Back In Time

Back In Time

Back In Time

 

Jalanan tampak lengang, membuat pemuda berperawakan tinggi besar itu menyusurinya dengan santai. Kedua tangannya ia masukkan ke saku jeans. Di lehernya, syal kecoklatan melilitinya sampai hampir menutupi hidung. Beberapa kali terlihat kepulan putih kecil di depan wajahnya, menandakan suhu udara yang terlampau dingin.

Kedua kakinya terus membawanya tanpa arah sepanjang jalan yang dipenuhi pertokoan dengan banner warna-warni bertuliskan 'Happy New Year 2014'. Hingga sebuah toko bunga di ujung jalan menarik perhatiannya. Toko bunga kecil bercat coklat dengan sederetan pot berisi bunga-bunga yang sudah dipetik berjajar rapi di depan etalase. Ia membalikkan badannya, mendekati pot-pot bunga itu, lalu membelainya satu per satu. Hingga ia berada di depan pintu kayu dengan gantungan putih bertuliskan ‘Welcome’. Tangan kirinya dengan cekatan meraih gagang pintu, membuat pintu itu berdecit pelan diikuti bunyi lonceng dari atas pintu.

Kedua manik hitamnya menyusuri seluruh sudut ruangan, mengamati berbagai jenis bunga di sana. Serangkaian memori masa lalu terlintas di otaknya, memorinya satu tahun yang lalu. Di sini. Di toko bunga ini. Dengan gadis pujaan hatinya yang sekarang tak bisa ia temui lagi.

“Ehhmm…” deheman kecil sang pemilik toko berhasil membawanya ke dunia nyata, setelah beberapa saat bergelut dengan memori masa lalunya.

Ia membalikkan badannya, menghadap pemilik toko yang tengah berdiri di balik meja kasir, kemudian sedikit membungkukkan badannya, menyapa bibi pemilik toko.

“Selamat pagi, bibi Han,” sapanya ramah sambil mendekat ke arah kasir.

“Lama tidak bertemu, Taecyeon-ah. Sudah satu tahun, ‘kan?” Ia hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. “Apa kau tidak membawa gadis lain sekarang?” lanjut bibi Han yang tengah sibuk membuat rangkaian bunga lili.

Ia tersentak mendengar pertanyaan yang dilontarkan bibi Han padanya. Gadis itu. Ia tahu siapa yang dimaksud tanpa perlu menyebut namanya. Mungkin bibi Han takut menyinggung luka hatinya jika nama gadis itu terucap dari bibirnya.Ia hanya menggeleng pelan, diikuti senyum kecil yang ia paksakan. "Bagaimana bisa membawa gadis lain kalau aku saja belum bisa melupakannya, bibi Han. Ia... ia terlalu berharga untuk kulupakan."

“Ya, aku tahu. Sorot matamu sudah mengatakan itu, hahaha.” Bibi Han terkikik pelan mendengar ucapannya sendiri. Sedangkan ia tetap bergeming, masih dengan ekspresi kehilangan. “Jika kau punya kesempatan kembali ke saat itu, apa yang akan kau lakukan?”

Ia berpikir sejenak, menatap pot berisi puluhan tangkai mawar di samping meja kasir. Kemudian menatap bibi Han di hadapannya. “Mengubah takdirnya,” jawabnya cepat tanpa keraguan. “Aku akan mengubah takdirnya yang menyedihkan itu.”

Wanita setengah baya itu tersenyum kecil di balik meja kasir. Kemudian tangannya meraih beberapa tangkai bunga mawar, lalu merangkainya dengan pita keemasan dan menyodorkannya ke pemuda di hadapannya.

“Untukku?” Ia menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuknya.

Bibi pemilik toko itu mengangguk. “Ya, gratis untukmu. Berikan ini pada gadismu.” Ia meraih tangan pemuda itu untuk menerima bunga darinya.

“A–apa? Dia sudah–“

“Ssssttt, kalau kau tidak cepat-cepat, kau akan kehilangan kesempatanmu.” Bibi Han mendorongnya keluar toko. Sedangkan ia hanya bisa memberikan wajah datar, tak mengerti apapun.

Ia menolehkan kepalanya ke pintu toko sebelum akhirnya ia berjalan tak tentu arah. Ia memandangi beberapa tangkai bunga mawar di genggamannya. Tak tahu apa yang harus dilakukannya dengan bunga itu. Hingga akhirnya ia memutuskan kembali ke apartemennya dan akan menyimpan bunga mawar itu di vas. Beberapa kali ia terlihat menhirup aroma wangi bunga mawar itu sambil sesekali memejamkan kedua matanya sesaat.

"Oppa,"

Sebuah suara mengejutkannya. Perlahan-lahan ia membuka kedua matanya. Pikirannya kalut. Ia berpikir, ia mungkin berhalusinasi mendengar suara seorang gadis yang memanggil 'oppa'. Atau mungkin ini memang nyata, tapi bukan gadisnya yang memanggilnya, melainkan gadis lain yang memanggil kekasihnya. Tapi, bagaimana dengan suaranya? Terdengar mirip dengan suara gadisnya. Walaupun satu tahun berlalu, ia benar-benar masih hafal suara gadisnya. Ia berani bersumpah.

Tapi, suara itu, bukan gadisnya, 'kan? Bukannya tidak suka jika itu gadisnya, hanya saja itu sungguh mustahil. Gadisnya sudah meninggal setahun lalu. Dan itu artinya, ia tak akan hidup lagi.

"Oppa!!"

Kali ini lebih terdengar seperti teriakan untuknya. Ia bisa mendengar langkah kaki mendekatinya dari belakang. Ia berniat membalikkan badannya. Tapi sebuah jemari menggamit lengannya, membuatnya tersentak dan hampir menjatuhkan bunga mawar di genggamannya.

"Oppa tidak mendengarku, ya?" Gadis itu menatapnya lekat-lekat. Sedetik kemudian perhatian gadis itu teralih ke bunga mawar di genggamannya. "Itu untukku?"

Tanpa menunggu respon, bunga mawar itu sudah berpindah tangan ke gadis mungil dengan dress soft purple-nya. Beberapa kali gadis itu memainkan kelopak bunga merah itu, kemudian menghirup aroma wangi yang menguar dari bunga itu. Sedangkan di samping gadis itu, ia terlihat linglung. Berkali-kali ia mengerjapkan matanya, memastikan kedua penglihatannya masih berfungsi dengan baik dan tak salah mengenali orang.

"Suzy-ya," panggilnya lirih. Bisa terdengar suaranya sedikit bergetar.

Gadis itu menoleh, menatap matanya lekat, "Ya."

Ia terdiam sejenak sebelum beberapa rangkai kata terlontar dari bibirnya. "Ka-kau Suzy, kan? Bae Suzy?"

Gadis itu tampak bingung. "Tentu saja. Memangnya ada berapa Suzy yang oppa kenal, hm?"

Ia melihat gadis di sampingnya mendengus kesal. Sepertinya ia salah menanyakan pertanyaan. Gadis itu mungkin berpikir ia mempunyai selingkuhan yang bernama Suzy juga.

"Sa-satu. Kau. Bae Suzy."

Jawaban itu membuat kedua sisi pipi gadis di sampingnya merona merah. Dan seingatnya, Suzynya akan merona seperti itu jika dia merasa malu ataupun tersanjung. Itu artinya, gadis di sampingnya benar-benar Suzy, 'kan?

Pikirannya tambah kacau sekarang. Bagaimana gadisnya bisa di sini. Tidak mungkin dia hidup lagi, 'kan? Bahkan ia tahu tak ada nenek sihir yang bisa menghidupkan orang yang sudah tiada. Lalu ini apa? Halusinasi? Bahkan ini terlihat benar-benar nyata untuknya. Mimpi? Jika iya, ia lebih memilih bermimpi selamanya dan tak pernah bangun. Karena ia tahu, di dunia nyatanya, gadisnya sudah tak ada lagi.

Ia masih berusaha mencerna situasi yang sedang terjadi saat ini saat ia dan gadisnya hanya tinggal beberapa blok dari apartemennya. Ia berpikir kenapa dan bagaimana ini bisa terjadi. Pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan itu sekaligus kemungkinan jawabannya.

Ia sekali lagi menoleh ke arah gadis di sisi kanannya. Gadisnya itu masih menggelayuti lengan kanannya sambil bersenandung kecil. Ia amati setiap bagian dari diri gadisnya. Kedua manik cokelat gadisnya itu terlihat bersinar, memancarkan aura kebahagiaan. Hidung mancungnya, membuat parasnya terlihat lebih cantik. Bibir merah cherrynya itu, membuatnya tergoda ingin mengecupnya. Surai hitam sepanjang bahu yang dibiarkan tergerai itu terlihat berkilau terkena sinar sang surya. Dan ia baru menyadari gadisnya itu cukup mungil jika disandingkan dengannya. Gadisnya hanya sebatas bahunya. Mungil, bukan? Atau mungkin dia yang kelewat tinggi?

"Mengamatiku, hm?"

Ia tersadar. Ia mengamati gadisnya cukup lama, hingga gadisnya tahu ia sedang diamati. Bukankah itu hal yang bodoh? Seperti saat kau sedang diam-diam pulang ke rumah di tengah malam, tapi tiba-tiba ibumu dari balik dinding menyalakan lampu, dan mendapatimu mengendap-endap. Tertangkap basah.

Bahkan belum sempat ia membalas pertanyaan itu, gadisnya sudah bertanya lagi. "Na yeppeo?" Ia terkikik pelan mendengar pertanyaan sendiri.

"Eoh," balasnya singkat.

"Benarkah?" Sang gadis melepaskan diri darinya, menoleh ke arahnya dengan wajah berseri-seri. Ia hanya mengangguk, mengiyakan pertanyaan gadisnya.

Seakan tak percaya dengan jawaban kekasihnya, ia bertanya lagi. "Benar?" Ia beralih posisi. Sekarang ia tepat di depan Taecyeon dan itu membuatnya berjalan mundur. "Benar oppa mengatakan itu?"

Tidak menjawab pertanyaan gadisnya, ia malah menarik lengan kiri gadisnya. Membuat gadisnya kembali di sisi kanannya seperti semula. Tapi, kali ini, ia melingkarkan tangannya di bahu gadisnya.

"Kau bisa menabrak seseorang dan jatuh kalau berjalan mundur seperti itu, arra?"

"Arasseo," jawabnya lirih. "tapi ada oppa di sini. Jadi tidak apa-apa jika aku jatuh."

"Isssh, jangan berharap aku akan menggendongmu lagi seperti sepuluh tahun lalu. Saat lututmu berdarah di taman bermain karna kau berlarian dan terjatuh. Kau berat, Suzy-ya!"

Sang gadis mendengus kesal. Lalu mendaratkan kepalan tangannya di pinggang kekasihnya, memukulnya pelan. Taecyeon meringis pelan.

"Appo." Ia mengelus pinggangnya dengan tangan kirinya.

"Aku memukulnya pelan. Mana mungkin sakit?"

Ia hanya terkekeh pelan. Kemudian mengelus puncak kepala gadisnya lembut.

"Kau mau kemana?"

"Eumm," pikirnya sejenak. "Pesta kembang api."

"Ini masih siang, mana mungkin sudah dimulai."

"Bagaimana kalau Sungai Han?"

"Di cuaca seperti ini?" Tanyanya lagi. Di cuaca dingin seperti ini, Sungai Han bukanlah tempat yang seharusnya dikunjungi. Udara dingin di sana benar-benar menusuk tulang. Dan ia benci dingin. Tapi, Suzy...

"Arasseo. Kita pulang saja," jawab gadisnya seakan-akan bisa membaca pikirannya.

"Tidak ingin ke tempat lain, hm?"

"Tidak. Di luar dingin. Oppa benci dingin, 'kan? Kita pulang saja. Kajja!"

Ia hanya menurut. Seharusnya di perempatan jalan ini ia berbelok ke kiri, tapi gadisnya membawanya ke arah kanan, menuju rumahnya. Dan kurang dari lima menit keduanya sudah berdiri di depan rumah putih bergaya minimalis.

"Oppa mau mampir?" tawar gadisnya riang.

Ia hanya menggeleng. "Ada yang harus kulakukan di apartemen. Kujemput jam tujuh nanti, oke?"

Sang gadis tersenyum, kemudian mengangguk kecil. "Terima kasih bunganya. Joahae."

Ia hanya tersenyum sebagai jawabannya. Tapi senyumnya memudar begitu dirasakannya sebuah kecupan kilat mendarat di pipi kirinya. Wajahnya menggambarkan ekspresi keterkejutan, dan kelopak matanya terbuka lebar. Ia bisa merasakan kedua pipinya memanas dan perasaan menggelitik di perutnya yang dipenuhi ribuan kupu-kupu terbang. Ia mematung beberapa saat, sedangkan gadisnya sudah meninggalkannya di balik pintu sesaat setelah mengecup pipinya.

.

.

.

.

.

.

.

 

Hari beranjak senja. Ia mematung di depan jendela apartemennya, mengamati pemandangan di luar sana. Dari jendela apartemennya, ia bisa melihat sang raja siang nampak seakan tertelan garis horisontal di sebelah barat. Hanya menyisakan setengah lingkaran berwarna oranye kekuningan. Langit yang melingkupinya tampak berwarna kelabu ditambah gradasi merah dan kuning. Sesaat kemudian, ia beranjak meninggalkan jendela, menghamburkan diri ke kamar mandi.

Tak kurang dari setengah jam, ia sudah rapi dengan kaos merah marun panjang yang terbalut sweater cokelat gelap tanpa lengan. Ia hendak menyambar mantel hitamnya ketika bel apartemennya berbunyi nyaring.

Siapa gerangan bertamu di saat ia akan pergi begini?

Kakinya melangkah keluar kamar. Berhenti sejenak di depan monitor kecil di dekat dapur, mengamati siapa gerangan yang berdiri di luar pintu apartemennya. Tampak seseorang dengan mantel abu-abu tengah membelakangi pintu, membuatnya tak bisa melihat wajah pengunjung apartemennya.

Tak mau membuat tamunya menunggu lama di luar apartemennya di cuaca dingin seperti ini, ia bergegas ke pintu utama. Tangannya memutar gagang pintu, dan menarik pintunya.

"Suzy-ya,"

"Mianhae. Aku tidak sabar oppa menjemputku, jadi aku yang ke sini."

"Gwaenchana," ia meraih bahu gadisnya, melingkarkan tangannya di sana. "Masuklah. Di luar dingin."

Gadisnya menurut, mengikutinya masuk apartemen dan mendudukkan dirinya di sofa putih di ruang tengah. Sedangkan ia kembali ke kamarnya, menggambil mantel hitam yang akan ia pakai tadi.

"Suzy-ya," seruannya membuat sang gadis mendongakkan kepala ke arahnya. "Kau lihat kunci mobil di sini tadi?" tanyanya sambil menunjuk meja di dekat televisi.

"Ini?" Gadisnya menenteng sebuah kunci keperakan dengan jemarinya.

"Ahh, iya. Sini kemarikan!"

Ia melangkah maju, hendak mengambil kunci itu dari jemari gadisnya. Namun sayang, gadisnya menarik tangannya lebih dulu, menyembunyikan kunci itu di belakang badannya.

"Kita jalan kaki saja, ya?!" pinta gadisnya memelas.

Ia hanya bisa mendengus, menghela nafasnya kasar. "Arasseo. Kajja!"

.

.

.

.

.

.

.

Hangang Park bermandikan cahaya warna-warni lampion. Billboard berukuran cukup besar dengan gagahnya terpasang di tempat yang cukup tinggi, memastikan semua pengunjung bisa melihatnya isinya. Ya, billboard dengan deretan enam angka yang menunjukkan jam, menit, dan detik, yang setiap detik selalu berkurang. Sepanjang mata memandang, tampak berjubel manusia seperti semut. Ada gadis-gadis remaja dengan kekasih atau teman sebaya mereka. Tak sedikit pula keluarga yang datang, dengan anggota lainnya. Di tepi taman, beberapa stan penjual makanan dan aksesoris berjejer rapi, meski penuh sesak dengan pembeli. Dan melodi lagu-lagu bersahutan, entah berasal dari mana. Menambah semarak pesta perayaan akhir tahun ini.

Taecyeon melirik gadis di sampingnya yang tengah tersenyum bahagia. Tangannya meraih jemari gadisnya, menggenggamnya erat. Gadisnya tersentak, lalu menoleh dengan wajah bertanya-tanya.

"Jangan lepaskan tanganku. Kau bisa hilang nanti," serunya datar, dengan kedua iris menatap ke arah depan.

"Berhenti memperlakukanku seperti anak kecil, oppa. Aku sudah dewasa."

Ia bergeming, tak menanggapi pernyataan gadisnya. Tapi ia tahu, gadisnya pasti sedang menggembungkan kedua pipinya, cemberut kesal padanya.

"Oppa,"

"Hmm?" Ia masih menatap lurus ke depan, tak memandang gadisnya meski ia dipanggil.

"Aku ingin ice cream," rengek gadisnya, yang membuatnya sontak menolehkan kepala, menatap gadisnya tajam.

"Tidak. Di cuaca sedingin ini kau bisa sakit, Suzy-ya. Kita beli permen kapas saja, oke?"

Ia menarik tangan gadisnya ke salah satu stan yang menjual permen kapas tak jauh dari tempat mereka berdiri tadi. Tapi gadisnya menolak, mematung di tempat.

"Shireo." Gadisnya menggelengkan kepalanya. Kedua tangannya dilipat di depan dada. "Aku mau ice cream. Ice cream!" lanjutnya, sambil memberikan penekanan di kata 'ice cream'.

"Tidak. Permen kapas!"

"Ice cream!"

"Permen kapas!"

"Ice cream!"

"Permen kapas!"

"ICE CREAM!!"

"Kecilkan suaramu! Orang-orang melihat kita." Berkali-kali ia menengok ke kanan dan ke kiri, lalu membungkukkan sedikit badannya, meminta maaf pada orang di sekitarnya karena keributan kecil ini. "Baiklah ice cream. Kau tunggu di sana, oke?" ujarnya sambil menunjuk bangku kosong tak jauh dari mereka. Gadisnya mengangguk, dan menurutinya.

Tak butuh waktu lama baginya untuk membeli dua cone ice cream. Ia segera memberikan salah satunya untuk gadisnya yang tengah menunggu di bangku. Kemudian mengikuti gadisnya duduk, di sampingnya.

"Gomawo, oppa."

Keduanya terlihat asik menikmati ice cream di genggaman mereka. Tak ada kata yang keluar dari keduanya. Hingga ia berdehem pelan, mulai mengatakan sesuatu.

"Suzy-ya, bagaimana kuliahmu?"

Sang gadis berhenti dari aktivitasnya sejenak. Kemudian menatapnya dengan wajah bingung.

"Aku baru kuliah Maret nanti, oppa. Bahkan kelulusanpun baru Februari nanti. Apa oppa lupa, hmm?"

"Ahh, mian. Sekarang... sekarang tahun berapa?"

"Tentu saja tahun 2012. Kurasa oppa perlu istirahat. Bahkan tahunpun sampai lupa. Jangan terlalu memaksakan diri mengerjakan skripsi, kau bisa stress," celoteh gadisnya panjang lebar, kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti.

Bingung? Ya. Ia sangat sangat sangat bingung. Salah satu tangannya beralih memijat pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut-denyut. Pikirannya semakin kacau mendengar jawaban gadisnya. Bukankah ia seharusnya berada di tahun 2013 sekarang?

Ia mengedarkan pandangannya, mencari petunjuk atau apapun itu yang menunjukkan tahun berapa sebenarnya sekarang. Kedua irisnya menangkap banner merah bertuliskan 'Happy New Year 2013', membuatnya bola matanya melebar sempurna. Bagaimana bisa ia kembali ke masa satu tahun yang lalu.

Ia tersadar. Jika ini Desember 2012, itu artinya tepat 'kejadian' itu terjadi. Ia teringat kejadian di toko bunga tadi, atau lebih tepatnya perkataan bibi Han. Mungkin inilah saatnya mengubah takdir.

"Sudah selesai?" tanyanya begitu melihat gadisnya memakan potongan cone ice cream terakhir. Sebuah anggukan diterimanya sebagai jawaban. "Kajja!"

Dengan wajah tak mengerti, gadisnya mengikuti dirinya yang menerobos keramaian, membawanya ke berbagai wahana bermain, seperti komedi putar dan kincir raksasa. Dicobanya semua wahana di sana satu per satu, tak ada yang terlewat satupun. Meskipun rasa lelah mendera keduanya, raut bahagia jelas terlihat kentara di dua sejoli itu. Genggaman tangan yang erat dan tak pernah terpisah sejak tadi, seakan-akan mengungkapkan dirinya tak mau sedetikpun gadisnya menjauh darinya. Ya, kali ini ia protektif–tidak, overprotektif mungkin lebih tepat–pada gadisnya. Ia pernah kehilangannya sekali, dan ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan kali ini. Puas menikmati kebersamaan malam itu, ia menarik gadisnya ke arah pintu keluar, berniat pulang.

"Kita mau pulang?" Gadisnya tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa? Pesta kembang apinya bahkan belum mulai, oppa."

Haruskah ia mengatakan alasannya pada gadisnya ini? Ia bisa dianggap gila jika mengatakannya, 'kan?

"Kita bisa melihatnya di apartemen, 'kan?" tawarnya tanpa menjawab pertanyaan sang gadis.

"Di sana tidak seru, oppa. Di sini saja ya. Setengah jam lagi, oke?" Sang gadis mengerling manja, berharap pemuda di sampingnya itu akan luluh dan menurutinya.

"Tidak," sahutnya tegas. Kali ini tak boleh luluh lagi. "Kumohon jangan tanyakan kenapa, Suzy-ya. Sekali ini saja."

Sang gadis mengkerutkan keningnya. Ia bingung melihat kekasihnya yang tiba-tiba berubah menjadi serius.

"A-aku hanya ingin me–melindungimu, Suzy-ya."

Sejujurnya sang gadis ingin menjawab ia tak butuh dilindungi karena ia tidak sedang dalam bahaya. Benar, 'kan? Tapi niatnya luntur begitu melihat wajah kekasihnya. Sang gadis bahkan tak protes ketika tangan kekar sang kekasih menariknya keluar dari keramaian, membawanya melewati lorong-lorong sempit dan pengap.

"Oppa, kenapa ki–"

Ucapannya terpotong sebelum ia sempat menyelesaikannya, terganti oleh suara pemuda yang menarik tangannya.

"Ini jalan tercepat ke apartemen," jawabnya seolah ia tahu apa yang gadisnya ingin tanyakan.

"Benarkah?"

Ia tak menjawab. Hanya suara langkah kaki yang bergesekan dengan aspal yang memecah keheningan di antara mereka. Semakin menjauh dari taman kota, langkahnya semakin cepat. Seolah-olah mereka sedang berpacu dengan waktu.

Di perempatan jalan di dekat minimarket, keduanya berhenti sejenak, menunggu lampu di tiang di samping mereka berubah hijau. Tak kurang dari lima detik, warna merah itu terganti hijau. Ia menarik gadisnya menyeberang.

"Auww," gadisnya mengaduh di tengah jalan. Sontak membuatnya menolehkan kepala ke arah suara. Sang gadis tengah berjongkok memegangi pergelangan kaki kanannya. Sepertinya terkilir dan hak sepatunya patah. Mungkin karena ia terlalu cepat berjalan di jalanan yang licin karena salju ini.

Ia tahu. Kejadian itu terjadi di sini. Kejadian satu tahun lalu, yang merenggut nyawa gadisnya. Kecelakaan. Sekarang, ia tak akan membiarkan itu terjadi. Ia sudah berjanji akan merubah takdirnya–sang gadis.

Secepat kilat ia membantu gadisnya berdiri. Kemudian memapahnya ke tepi jalan. Bebas dari kendaraan.

"Appo?"

Gadisnya mengangguk, kemudian meringis menahan sakit. "Sepatuku," lirihnya. Telunjuknya menunjuk sepatunya yang tertinggal di tengah jalan.

"Akan kuambilkan." jemarinya mengusap puncak kepala gadisnya pelan sebelum akhirnya ia melangkahkan kembali kakinya ke tengah jalan.

Secepat mungkin ia mengambil sepatu cokelat yang tak lagi berhak itu, dan kembali ke seberang jalan dimana gadisnya menunggu. Tapi, itu semua tak akan terjadi. Karena belum sempat ia tiba di seberang jalan, ia melihat kilatan cahaya terang menerpa dirinya. Ia menolehkan kepalanya ke arah cahaya yang ia ketahui berasal dari sebuah mobil. Yang ia tahu, setelah itu ia hanya mendengar decitan ban mobil yang berpadu dengan teriakan gadisnya di seberang jalan.

Semuanya terasa terjadi begitu cepat di depan matanya. Dalam sekejap, semuanya berubah. Takdirnya. Badannya terasa sakit, remuk redam dan perlahan-lahan pandangannya mengabur. Tapi ia masih bisa melihat beberapa orang mendekat ke arahnya. Bersahut-sahutan mengatakan sesuatu yang tak jelas ia tangkap di indera pendengarannya. Ia melirik ke sekelilingnya. Mencari sosok yang dikenalinya. Yang kini tengah duduk bersimpuh tepat di sampingnya. Bibir mungilnya tampak merapalkan kata-kata seperti 'oppa' atau sejenisnya. Ia tak begitu jelas melihat dan mendengarnya. Tapi samar-samar ia melihat pipi gadisnya basah. Menangis? Ia ingin menggapai gadisnya, menyeka air mata itu dengan lembut. Tapi ia tak punya kekuatan untuk itu. Seluruh kekuatannya serasa lenyap terserap tanah.

Ia merasakan kedua tangan gadisnya yang menangkup wajahnya terasa basah. Bukan karena air, tapi cairan merah pekat–darah. Sekarang ia tahu. Benar-benar tahu apa yang terjadi. Dan perlahan ia mencoba sekuat tenaga, mengerahkan sisa tenaga yang masih ia punya, untuk membelai tangan kiri gadisnya yang masih menangkup wajahnya. Ia belai tangannya lembut, tak bertenaga. Sudut bibirnya tertarik kecil, menyunggingkan sebuah senyum yang hampir tak terlihat. Bibirnya mencoba berucap, meski terasa kelu. Satu per satu huruf yang ia rangkai, keluar menjadi sebuah kata yang keluar dari bibir manisnya. Meskipun hampir tak terdengar, karena bising di sekelilingnya, gadisnya tahu apa yang ia katakan.

"Saranghaeyo"

Kata yang sangat jarang ia katakan untuk gadisnya. Karena baginya, kata itu tak berefek apapun. Hanya sebuah kata. Ungkapan cinta. Tapi saat ia mengatakan kata itu, itu artinya ia bersungguh-sungguh.

Di detik berikutnya, ia merasa badannya benar-benar sakit. Sakit yang tak bisa di deskripsikan dengan kata-kata. Sakit yang rasanya melebihi saat kau terjatuh, mendapati lututmu berdarah, dan tak ada yang membantumu berdiri. Sakit yang rasanya melebihi sakit yang kau rasakan saat kau melihat sesorang yang kau sukai bersama orang lain. Sakit yang rasanya kau ingin mati pada saat itu juga.

Ia mengeratkan genggamannya ke tangan gadisnya. Mencoba menahan sakit di seluruh tubuhnya. Ia merasakan tangan kanan gadisnya yang semula menangkup sebelah pipinya perlahan membelai tangannya. Sekali lagi, ia melirik gadisnya nanar. Berusaha mengucapkan sesuatu, tapi kekuatannya benar-benar sudah lenyap, tak tersisa. Ia bisa merasakan tubuhnya melemah perlahan seiring suara ambulance yang terdengar mendekat. Hingga genggaman tangannya terlepas. Terkulai di atas kerasnya aspal. Kedua maniknya yang sebenarnya tak mau melepaskan pandangan terindah–gadisnya–di depannya harus rela tertutup kelopak matanya. Sesaat sebelum matanya terpejam, ia bisa mendengar gadisnya meneriakkan namanya dengan kedua tangan mencengkeram kedua sisi bahunya. Hanya itu yang ia tahu. Karena sesaat setelah kedua matanya terpejam, ia tak lagi berada di dunia yang sama dengan gadisnya.

 

 

 

 

 

******FIN******

 

 





 

[Epilogue]

Setahun berlalu. Pagi itu, di saat sang mentari tampak malu-malu memperlihatkan dirinya di balik segerombolan awan, seorang gadis tengah berjalan santai di salah satu jalan kota Seoul. Kakinya terhenti di depan sebuah bangunan. Ia menghela nafasnya kasar sebelum memasuki bangunan itu. Beberapa tangkai mawar merah di genggamannya ia pegang erat.

Tak jauh dari pintu utama bangunan yang tengah disinggahinya, ada sebuah ruangan kecil. Ia berhenti sejenak di depannya. Setelah beberapa kali menghela nafasnya kasar, ia melangkahkan kakinya ke area di depannya. Ia berdiri di sebuah kotak kaca di depannya. Kemudian tersenyum beberapa saat, sebelum bulir-bulir bening menetes dari sudut matanya. Diamatinya satu per satu foto di balik kotak kaca itu. Di antara foto itu, sebuah guci biru tampak kokoh di dalam sana.

Ia kemudian menaruh bunga mawar di genggamannya tadi ke depan kotak itu. Lalu menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Kedua matanya terpejam. Batinnya merapalkan berbagai kata yang terangkai menjadi doa. Begitu membuka matanya, ia tersenyum ke arah foto di depannya. Jemari lentiknya mengelus sebuah papan kayu yang terukir nama seseorang di atasnya.

"Aku merindukanmu, Taecyeon oppa."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.
.

A/N :

Thank you for reading, anyways. I'd be very happy if you'd like to give some comments, suggestions, critiques, or reviews. But if not, it's okay. I'm just happy to know you reading it. Once again, thank you^^

Is my story confusing? If yes, you can ask me and I will tell you in detail. But I hope it's clear enough.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
SayAPink2
#1
Chapter 1: I almost cried,while reading in the translator LOL I love it! :D