Just a thought

Just a thought

Malam ini, aku sedang berjalan disamping suamiku. Disini kami tidak hanya berdua tetapi bertiga dengan buah hatiku yang masih berkembang perlahan di dalam tubuhku ini. Udara dingin yang menampar wajah tidak menyurutkan semangatku untuk mendatangi tempat itu. Lagipula, suamiku ini telah membuatku lebih hangat, dia menggenggam tanganku di dalam saku matelnya yang besar dan membiarkan tubuhku merapat.

“Udah malem.” Dia selalu begitu. “Besok aja liat dandelionnya.” Aku tidak menjawab dan tetap menarik lengannya agar terus berjalan. Dia terdiam dan mengikuti langkahku.

Akhirnya langkah kamipun terhenti ketika sebuah padang kecil dipenuhi dengan dandelion yang memanjakan indera penglihatan. Seperti biasa aku berlari-lari kecil diantaranya, aku bisa melihat dengan jelas wajah suamiku yang cemas akan diriku yang berlarian kecil dengan perut yang membuncit.

“Iya, ngga lari-larian.” Aku menepati janjiku dan mulai berjalan perlahan. Memetik sebatang dandelion dan meniupnya. Aku menyukainya. Aku menyukainya ketika mereka berterbangan kesana kemari terbawa angin. Tetapi, tidak jika mereka berterbangan di wajahku.

“Oppa!” Ya, saat itu dia meniup dan membiarkan bunga-bunga kecil dandelion berterbangan diwajahku. Dia tertawa puas dan membantuku membersihkan bunga-bunga itu yang menempel di wajahku. Aku menahan tangannya yang sedang asyik bergerilya di wajahku. Memperhatikan lekuk wajahnya dan menyentuhnya perlahan.

Aku teramat mencintainya.

Bagaimana tidak aku tidak mencintai suamiku sendiri? Aku terkekeh pelan. Wajahnya menyemburatkan rasa penasaran. Aku sedang berbicara dengan diriku sendiri, kepalaku menggeleng pelan.

Terkadang aku selalu berpikir…

Apakah laki-laki di hadapanku ini pernah memikirkanku? Bagaimana cara dia memikirkanku? Apa yang dia pikirkan? Kapan ia memikirkanku? Apakah sesering aku memikirkannya? Apakah dia pernah merindukanku? Apakah dia merasakan sakit seperti yang aku rasa ketika merindukanku? Apakah dia membutuhkanku? Apakah dia membutuhkanku seperti aku yang selalu membutuhkan semangat darinya? Kenapa dia begitu licik? Kenapa segala yang dia lakukan selalu membuatku lemah? Kenapa dia begitu hebat? Bahkan setiap kata yang dia berikan bisa merubah diriku dalam sekejap, merubahku menjadi lebih baik bahkan lebih buruk. Dan yang paling aku ingin tau adalah..

Apakah dia mencintaiku?

Aku terkekeh kecil ketika berjuta-juta pertanyaan bertarung dipikiranku. Aku hanya tidak dapat membayangkannya jika dia menjawab semua pertanyaanku itu. Dia adalah tipikal laki-laki yang tidak ingin merasa susah. Tapi, semua pertanyaan itu pasti menunjukan bahwa aku ragu akan dirinya. Aku meragukannya? Iya. Karena aku tidak pernah bisa merasakan apa yang dia rasakan. Aku hanya bisa merasakan perasaanku sendiri. Aku hanya ketakutan jika perasaan yang besar ini terlalu besar dibandingkan miliknya. Tapi, aku yakin itulah alasan mengapa Tuhan membiarkan manusia hanya bisa mempelajari dirinya sendiri. Kepercayaan. Hal yang sangat rentan dalam kehidupan ini. Apakah kamu pernah memikirkan bagaimana sebuah restoran bisa berjalan dengan sukses? Iya, kepercayaan para pelangganya, padahal bisa saja kita diberi racun dalam makanan tersebut.   Layaknya perasaan ini. Saat ini aku hanya menaruh kepercayaan yang besar ini terhadap suamiku. Karena, dialah yang membimbingku yang akan selalu menjagaku dalam susah dan senang. Padahal bisa saja dia mengkhianatiku. Aku bahkan tidak memperdulikan itu sekarang, selama detik ini dia masih mengungkapkan bahwa dia menyayangiku dan masih berada disisiku sampai kapanpun Tuhan mengijinkannya.

“You’re my happiness. My only happiness, so don’t leave me or else that happiness will be gone. Loving you is all about the happiness I got, the comfort I got, and the perfection I have with you.” Aku memeluknya erat.

Lihat betapa kejamnya ia membuatku seperti ini? Membuatku semakin ketakutan untuk kehilangannya. Membuat rasa sayangku kepadanya semakin besar dan membesar dan terus membesar.

“Ayo pulang.” Dia memunggungi dan berjongkok di hadapanku.

“Ngga, jalan aja kasian nanti oek keteken.” Aku berusaha meraih tangannya. Dia tidak bergeming sedikitpun.

“Ga bakalan, nanti anget malah.”

“Nanti oppa berat ngangkatnya…….” Dia diam. Aku mengerti maksudnya dan mulai mengalah dengan naik kepunggungnya. Dia mengangkat tubuhku dan berjalan perlahan. Sepanjang perjalanan terkadang selalu diselingi oleh canda tawa bahkan saat-saat yang paling awkwardpun masih kami lalui. Karena, itulah hidup. Tidak selamanya di atas dan tidak selamanya di bawah.

Ada tiga doa wajib yang selalu aku panjatkan. Salah satunya adalah untuk selalu bersamanya sampai kapanpun Dia mengijinkan. Semoga Tuhan mengabulkan doaku.

Ich liebe dich, oppa.

한나 ©storyline

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet