Bee

Trapped in Mirror Land
Seulgi berlari-lari kecil di sepanjang koridor. Ia bisa mendengar suara alas sepatunya yang bergesekan dengan lantai. Sesekali ia mengayuh udara di depannya. Secuil gerakan dari salah satu dance favoritnya "Bring Out" milik penyanyi kebanggaannya. Ia tak pernah merasa se gembira ini, ah mungkin sebebas ini. Mulai hari ini dan tadi malam ia telah memutuskan tak terlalu memikirkan ambisi orang tuanya. Semenjak kecil Seulgi selalu dibimbing untuk menjadi seorang dokter. Saat umurnya 5 tahun ia sudah tak asing lagi dengan stetoskop ataupun jarum suntik. Hanya mainan. Salah satu bait lagu yang sering ia nyanyikan ketika masih kecil adalah
 
Putih Putih Putih
Bajuku berwarna putih
Ada stetoskop yang mengalungi leherku
Obat Obat Obat
Aku menolong orang sakit dengan obat
Bajuku putih dan aku membawa obat
Aku seorang dokter! Dokter!
 
Seulgi melafalkan bait itu lagi. Dokter sialan! gerutunya. Setelah sebuah pintu dengan tulisan kelasnya terpampang di ujung lorong, ia mempercepat langkahnya. Memaksa kaki panjangnya untuk berlari lebih kencang. Saat ia memutar kenop pintu yang berkilat itu, suasana kelasnya nampak lengang. Mungkin lebih mengarah ke kosong. Seulgi melirik jam mungilnya. Jarum panjang dan kecil saling mengejar ke arah 7. Jika ia tak salah ingat, hari ini ia masuk pukul 8. Kelas pertamanya Biologi.
Biologi?
 
Mati Kau!
 
Seulgi berlari terbirit-birit memecah kesunyian lorong. Beberapa kelas masih tampak sepi, hanya beberapa murid yang mencoba menghibur diri dengan menghapus papan tulis. Selebihnya mereka menganggur. Mengesampingkan kesunyian itu, suara gedebuk yang memekakkan telinga membuat beberapa siswa mendengus. Seulgi memegangi roknya agar tak tersingkap. Saat ia menuruni tangga tangannya terkepal membuat bulatan. Bisa-bisanya ia lupa jadwal ini. Ia tak mau dicoret dari pelajaran Mr. Lee. Bisa-bisa setengah dari nilai rapotnya berwarna merah. Aduh, itu neraka.
 
Sebuah ruangan dengan warna hijau lembut menyapanya. Beberapa sepatu sudah berjajar di rak sepatunya. Seulgi yakin bisa melihat sepatu Joo, Nam, Gildong bertengger disana. Bahkan ia yakin, sepatu dengan pita oranye itu milik Jikyung. Si fashionista. Tetapi ini bukan saatnya mencibir sepatu Jikyung yang murahan. Ini tentang masalah kau masuk neraka atau tidak. Buru-buru Seulgi memasuki ruangan itu.
Di dalam ruangan, Mrs. Lee sedang menunjukkan sayatan bawang kepada murid. Ia memperagakan bagaimana ia bisa menyayat bawang dengan setipis itu. Seulgi menelan ludah. Bisa saja saat Mrs. Lee menyadari kehadirannya, silet itu akan menyatnya tiba-tiba. Tak ada yang tak mungkin bagi Mrs. Lee. Seulgi hanya menutup mata.
 
"Nona Kang!"
 
Seulgi mengetahui suara itu. Suara dengan oktaf tertinggi yang pernah ia dengar. Ia memberanikan membuka kelopak matanya. Mrs. Lee hanya berjarak lima langkah dari dirinya. Dari jarak sedekat ini ia dapat melihat hidung naik turun Mrs. Lee. Oh juga pori-porinya yang besar. Seulgi bisa melihat semuanya. Termasuk amarahnya yang meluap-luap.
"Kapan kau terakhir memeriksa jadwalmu?" teriak Mrs. Lee. Guru itu tidak memperhatikan Seulgi lagi. Matanya tertuju pada siung bawang yang kini ia sayat hati-hati. Seolah ingin meracuni Seulgi dengan tatapan aku-tak-akan-membiarkanmu-kali-ini ia mempercepat sayatannya. "Aku..."
"Aku lupa." bantah Seulgi dengan menutup mata. Ia tak sadar tangannya sedari tadi telah mencengkeram rok bawahnya, hingga muncul lipatan kusut diujungnya. "Maaf." tambahnya lagi.
"Aku sudah bosan dengan alasanmu. Duduk!" perintah Mrs. Lee. Seulgi merasa ruangan itu dingin seketika, seolah suhu AC nya diturunkan hingga 10 derajat. Tidak biasanya guru ini begitu ehm baik.
"Tentu saja, Miss. Terima kasih." Ucap Seulgi lembut. Ia mengusap tali tasnya. Sebagai pengusir kegugupannya. Ia berbalik menuju bangku lab yang dilapisi kaca. Hanya tersisa satu tempat duduk di bagian belakang. Ouch! ia benci harus duduk dengan Jikyung. Lagi.
 
"Tunggu Nona Kang. Ada 100 gelas piala yang harus kau cuci nanti."
 
