chapter one

One more time, One more chance
Please Subscribe to read the full chapter

Soojung memeluk tubuhnya sendiri. Air matanya meleleh, menelurusi wajah cantiknya. Ia tak pernah menyangka akan jatuh cinta begitu dalamnya pada pria itu. Ia tak pernah menyangka bahwa mencintai pria itu begitu menyakitkan. Hatinya terluka, dadanya sesak. Sesekali isakannya terdengar. Ia begitu lelah menangis namun ia tak tahu harus bagaimana untuk mengurangi rasa sakit yang menyergapnya. Airmatanya tak kunjung mengering. Dari awal harusnya ia bisa mencegah dirinya agar tak jatuh cinta pada pria itu. Harusnya ia tahu bahwa pria itu tak pernah melihatnya sebagai wanita, pria itu hanya menganggapnya sebagai sahabatnya. Harusnya ia sadar hal itu hingga ia tak perlu jatuh begitu dalam pada pria itu. Sayang, ia tak pernah bisa mencegahnya. Tidak akan pernah bisa, hatinya lah yang memilih pria itu.

Isakannya mengeras saat ingatannya kembali pada beberapa jam yang lalu. Saat pria itu datang padanya dan menangis di dalam pelukannya. Bertahun- tahun ia mengenal pria itu, saat itulah pertama kalinya ia melihat pria itu menangis. Hatinya terasa disayat-sayat melihat pria yang ia cintai menangis. Ia berusaha menenangkan pria itu. Berusaha membuat pria itu mengerti bahwa ia selalu ada untuk pria itu. Namun, kenyataan lain begitu memukulnya. Rasa sakitnya bertambah, ia makin sadar bahwa pria itu tak akan pernah menyadari perasaannya. Seberapapun besarnya cintanya untuk pria itu, pria itu tak akan pernah mencintainya. Pria itu mencintai wanita lain, wanita lain yang sedang ia tangisi.

Soojung menutup matanya berusaha menghilangkan ingatan itu. Ia menghapus airmatanya kasar. Diraihnya ponsel di atas nakas.

            “Aku menyetujui keputusanmu,  Ayah.”

                                                            ***********

Pria itu hanya bisa menghela napasnya saat melihat wanita yang melahirkannya berdiri dengan tangan menyilang di dadanya. Ia baru saja pulang dari kantornya dan mendapati ibunya yang menatapnya penuh amarah. Ia tahu ibunya pasti akan memarahinya.

            “Kenapa kau tak datang, Choi Minho?” geram ibunya. Wanita paruh baya itu sangat kesal dengan kelakukan putra semata wayangnya.

            “Aku sibuk, ibu. Berhentilah, aku tak tertarik dengan kencan buta,” ucap Minho datar. Ia melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumah.

            “Ibu tak akan berhenti sebelum kau menikah,”

Minho menatap ibunya, menghela napasnya lagi, “Aku akan menikah jika sudah waktunya.”

            “Kapan?” desak ibunya, “ Sekarang usiamu sudah dua puluh delapan tahun.” Lanjutnya. Ada nada sedih saat ia menyebutkan usia anaknya yang hampir kepala tiga.

            “Aku ingin istirahat,” ujar Minho dingin. Ia melewati ibunya begitu saja. Ia lelah, sangat lelah dan ia tak ingin berdebat dengan ibunya. Wanita paruh baya itu hanya bisa menatapi punggung anaknya dengan nanar. Ia sedih sekaligus khawatir dengan keadaan anaknya.

Minho melepas dasi serta jasnya. Ia melemparnya ke sofa didalam kamarnya. Kemudian  berjalan ke beranda, membiarkan angin menerpa tubuhnya. Matanya perlahan tertutup, ia merasa tak sanggup lagi hingga mutiara-mutiara bening meluncur dari kelopak matanya yang tertutup. Delapan tahun ia berusaha kuat. Delapan tahun ia berusaha melewati segalanya sendiri. Delapan tahun yang begitu melelahkan. Delapan tahun ia gunakan untuk menghujat dirinya. Ia sangat menyesal karena terlambat menyadari pentingnya seseorang dalam hidupnya. Ia baru sadar setelah gadis itu pergi.

