Chapter 1

"Nado saranghae, Kim Jong In."

 Suasana ruang oprasi terasa begitu tegang. Lampu menyala begitu terang diatas wajah pasien yang terbarin sangat lemah. Terlihat seorang dokter dan beberapa suster yang mengerubungi ranjang pasien.

“Gunting.” ucap sang dokter. Seorang suster memberikan apa yang dokter minta. Kemudian dokter itu menggunting sedikit kulit yang menghalangi pisau oprasinya untuk membelah perut sang pasien lebih lebar.

Keringat sang dokter terus mengalir. Operasi selama kurang lebih 6 jam ini sia-sia. Bahkan ketika organ dalam sang pasien diganti dengan yang baru, tak ada yang bisa diharapkan lagi. Dokter sudah angkat tangan. Hanya do’a dari orang-orang yang peduli saja yang bisa menolognya.

Bahkan dokter menegaskan bahwa pasien akan mengalami koma yang sangat lama sampai entah kapan. Namun tebakan sang dokter melesat. Pasien itu bangun setelah 3 minggu dokter memvonisnya koma. Sungguh mukjizat dari Tuhan.

“Aku tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya. Kurasa, hidupmu tidak akan lama lagi. Aku tidak berharap kau cepat pergi, tapi kau harus bersiap dengan segala seusatu yang akan datang.”

***

“Bisakah aku mendapatkan ruang VIP? Aku tidak mungkin bisa tidur dengan kamar seperti ini.” Seorang gadis berambut merah baru saja masuk menjadi pasien baru di rumah sakit ini.

“Maaf nona, kami kehabisan ruangan. Hanya ini satu-satunya kamar yang tersisa.” jawab suster dengan sabar.

Gadis itu membuang muka sombongnya hingga melupakan tentang mengapa ia harus dirawat di rumah sakit. “Eomma, kita pulang saja.”

“Wae? Kau harus dirawat. Semua rumah sakit di Seoul sudah penuh. Hanya ini satu-satunya yang tersisa. Eomma tidak mungkin tega mengirimmu ke Busan. Sudahlah.” ujar Ibu gadis itu.

Terpaksa gadis rambut merah itu masuk ke dalam ruangannya sambil mengumpat sebal. Baru saja ia akan menerima hal ini,

“YA! MENGAPA ADA NAMJA DI KAMARKU?!”

Sontak saja suster dan Ibu gadis terkejut. Mereka masuk dan berusaha menjelaskan lagi bahwa semua kamar sudah terisi penuh. Lagi pula penyakit yang di derita gadis itu dan namja di sebelahnya tidak akan saling menular. Bahkan namja di ruangan itu terlihat sama sekali tak peduli dengan kedatangan ‘teman baru’ sekamarnya.

 

 

“Annyeong Jongin-ah.” Seorang suster masuk ke dalam kamar di pojok lorong rumah sakit sambil membawa semangkuk bubur dan sebuah kotak obat. “Bagaimana keadaanmu?”

“Tidak ada yang berbeda dengan tadi, kemarin, dan hari-hari sebelumnya.” jawab pasien bernama Jongin itu.

Suster itu mengerutkan keningnya. “Bahkan setelah kau punya ‘teman’ di kamarmu?” tanya suster dengan senyum penuh arti.

Jongin hanya menanggapi dengan senyum tipis. Sedetik kemudian ia menengok ke samping kanan, melihat gadis berambut merah yang kini tengah meringkuk di atas ranjang dengan kedua lututnya yang di tekuk.

Setelah suster itu pergi, Jongin memandang gadis di sebelahnya cukup lama. Kurang lebih selama 8 menit, gadis itu menoleh ke arahnya. Sontak saja Jongin langsung mengalihkan pandangannya ke tembok.

***

Sejak kedatangan gadis itu, kamar Jongin tidak pernah sepi. Keluarga gadis itu setiap hari datang untuk membawa makanan kecil atau hanya sekedar menjenguk sebentar lalu pergi lagi. Jongin mengira, orang tuanya pasti adalah orang yang sibuk. Juga seorang gadis yang sering disebut eonni oleh gadis berambut merah itu, Jongin mendegar namanya adalah Sooyeon.

2 hari kemudian, orang tua gadis berambut merah itu bilang akan pergi keluar kota. Sontak saja gadis itu langsung merengek tidak mau ditinggal sendirian di Seoul. Bahkan kakaknya bilang ia tidak bisa menjenguk setiap hari. Saat itu juga Jongin tau bahwa nama gadis rambut merah itu adalah Jung Soo Jung.

Kini setiap hari hanya ada dokter dan perawat yang mengunjungi kamar di pojok rumah sakit itu. Mereka tidak pernah bicara satu sama lain. Hanya diam seperti pasrah meratapi nasib. Beruntung rajang Soojung berada di dekat jendela, jadi ia bisa melihat ke taman samping rumah sakit. Sementara Soojung melihat ke luar jendela, Jongin akan memandangi Soojung dari ranjangnya.

 

 

Suatu malam, Jongin terbangun dari tidurnya karena mendengar tangisan seorang yeoja. Setelah membuka mata, Jongin mendapati Soojung meringkuk sambil terisak. Tanpa sadar, Jongin turun dari tempat tidurnya lalu berjalan menuju tempat tidur Soojung.

“Tidurlah, sakitmu akan hilang.” ucap Jongin masih setengah sadar.

Soojung tetap dalam posisinya. Isaknya semakin keras.

“Hey, sudahlah. Kau tidak mau mereka datang dan memberimu suntik bius kan? Tidurlah.” ucap Jongin seraya menepuk pelan pundak Soojung.

Soojung mengangkat wajahnya, matanya terlihat sembab. “Apa pedulimu? Urus saja dirimu sendiri!” ucap Soojung ketus, kemudian menepis tangan Jongin kasar.

Tiba-tiba saja Jongin merasakan bibirnya bergetar hebat. Jarinya memegang bibir bawahnya, darah. Tanpa memperdulikan Soojung yang menatapnya dengan perasaan bersalah, Jongin langsung menuju kamar mandi kemudian membasuh bibirnya dengan air.

 

“Selamat pagi Kim Jong In.” Kim Minseok, dokter pribadi Jongin memberinya salam dengan ramah. Hampir setiap hari ia melakukan hal itu. Ia percaya, sebuah senyuman mampu memberikan semangat kepada pasiennya. Hampir 98% persen hal ini berhasil, tapi Jongin lain dari yang lain.

“Hei... coba lihat. Kau punya teman baru? Neomu yeppo-ya. Selamat pagi nona... Jung?” Minseok melihat ke bawah ranjang Soojung untuk melihat namanya. Wajah Minseok sedikit terlihat khawatir dengan keberadaan Soojung di samping Jongin.

Soojung hanya membalasnya dengan senyuman.

Melihat Jongin berbincang-bincang dengan dokternya, Soojung merasa dikucilkan. Bahkan dokternya tak pernah memberinya ucapan selamat pagi. Setelah 10 menit, Soojung turun dari ranjangnya menuju  kamar mandi. Baru saja ia mau melangkah, Minseok menahannya.

“Andwe. Gunakan kamar mandi yang kiri. Dan jangan pernah menyentuh yang kanan.” ucap Dr.Minseok.

“Wae?” tanya Soojung ketus.

“Lakukan saja apa yang dia katakan.” balas Jongin tak kalah ketus.

Ketika Jongin mandi, Soojung tengah berpikir tentang penyakit Jongin. Jangankan Jongin, dia saja tidak tau apa penyakitnya. Di meja Jongin, terdapat banyak sekali obat dalam botol maupun tablet, dan 3 buah tabung oksigen. Di bawah tempat tidurnya terdapat banyak sekali kardus tissue. Setelah Jongin selesai mandi, 2 orang petugas kebersihan langsung menyemprot kamar mandi sebelah kanan. Kedua petugas itu mengenakan masker dan baju khusus. Soojung semakin bertanya-tanya. Barus setelah petugas itu pergi, Soojung memberanikan diri untuk memulai bicara pada Jongin.

“Hei.”

“Hei,”

5 detik kemudian, “YA!” panggilan ketiga Soojung lebih terkesan seperti membentak. Tentu saja karena Jongin tidak mendengar suaranya tadi.

