New Member of BTS

Height Matter

Fajar telah terbit. Bunyi alarm yang cukup keras menghampiri telinga seorang gadis yang tertidur lelap. Ia mematikan alarm tersebut dan memutuskan untuk melanjutkan mimpi indahnya.

Hingga ia teringat sesuatu.

“Hari pertama sekolah!” serunya. Ia menyambar alarm untuk memastikan apakah ia telat apa tidak. 6:00. Ia menghembuskan nafas.

Masih banyak waktu, pikirnya. Ia bergegas menuju kamar mandi untuk sikat gigi dan memakai seragam. Sembari membuat sarapan, pandangannya tertuju pada alat pengukur tinggi badan. Ia tertegun sejenak.

“Hari pertama di sekolah menengah akhir, apakah tinggiku bertambah?” tegunnya. Ia menghampiri alat pengukur tinggi tersebut dan mengukur badannya.

“Seratus empat puluh…..” matanya membesar. “delapan?!” kakinya melemas. Tak terasa air mata kekecewaan sudah menggenangi matanya, seakan harapan hidupnya hancur. “Selama 7 tahun aku hanya bertambah satu senti?! Aaaa Jinjjayo!!” ia tak sanggup menahan tangis. “Huaaa tak kusangka ternyata Tuhan begitu kejam terhadapku,” tangisannya seakan menunjukkan bahwa ia adalah bocah umur 8 tahun yang tidak naik kelas. Ia menghapus airmatanya dan mengepalkan tangannya.

“Jo Miyeon tidak kenal kata menyerah! Ini kesempatan terakhir untuk menjadi tinggi!” ia menyerbu kertas yang berada di dekat gagang telepon dan menuliskan hal-hal untuk menggapai keinginannya.

  1. Ikut Klub Voli
  2. Minum susu 2 gelas sehari
  3. Aerobik 3 hari sekali
  4. Jauhi orang-orang yang tak mendukungmu

Ia kemudian menempelkan tulisan tersebut di pintu kamarnya. Sebenarnya ia bisa melakukan lebih, hanya sifat keras kepala dan pemalasnya menghalangi keinginan untuk melakukan lebih. “Selamat  berjuang, ahoy!” ia meninggalkan rumah dan bergegas untuk menghadapi hari pertamanya di sekolah menengah akhir.

Miyeon menatap seluruh isi kelas. Tak disangka ia datang paling awal. Arlojinya menunjukkan pukul 6:30.

 Seharusnya sudah banyak yang datang, ujarnya dalam hati. Ia memutuskan untuk keluar, memastikan bahwa ia tidak sendiri di sekolah ini.

Namun seseorang berseragam cleaning service memasuki kelas sebelum ia melangkahkan kaki untuk keluar. Wajah sangarnya menatap Miyeon dengan tatapan penuh amarah. Tubuh Miyeon gemetar, ia tak bisa bergerak. Sang cleaning service menunjuk Miyeon seakan ia memergoki seorang pencuri.

“Kau! Kau bocah yang kemarin sengaja mencuri lukisan di ruangan ini kan?!” Miyeon tergelak, di satu sisi ia tak mengerti apa maksudnya, di sisi lain ia gemetaran, tak terpikir di benaknya satu katapun. Sang cleaning service menggenggam erat lengan Miyeon. “kubawa kau menghadap kepala sekolah!”

“Ahjussi tapi-“

“Tapi apa?! Sini kau, bocah!” ia menyeret tubuh Miyeon. Dengan sekuat tenaga Miyeon berusaha untuk membebaskan dirinya, tetapi tubuh mungilnya tak sebanding dengan kekuatan cleaning service tersebut.

Seseorang, tolong aku….. pikirnya

“Menyiksa murid dan menuduhnya, apakah kau bisa disebut cleaning service yang baik?” tepat di depan pintu, seorang pria yang sedang memakan roti berbicara. Ia memakai seragam yang menandakan ia murid disini. Sang cleaning service menghampirinya.

“Hei tengik, tidak usah ikut campur! Tau apa kau tentang bocah itu?!” ia menunjuk Miyeon. “ia telah mencuri luk-“ tak terpikir olehnya, mulutnya disangga oleh roti yang dimakan murid tersebut.

“Kau lapar ahjussi? Orang lapar biasanya emosi tak karuan, makanlah rotiku,” Miyeon di sisi lain tertawa puas melihat adegan di depan matanya. Sang Cleaning service menatap sinis Miyeon, dilepaskannya roti di mulutnya—yang anehnya tetap ia pegang—dan membanting pintu.

“Cih, bocah-bocah sialan!” omelnya meninggalkan kelas. Sementara keduanya tertawa di kelas.

“Ia bilang sialan, tapi rotinya tetap saja dimakan, lucu bukan?” Miyeon berkata disisi tawanya. Sang murid menatapnya.

“Kelas pertamamu kelas bahasa?”

“Tidak, kelas seni. Di jadwal tertulis kelas seni di ruang XII, benar kan?” Miyeon melihat jadwalnya. Sang murid menunjukkan tatapan kebingungan sejenak. Ia kemudian memalingkan pandangan matanya kearah pintu, menunjukkan sesuatu.

