisa minta seorang Shani mendampingi Kai untuk jadi wakil ketua panitia.

 

“Nik . .”

 

“Nah! Setuju lah gue kalo Shani yang jadi wakilnya.” Arimbi dengan senang hati langsung menyuarakan persetujuannya.

 

“Well, gue kan. . .”

 

“Pas banget tuh, Shani kan pengalaman organisasinya udah oke.” Timpal Dante.

 

“Kalian tau kan gue . . “

 

“Fix sih kalo Shani yang jadi wakil ketua, Macau taun ini bakal pecah banget.”

 

“Ehem! Guys!” Karena kehebohan yang terjadi akibat pendapat Niki, Shani harus menaikkan volume suaranya agar teman-temannya yang lain bisa mendengarnya. Gadis itu sempat dibuat deg-degan ketika mereka semua langsung setuju dan bahkan senang ketika merencanakan Shani yang akan mereka pasangkan dengan Kai sebagai wakil ketua. Well, bisa dibilang di dalam ruang rapat mungkin Shani adalah satu-satunya orang yang tidak senang dengan rencana itu.

 

As you know. Kita OSIS kan di sini sebagai penanggung jawab dari Macau. Jadi gue rasa akan repot buat gue, untuk jadi wakil ketua sekaligus penanggung jawab.” Shani memajukan posisi duduknya ketika ia mengatakan ini. Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan menyapu pandangannya ke sekeliling meja di mana teman-temannya sedang terdiam menyimaknya berbicara. Begitu mendengar Shani, terlihat beberapa anggota OSIS ada yang kecewa. Sepertinya bagi mereka menugaskan Shani untuk mendampingi Kai merupakan ide yang brilian.

 

“Gue mencalonkan Randy untuk jadi wakil ketua.” Tambah Shani.

 

“Bisa sih. Tapi Randy-nya mau apa nggak?” Jongdae menoleh kearah Shani di sebelahnya.

 

“Gue pilih Randy karena menurut gue, ya dia emang bagus. Kalian tadi juga bilang kan kalo Randy aja yang jadi ketuanya. Nah, berhubung Kai yang kepilih, jadi  Randy kita tugasin jadi wakil ketua aja. Harusnya dia mau.” Ujar Shani untuk menjawab pertanyaan wakilnya.

 

“Tapi Shan, kalo Randy jadi wakil ketua menurut gue agak kurang pas. Setau gue dia bukan tipe orang yang bisa nerima perintah gitu aja loh. Dia tuh leader marterial banget.” Ungkap Thalita  sambil mengetuk-ngetuk permukaan meja.

 

“Oh! Gini aja guys,” Tiba-tiba Dipta dengan wajah cerah memajukan posisi duduknya dan mulai mengeluarkan pendapat lagi, “Shani nggak usah jadi wakil ketua, tapi kayak . . . hmm gimana yah, penasehat khusus Macau gitu. Gimana?”

“Bisa banget!” Seru Jona antusias.

 

“Wah alhamdulillah. Dari tadi gue denger Dipta ngomong hari ini kayaknya prosessor otaknya lagi lancar.” Canda Niki sambil menepuk-nepuk bahu Dipta yang duduk di sebelahnya. Dipta yang terkenal suka lemot itu hanya tertawa sambil pura-pura akan melayangkan tinju kearah Niki. Guyonannya di tengah-tengah rapat serius itu mengundang tawa dan celotehan anggota yang lain.

 

“Eh, tapi Shan lo mau kan jadi penasehat buat Macau?”

 

Sempat hening ketika Jona memastikan kemauan Shani untuk mendapingi Kai sebagai penasehat. Kalau mau jujur ia bukannya tidak mau, ia hanya tidak siap menghadapi ketidaknyamanan dan ke canggungan situasi yang pastinya akan ia hadapi bersama Kai. Mereka hampir tidak pernah berbicara selama setahun terakhir, dan tiba-tiba Shani harus menghabiskan waktu bersama Kai, sampai Macau selesai. Gadis itu memutar otaknya dan menimbang-nimbang apakah ia sanggup melakukannya? Apakah ia bisa bersikap seperti seorang profesional dan mengabaikan perasaannya?

 

Meskipun sempat ragu, kemudian gadis itu sampai pada satu keputusan. Ia sudah tahu rasanya sakit hati satu kali, dan perasaan itu tidak mungkin menjadi lebih menyakitkan. Ia sudah pernah patah hati pada Kai, dan ia tidak mungkin patah hati kepada orang yang sama. Ia adalah ketua OSIS yang ditunjuk oleh teman-teman satu sekolahnya, dan dipercaya oleh para guru. Menjadi penasehat Kai tidak akan menjadi tantangan terberat baginya. Toh, di rapat guru nanti belum tentu Kai yang akan terpilih.

 

“Oke.” Jawab Shani mantap. “Jadi diantara 4 orang tadi, kita akan rekomendasi Kai pas rapat guru. Dan gue akan jadi penasehat kepanitiaan Macau.” Dengan keputusan barusan, Shani menghela nafasnya. Tugas beratnya sebagai ketua OSIS akan dimulai setelah ia keluar dari ruangan ini.

 

***

 

Ketika selesai menulis kerangka laporan hasil presentasi dan rapat hari itu, Shani, Jona, dan Jongdae memutuskan kalau mereka harus segera pulang. Karena dari jendela ruang rapat mereka, langit sudah terlihat kehilangan rona birunya dan mulai digantikan dengan lumuran ungu dan merah. Dari jendela itu juga Shani dapat melihat beberapa orang yang masih betah bermain basket di lapangan sekolah pada jam yang sudah lumayan larut ini.

 

“Yaampun pada belom pulang jam segini?” Jona mengikuti Shani melongo kearah jendela dan melihat segerombolan anak kelas 11 yang belum pulang.

 

“Ada  Kai juga? Dia nungguin hasil rapat jangan-jangan.” Canda jongdae sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

 

“Yuk ah udah sore.” Shani segera berjalan ke pintu keluar dan disusul oleh dua temannya yang lain.

 

“By the way Shan, yang bakal bilang ke Kai nanti siapa yah?” Tanya Jongdae sambil merogoh tasnya dan mencari-cari sesuatu.

 

“Oh iya yah,” Jona menambahkan, sebelum kemudian mendecak heran kearah Jongdae yang masih saja bingung dengan tasnya, “nyari kunci mobil? tadi kan lo taro di kantong depan.”  Pemuda itu langsung terkekeh malu begitu ia mendapatkan barang yang ia cari di di tempat yang Jona katakan.

 

“Nanti aja ngasih taunya kalo udah fix dia yang kepilih.” Jawab Shani.

 

“Abis rapat guru berarti?” Pertanyaan Jona segera dijawab dengan anggukan dari Shani.

 

Begitu tiba di lantai satu, Jona dan Jongdae yang pulang bersama segera pamit dan pergi meninggalkan Shani sementara gadis itu berjalan santai menuju gerbang sekolah. Ketika keluar dari gedung sekolahnya, Shani  menemukan sumber suara sorakan yang tadi ia dengar. Kai dan Juan sedang sedang adu basket one on one. Entah mereka sudah bermain berapa lama karena baju seragam mereka kuyup oleh keringat sehingga menempel pada tubuh mereka. Sementara di pinggir lapangan ada Nara dan Reyhan yang sudah kekurangan cairan dan masing-masing sedang menengguk air mineral.

 

“Kai! Balik ah! Udah jam segini.” Seru Nara setelah menenggak habis satu botol air di tangannya.

 

“Bentar ah!” Jawab Kai singkat sambil melompat dan melempar bola ke dalam ring. Di sampingnya Juan jelas sudah kehilangan sebagian besar tenaganya.

 

“Wah . .” Sambil terengah Juan mengambil bola yang menggelinding kearahnya dan mendekapnya. Ia menyembunyikan bola itu di balik punggungnya begitu Kai menghampirinya, “Besok gue ada latian fisik man.”

 

“Ah. Cups.” Protes Kai, berdiri di tengah lapangan sambil terengah. Meskipun tubuhnya sudah berpeluh, tidak terlihat ekspresi kelelahan di wajahnya.

 

Shani ingat wajah itu. Wajah yang terlihat dekil karena keringat dan sengatan matahari, namun merona karena semangat. Gadis itu sadar benar kalau Kai sangat menyukai basket. Tadinya ketika masuk SMP Kai dan Juan sama-sama masuk tim basket. Namun karena mendadak nilai Kai jeblok, kedua orang tua Kai memaksanya untuk keluar. Meskipun sekarang Kai juga bukan menjadi bagian dari tim basket Marlow, permainan basket Kai tidak kemudian menjadi hal yang langka bagi Shani untuk dilihat, lantaran pemuda itu sering sekali bermain pada jam istirahat.

 

Sempat terpaku memparhatikan empat pemuda yang masih ada di lapangan, Shani memutuskan untuk segera pulang. Gadis itu berjalan cepat kearah gerbang sekolah karena tidak mau salah satu dari keempat orang itu melihatnya, atau mengajaknya bicara. Karena sejujurnya, ia tidak begitu dekat dengan geng yang satu itu.

 

Sayangnya, begitu Shani hampir mencapai gerbang, sayup ia dengar namanya dipanggil. “Shani!”

 

“Ishani!” 

 

Tadinya gadis itu berniat untuk mengabaikan penggilan untuknya, namun ia terpaksa berhenti ketika mendengar sebutan yang sudah sangat lama tidak ia dengar.

 

“Yaya!”

 

Sudah Shani duga siapa yang akan ia lihat begitu ia menoleh kearah orang yang memanggilnya. Kai berlari kecil kearahnya dengan seragamnya yang basah dan dengan sebuah senyuman canggung di wajahnya. Ingin Shani membalas senyum itu namun banyak pikiran dan hal yang menahan senyum itu untuk terkembang. Hanya sebuah sapaan yang disampaikan dalam gumam yang berhasil diberikan oleh Shani, “Hey.”

 

“Abis rapat?” Tanya Kai, ia menggoyangkan kepalanya dan berusaha untuk melepaskan untaian rambutnya yang basah dari dahinya.

 

“Iya.” Jawab Shani, hampir tidak tahu apa lagi yang harus ia katakan, “Belom pulang?”

 

“Belom, abis main.” Jawab Kai, menoleh kearah tiga temannya yang sedang beres-beres di pinggir lapangan.

 

“Kenapa? Mau tau hasil rapat?” Tembak Shani langsung, membuat Kai terkekeh, sedikit terkejut dengan pertanyaan langsung seorang Shani.

 

“Emang boleh? Bukannya lo harus rapat sama guru dulu?” Kai bertanya balik.

 

“Justru gue mau ngasih tau kalo lo nggak boleh tau.” Jawab Shani, berusaha menatap Kai dan menenangkan detakan jantungnya di saat yang bersamaan. Siapapun itu yang mengatakan kalau waktu bisa menghilangkan dan menyembuhkan, sepertinya orang itu bohong. Karena hingga sekarang lengkungan mata Kai ketika tersenyum masih menjadi salah satu hal yang paling membuat Shani ingin ikut tersenyum.

 

“Yaudah.” Kai membalasnya singkat, dari raut wajahnya sudah terlihat kalau kecanggungan antara dirinya dan Shani mulai membuatnya tidak nyaman. “Masih dijemput Mang Udin?”

 

“Masih.”  Jawaban singkat itu seperti menjadi tanda untuk Kai untuk segera mengakhiri pembicaraan singkat mereka.

 

“Oke. Bye, Shan.” Dengan kalimat itu, Kai dan Shani membalikkan tubuh mereka dan berjalan menjauhi satu sama lain. Sebentar Kai menoleh ke belakang dan mencuri pandang pada sosok teman perempuannya yang satu itu. Kai kira, pemandangan itu akan terasa asing baginya. Namun nyatanya tidak.

 

Mungkin dari tempat Kai berdiri tidak akan ada hal aneh yang terlihat. Tapi jika diperhatikan lebih dekat, Shani beberapa kali menarik nafasnya dalam. Gadis itu masih sedikit terkejut dengan kenyataan bahwa Kai masih ingat nama panggilannya dan bahkan nama supirnya.

 

Shani ingat kali pertama Kai bertandang ke rumahnya bersama Dhita dan Juan, ia keheranan kenapa orang-orang di rumah Shani memanggil gadis itu dengan sebutan Yaya. Shani kemudian menjelaskan bahwa ia dan kakaknya masing-masing punya panggilan khusus di rumah. Yaya sendiri diambil dari nama tengah Shani, yaitu Dwaya, yang artinya anak kedua. Semenjak itu entah kenapa Kai terkadang memanggilnya dengan sebutan Yaya. Padahal Dhita yang lebih dekat dan lebih sering bermain ke rumah Shani hampir tidak pernah memanggil Shani dengan panggilan rumahnya. Itu membuat Kai satu-satunya orang di luar rumah Shani yang memanggilanya dengan sebutan Yaya.

 

Tapi sekali lagi Shani meyakinkan dirinya. Ia sudah tersakiti sekali, dan Kai sekarang masih menjadi milik orang lain. Tidak ada pentingnya ia merasa senang atas hal kecil yang baru saja terjadi.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
boboshinee #1
Chapter 7: Finallyyyyy!!!
diniramadanti #2
FINALLY UPDATE! YEAYYYYY I'M SO EMO.... KAI IS SOOOOOOOOO STUPID
boboshinee #3
Chapter 6: Busettt min rindu bget ama nih ff, lanjutkannn!! Kasian shanii hiks
parkaeraa
#4
Chapter 5: HAI!!! Please dong update lagi huhuhu sukaa sama ceritanya^^
boboshinee #5
Chapter 5: kak kpn update lagiii, kangen + kepoo nihhh!! ayoo semangatt kakak!!
BAALXX #6
shani pakabar ya?
BAALXX #7
Chapter 5: BAPER MAX BACA SAMBIL DENGERIN LAGUNYA. KAK. KAK. KAK. MONANG
diniramadanti #8
Chapter 5: Martabak greentea nya beneran dimasukkin! Muahahaha gue bacanya antara seneng sambil ketawa gini feb!
Great job banget btw gue msh pnsrn dgn masa lalu mereka huhuhu
Kita tgu update selanjutnya XD
BAALXX #9
Chapter 4: YALLAH, GUE BACA SAMBIL MAKAN PANCAKE DUREN TRS KAI BLG DUREN DUREN. YELAH PUSINK EUY PUSINK
ADUH SHANI X KAI TUH ADA APA SIH DI MASA LALUNYA ASDJAKSFJL. CANT WAIT! CEPET APDET AH>.<