Sequel

So Stupid

Maaf ya kalau tidak memuaskan

 


No, you’re not stupid

 

So stupid epilog

 

Disclaimer © Tuhan, diri mereka sendiri, orang tua mereka

 

Rate: T

 

Pair: Leon/Neo and surprise pair at the end

 

Warning: , typo(s), aneh, gaje, gak nyambung sama sekali

 

 

Don’t like don’t read

 

 

Hana Sekar/hana_deydey

 

 

 

Present

 

 

No, you’re not stupid

 

(Sequel to So Stupid)

 

.

.

.

 

 

 

Rinai hujan semakin deras. Membasahi kota yang mulai kosong  dan dingin.

 

Tapi, Taekwoon masih di sana. Berjalan di jalan trotoar sendirian. Kepalanya tertunduk, memandangi langkah kakinya seolah itu adalah pemandangan paling menarik di dunia ini.

 

Ia tidak perduli kalau keesokan harinya ia sakit. Malah, ia –untuk yang pertama kalinya- senang karena ia bisa bolos sekolah selama beberapa hari.

 

Belakangan ini ia ingin –selalu ingin- menghindar dari sekolah atau dari Hakyeon tepatnya. Ia malah sudah mengajukan surat pindah sekolah pada kedua orang tuanya. Yang tentunya tidak mengindahkan kalimatnya dan berkata hal ini hanya bersifat sementara.

 

- Mereka berfikir bahwa rasa sakit hatinya ini bisa sembuh dalam jangka waktu beberapa bulan ini. Bisa sembuh kalau ia mengalihkan perhatiannya dan focus pada karir futsalnya.

 

Padahal, mereka tidak tau apa-apa. Mereka tidak tau seberapa sakit hatinya menghadapi kenyataan pahit ini. Mereka benar-benar tidak tau.

 

Oh tentu saja, mereka selalu tidak mau tau tentang hatinya. Mereka tidak mau tau tentang perasaannya. Yang mereka mau tau hanya sisi baiknya dan prestasinya.

 

Tidak kurang tapi banyak lebihnya.

 

Hanya sahabat-sahabatnya saja yang peduli padanya. Sahabat-sahabatnya yang notabenenya adalah orang luar keluarganya lebih menyayangi dan peduli padanya dibandingkan dengan kedua orang tuanya sendiri. Selain itu ada Hakyeon.

 

Namja itu menghentikan langkahnya ketika satu nama itu terlintas dibenaknya.

 

Ada Hakyeon? Taekwoon ingin tertawa ketika kalimat itu terlintas di benaknya.

 

Mungkin lebih tepatnya, dulu ada Hakyeon. Dulu. Karena sekarang, Hakyeon tak lagi ada di sisinya. Namja cantik yang setiap harinya mengantarkan bekal untuknya, menonton pertandingannya, dan menungguinya latihan itu kini tak lagi ada di sisinya.

 

Dan semua itu karena kesalahannya.

 

Salahnya.

 

Taekwoon menggigit bibir bawahnya ketika ia merasakan tubuhnya bergetar menahan rasa sesak di dadanya. Tangannya mengepal sampai buku-bukunya memutih. Ekspresi namja itu kini tengah menahan tangis.

 

Kepergian Hakyeon adalah kesalahannya. Kesalahan terbesar dalam hidupnya. Suatu kesalahan yang disebabkan oleh ego dan kebodohannya.

 

Ya, kebodohannya. Si jenius master dalam bidang akademik maupun olahraga itu juga punya satu sisi bodoh.

 

Sisi bodoh yang membuatnya kehilangan mataharinya. Kehilangan pewarna dalam hidupnya.

 

Tesss…

 

“Aku… benar-benar bodoh.”

 

“WOON-AH!”

 

Satu teriakan itu sukses membuat Taekwoon membeku di tempatnya. Air mata yang bercampur air hujan itu kini mengalir semakin deras.

 

Apa lagi-lagi halusinasi datang?

 

Taekwoon menggeram, tangannya terangkat untuk meremas rambutnya. Kakinya yang tiba-tiba terasa lemas, tidak mampu menopang tubuhnya. Membuat namja berkulit pucat –yang semaki pucat- itu jatuh terduduk di tanah.

 

Aku mohon, Hakyeon, hentikan semua ini! Aku sudah sadar bahwa aku bodoh. Aku sadar bahwa aku sangat amat bodoh karena memperlakukanmu seperti itu. Aku sudah sangat sakit sekarang. Aku mohon, aku mohon berhenti.

 

Tetes-tetes air mata yang bercampur dengan air hujan itu semakin menganak sungai di wajah Taekwoon yang kini tertutup kedua tangannya. Isak tangis kecil keluar dari bibirnya.

 

Aku mohon, berhenti.

 

“Woon-ah? Kau baik-baik saja?”

 

Suara itu lagi. Lagi-lagi suara itu menggema di gendang telinganya. Suara yang terdengar begitu dekat dan nyata. Suara yang diiringi dengan dua telapak tangan mungil menggenggam lengan atasnya.

 

Sebuah halusinasi yang tampak begitu nyata yang membuat Taekwoon ingin bunuh diri sekarang.

 

“Aku mohon, Hakyeon, hentikan semua ini. Aku sudah sadar akan kebodohanku. Dan sekarang aku sudah sangat sakit. Aku mohon, jika kau tidak mau kembali padaku, berhentilah melakukan ini. Berhenti balas dendam pada –“

 

Ketika sebuah tubuh tiba-tiba menerjang padanya, memeluk tubuhnya, Taekwoon tersentak. Kedua telapak tangannya perlahan mulai lepas dari wajahnya.

 

Dan alangkah terkejutnya Taekwoon ketika ia mendapati dirinya dipeluk seseorang.

 

“Mianhae, Woon-ah.”

 

Dan bukan sembarangan orang.

 

Di dorong perasaan yang seolah mebludak, Taekwoon langsung memeluk namja itu. Memeluknya dengan erat. Seolah ia tidak ingin melepaskan namja yang ada di pelukkannya itu.

 

Ah… bukan seolah, tapi, ia memang tidak ingin melepaskan namja itu lagi. Tidak. Ia tidak akan pernah melepas namja itu sedikitpun darinya. Tidak akan membiarkan namja itu hilang lagi dari kehidupannya. Tidak akan sekalipun ia sudah dimiliki orang lain.

 

Tidak lagi. Ia tidak ingin mengulangi satu kebodohan yang sama

 

“Hakyeon-ah, dasi dorawa. Jadilah milikku. Aku janji, aku akan memperlakukanmu lebih baik.” Namja yang kini membenamkan wajahnya di ceruk leher namja yang ada dipelukkannya itu bergumam. Dengan nada memelas yang membuat namja dipelukkannya berlinangan air mata.

 

Hakyeon menutup kedua matanya, tangannya mengcengkram erat jaket yang digunakan Taekwoon.

 

“Ne, Woon-ah. Ne…”

 

.

.

 

No, you’re not stupid

 

.

.

 

25 minute ago…

 

Di dalam sebuah café di dekat sekolahnya, Hakyeon duduk di sofa dekat jendela. Menikmati secangkir rosella tea-nya yang perlahan mulai mendingin.

 

Mata caramelnya menatap keluar jendela besar café itu. Memandang rinaian hujan yang membasahi kaca besar jendela tersebut.

 

Hakyeon menghela nafasnya. Lalu menyesap rosella tea-nya lagi.

 

Ia bukannya tidak tau. Ia benar-benar bukannya tidak tau kalau setiap harinya Taekwoon selalu memperhatikannya dari seberang jalan. Dengan wajah sedih dan terluka yang amat sangat.

 

Ia... hanya tidak mau tau.

 

Ia lelah dengan Taekwoon. Ia sudah memutuskan menyerah pada namja itu. Sudah cukup hatinya tersakiti oleh namja itu. Sekarang –kalau memang apa yang ia lihat memang benar adanya- giliran namja itu yang merasakan semuanya. Ini semacam balas dendam atas apa yang sudah namja itu lakukan padanya.

 

Tapi, sekalipun ia berfikir demikian, sepertinya hatinya tidak sejalan.

 

Dan Wonshik menyadari benar hal tersebut.

 

Namja yang sekarang bersatatus sebagai pacar namja manis itu menghela nafasnya. Lalu mengalihkan pandangannya dari Hakyeon yang mulai melamun lagi ke coklat panasnya yang kini mendingin.

 

Sama seperti hatinya.

 

Semua yang dikatakan seseorang padanya beberapa hari lalu tiba-tiba melintas di pikirannya. Menggema ditelinganya seolah namja itu ada di sampingnya.

 

Wonshik mengepal tangan kanannya.

 

“Kau tau, Hyung?” namja itu mulai membuka pembicaraan setelah lebih dari 5 menit suasana hening.

 

Hakyeon tak bergeming. Namja itu tetap menatap ke arah luar jendela. Menatap satu tempat di mana beberapa saat yang lalu menjadi tempat Taekwoon berdiri.

 

Wonshik menghela nafasnya, tiba-tiba wajah namja yang ia sakiti beberapa hari lalu melintas di pikirannya. Membuatnya menutup matanya, kemudian membukanya lagi dan memandang Hakyeon.

 

Sepertinya, ia salah memilih.

 

“Aku rasa... aku lebih senang melihatmu setiap hari mengejar-ngejar Leo-hyung dari pada seperti ini.” Hakyeon lantas melepaskan pandangannya dari tempat itu ketika kalimat tersebut meluncur dari bibir Wonshik. Dengan kepala sedikit miring dan kening berkerut, Hakyeon memandang namja itu.

 

“Apa maksudmu, Wonie –“

 

“Kau terlihat lebih bahagia kala itu.” Kerutan di kening Hakyeon lantas menghilang seiring dengan berubahnya ekspresi namja itu.

 

Hakyeon menatap terkejut dan tak percaya pada namja di hadapannya, yang balas menatapnya dengan pandangan rindu yang Wonshik sendiri tidak bisa menjelaskan sebab pandangannya jadi seperti ini.

 

“Wonnie –“

 

“Kau benar-benar terlihat bahagia sekali. Dibandingkan dengan bersamaku, kau jauh terlihat lebih bebas dan apa adanya ketika kau bersama dengannya. Seolah, yang kau perlihatkan padaku adalah sisi N mu, sedang yang kau perlihatkan pada Leo-hyung adalah sisi Hakyeonmu.” Ucap Wonshik, kini kembali memandang cangkir coklatnyat hangatnya yang setengah kosong.

 

Hakyeon menatap namja di hadapannya dengan perasaan campur aduk sekarang.

 

Benarkah ia sejahat itu? Benarkah tanpa sadar, ia memperlakukan dua orang ini dengan berbeda?

 

Hakyeon menggigit bibir bawahnya.

 

“Wonnie –“

 

“Aku merasa, aku hanyalah selingamu saja, Hyung.” Hakyeon membelalakkan matanya ketika ia mendengar kalimat itu.

 

“Wonnie-yah, kenapa kau bilang begitu?” Tanya Hakyeon dengan nada terkejut dan kecewa yang jelas kentara. Kenapa Wonshik bisa berfikir seperti itu?

 

“Karena itu yang kau lakukan, Hyung. Menjadikanku selingan. Menjadikanku pengganti Leo-hyung.” Wonshik kini memandang Hakyeon. Wajahnya tampak begitu sedih dan kecewa.

 

“Awalnya aku tidak apa-apa, karena aku berfikir, kau begitu mencintai namja itu. Sangat mencintainya. Pasti butuh waktu lama untukmu untuk berpaling darinya.” Wonshik mulai menatap ke arah cangkir coklat hangatnya lagi. Yang mana dipermukaan coklat itu, terbayang lagi wajah seseorang yang membuatnya ingin menangis.

 

Wonshik menggigit pipi dalamnya.

 

“Tapi, setelah satu bulan ini aku mulai sadar. Sampai kapanpun juga, kau tidak akan bisa berpaling darinya. Dalam hatimu, namanya sudah tepahat dan tak bisa dihapus begitu saja.” Wonshik mengepalkan kedua tangannya, menahan amarah yang tiba-tiba menguasai perasaan sedihnya.

 

Ya, dia marah. Marah dengan sikap Hakyeon yang mempermainkannya seperti ini. Walaupun ia tau, namja itu tidak bermaksud untuk mempermainkannya. Sama sekali tidak ada maksud seperti itu. Namja itu hanya butuh tempat untuk bersandar. Tempat untuknya bisa meluapkan semua rasa sakitnya.

 

Dan hanya itu yang dia butuhkan. Tidak lebih dan tidak kurang. Hanya tempat bersandar. Bukan tempat berlindung selamanya. Bukan tempat berbagi cinta. Hanya tempat bersandar.

 

Itulah peran Kim Wonshik selama ini, tempat bersandar seorang Cha Hakyeon yang sedang kesakitan.

 

Tidak lebih, tidak kurang.

 

Karena untuk Cha Hakyeon, satu-satunya tempat berlindung dan berbagi cinta hanyalah Jung Taekwoon. Bukan Lee Minhyuk atau Lee Hongbin apalagi Kim Wonshik.

 

Namja itu juga marah pada dirinya sendiri. Marah karena kebodohannya dan sifat pengecutnya yang lari dari kenyataan yang selalu dijabarkan namja itu. Ia marah. Sangat marah sampai ingin rasanya ia menangis.

 

Ia benar-benar ingin menangis sekarang.

 

Hakyeon lagi-lagi menatap Wonshik dengan mata yang membelalak dan ekspresi terkejut.

 

Benarkah dia seperti itu? Benarkah dia memang tidak bisa berpaling dari Taekwoon? Sekalipun ia mencoba?

 

Hakyeon mendundukkan kepalanya. Merasa begitu malu ketika kenyataan akhirnya menghantamnya keras.

 

Ia memang tau bahwa dirinya selama ini hanya menjadikan Wonshik sebagai selingan. Ia hanya memanfaatkan Wonshik sebagai tempat bersandar dengan dalih menjadikan ia sebagai kekasihnya.

 

Sekalipun ia mencoba menghindarinya, kenyataan tersebut terus saja mendorongnya untuk membuka matanya. Membuka mata bahwa hanya itu peran Wonshik dalam drama kehidupannya. Hanya sebagai seorang sahabat tempat bersandar, bukan kekasih.

 

Karena satu-satunya kekasih Hakyeon adalah orang yang memiliki hatinya, yaitu Jung Taekwoon.

 

“Aku bodoh…” Hakyeon bergumam kecil. Ia kembali menggigit bibir bawahnya. Berusaha menahan air mata yang serasa ingin mengalir kapan saja.

 

Wonshik terdiam mendengarnya. Ia pun lantas memandang Hakyeon, sebelum sedetik kemudian menundukkan kepalanya ketika ia menyadari betapa menyedihkannya ekspresi Hakyeon sekarang.

 

Sampai kapanpun, Hakyeon tidak akan pernah bahagia bersamaku. Apapun yang aku lakukan, aku hanya akan membuatnya senang, bukan bahagia. Seperti apa yang ia katakan.

 

Wonshik mengepalkan kedua tangannya ketika kenyataan itu menghantamnya. Kenyataan yang selama ini berusaha ia hindari, sekarang menghantamnya telak ke tanah. Menamparnya keras sampai ia kini bisa melihat realita yang nyata.

 

Hakyeon memang bukan untuknya.

 

Dan seseorang yang benar-benar untuknya malah ia sakiti dan ia dorong pergi beberapa hari lalu.

 

“Pergilah.” Hakyeon mengangkat kepalanya ketika suara kecil Wonshik terdengar di telinganya.

 

“Eh?”

 

“Pergilah, Hyung. Kejar cintamu.” Wonshik berucap dengan sebuah senyum yang tampak sedikit di paksakan.

 

Sekarang adalah saatnya ia merelakan Hakyeon yang bukan untukknya dan berhenti bersifat egois dengan mempertahankannya.

 

Dan mulai mengejar seseorang yang memang untuknya. Walaupun ia yakin, orang itu tidak mau lagi bertemu dengannya setelah apa yang ia lakukan.

 

Hakyeon lagi-lagi menatapnya dengan wajah terkejut.

 

“Wonnie –“

 

“Kita putus. Selesai. Sekarang kejar Leo-hyung sebelum dia pergi terlalu jauh.” Ujar Wonshik masih dengan senyum dipaksakannya.

 

Hakyeon menatap Wonshik, dan Wonshik pun juga menatapnya. Kedua mata caramel itu seolah saling meyakinkan satu sama lain bahwa ini adalah keputusan terbaik untuk semua pihak.

 

Karena pada dasarnya, Hakyeon itu milik Taekwoon. Dan Wonshik tidak bisa melakukan apapun untuk mengubah hal tersebut, begitu juga Hakyeon sendiri.

 

Hakyeon terdiam sejenak, sebelum kemudian bangkit berdiri dan berjalan menuju ke arah Wonshik.

 

“Mianhae…” namja itu berucap seraya memeluk namja yang lebih muda darinya itu dengan erat.

 

Wonshik terdiam sejenak, sebelum kemudian membalas pelukan Hakyeon

 

Ini yang terakhir.

 

“Tidak perlu… aku yang harusnya minta maaf. Aku yang bodoh, karena aku fikir aku bisa membuatmu yang jelas-jelas milik Leo-hyung jadi milikku.” Ujar namja itu seraya memendamkan wajahnya di ceruk leher Hakyeon yang membungkuk. Mencoba menyesap aroma namja itu untuk yang terakhir kalinya.

 

“Tidak, aku yang bodoh. Aku yang berfikir bahwa dengan berpaling padamu, aku bisa melupakannya. Tapi, ternyata tidak bisa.” Akhirnya, Hakyeon mengakui kenyataan itu. Kenyataan yang selama ini selalu ia bantah.

 

Wonshik hanya tersenyum kecut ketika ia mendengarnya.

 

Yeah… apapun yang kita lakukan, kau tidak akan bisa berpaling darinya.

 

Wonshik melepas pelukkan itu dengan mendorong bahu Hakyeon. Kemudian ia tersenyum memandnag Hakyeon.

 

“Pergilah.” Hakyeon tersenyum, sebelum kemudian mengangguk. Ia pun mengambil jaketnya dan mulai berjalan keluar dari café. Tak peduli kenyataan bahwa sekarang sedang hujan lebat.

 

Semenatara itu, Wonshik hanya bisa memandang kepergian orang yang ia sayang dengan pandangan mengabur karena air mata.

 

Aku memang benar-benar bodoh. Bodoh karena mempertahankannya yang jelas-jelas bukan untukku dan membuangmu…

 

Tiba-tiba, Wonshik merasakan sepasang tangan memeluk lehernya. Sebelum kemudian sebuah tubuh mendekat ke arahnya. Memeluknya dari belakang.

 

Wonshik hampir saja membanting namja itu, hampir. Jika saja ia tak melihat gelang tangan namja itu, ia pasti akan benar-benar membanting namja itu.

 

Ketika ia menyadari siapa yang tengah memeluknya, air matanya akhirnya tumpah.

 

“Aku bodoh.” Wonshik bergumam. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isakan yang mencoba lolos dari bibirnya.

 

Orang itu hanya diam. Membenamkan wajahnya di ceruk leher Wonshik seraya memeluk namja itu lebih erat.

 

“Tidak ada yang bodoh di sini. Kau dan dia hanya terlambat menyadarinya saja. Karena kalian sama-sama egois.” Namja itu bergumam di ceruk leher Wonshik yang mulai terisak kecil.

 

“Bukan itu –“

 

“Sudah cukup. Tidak ada yang salah di sini. Tidak ada yang bodoh di sini. Tidak ada….” Seiring dengan berakhirnya kalimat itu, Wonshik bisa merasakan sweater-nya mulai basah di bagian dimana namja itu menenggelamkan wajahnya.

 

“Jaehwannie….”

 

Seiring dengan satu nama itu meluncur dari bibir Wonshik, namja itu berbalik. Menghadapkan tubuhnya pada tubuh namja itu. Menarik namja itu semakin dalam ke dalam pelukkannya.

 

“Don’t cry…”

 

“… nae baby-ah…”

 

 

 

.End.

 

 

 

 

Aneh banget #pundung dipojokkan.

 

Information:

 

Kemungkinan sequel lain 30%. Pair Raven.

 

Kemungkinan prequel 30%.

 

Sisa 40% end di sini.

 

Lanjut atau udahan? Terserah kalian! ^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
hana_deydey
Sudah update!!!!!!!!

Comments

You must be logged in to comment
Pikoismycatname #1
Chapter 2: Pengennya sih Navi tapi kasian liat Leo.
Pengennya sih LeoN tapi kasian liat Ravi.
Ketika loe berada di antara 2 otp fav diri loe ??
Lee_hakyeon #2
Cerita real nya donk..
Kan Leo { Jung Taekwoon } first love'nyakan N { Cha Hakyeon }
bluefrenchfries #3
Dari sekian hari menjalani perjalanan(?) menjalani(?) pembacaan fanfic Neo/Leon,bru sekali ini nemu yg Indonesia!Dan yaampun bahagianya selangit(?) Lanjutin dong,author-nim!Seneng bacanya,unyu gitu:3
M1chan
#4
Chapter 2: Lanjutin dong thor ff nya.,
yang ini mah belum ending ceritanya..
Kan kami pingin liat leon sama raven pacaran..
Yayaya..
Jebaaaaall >_<
CHyun301 #5
Chapter 2: lanjutin leon nyaaa pen liat leo brubah k si hakyeonnyaaa
alien3005 #6
Chapter 2: lanjut plis. aduh kepo banget sama raven. sama leon juga sih. aduh plis lanjutin. udah dying disini
0221no #7
Chapter 2: masih ada lanjutannya ga thor? tolong dijelaskan lebih lanjut tentang ken.. ya ya thor plis ya ya ;;;
red_kpop97
#8
Chapter 2: Wah -_- Leo banget -_- good luck, N. You have a super cold boyfriend there.
And Raven... ga bisa bilang most waited couple, tapi udah ngira bakalan Raven sih dari pertama baca Ravi pov.
Great job. I can't say anything else other than this. Was there even something left?
Fakehyde_Shako
#9
Chapter 2: Lanjut plis
swagminsuga #10
Chapter 2: Lanjut authornim...
Neo couple pleaseeeee...