Ruang XIII.

Miyeon membesarkan matanya.

Sial, salah ruangan. Memalukan, duh..

“K-kalau begitu aku permisi dulu,” ia merasa sangat malu. Sebelum keluar ruangan, ia berhenti dan menghadap sang murid. “By the way, t-terima kasih sudah menolongku!”  ucap Miyeon, terbata. Sang murid membalasnya dengan senyuman. Masih merasa malu, Miyeon bergegas meninggalkan ruang XIII, menuju ruang XII.

Firasat Miyeon mengatakan bahwa murid yang ia jumpai tadi sangat familiar di pikirannya.

Ah, mungkin firasatku saja.. pikirnya.

“Tunggu…” ia merasa ada sesuatu yang hilang, lebih tepatnya tertinggal. “Aku lupa menanyakan namanya.”

“Sudahlah Miyeon-a,” salah seorang sahabat Miyeon, Saeron, menghiburnya. “lagipula kau masih terlihat lucu dengan tubuh mungilmu,” Miyeon menatapnya kesal.

“Kau mengejekku?!”

“Tenang dulu,” sahabat lainnya, Jookyung berkata, “lagipula seharusnya kau sudah terbiasa disangka anak kecil kan?”

Memang benar. Ini bukan pertama kalinya Miyeon diperlakukan seperti anak kecil. Beberapa hari yang lalu saat makan bersama keluarganya, ia diberi menu anak sekolah dasar. Di lain waktu ketika ia bermain di taman hiburan, banyak arena yang tidak memperbolehkan ia masuk. Herannya, ia tak pernah terbiasa dan sering kali ia merasa kesal, padahal itu sudah terulang berkali-kali.

“Aku bukan anak kecil!” itulah kata-kata yang sering ia ucapkan ketika ia diperlakukan seperti anak kecil, yang justru malah membuat orang percaya bahwa dia anak kecil. Seandainya ia tidak kekanak-kanakan, mungkin ia tak akan terlihat begitu ‘anak kecil’.

Kantin dipenuhi murid yang baru masuk semester ini. Konon itu adalah tradisi sekolah, yaitu kantin sebagai tempat berkumpul para sophomore. Koridor senior adalah tempat berkumpul para senior, sedangkan lapangan basket adalah tempat berkumpul para junior.

“Tetapi aku tidak suka!” protes Miyeon. Kedua sahabatnya hanya tertawa.

“Aku mengerti, hahaha”

“Omong-omong, kudengar murid yang masuk semester ini banyak teman kita dari sekolah dasar loh!”

“Jinjja?” ia melihat sekeliling. Benar juga. Ada Kangdae si tubuh besar,si make-up-addict Hayeon, Yumi si mulut besar……….

Hingga matanya tertuju pada sekelompok orang.

Bangtan sonyeondan……. Lirihnya. Ia teringat akan masa-masa kejayaannya. Bangtan Sonyeondan adalah sekelompok laki-laki yang sangat suka menindas saat Miyeon dan kawan-kawan masih di sekolah dasar. Hanya satu yang tak berani mereka tindas, yaitu Miyeon, yang pada saat itu bertubuh jauh lebih besar dari mereka. Miyeon yang dulu bukanlah Miyeon yang sekarang. Dahulu ia mampu menolong orang-orang yang ditindas oleh mereka, sedangkan tubuhnya sekarang tak memungkinkan untuk melakukan hal yang sama.

Tetapi ia merasa ada sesuatu yang mengganjal.

Sepertinya ada yang aneh, pikirnya. Seingatnya, jumlah anggota mereka ada 6.

1, 2, 3.. ia pun memutuskan untuk menghitungnya. 4, 5, 6……...

7?! terkejut bukan main, ia memperhatikan wajah mereka dengan seksama. Kim Namjoon, Kim Seokjin, Min Yoongi, Park Jimin, Kim Taehyung, Jung Hoseok, matanya tersadar akan sesuatu. Anggota baru mereka………

Adalah murid yang menolongnya tadi pagi.

Ia tertawa. Apakah bangtan sonyeondan sudah berubah menjadi grup superhero?

“Oi, Jo Miyeon!” Jookyung melambai-lambaikan tangannya di depan mata Miyeon. Tersadarkan, Miyeon berhenti memperhatikan mereka.

“Hei, kenapa mereka jadi ber-7?” Miyeon bertanya sembari menunjuk mereka dengan matanya. Kedua sahabatnya tertawa. “Kok tertawa?”

“Miyeon-a, apakah kau tidak menyadari siapa anggota baru mereka?” Saeron bertanya, seakan menyindir. Miyeon menyiritkan dahinya.

Wajahnya memang sangat familiar di benakku, tapi siapa? Herannya. Jookyung tersenyum dan menggelengkan kepala, ia beralih menghadap mereka dan memanggilnya.

“Oi, Jeon Jungkook!”

Matanya membesar.

J………

JEON JUNGKOOK?!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet