Everlasting

Everlasting

Ketika jantung ini mulai melemah. Aku hanya berharap kita dapat bertemu lagi

Di tempat yang lebih baik

 

Jimin melirik arlojinya dengan cemas. Hari ini ia memiliki janji dengan Taehyung kalau mereka akan menonton film bersama. Jimin berjanji kalau ia akan datang pukul tujuh malam. Dan sekarang jarum jam sudah menunjukkan ke angka sembilan. Beruntung rumah sakit ini milik  ayahnya, sehingga ia bebas untuk menjenguk Taehyung. Dengan sedikit tergesa-gesa ia berjalan menuju ruang rawat Taehyung. Berharap kalau sahabatnya itu tidak akan marah.

 

“Taehyung, maaf aku telat,” kata Jimin saat ia membuka pintu. Taehyung hanya meliriknya sebentar dan kemudian memalingkan wajahnya ke jendela. Jimin tahu kalau sahabatnya itu marah.

 

Taehyung masih pada posisinya padahal Jimin sudah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan maaf darinya. “Taehyung, Aku minta maaf! Ayolah jangan marah padaku! Kau tahu kan kalau aku tidak suka didiamkaaan.” Baru saja Jimin akan menari di depannya untuk membuatnya tertawa, Taehyung meliriknya sinis. “Kau tahu kan kalau aku tidak suka menunggu? Kenapa kau membuatku menunggu? Sudahlah, aku ingin tidur.”

 

Belum sempat Jimin membalas, Taehyung sudah memejamkan matanya. “Yasudah kalau kau memang memilih untuk tidur. Tidurlah yang nyenyak. Kalau begitu aku pulang saja, ya?” Jimin bersiap beranjak dari bangkunya tapi tiba-tiba terdengar suara serak yang membuat gerakannya terhenti.

 

“Jangan pergi.” Taehyung membuka matanya dan langsung menatap mata Jimin. “Kemarin mimpi buruk lagi, hm?” tanya Jimin sembari duduk kembali. Taehyung mengangguk. “Tidurlah. Aku akan menginap di sini.”

 

Jimin tahu kalau hampir setiap hari sahabatnya itu mengalami mimpi buruk. Taehyung sering bercerita kalau ia bermimpi tentang kematian. Hal itu membuat Jimin tidak tega untuk membiarkan Taehyung sendirian.

 

Mereka saling melengkapi. Jimin selalu ada untuk Taehyung dan Taehyung selalu ada untuk Jimin. Hubungan mereka berdua sudah layaknya saudara. Bahkan sudah seperti saudara kembar. Jiwa mereka seperti terikat satu sama lain.

 

***

Beruntung saat ini sekolah sedang libur musim dingin. Jadi Jimin bisa lebih sering menemani Taehyung.

Di umur mereka yang menginjak delapan belas tahun, seharusnya mereka kini sudah duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Ya, seharusnya. Karena sekarang hanya Jimin saja yang masih bersekolah. Sejak setahun yang lalu, Taehyung sudah berhenti sekolah karena penyakitnya. Penyakit yang selalu membuatnya ingin membenturkan kepalanya ke dinding. Kanker Otak.

Taehyung selalu beranggapan bahwa dunia ini tidak adil. Banyak orang di luar sana yang hidup dengan sehat. Tetapi mengapa penyakit ini memilihnya? Lalu banyak juga orang yang memiliki keluarga harmonis. Namun mengapa harus keluarganya yang berantakan? Ayahnya berselingkuh dengan wanita lain dan ibunya bunuh diri akibat depresi.

Sejak usia Taehyung lima belas tahun, ia menghidupi dirinya sendiri. Ia bersekolah di pagi hari dan malamnya ia bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran. Upahnya memang tidak seberapa, tetapi cukup untuk membiayai kebutuhannya.

Berbeda dengan Jimin yang kehidupannya baik-baik saja. Atau bahkan bisa dikatakan sangat baik. Ia seorang anak tunggal. Ayahnya adalah pemilik sebuah rumah sakit dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Keluarganya sangat harmonis. Orang tuanya amat menyayanginya, walaupun tidak memanjakannya. Sungguh merupakan keluarga idaman bagi seorang Kim Taehyung.