            “Dasar bodoh,” desisnya.

Genggaman tangannya pada pagar pembatas semakin kencang. Andai ia bisa kembali ke masa lalu, ia akan memperbaiki segalanya. Hidup selama delapan tahun tanpa gadis itu membuatnya mengerti arti kehilangan. Hampa, sunyi dan kosong adalah bagian yang begitu dikenalnya delapan tahun ini. Seberapapun banyaknya orang yang mengelilinginya, ia tetap saja merasa sepi. Jiwanya selalu haus untuk mencari pengganti gadis itu. Namun, semakin ia mencari semakin ia sadar bahwa tak akan pernah ada yang bisa menggantikan gadis itu. Ia hanya bisa berharap gadis itu akan datang dan mengembalikan separuh jiwa dan hatinya yang gadis itu bawa pergi.

Matanya terbuka saat sekelebat bayangan gadis itu muncul dalam ingatannya. Sebuah senyum kecil tercipta di wajahnya. Bukan senyuman bahagia tapi senyum lemah untuk meratapi kebodohannya. Angin malam makin menusuk tubuhnya yang kurus, begitu menusuk hingga ia mulai menggigil. Ia memutuskan kembali ke dalam kamarnya, ia tak mau melihat wajah khawatir ibunya jika ia jatuh sakit. Dengan langkah gontai ia kembali ke dalam kamar yang menjadi saksi bisu betapa ia menyesali kepergian gadis itu. Betapa ia merindukan sosok gadis itu. Betapa hampanya ia tanpa gadis itu. Ia melempar tubuhnya ke atas ranjang dan menenggelamkan wajahnya pada bantal. Airmatanya terus mengalir hingga tanpa sadar ia tertidur karena lelah menangis.

                                                            ********

            “Hyung....”

Minho mengangkat kepalanya dari berkas-berkas yang sedang ia teliti. Matanya menangkap pria berambut coklat yang begitu ia kenal. Matanya lebih kecil dari miliknya dan wajahnya seperti bayi. Pria itu tersenyum sebelum menghempaskan dirinya di atas sofa tak jauh dari meja kerja Minho. Minho bangkit dari duduknya kemudian bergabung dengan Teamin. Iya, pria berwajah seperti bayi itu adalah Taemin, sepupu sekaligus sahabatnya.

            “Ada apa?” tanya Minho tanpa basa-basi.

Taemin terkikik saat mendengar nada mendesak dari pertanyaan Minho. Ia mencibir sikap Minho.

            “Aku sibuk Taemin,” ucap Minho datar. Taemin menatap iba saudaranya itu. Pria itu selalu tenggelam dalam dunianya sendiri. Ini adalah tahun kedelapan pria itu berubah menjadi begitu dingin dan tak tersentuh.

            “Aku akan menikah. Aku harap hyung bisa menyisakan waktu untuk datang ke pernikahanku,” ujar Taemin seraya menggulurkan sebuah undangan pada Minho.

            “Selamat untuk pernikahanmu. Semoga langgeng,” lagi ucapan datar meluncur dari mulut Minho.

Taemin menghela napasnya. Ia khawatir serta sedih melihat keadaan Minho saat ini. Ia tak tahu bagaimana cara untuk menggembalikan Minho yang ceria.

            “Hyung... berhentilah memikirkan gad------“

            “Tidak bisa. Jika kau menyuruhku mencari penggantinya, percuma. Dia Cuma satu di dunia ini.”

            “Berapa banyak lagi waktu yang kau butuhkan agar kau bisa melepaskannya, Hyung? Ini sudah tahun yang kedelapan sejak ia meninggalkanmu. Mungkin saja ia sudah bahagia dengan pria lain. Mungkin saja ia sudah menikah dan memiliki anak. Berhentilah menunggu hal yang tak pasti, Hyung.”

Rahang Minho menggeras, tangannya menggepal,”Pergilah jika sudah tak ada yang kau bicarakan.” Geram Minho. Ia berusaha menahan amarahnya.

Taemin memandangi saudaranya yang memandang ke arah lain. Ia tahu saudaranya sedang berusaha menahan amarahnya. Ia pun bangkit, “Sampai jumpa di resepsi pernikahanku, Hyung.”

                                                            *************

Dengan ragu Minho mengetuk pintu kecoklatan di hadapannya. Ada rasa tak enak saat Ayahnya menyuruhnya menemuinya di kantor. Tiga kali ketukan hingga ia bisa mendengar suara yang paling ia kenal menyuruhnya masuk. Lagi, ia melangkah dengan ragu. Membungkukkan tubuhnya memberi penghormatan sebelum akhirnya duduk di sofa tak jauh dari meja kerja Ayahnya.

            “Aku akan mengirimu ke Paris,” suara penuh wibawa itu masuk ke gendang telinga Minho. Ia mengangkat kepalanya dengan mata melebar, tak percaya. Urusan luar negri biasanya ditangani oleh Ayahnya langsung dan sedikit aneh jika pria itu kini malah menyuruhnya.

Ayah Minho mengangkat sebelah alisnya saat melihat reaksi putranya, “ Aku lelah harus mengadakan perjalanan jauh. Mulai sekarang kau yang akan mengurus urusan di luar negri.”

Minho menganggukkan kepalanya. Mengerti dengan keadaan ayahnya yang tak muda lagi. Rambutnya bahkan sudah mulai memutih. Keriput di wajahnya juga makin banyak.

            “Aku dengar lagi-lagi kau tidak datang di acara kencan buta yang ibumu buat?”

            “Aku tidak tertarik dengan gadis-gadis itu.”

            “Arraso. Kau masih menunggu gadis itu kan?” ucap ayah Minho dengan senyum meremehkan. Minho benci ekspresi Ayahnya, pria tua itu tidak pernah tau bagaimana perasaannya.

            “Sepertinya sudah tidak ada hal penting yang kita bicarakan. Permisi,” ujar Minho seraya bangkit dan membungkukkan tubuhnya. Ia segera melangkah meninggalkan ruangan ayahnya.

            “Gadis itu akan segera menikah.”

Kalimat yang pendek namun cukup untuk membuat Minho mematung di tempatnya. Tuan Choi menyeringai melihat tingkah putra semata wayangnya.

            “Aku bertemu dengan Ayahnya beberapa waktu yang lalu. Dari situlah aku tahu bahwa gadis itu akan segera menikah. Jadi, berhentilah menunggunya. Semakin kau menunggunya semakin kau terlihat bodoh.”

Minho hanya bisa menggepalkan tangannya. Ia tidak siap dengan apa yang ia dengar. Selama ini ia hanya berharap gadis itu kembali tanpa pernah berharap untuk meninggalkannya selamanya. Ia menghela napasnya sebelum benar-benar meninggalkan ruangan ayahnya.

                                                            **************

Minho memijat pelipisnya. Setelah seharian dipusingkan oleh berkas yang menumpuk, sekarang ia justru di pusingkan oleh tiket pesawat yang ada di tangannya. Pertemuannya dengan klien di Paris bersamaan dengan hari resepsi pernikahan Taemin. Andai Paris sedekat Jepang, ia pasti bisa menghadiri keduanya. Namun, Paris jelas-jelas berada di belahan bumi yang berbeda. Butuhan puluhan jam untuk sampai sana. Ia harus memilih salah satu. Padahal, keduanya sama pentingnya. Ia meraih jas dan segera meninggalkan kantornya. Minho tak berniat pulang, ia justru ingin menemui Taemin untuk meminta maaf sekaligus memberikan hadiah pernikahan. Minho memang orang yang dingin. Namun, bukan berarti ia tak peduli pada orang-orang di sekelilingnya. Ia hanya jarang menunjukkan kepeduliannya.

Waktunya makan malam saat Minho sampai di apartement Taemin. Sulli, adik Taemin lah yang membukakan pintu untuk Minho. Sulli tersenyum sebelum ia mempersilakan pria jangkung itu masuk.

            “Oh, Hyung. Ada apa?” ujar Taemin yang baru saja keluar dari kamarnya. Rambutnya masih basah menandakan ia baru selesai mandi.

            “Aku kesini untuk meminta maaf karena tak bisa hadir di acara resepsimu. Aku harus ke Paris. Dan ini untukmu dan Naeun,” ujar Minho sembari mengulurkan sebuah amplop pada Taemin.

Dengan kening berkerut Taemin meraihnya,” Apa ini?”

            “Hanya hadiah kecil,” ucap Minho. Ia bangkit dari duduknya, “Aku harus segera pulang.”

            “Jika tidak keberatan, makanlah bersama kami, Oppa,” ajak Sulli.

            “Aniyo. Lain kali saja.”

Minho menganggukkan kepala kemudian berlalu dari kakak beradik itu. Taemin hanya menghela napas melihat saudaranya.

            “Dia belum berubah.”

                                                            ***********

Minho mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang menjemputnya. Ia sudah tiba di bandara internasional Charles de Gaulle, Paris. Ia masih mencari-cari hingga seorang gadis berambut blonde menghampirinya.

            “Good evening, Mr. Choi. I am Jennifer from Empereur Inc. Nice to meet you.”

Minho tersenyum tipis. Hanya sebuah senyum untuk kesopanan. Bagaimana pun ia harus bisa mendapat proyek kerjasama ini. Kerjasama ini sangat bagus untuk memperluas jaringan perusahaannya. Jennifer membawanya ke Hotel De Crillon tak jauh dari menara Eiffel.

Hotel yang terletak di Place de la Concorde itu membuat Minho terkagum-kagum karena interiornya yang sangat mewah. Marmer keemasan, perabotan antik serta lampu krystalnya membuatnya makin terlihat mewah sekaligus klasik. Minho menjatuhkan dirinya diatas ranjangnya. Tubuhnya begitu lelah setelah berjam-jam berada di pesawat. Ia ingin tidur sebelum keesokan harinya bergelut dengan kliennya. Ia berharap semuanya akan berjalan lancar. Ini misi luar negri pertama untuknya, ia tak ingin mengecewakan ayahnya.

                                                            *************

Sinar matahari yag masuk melalui celah tirai yang terbuka mengusik tidur Minho. Ia menguap sebelum akhirnya bangkit dan masuk kamar mandi. Ia berniat untuk berjalan disekitar hotel sebelum bertemu klien saat makan siang nanti. Entah kenapa langkahnya begitu ringan, sesekali ia memandangi menara Eiffel yang tak jauh dari tempatnya berjalan. Tak lama, kesenangannya berubah. Matanya melebar, ia berusaha memperjelas apa yang matanya tangkap. Ia menyergap sebelum akhirnya mengejar sosok itu. Gadis yang ia tunggu delapan tahun ini. Ia tak peduli saat beberapa kali menabrak orang-orang yang juga sedang berjalan sepertinya. Yang Minho tahu saat ini memastikan bahwa gadis itu adalah gadis yang ia tunggu.

Gadis itu masuk ke sebuah kafe, Minho pun mengikutinya. Ia mendesah lega saat gadis itu duduk beberapa meja di depannya. Gadis itu sedang memandangi menara Eiffel dari j

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
GRILOVERr1000 #1
happy ending , nice ♥ ☻♥
Romellete #2
Chapter 1: kya happy ending, syukurlah lega
pdahal aku udah pasrah deh endingnya mw bgaimana tpi untungnya sesuai harapan hihihi
aku suka ff nya, suka cz bacanya dr sisi minho jadi kita bisa ngerasain (?) sedihnya dia dtinggalin soojung
lagi ya, kalo msih sempat hehe
immafans #3
Chapter 1: Endingnya kecepetan kak menurutku dan jadi mau gigit babenya soojung yg tbtb bilang gitu...