Just A Second

Just A Second

 

                Dedaunan berwarna kecokelatan berjatuhan di tiap-tiap pepohonan yang membentuk barisan di jalan itu. Musim gugur sudah tiba sejak 2 minggu yang lalu, angin dingin membawa dedaunan yang berserakan di jalanan, berterbangan, bergeser dari tempat satu ke tempat yang lainnya. Seungyub baru saja keluar dari minimarket, ia membeli beberapa camilan untuk dirinya sendiri. Ia hendak kembali ke rumahnya, namun tiba tiba ia melihat seorang gadis bertubuh kurus duduk berdiam diri, sendirian, di bawah pohon yang terlihat paling besar dan mengenakan seragam yang sama dengan dirinya. Wajahnya menunduk membuat rambutnya yang panjang itu menutupi sebagian wajahnya. Tangannya gemetar, ada beberapa luka di tangannya. Ia tidak menangis, hanya saja tubuhnya gemetar seperti orang yang sangat ketakutan. Kening Seungyub berkerut, ia bingung, apa sebenarnya yang dilakukan gadis itu, hari sudah mulai gelap. Ia sendiri saja hendak pulang ke rumah, tapi gadis itu duduk disana sendirian, mengapa?

                Seungyub mencoba mendekati gadis tersebut, tangannya masih membawa kantong plastik berisi camilan. “Ehm, boleh aku duduk di sebelahmu?”

                Gadis itu mengangguk perlahan.

                “Ah, terimakasih,” ucap Seungyub, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia sendiri bingung apa yang ia lakukan.

                “Kau... Lee Seungyub?” tanya gadis tersebut, masih tetap menunduk tanpa menatap lawan bicaranya.

                Seungyub lagi-lagi kebingungan, bagaimana gadis ini bisa tahu namanya. Bahkan dirinya sendiri tidak mengenali gadis yang duduk di sebelahnya saat ini—walaupun mereka satu sekolah.

                “Ah, ya... Namamu?”

                “Hyangsuk. Lee Hyangsuk,”

                Seungyub mengingat-ingat adakah siswi di sekolahnya yang bernama Hyangsuk, karena dirinya tidak terlalu peduli dengan nama-nama murid di sekolahnya Seungyub hanya mengangguk-angguk saja. Ia mengambil dua bungkus roti cokelat, dari kantung plastiknya. Lalu menyerahkan satu bungkus pada Hyangsuk.

                “Makanlah ini, sudah mulai malam, tentu kau belum makan bukan?”

                Hyangsuk mendongak, memperlihatkan wajahnya. Sungguh, wajahnya yang cantik membuat Seungyub terpana melihatnya. Bukan hanya pada kecantikannya, tapi pada luka di sudut bibirnya.

                Seungyub menyentuh sudut bibir Hyangsuk, sang pemilik menatap kosong mata Seungyub. Sampai beberapa detik, Seungyub baru tersadar, ia sudah lancang menyentuh gadis yang baru ditemuinya itu.

                “Ah, astaga, maaf. Aku refleks, sudut bibirmu terluka.”

                Hyangsuk tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, terimakasih...”

                “Untuk apa?”

                “Kau peduli padaku,” Hyangsuk membuka bungkusan roti yang diterimanya.

                Seungyub mengeluarkan botol air mineral dari kantung plastik, dan sapu tangan miliknya. Ia membasahi sapu tangannya dengan air.

                “Apa yang kau lakukan?” tanya Hyangsuk bingung melihat apa yang sedang dilakukan Seungyub.

                “Tetap makan rotinya, izinkan aku membersihkan lukamu itu, dan tanganmu ini,”

                Hyangsuk hanya tersenyum. “Bahkan kau baru bertemu denganku hari ini,”

                Seungyub menghela napas, ia meraih tangan Hyangsuk yang jauh lebih kecil dari tangannya yang besar. Ia mengusap pelan luka goresan di telapak tangan dan lengan Hyangsuk. “Demi Tuhan, kau cantik sekali. Aku benar-benar tidak tahu ada gadis secantik dirimu di sekolah,”

                “Omong kosong,” sahut Hyangsuk sembari mengunyah roti miliknya.

                “Bolehkan aku tahu? Apa yang sebenarnya terjadi pada dirimu? Kenapa tangan, wajah—dan oh! Kakimu, sebentar...”

                Seungyub melihat luka lagi di betis Hyangsuk. Hyangsuk bertanya, “Kau ini dari klub mana? Mengapa peduli sekali dengan luka kecil seperti ini?”

                Seungyub mengerutkan dahinya. “Luka kecil? Kau bercanda? Luka-lukamu ini lumayan banyak, tidakkah merasa sakit—maksudku untuk ukuran perempuan,”

                Hyangsuk menggeleng.

                “Sebenarnya apa yang terja—“

                “Jangan tanyakan itu lagi, kumohon.”

                Seungyub menutup mulutnya, dengan hati-hati ia melanjutkan membersihkan luka di betis Hyangsuk.

                “Aku harus pulang...,” Hyangsuk berdiri dari duduknya, “Terimakasih banyak,”

                Seungyub pun ikut berdiri. “Mau kuantar? Ini sudah malam,”

                Hyangsuk kembali menggelengkan kepalanya, lalu ia tersenyum lagi—demi Tuhan, Seungyub menyukai senyumannya itu.

                “Baiklah, hati-hati, sampai bertemu di sekolah,” ujar Seungyub melambaikan tangannya, kemudian ia berbalik, meraih tas dan kantung plastik miliknya dan kembali ke rumah.

 

++++

 

                Sebulan telah berlalu, Seungyub dan Hyangsuk menjadi lebih dekat. Namun, mereka belum pernah bertemu di tempat lain termasuk sekolah, kecuali di bawah pohon jalanan itu. Hanya di tempat itu mereka berdua berbagi cerita.

Hyangsuk mulai bisa menceritakan masalahnya pada Seungyub. Meskipun hanya beberapa pernyataan yang singkat, dan sangat membuat Seungyub semakin penasaran. Rahasia apa yang sebenarnya terjadi pada gadis tersebut.

               

“Ibuku sudah meninggal,”

                “Aku hidup bersama Ayah dan adikku, Hyungsik...”

                “Ayah menamparku lagi,”

                “Aku rindu ibuku, sungguh.”

                “Hyungsik tidak pulang ke rumah, ia takut di pukul Ayah...,”

                “Ada perasaan menyayangi, namun aku juga ingin membunuhnya...”

                “Aku menyayangi Ayahku sampai aku tidak bisa membencinya...”

                “Hidupku ini menyedihkan, sangat menyedihkan. Sampai aku tidak bisa menangis,”

 

                Seungyub keluar dari minimarket, seperti biasa ia selalu membeli camilan, namun kali ini untuk dirinya dan gadis yang menunggu di bawah pohon itu. Seungyub menghampiri Hyangsuk, lalu duduk di sebelahnya.

                “Kau selalu membeli camilan?”

                Seungyub mengangguk sembari memberikan kotak susu pada Hyangsuk, “Tentu. Ini untukmu. Aku membutuhkannya agar aku konsentrasi dalam belajar.”

                Hyangsuk tersenyum geli. “Apa itu berpengaruh?”

                “Tentu saja,” tawa Seungyub, lalu meneguk susu kotak miliknya.

                Mereka berdua terdiam beberapa saat. Angin musim gugur, menyapu wajah mereka dengan lembut. Hari sudah mulai senja, mereka masih tetap duduk disana.

                “Hyangsuk, boleh aku ke rumahmu?”

                Tanpa berpikir panjang, Hyangsuk langsung menggelengkan kepalanya keras.

                “Kau mau apa?”

                “Bertemu adikmu... dan Ayahmu,” ujar Seungyub tanpa ragu sedikitpun.

                Hyangsuk menunduk. Rambutnya menutupi wajahnya. Bulir air mata membasahi roknya, ia mulai menangis.

                Seungyub yang tak tahan melihat gadis malang itu menangis, lalu ia meraih tubuh Hyangsuk. Ia merangkul Hyangsuk, mengusap rambutnya. “Tidak apa-apa, menangislah... aku akan menemanimu,”        

                Hyangsuk mendongak, menatap Seungyub, matanya basah oleh air mata. “Aku tidak ingin kau—“

                “Aku mengerti, aku mengerti.” Sahut Seungyub memotong perkataan Hyangsuk, ia kembali mengusap-usap rambut Hyangsuk.

                Kedua tangan Hyangsuk melingkar di tubuh Seungyub erat, ia menangis sesenggukan sembari rambutnya terus diusap oleh Seungyub.

                “Seungyub, bawa aku pergi malam ini,” ucap Hyangsuk tiba-tiba.

                Tanpa berpikir panjang, Seungyub mengangguk. Ia meraih tangan Hyangsuk lalu berjalan menjauh dari tempat mereka berada.

                Seoul pada malam hari tidaklah sepi, justru sebaliknya. Banyak lampu-lampu berkelip bergantian, membuat perasaan siapapun menjadi lebih baik. Mereka berdua sampai di Gwanghamun Square Fountain, yaitu air mancur yang berada di tengah-tengah kota.

                Hyangsuk tersenyum, lalu meletakkan tasnya. Gadis itu berlari mendekati air mancur.

                “Kyahh!!!” seru Hyangsuk bahagia, ia memutar tubuh-tubuhnya, tak peduli seragamnya basah.

                Seungyub tersenyum melihat tingkah Hyangsuk, kemudian ia meletakkan tas dan melepas seragamnya, berdada telanjang dan hanya mengenakan celana panjang. Tak peduli mereka berdua berada di tengah-tengah kota, dengan lampu yang berkelipan—tentu dengan seragamnya—bermain-main dengan air mancur.

                “Yah! Nanti kau kedinginan, pakai seragammu kembali,” ujar Hyangsuk cemas, melihat Seungyub tersenyum lebar, sementara tubuhnya dibasahi oleh air mancur.

                Seungyub menggeleng, bibirnya masih menyunggingkan senyuman. “Tidak apa-apa, kau tenang saja!” Kemudian ia mendekati dimana Hyangsuk berada, dan tiba-tiba mengangkat tubuh Hyangsuk.

                “Yah! Yah! Apa yang kau lakukan?!” Hyangsuk yang terkejut dengan perlakuan Seungyub, hanya disambut cengiran jahil oleh pemuda yang menggendongnya tersebut.

                “Ini menyenangkan bukan?” tanya Seungyub, kemudian ia memutar-memutar tubuhnya, bersamaan dengan air mancur yang memancarkan air secara serempak, diikuti dengan lampu-lampu yang saling sahut-menyahut.

                Setelah usai berputar-putar, Seungyub menurunkan Hyangsuk. Tiba-tiba Seungyub mencondongkan tubuhnya, tapi dihentikan oleh Hyangsuk.

                “Kau mau apa?”

                “Akan kuberitahu nanti,” Pemuda bermarga Lee tersebut, mencium bibir Hyangsuk, menyentuh pinggang gadis di depannya itu, memperdalam ciumannya. Hyangsuk pun tak bisa menolak perlakuan Seungyub, ia pun merangkum wajah Seungyub, mengusap rambut Seungyub yang basah, tangannya turun mengusap perlahan dada bidang Seungyub.

                “Aku menyukaimu, Hyangsuk,” Seungyub seraya melepas tautannya dengan Hyangsuk. “Sungguh, aku ingin melindungimu,”

                Hyangsuk diam, tangannya mengusap pelan rambut Seungyub.

                “Ada apa? Mengapa diam begitu?”

                Hyangsuk menatap manik mata Seungyub, “Kau tampan. Aku baru menyadarinya,”

                “Bukan itu,”

                “Lalu apa?” tanya Hyangsuk seraya menyusuri bibir pemuda yang kini menatapnya dengan tatapan sungguh-aku-butuh-jawabanmu.

                Seungyub menatap Hyangsuk dengan tajam.

                “Baiklah, baiklah,” sahut Hyangsuk mengalah, ia tersenyum. “Aku pun begitu,”

                “ ‘Aku pun begitu’? Maksudmu?”

                “Aku menyukaimu,” Kalimat singkat tersebut, membuat Seungyub tak bisa mengontrol dirinya, ia langsung saja memeluk erat tubuh Hyangsuk yang sama basah dengan dirinya. Membuat masing-masing diantara mereka, mengalir perasaan yang sangat aneh dalam tubuh mereka.

                “Jadi, mulai hari ini, kau milikku.” Ujar Seungyub singkat, lalu ia menggamit tangan Hyangsuk ke tempat mereka meletakkan barang-barang.

                “Aku belikan pakaian ganti untukmu,” kata Seungyub, “Pakai jaket ini dulu,”lanjutnya.

                Seungyub mengenakan kaus putih polos dari dalam tasnya, lalu mereka berdua berjalan menuju toserba yang tak terlalu jauh.

 

                Setelah membeli setelan pakaian untuk Hyangsuk, Hyangsuk mengenakannya.

                “Sudah malam, ayo kuantar pulang,”

                “Tidak usah,” tolak Hyangsuk.

                Seungyub menaikkan alisnya, “Baiklah, aku hanya mengantar sampai stasiun saja, bagaimana?”

                Hyangsuk akhirnya mengangguk, membuat Seungyub lega. “Terimakasih, Seungyub.”

                Sesampainya di stasiun, mereka berdua berpisah, Hyangsuk melambaikan tangannya, “Semoga kita bertemu kembali,”

                Seungyub hanya tersenyum, lalu membalas lambaian tangan Hyangsuk yang juga tengah tersenyum—senyuman yang Seungyub sukai.

 

++++

 

                Sudah beberapa minggu terakhir, Seungyub dan Hyangsuk tidak bertemu kembali di sekolah, maupun di tempat biasa mereka bertemu, dan berdua untuk duduk di bawah pohon jalanan itu.

                Seungyub memutuskan untuk bertanya ke anak-anak perempuan di sekolahnya, menanyakan tentang dimana Hyangsuk.

                “Apa hari ini Hyangsuk masuk sekolah?”

                “Tidak. Sudah beberapa hari terakhir ia tidak masuk, sepertinya sakit,” sahut seorang gadis yang kelasnya sama dengan Hyangsuk.

                “Astaga, Hyangsuk mengencani namja itu? Oh, dia benar-benar beruntung!”

                “Hyangsuk bukankah terakhir kali ia masuk, wajahnya lebam, dan sudut bibirnya berdarah lagi,”

                “Lee Hyangsuk malang sekali! Beruntunglah ada  yang menyukainya,”

                Seungyub mendengar bisik-bisik dari teman-teman sekelas Hyangsuk. Ia hanya tersenyum pada gadis yang tadi menjawab pertanyaannya. Ia tak peduli dengan perkataan teman-temannya.

                Jadi, teman sekelasnya pun tidak ada yang berteman dekat dengan Hyangsuk, gumam Seungyub.

                “Ya Tuhan, bahkan aku pun tidak tahu dimana rumah Hyangsuk,” keluh Seungyub pada dirinya sendiri.

 

++++

 

                Hari itu seperti biasa Seungyub membeli camilan-camilan di minimarket, tentu ia pergi tanpa ditemani oleh Hyangsuk. Namun, setelah keluar dari minimarket. Seungyub melihat gadis yang sangat ia rindukan berdiri di tempat biasa mereka bersama.

                “Hyangsuk!” seru Seungyub lalu menghampiri gadis, yang terlihat semakin kurus saja. Lagi-lagi, Seungyub menemukan luka baru, di leher dan kening Hyangsuk.

                Seungyub memeluk kilat tubuh Hyangsuk, lalu ia menyentuh pelan luka yang didapat Hyangsuk.

                “Ada apa denganmu?”

                “Mengapa tidak masuk sekolah?”

                “Ayahmu. Apa yang ia lakukan padamu?”

                “Bisakah ia berhenti melakukan hal ini padamu?”

                “Demi Tuhan, bisakah aku bertemu dan bicara langsung kepadanya?”

                Pertanyaan demi pertanyaan terlontar dari mulut Seungyub, perasaannya kali ini campur aduk, antara marah-bingung-sedih-dan-perasaan-tentang-apa-yang-harus-aku-lakukan.

                “Aku tidak apa-apa.”

                Seungyub membuang napasnya keras-keras. “Selalu saja begitu! Aku benci, aku benci pada diriku, karena aku tidak bisa melakukan apapun untuk melindungimu,”

                Hyangsuk tersenyum, ia merangkum wajah Seungyub. Menatapnya dengan tatapan meneduhkan. “Aku memilikimu, aku bisa merasakan cinta darimu, melihat senyumanmu saja sudah cukup,”

                “Tapi, menurutku itu masih jauh dari kata kurang, Lee Hyangsuk. Aku merasa tidak berguna untukmu,”

                “Itu tidaklah penting,” sahut Hyangsuk, “Sekarang kita sudah bertemu bukan?”

                “Aku ingin terus bersamamu seperti ini,”

                Hyangsuk tersenyum tipis. Lee Seungyub, aku lelah, gumam Hyangsuk dalam hatinya. “Aku pun begitu,”

 

 

 

++++

 

                Seungyub baru saja meletakkan tasnya ke dalam loker miliknya, namun tiba-tiba terdengar teriakan keras anak perempuan dari toilet sebelah selatan. Seungyub yang terkejut langsung berlari menuju toilet wanita sebelah selatan.

                Disana sudah ramai, anak-anak bergerombol penasaran melihat apa yang sedang terjadi.

                “Ada apa ini?”

                “Bunuh diri. Ada yang bunuh diri,” ucap salah satu dari mereka dengan bibir yang bergetar ketakutan.

                Dahi Seungyub berkerut. Bunuh diri? Tanyanya dalam hati.

                Seungyub memberanikan diri untuk masuk, dengan beberapa anak dari klub medis.

                Setelah melihat apa yang terjadi, Seungyub terdiam di depan wastafel, ia membaca dengan seksama sesuatu yang tertulis di cermin wastafel.

               

I quit.

 

Tulisan itu ditulis menggunakan spidol hitam. Banyak sekali tisu yang berhamburan dengan noda merah darah di pinggiran wastafel. Pemandangan yang memilukan. Seungyub memalingkan wajahnya dari cermin wastafel, dan melihat teman-temannya dari klub medis tersebut tengah menatapnya

Seungyub yang bingung, melihat teman-temannya menatap dirinya dengan tatapan berbelas kasihan dan tidak percaya. Mata Seungyub melihat ke arah bawah. Demi Tuhan, berjuta-juta volt listrik seperti menghujam tepat di dadanya. Seungyub ambruk, di samping gadis yang tergeletak dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan banyak darah. Ada darah dari hidungnya, kakinya lebam dan banyak luka goresan. Lee Hyangsuk, ya, itulah nama dari gadis tersebut. Wajahnya yang cantik itu pucat, ia sudah mengeluarkan banyak darah.

“Hyangsuk...,”

Seungyub dengan lemah, mencium dahi Hyangsuk untuk yang terakhir kalinya. Hatinya benar-benar hancur. Demi Tuhan, ia menganggap dirinya sebagai manusia paling bodoh.

Seungyub hanya terdiam . Saat tim medis, yang telah tiba mengangkut Hyangsuk dengan tandu menuju mobil ambulans.

Sungguh bukan ini pertemuan yang ia inginkan. Mengapa harus dipertemukan, jika harus berakhir perih seperti ini? Lebih baik, tidak mengenal Hyangsuk sama sekali, daripada harus kelihangan secara tiba-tiba seperti. Sungguh, perasaan bersalah sangat menganggu perasaan Seungyub. Mengapa ia tidak berusaha menghentikan luka yang selalu diterima Hyangsuk? Mengapa ia hanya menanyakan keadaan Hyangsuk, tanpa berusaha untuk menghentikannya? Demi Tuhan, mengapa ia tidak berusaha untuk melindunginya? Mengapa ia tidak menanyakan apa yang dirasakan oleh Hyangsuk.

Seungyub merasa tulang-tulangnya lenyap tak bersisa. Ia ambruk kembali, menatap nanar kalimat singkat di cermin wastafel itu. Kalimat singkat, menunjukkan gadis yang ia cintainya itu sudah tidak kuat lagi menjalani hidup ini.

 

Before we dated and loved each other for a month.. Saying goodbye would only take a second,.. The leaves couldn’t take it and fell to the ground,... We must be apart, its regrettable, I want you know...I’m sad, I still love you.”

 

 

 

THE END

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
moe2khin #1
Chapter 1: Very sad. Story.
boniteume
#2
Chapter 1: English please