“Jimin,” panggil Taehyung sambil menjambak pelan rambut Jimin. Jimin mengulet dan kemudian membuka matanya sedikit. “Ada apa Taehyung? Kau butuh sesuatu?” tanyanya sambil menguap. Taehyung menggeluarkan cengiran khasnya. “Ayo bermain di luar. Saljunya lebat sekali.”

Mendengar ucapan Taehyung, Jimin langsung melotot. “Kau gila? Tidak! Sudah tahu saljunya lebat mengapa mengajakku bermain di luar, hah?” ujar Jimin kemudian memukul pelan kepala Taehyung. “Karena saljunya sedang lebat makanya aku mengajakmu bermain di luar!” Dengan kesal Taehyung kembali ke tempat tidurnya.

“Tapi di luar dingin Taehyung. Aku tidak mau kau tiba-tiba pingsan lagi!” Taehyung cemberut. “Memang kapan terakhir aku pingsan?” Jimin memutar bola matanya kesal. “Tiga hari yang lalu. Ingat? Saat kau menjemputku di sekolah.” Wajah Taehyung makin masam.

Jimin menghela napas melihat wajah Taehyung seperti itu. Akhirnya ia menyerah. “Baiklah, ayo kita bermain di luar. Tapi tidak lama, oke?” Taehyung mengangguk semangat dah langsung memakai jaket tebalnya. Saking semangatnya ia langsung menarik tangan Jimin keluar ruangan. Bahkan Jimin belum sempat memakai jaketnya.

Setelah puas bermain, mereka langsung menuju kantin yang berada di belakang rumah sakit untuk membeli coklat hangat. Mereka duduk berhadapan. Keduanya terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Kau bau.” Suara Taehyung memecah keheningan. Ia benci keheningan. “Apa? Kau yang bau. Sudah berapa lama kau tidak mandi?” Jimin memukul kepala Taehyung pelan. “Hei! Setiap hari aku mandi! Hanya saja pagi ini belum,” jawabnya sambil memamerkan gigi putihnya. “Sama saja denganku, bodoh!” Baru saja Jimin ingin memukul kepala Taehyung lagi, tiba-tiba Taehyung menahan tangannya.

“Kepalaku sedang memar, bodoh! Jangan dipukul lagi! Kau kira ini tidak sakit?” Jimin terhenyak mendegarnya. Pasti Taehyung membenturkan kepalanya lagi ke dinding. “Maaf. Apa sakit sekali?” “Apanya? Pukulanmu yang tadi? Tidak kok, hanya sakit saja,” jawab Taehyung dengan cengiran khasnya.

Jimin ingin menangis rasanya jika melihat Taehyung tersenyum seperti itu. Dibalik senyumnya itu pasti Taehyung menyimpan rasa sakit yang sangat.

“Kalau sakit kepalamu kambuh, mengapa kau tidak panggil dokter saja? Atau kau bisa menghubungiku, Taehyung.” Suara Jimin terdengar khawatir. Taehyung hanya tersenyum kecil. “Rasanya sangat sakit, Jimin. Untuk menggerakan tubuh saja sulit. Beruntung aku masih bisa bergerak untuk meminum obatku.”

Taehyung menunduk, menatap kakinya yang terbungkus sepatu pemberian Jimin di hari ulang tahunnya kemarin. “Aku sudah banyak merepotkanmu. Mana mungkin aku membuatmu tambah repot? Bisa menerima perawatan di rumah sakit ini secara gratis saja aku sudah sangat berterima kasih.”

“Taehyung, kau sudah seperti saudaraku. Bahkan orang tuaku sudah menganggapmu sebagai anak mereka. Ku mohon, jangan merasa sungkan lagi! Kau sudah menjadi bagian keluarga kami.” Mata Jimin memerah. Jika dia tidak menahannya, air matanya bisa jatuh. Ia kesal mengapa Taehyung berpikir seperti tadi.

***

Sudah lima hari semenjak mereka bermain salju. Jimin belum juga pulang ke rumahnya. Ia meminta supirnya untuk mengantarkannya baju ganti untuk persediaan selama ia di rumah sakit. Sesekali orang tuanya juga berkunjung untuk menengok kondisi Taehyung.

Jimin ingin menghabiskan liburannya bersama Taehyung. Padahal banyak teman-temannya yang lain yang mengajaknya berlibur ke villa atau sekedar bermain ski. Tetapi Jimin menolaknya.

“Taehyung, apa kau tidak bosan bermain dengan ipad itu?” tanya Jimin. “Lebih tepatnya belum. Aku ingin mengalahkan scoremu,” ujar Taehyung masih terfokus dengan ipadnya. Jimin yang bosan melihat Taehyung sibuk dengan kegiatannya memutuskan untuk berbaring di sofa. Baru saja ia ingin tertidur, tiba-tiba suara erangan membuatnya tersadar.

Dengan panik ia menghampiri Taehyung yang sedang memukul kepalanya. Erangan tertahan keluar dari bibir pucat Taehyung. “Sakit kepalamu kambuh? Tahanlah sebentar Taehyung.” Jimin segera menekan tombol yang terletak di atas ranjang Taehyung.

Jimin mencoba menahan tangan Taehyung yang ingin memukul kepalanya sendiri. Namun tiba-tiba gerakan Taehyung terhenti. Tangan yang mencoba untuk memukul kepalanya itu dengan cepat bergerak untuk menutup mulutnya.

Jimin yang paham kalau Taehyung akan muntah berniat mengambil baskom di kamar mandi. Tetapi belum sempat ia melangkah, ia dikejutkan dengan darah yang  dengan derasnya mengalir di sela-sela jari Taehyung. “Ji..min.. sa..kit….seka…li.” Jimin hampir menangis melihatnya. Ia sering melihat penyakit Taehyung kambuh, tetapi tidak pernah separah ini.

Dengan tidak sabar Jimin menekan tombol darurat itu berulang-ulang. Tidak lama, dokter beserta perawat yang lain datang. Dengan cekatan mereka segera menangani Taehyung. Dan jimin hanya bisa menatap cemas dari luar ruangan. Berdoa semoga Taehyung baik-baik saja.

***

Mulai saat di mana Taehyung tiba-tiba muntah darah, Jimin tidak pernah meninggalkan ruangan Taehyung. Jujur, ia takut kalau sewaktu-waktu Taehyung akan meninggalkannya. Terlebih dokter mengatakan kalau kanker Taehyung sudah memasuki Stadium akhir.

Awalnya Jimin sangat marah mengetahui kondisi Taehyung yang memburuk. Padahal Taehyung sudah menjalani perawatan di rumah sakit selama setahun. Tapi lama kelamaan, Jimin tersadar tidak ada gunanya memikirkan hal itu. Lagipula Taehyung juga tidak akan bisa sembuh dengan ia  yang menyalahkan dokter.

***

Jimin sudah seperti perawat pribadi Taehyung. Ketika pemuda berkulit pucat itu menahan sakit di kepalanya, ia rela di cakar habis-habisan oleh Taehyung sebagai pelampiasan rasa sakitnya. Lalu saat Taehyung selesai menjalankan kemoterapi, ia tidak jijik membersihkan muntahan Taehyung. Dan ia tidak segan mengelap lantai kamar mandi yang penuh darah setelah sahabatnya itu muntah darah atau mimisan hebat. Ia pun juga membantu Taehyung membersihkan wajahnya dari darahnya sendiri.

“Kau butuh sesuatu, Taehyung?” Jimin duduk di sebelah ranjang Taehyung. “Tidak. Aku hanya ingin duduk-duduk di luar. Boleh kah?” Suara Taehyung kini terdengar sangat pelan. “Jangan berbohong, Taehyung. Aku tahu kau mengantuk. Lebih baik kau tidur. Di luar sangat dingin.” Taehyung menggeleng dan kemudian matanya berkaca-kaca.

“Aku tidak ingin tidur, Jimin. Mimpi itu sekarang sering datang. Aku takut. Aku belum mau mati.” Air mata yang sedari tadi ditahannya keluar juga. Lama-kelamaan air mata itu seperti berlomba-lomba untuk keluar dari tempatnya.

“Aku belum mau mati, Jimin. Aku masih ingin hidup. Aku masih ingin bersamamu di sini. Aku harus bagaimana?” Tanpa disadari, Jimin ikut menangis bersama Taehyung.

Selama Jimin mengenal Taehyung, ia tidak pernah melihatnya menangis sehebat ini. Padahal ketika ibunya meninggal, Taehyung bisa menahan tangisnya.

“Aku janji kita akan selalu ada satu sama lain, Taehyung. Percayalah padaku!” Jimin mencoba tersenyum di tengah-tengah tangisannya. Dan malam itu mereka menghabiskan waktu dengan menangis bersama. Sungguh ini adalah kali pertama mereka menangis sejak mereka saling mengenal.

***

Musim dingin belum berakhir, begitu pula dengan rasa sakit yang dialami Taehyung. Malah sekarang sakit kepalanya sering kambuh, bahkan tak jarang ia pingsan. Taehyung marah dengan dirinya sendiri. Di saat Jimin libur sekolah mengapa penyakitnya sering kambuh? Harusnya ia bisa bermain dengan Jimin di luar bukannya terkurung di dalam ruangan yang membosankan ini.

Taehyung berpikir kalau hidupnya sudah tidak lama lagi mengingat betapa seringnya penyakit itu kambuh. Tapi siapa yang tahu umur seseorang? Jimin sering mengatakan kalau umur manusia hanya Tuhan yang tahu. Selama kau masih diberi kesempatan untuk hidup, lakukanlah yang terbaik. Jangan sia-siakan waktu yang sudah diberikan-Nya.

Pagi ini Jimin memutuskan untuk membeli coklat hangat di kantin sekaligus mencari udara segar. Setelahnya, ia langsung kembali ke ruangan Taehyung. Ia bersyukur sahabatnya itu masih tertidur. Semalam Taehyung mengatakan kalau ia bermimpi lagi. Mimpi yang selalu mengganggu tidurnya dan yang menyebabkan ia harus terjaga sampai pagi.

Jimin menarik bangku yang ada di samping ranjang Taehyung dan kemudian duduk diatasnya. Ia menatap punggung Taehyung. Tubuh yang dulu menjadi sandarannya kini tidak sekokoh dulu. Tangan yang dulu selalu menepuk pundaknya untuk memberi kekuatan kini tidak sekuat dulu. Dan kaki yang dulu selalu melangkah bersamanya kini sudah begitu rapuh.

Ia menyenderkan kepalanya ke ranjang Taehyung lalu dengan lirih ia berkata, “Mengapa harus Taehyung? Dia saudaraku satu-satunya. Aku tidak ingin dia meninggalkanku. Aku sangat bersyukur bisa menemukannya dan menjadikannya saudaraku. Dia begitu berarti. Dia yang menyelamatkanku dari bullying di sekolah. Mungkin tanpanya aku sudah mati karena dipukuli atau bunuh diri. Aku sangat berutang budi padanya.” Jimin merasakan kalau matanya mulai panas.

“Apakah dia harus pergi secepat ini? Jika ia memang harus pergi secepat ini. Biarkan aku juga pergi bersamanya.” Tanpa disadari, air matanya mengalir. Awalnya hanya satu tetes, namun lama-kelamaan air mata itu seperti balapan untuk keluar dari matanya.

Andai Jimin tahu kalau saat ini Taehyung sedang menggigit bibir menahan isakannya. Ya, ia mendengar semua kalimat yang diucapkan Jimin barusan. Tubuhnya bergetar hebat. Bahkan bibirnya sudah mengeluarkan darah akibat gigitannya yang terlalu kuat. Ia tidak mau Jimin melihatnya menangis. Dan Taehyung tahu kalalu Jimin juga tidak suka apabila ada orang yang melihatnya menangis. Cukup kemarin saja.

***

Malam itu kondisi Taehyung memburuk. Tanpa diperintah Jimin segera menekan tombol darurat. Tetapi karena tidak sabar, akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri dokter yang menangani Taehyung diruangannya.

Jimin berlari sangat cepat. Masa bodo dengan peraturan yang melarang berlari-larian di koridor. Dia hanya memikirkan Taehyung.

Letak keduanya lumayan jauh. Beruntung di tengah jalan, Jimin bertemu dengan dokter yang ia cari dan perawat yang lain. Mereka langsung berlari menuju ruangan Taehyung. Jimin sengaja berlari di belakang, ia tidak ingin menghambat jalan dokter dan timnya. Lagipula pada saat seperti ini dia tidak bisa ikut masuk ke dalam ruangan. Ia hanya boleh menunggu di luar.

Baru saja Jimin ingin duduk di salah satu bangku di depan ruangan Taehyung. Ia merasa dadanya sakit sekali seperti diremas. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Napasnya terasa sesak.

Jimin berlutut, tangannya yang satu digunakannya sebagai penopang dan yang satunya meremas dadanya. Sakit sekali. Sampai-sampai air matanya mengalir di sudut matanya.

Tubuhnya terasa berat dan ia pun jatuh tengkurap. Bibirnya sudah sepucat dinding rumah sakit. Tangannya masih meremas dadanya berharap rasa sakit itu akan berkurang. Matanya terpejam menahan sakit.

Jimin tidak kuat lagi. Sakitnya kini menjalar ke seluruh tubuh. Tiba-tiba saja napasnya tercekat. Dan kemudian ia tidak merasakan apa-apa lagi.

***

Taehyung tersadar dari pingsannya. Ia mengitari pandangannya ke seluruh isi ruangan. Dan ia merasakan sesuatu yang asing. Tidak ada seorang pun di sana. Biasanya ia akan menemukan Jimin sedang tertidur di sofa dekat pintu jika ia terbangun. Tapi sekarang tidak.

Masih bergelut dengan pikirannya, tiba-tiba terlihat seseorang membuka pintu. Taehyung pikir itu adalah Jimin. Tapi ternyata ia salah.

“Kau sudah sadar, Taehyung?” Suara itu memecah keheningan diantara mereka. Taehyung mengangguk. “Bu, di mana Jimin? Mengapa ia tidak bersamamu?” Taehyung bertanya dengan mata yang masih mengarah ke pintu. Berharap kalau Jimin akan menampakan dirinya di sana.

Wanita yang berstatus sebagai ibu kandung Jimin hanya tersenyum samar. Taehyung menatapnya dengan penuh tanya. “Jimin sudah pergi, Taehyung.” Taehyung semakin bingung mendengarnya. “Maksudmu, bu?” Ia benar-benar tidak mengerti semua ini.

“Jimin sudah tidak di sini. Kau sudah tidak bisa bertemu dengannya lagi.” Air matanya menetes seiring penjelasannya. Taehyung mulai berpikir yang tidak-tidak. Dia merasa ada sesuatu yang buruk menimpa Jimin.

“Tapi kau dapat menemuinya lagi di surga nanti.” Ucapan itu membuat napas Taehyung berhenti sesaat. Ia benci lelucon seperti ini. Kemarin ia masih bersama dengan Jimin dan Jimin pun baik-baik saja. Mengapa tiba-tiba ibunya datang dan mengatakan seolah-olah Jimin sudah mati?

“Bu, kau sedang bercanda bukan? Kemarin Jimin masih di sini, bu. Bersamaku.” Mata Taehyung memerah, dadanya sesak menahan emosi. Kepalanya sedikit sakit karena dipaksa berpikir.

“Kau pingsan selama lima hari Taehyung. Banyak hal yang terjadi selama kau pingsan.” Bola mata Taehyung bergerak-gerak mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia pingsan. “Salah satunya… Jimin meninggal.. karena serangan jantung.”

Dada Taehyung terasa sesak. Ia ingin menangis, tetapi air matanya seperti tidak bisa keluar. Baru ia akan bertanya, sakit kepala yang hebat menyerangnya. Taehyung meringkuk. Kali ini sakitnya jauh lebih sakit dibanding yang sebelum-sebelumnya.

Taehyung berteriak sambil memukul-mukul kepalanya. Melihat itu, wanita yang sudah sepertinya ibunya sendiri langsung memeluknya, mencoba memberinya kekuatan. “Kau harus sembuh, Taehyung. Jimin ingin kau sehat lagi.”

Taehyung menggelengkan kepalanya. Entah karena rasa sakitnya atau karena ia memberi jawaban. Dalam hati pun ia berkata, ‘Kau salah, bu. Jimin ingin aku selalu bersamanya.’

***

Dua minggu semenjak Taehyung mengetahui kematian Jimin. Kondisi Taehyung menurun dari hari ke hari. Ia bahkan kesulitan untuk menyimpan makanan di dalam tubuhnya. Sekarang Taehyung seperti mayat hidup.

Setiap kali ia memohon kepada dokter untuk mengizinkannya mengunjungi makam Jimin. Dokter selalu melarangnya karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

Seperti malam-malam sebelumnya. Kini Taehyung sedang melamun. Memikirkan bagaimana Jimin di sana. Ucapan ibunya tentang Jimin  selalu terngiang di telinganya. ‘Belakangan ini Jimin memang sering mengeluh kalau ia cepat lelah dan terkadang dadanya sedikit sesak. Kami sudah menyuruhnya untuk memeriksakan kesehatannya. Tetapi, ia tidak pernah mendengarnya. Ia selalu mengatakan kalau ia sehat-sehat saja, hanya terlalu lelah. Dan memang ia tidak terlihat sakit.’ Entah mengapa ia menjadi sangat cengeng. Dia selalu menangis kalau mengingatnya

Ia juga kadang berpikir betapa hidupnya merepotkan orang lain. Taehyung tidak tahu bagaimana cara membalas kebaikan Jimin dan keluarganya. Sungguh ia tidak tahu. Yang bisa ia lakukan hanya mengucapkan maaf dan terima kasih berulang-ulang ketika orang tua Jimin mengunjunginya.

Terkadang Taehyung kesal jika mengingat ucapan Jimin yang mengatakan kalau mereka akan selalu ada satu sama lain. Tapi pada kenyataannya Jimin meninggalkannya.  Jimin tidak menepati janjinya. Jimin berbohong padanya.

Baru saja ia akan memejamkan matanya, sakit kepala itu datang. Biasanya ia hanya akan mengalami rasa sakit dikepalanya. Tetapi sekarang dadanya juga terasa sesak. Napasnya terputus-putus. Ini sangat menyiksa.

Matanya terpejam kuat. Yang bisa ia lihat hanya kegelapan. Namun, seketika kegelapan itu berganti dengan kilasan hidupnya. Seperti film yang diputar. Taehyung melihat bagaimana perjalanan hidupnya dari ia kecil hingga sekarang. Ia juga melihat Jimin di sana. Di tengah rasa sakitnya ia tersenyum. Taehyung rasa ia akan menyusul Jimin sekarang.

Kini ia tidak takut lagi dengan kematian. Kalau mati memang termasuk salah satu tahap untuk bertemu dengan Jimin. Taehyung bersedia. Ia sudah siap sekarang. Lagipula Jimin sudah menunggunya di sana.

Taehyung semakin sulit mengambil napas, dadanya terasa terhimpit sesuatu. Rasa sakit yang menyerangnya semakin intense. Sampai akhirnya tubuhnya mati rasa.

‘Jimin aku datang’

.

.

.

Aku belum mau mati, Jimin. Aku masih ingin hidup. Aku masih ingin bersamamu di sini. Tetapi, jika kau yang harus pergi terlebih dahulu. Aku ingin segera menyusulmuKim Taehyung

Apakah dia harus pergi secepat ini? Jika ia memang harus pergi secepat ini. Biarkan aku juga pergi bersamanya. Tetapi, jika aku yang harus pergi terlebih dahulu. Aku ingin persahabatan ini abadi―Park Jimin

 

-END-

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
sanutella
#1
ohhhh vmin
fabcocoa
#2
Chapter 1: Bagus banget kak alurnya! Feelsnya merasa bangeeeet ;;A;;