“Wae?” tanya Jongin cuek.

“Kau...ini kenapa?” Soojung balik bertanya.

“Maksudmu?”

“Mengapa setelah kau mandi, petugas kebersihan langsung membersihkan kamar mandimu? Apa penyakitmu menular? Penyakit berbahaya?!”

Jongin tersenyum tipis. Sedikit lama ia tidak memperhatikan tatapan Soojung. “Makan buburmu sebelum dingin.” ucap Jongin.

 

Siang hari yang begitu panas. Matahari terasa begitu menyengat. Siapapun yang berada di dalam ruangan pasti akan membuka jendela mereka agar udara di dalam ruangan berganti dengan yang baru. Tapi kenyataan itu berbeda dengan kamar di pojok rumah sakit. Kamar ini terlihat begitu suram karena jendela yang di tutup dan lampu yang sengaja dimatikan.

Jongin merasa sangat gerah. Bahkan setelah menyalakan AC dan melepas selimut juga kancing bajunya yang atas. Berkali-kali dia mengayunkan buku supaya tercipta angin buatan, tapi itu tidak mengurangi gerahnya. Bahkan membuatnya semakin merasa gerah.

“Hei, buka jendelanya.” ucap Jongin. Yang diajaknya bicara tetap diam.

“Hei.” Soojung tetap diam. “Ya, Jung Soo Jung!” Jongin berjalan menuju saklar lalu menyalakan lampu.

“AH! Matikan lampunya!” teriak Soojung histeris. Jongin malah menatapnya bingung. “AAH, MATIKAN LAMPUNYA!!!”

Dokter langsung datang karena teriakan Soojung. Mereka langsung memberikan suntikan penenang dan memeriksa kondisi Soojung. Setelah mendapat sample darah, mereka keluar tanpa memperdulikan penghuni lain di kamar itu.

 

Sejak kejadian itu, Soojung menjadi semakin cuek pada Jongin. Apa saja yang Jongin katakan dan lakukan ia tidak peduli. Sudah sering sekali Jongin mengajaknya mengobrol atau sekedar mencairkan suasana, tetap saja Soojung tidak peduli.

Hal itu semakin membuat Jongin bersemangat untuk mengetahui karakter Soojung yang sebenarnya. Di depan dokter, dia akan sangat manja. Tapi di depannya dia bisa berubah 180 derajat. Jongin tidak menyerah. Ia terus berusaha membuat Soojung bicara lebih dulu padanya. Jongin sering mendapati Soojung menangis di malam hari karena kepalanya pusing. Ia selalu menolak ketika Jongin bilang akan memanggil dokter. Setelah berhenti menangis, Soojung akan melihat ke luar jendela dan memandang langit malam. Wajahnya akan terlihat bercahaya terkena sinar bulan.

Tapi malam ini berbeda. Soojung menangis lebih kencang dari biasanya. Biasanya ia hanya akan terisak, tapi malam ini tangisnya terdengar hingga kamar sebelah. Jongin terbangun dari tidurnya. Kemudian ia mendapati lampu kamar ini menyala, secara reflek Jongin langsung mematikan lampu. Lalu mendekati Soojung dengan wajah khawatir.

“Terimakasih.” adalah pertama kalinya Soojung ‘berbicara lebih dulu’ disertai senyum tulusnya. Jongin balas tersenyum. Hatinya terasa bergetar melihat senyum Soojung yang pertama kali ditujukan untuknya. Namun beberapa saat kemudian, wajah Soojung kembali suram.

“Wae guraeyo?” tanya Jongin khawatir.

“A-aku... aku ingin....” Soojung mengutarakan keinginannya terbata. Ia menatap horor ke arah kamar mendi.

Jongin mengikuti arah mata Soojung. “Buang air?”

“Tidak, maksudku a-aku hanya....”

“Takut gelap?”

Soojung menatap Jongin dengan tatapan ‘darimana kau tau?’

“Baiklah. Aku akan menemanimu ke kamar mandi.” Jongin melepas infus Soojung dari tempatnya. Namun baru saja ia membalik badannya,

“NEO? MICHEOSSO?!” bentak Soojung galak.

“YA! Bisakah kau tidak membentakku?! Sekali saja!” Jongin balas membentak. Soojung terdiam. Ia tengah mengingat sudah berapa kali ia membentak Jongin. Bahkan ketika Jongin berniat membantunya. “Aku tidak akan ikut masuk ke kamar mandi, aku tidak akan melihat meskipun kau tidak menutup pintu.”

Akhirnya setelah menimbang-nimbang resiko, Soojung setuju. Dia berhasil buang air dengan lancar maski perasaannya campur aduk.

***

Rasa penasaran Soojung tentang mengapa petugas kebersihan yang selalu langsung membersihkan kamar mendi setelah Jongin memakainya masih terus berlanjut. Pagi ini ia telah memulai sebuah percakapan yang baik dengan Jongin.

“Kau belum menjawab pertanyaanku waktu itu. Mengapa kamar mandimu selalu dibersihkan setiap setelah kau memakainya, sedangkan aku hanya sehari sekali?” tanya Soojung saat mereka manikmati sarapan.

Jongin menelan suapan ketiga. “Kau tau, kotoran manusia itu berbahaya.”

Soojung memicingkan matanya. Dalam hati ia berkata, “Menjijikan sekali membicarakan hal itu ketika sarapan pagi.”

Mereka terdiam cukup lama. Berkelana dengan pikiran masing-masing, atau tengah mencari bahan untuk dibicarakan berdua. Kemudian Jongin menemukan sebuah topik pembicaraan. Sebelumnya ia sudah memikirkan itu dua kali, memikirkan bagaimana reaksi Soojung setelah ia selesai bercerita.

“Menurutku, kau adalah gadis yang sangat beruntung.” ujar Jongin yang dibalas dengan tatapan ‘Maksudmu?’ dari Soojung. “Yah, keluargamu sangat perhatian. Mereka mengunjungimu hampir setiap hari. Meski sekarang mereka berada di luar kota, aku yakin mereka sering mengirim pesan padamu.”

“Aku tidak memiliki ponsel.”

“Apa?”

Soojung tidak menjawab. Jongin mengira Soojung sedikit terusik dengan ucapannya tadi. “Kalau begitu mereka pasti memikirkanmu setiap hari. Ingin cepat pulang lalu membawamu kembali ke rumahmu.”

Soojung tetap diam di posisinya, bersiap mendengarkan ucapan Jongin berikutnya.

“Ibuku hanya menjengukku satu kali. Setelah itu dia pergi lagi untuk tidur dengan pria yang berbeda setiap malam. Dan ayahku, aku tidak pernah merasa memiliki seorang ayah. Aku benci Ayahku karena membuatku dan Ibu menderita. Aku benci Ibuku karena memilih pria seperti dia.”

Soojung terlihat mulai tertarik dengan cerita Jongin. Kini ia duduk menghadap ranjang Jongin. “Ayahmu berasal dari Cina?” tanya Soojung.

“Bagaimana kau bisa tau?”

“Aku melihat daftar pasien, dan aku melihat namamu. Kalau tidak salah ayahmu... Wui....”

“Wu Yi Fan.”

“Yah itu.”

“Ya, dia dari Cina. Pria kelahiran Canada yang nekat menikahi wanita Asia. Lalu dengan mudahnya ia meninggalkan wanita itu ketika dia tau wanitanya hamil. Dia hanya suka bermain. Menikahi Ibuku hanya untuk dijadikan arena permainannya setiap saat. Sampai Ibuku hamil, dia tidak mau mengakuinya sebagai ‘wanitanya’.”

“Whooa kau bukan orang Korea asli!” teriak Soojung excited. “Tapi, nama mu Kim Jong In? Kenapa bukan Wu Jong In?”

Jongin tertawa. Wu Jong In, baginya nama itu terdengar sangat cocok untuk di tertawakan. “Itu nama lahirku, tapi aku tidak sudi memakai nama itu.”

“Wae? Lalu kau membuat nama sendiri? Kau curang! Itu melarang aturan!” Soojung mempoutkan bibirnya.

Tawa Jongin kembali meledak. “Tentu saja tidak, pabo. Aku mengikuti ibuku. Kim Hyun Ah.”

Mereka saling berbagi cerita, masih tetap di ranjang masing-masing. Hingga pada akhirnya Soojung tertidur karena lelah tertawa seharian. Hari ini, senyum Jongin lebih cerah dari biasanya.

 

 

Entah sejak kapan Soojung selalu ingin buang air kecil di malam hari. Jongin akan selalu menemaninya di depan pintu. Lampu kamar mereka selalu padam. Hanya sebuah lampu tidur kecil berwarna biru yang tidak terlalu terang di meja Jongin. Sebenarnya Jongin tidak tau pasti tentang penyakit yang diderita Soojung. Tapi ia tetap menghormatinya dan tidak berencana akan menanyakan tentang hal itu sekarang.

1 jam menuju tengah malam. Soojung terbangun dari tidurnya, ia berjalan sepeti zombie menuju kamar mandi tanpa membuka matanya sedikitpun. Jongin tersentak ketika mendapati Soojung menyentuh gagang pintu kamar mandi sebelah kanan.

“YA! Andwe!” teriak Jongin.

Soojung membuka mata. Sesaat kemudian ia sadar ternyata dia salah jalan. “Wae? Mengapa tak ada orang yang boleh masuk kamar mandimu? Apa kau menyimpan gambar o di dalam sana?” Soojung kembali memegang gagang pintu, berniat untuk membuka dan melihat isinya.

“Andwe! Soojung-ah, andwe. Puttakiya....” Jongin memohon tanpa mendekat ke Soojung. “Aku akan memberitaumu setelah kau selesai buang air.”

 

Malam ini bulan bersinar terang. Bintang-bintang muncul dari persembunyiannya untuk menemani siapa saja yang mereasa kesepian di malam yang indah ini. Jongin mengajak Soojung keluar ke taman di sampng rumah sakit. Walah sudah larut, suasana rumah sakit tidak pernah sepi dari kesibukan.

“Selain melarang menggunakan kamar mandi, kau juga melarang semua orang menyentuh barangmu tanpa menggunakan tissue. Sebenarnya kau ini kenapa?” tanya Soojung sambil memandang langit.

“Apa kau pernah mendengar tentang AIDS?”

“Tentu.” jawab Soojung santai. “Mwo? Jadi kau pengidap AIDS?!” Soojung menggeser duduknya, sedikit menjauh dari Jongin.

Jongin tersenyum miris. “Tidak. Tapi hampir sama dengan itu.”

Soojung semakin menggeser duduknya. Pikirannya sekarang adalah tentang mengapa orang-orang tega memasukannya ke dalam kamar yang berisi seorang penderita AIDS? Lebih baik dia di rawat di rumag saja.

“Kau sendiri, mengapa matamu selalu sakit ketika kau melihat cahaya?” tanya Jongin.

“Aku tidak tau.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ditaaauliaaa #1
Chapter 2: Huaaaa aku nangis baca fic ini:''''' kasian banget jongin nya:' kirain jongin kena penyakit aids, eh ternyata bukan. Such a good story! Love ya<3
BintangAnandaa
#2
Chapter 2: jonginnnnn:"
sunggaeul #3
Chapter 2: huwaaa.. Sediiiihh..
Kasian soojung.. T-T
sunggaeul #4
Chapter 1: lho kok soojung ga tau ap penyakit nya.?
Ga di kasih tau ortu nya ya.. Ckck
sunggaeul #5
bikin penasaran..
Deaara #6
Chapter 2: OMG! Kim jongin :( .
Citraysm #7
Chapter 2: Ini keren!! Bangett aaa nangis;; buat versi inggrirnya coba
coordynoona
#8
Chapter 2: *nangis virtual*
we dont know how much someone meant to us untill we lost them. yakan huhu. jongin nya pergi soojung nya sedih :(

makasih banget buat fic nya, aku jadi dapet inspirasi buat nulis lagi :'D
lay9095 #9
Chapter 2: Gue nangis...gue tau gimana rasanya glaukoma...#curcol..
Kesian banget ama jongin...keep writing
.!!
Tenznordonla #10
Chapter 1: But I only understand is nado saranghae, Kim Jongin