 
 
 
 
Seulgi membenturkan dua buah penghapus papan tulis untuk menghilangkan sisa kapurnya. Ia membuka jendela dan terbatuk beberapa kali. 3 jam tadi banyak catatan dan esai yang harus ditulis, sehingga penghapus ini seperti bukit kapur saja. Ia hampir mati bosan saat mendengarkan Mrs. Lee menerangkan tentang sel. Sel itu terdiri dari ini. Ini tugasnya ini. Ini akan memakan ini. Apa jadinya kalo ini gak berfungsi. Huh, tidak ada yang lebih membosankan dari mempelajari bagian kecil itu. Kecuali untuk ulangan besok. Seulgi tak bisa bernafas sejenak saat membayangkan bagaimana ulangannya esok. Ia akan mengisi kuisioner, beberapa pertanyaan juga eksperimen. Akan menjadi jam yang melelahkan. "Biarkan aku bernapas banyak kali ini." katanya.
Ia beralih pada deretan gelas bening diatas meja. Setelah menggosoknya dengan sabun cuci, ia juga harus mengusapnya dengan lap. Agar cepat kering. Ia tahu ini sangat membosankan. Ia mencoba membuat asap kecil di permukaan salah satu gelas. Meskipun dia jelas sudah tahu kalo Mrs. Lee melarangnya. Itu kotor dan menjijikkan. Akan tertular bakterimu.
Omong kosong. Setidaknya larva lalat yang mereka amati dua minggu yang lalu lebih menjijikkan dari ini. Seulgi menarik tangannya untuk mebuat beberapa tulisan. AKU HIDUP. AKU BEBAS. MAKAN YANG BANYAK. Ia cekikikan sendiri. Ia menghapus asap itu dengan lap. Mengaburkan tulisannya yang aneh. Ia akan makan banyak setelah ini.
Tinggal dua puluhg gelas lagi yang perlu di lap. Beberapa diantaranya adalah gelas piala yang lama tak dipakai, hingga timbul kecoklatan di beberapa sudutnya. Ini yang membuatnya lama. Seulgi mencoba mengusap noda itu dengan lap. Namun setelah beberapa kali ia menggosok gelas itu dan tak berubah, ia mulai kesal. Ia berniat mengambil sabun dan menggosoknya. Mungkin ia harus membasuhnya dua atau tiga kali lagi. Mendapati gelasnya masih penuh noda tentu bukan hal yang menyenangkan bagi Mrs. Lee.
Seulgi beralih pada kran. ia menyalakan kran itu dan membiarkan air itu membasahi tangannya. Alirannya yang deras hingga berwarna putih seperti memijatnya. Ternyata mencuci 100 gelas menimbulkan rasa pegal juga. Meskipun ukuran gelas itu tak sampai setinggi telapak tangan. Ia mencari sabun dan sikat penggosok ditempatnya. Tetapi tempat itu kosong. Hanya beberapa buih yang ia tinggalkan tadi. Ah, mungkin dia lupa menaruhnya.
Seulgi mencari sabun itu di meja dan jendela. Ternyata ada disalah satu jendela. Mungkin saat ia tadi menggosok gelas, ia lupa mengembalikannya. Ia mengambil sabun itu sebelum ia terganggu oleh sebuah dengingan. Suara itu berdenging di kedua telinganya. Seperti seekor lebah tetapi lebih nyaring. Ia mencari ke segala arah. Tak ada satu seranggapun yang beterbangan disekitarnya. Hanya udara kosong.
 
"Aaaaaarrrrrkh" Seulgi memekik saat sebuah benda runcing menusuk telunjuknya. Ada seekor hewan didepannya. Dengan warna hijau aneh dan menyala. Ukurannya sekitar setinggi batang korek api. Sayap kecilnya bergoyang. Dan Seulgi bisa merasakan mata kecil itu tertuju padanya. Aneh sekali ada serangga yang bisa berdiri. Berdiri diatas kedua kakinya sendiri. Ah, mana ada serangga yang punya kaki untuk berdiri.
Kecuali jika dia?
 
Tinkerbell
 
"Tink-" Seulgi mencoba meraih makhluk kecil itu dengan tangannya. Seolah sadar jika Seulgi akan mengangkapnya, makhluk kecil itu terbang ke luar. Terbang ke arah dahan pohon yang cukup tinggi. Seulgi memekik saking senangnya.
 
 
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
fafa_sasazaki
#1
Chapter 3: temen seulgi yg pindah ke jepang kok aku bayanginnya yuta ya?? khkh
ga nyangka klo si cowok mas moon,,
fafa_sasazaki
#2
Chapter 1: seulgi bandelnya ya Allah,,

keluarganya seulgi suka buku! whoa!! aku banget tuh. aku pernah juga jaman sekolah di perpus ada novel yg cover depan belakangnya udah ilang, trus aku pinjam, aku bawa pulang, aku kasih cover bikinan sndri dr karton. seenggaknya stlh itu bukunya jd lbh baik.

hai,, aku new reader here, suka sekali sama RV. salam kenal
Taeminie718 #3
Lah baru foreword? next! next! next!
rapbye0n
#4
Update soon authornim! I really happy that this story is in bahasa, my mother language!♡ fightinggg~^^!!!