01 - Prolog

The Person Who Once Loved Me [Indonesia Ver.]
Please Subscribe to read the full chapter

Belum pernah kulihat apapun sehidup dan begitu beranimasi pada jam seperti ini. Suara bising dari kota yang ramai menghampiri telingaku. Ledakan berlimpah dari kilatan cahaya dan langkah-langkah cepat kaki dari pejalan yang asyik sendiri diantara keramaian simpang siur disebuah jalan mengagumkanku. Terasa tidak nyata;  bising namun menenangkan pada waktu bersamaan.

Jadi ini darimana ia berasal.

Fakta yang mengatakan bahwa kini aku akhirnya berada disebuah kota besar Seoul membentuk senyuman diwajahku,  dan suatu ingatan masa lalu kembali mengingatkan hatiku. Aku rela melakukan apapun untuk kembali pada masa itu dan membawa kembali semua kenangan akan Jongin dan diriku yang menghabiskan waktu bersama di kota kecil tempatku berasal. Disamping rasa pahit yang tertinggal tak lekang dihatiku sejak detik-detik terakhir aku melihatnya, kutekankan senyuman diwajahku dan mengangguk, tersenyum kepada diriku sendiri dan memberikan semangat palsu untuk terus melanjutkan hidup.

“kemana, Nona?” supir taksi bertanya, melihat melalui cermin depan. Kualihkan pandanganku dari kaca jendela taksi yang bening dan bertemu tatap dengan sang supir.

“Seoul Academy,”

Seoul Academy. Tujuanku.

Sepuluh tahun lalu, aku bahkan enggan berani untuk membayangkan bahwa aku akan berhasil memasuki Seoul Academy yang bergengsi. Kukira aku akan bertahan di kota kecilku yang terletak begitu jauh dari pinggiran Busan menjalani hidup bekerja di ladang dan memancing dan nantinya akan menikah dengan seseorang yang melakukan hal yang persis sama dan hidup dengan mudah, tepat diseberang jalan. Semua orang yang kukenal dihidupku berjarak kurang dari radius satu kilometer- kecuali Jongin. Tujuan dihidupku adalah untuk tidak memiliki tujuan. Aku hanya akan menjalani hal yang sama seperti orang-orang yang hidup di dunia terpenjaraku lakukan dan tanpa pertanyaan.

Namun beberapa tahun yang lalu, seorang lelaki gila dengan kepala panas dan hati dingin bernama Kim Jongin datang dan mengubah pemikiranku. Ia mengubahku.

Tidak, dia menyelamatkanku.

Ia menyelamatkanku dengan segala cara serta kemungkinan agar seorang manusia dapat diselamatkan. Ia menawarkanku semesta- namun ia tidak mengerti bahwa segala yang kuinginkan hanyalah dia.

“kita sampai, Nona,” sang supir taksi mengangguk, menggangu pikiranku.  Aku melihat tatapan bertanyanya lewat kaca spion, menyadari kelakuan aneh, senyuman bodoh diwajahku pada pikiran tentang Jongin.

Kualihkan pandanganku keluar dari kaca dan mengedip beberapa kali pada ukiran tulisan indah pada sekolah ‘Seoul Academy’ untuk memastikan bahwa benar, aku memang disini. aku mengucapkan terima kasih kepada supir taksi dan membayarnya dengan uang transportasi terakhirku setelah ia membongkar koperku dan ransel  dari bagasi dan mengirimnya pada jalurku. Jemari kakiku menggeliat cemas didalam sneakers tua, hijau hutan keluaran Chuck Taylors saat aku melangkah berhati-hati menuju sekolah.

Kulirik menara jam besar yang menghadap sekolah yang terbaca pukul 10:07 malam. Tidak begitu banyak siswa  yang berjalan disekitar pada jam selarut ini namun satu-satunya yang masih berada diluar tengah akan pergi dengan berjalan cepat dan hidung mereka yang jauh didalam buku, menggenggam segelas Starbucks dan laptop Apple.

Aku merasa suasana yang terasa begitu familiar, pahit manisnya kenangan nostalgia ketika angin malam yang dingin menyapu helaian rambutku. Kembali teringat seluruh kenangan tentangnya semula dari senyum menggemaskannya hingga seringai gugupnya. Bermula dari kebiasaan kecilnya dan hingga cara tangannya mengenggam sumpit.

Ia adalah alasan sehingga aku mampu membawa diriku sejauh ini hingga Seoul Academy dan bahkan bermimpi untuk hidup dengan sebuah tujuan.

Hanya dengan memikirkannya mampu membuatku tersenyum. Berfikir dapat kembali bertemu dengannya. Jongin adalah sahabat dan cinta pertamaku, mudahnya; segalanya.kuhela nafas dan menggerakkan bahu, menggantungkan kembali tas dibalik punggung dan membuatnya bertahan disana. Kutarik koperku dan membawanya mengikuti dari belakang, berjalan menuju main office.

Ketika pintu terbuka, indera penciumanku seketika bertemu dengan aroma yang segar- karpet yang divakum dan dinginnya mesin pendingin ruangan yang ada.  Salah satu dari wanita yang duduk dibalik meja utama melihatku dan tersenyum. Kubalas senyumannya sembari menghampirinya, dengan formulir universitas ditanganku.

“Halo, bisa dibantu?” tawar wanita itu dengan logat Seoul yang renyah.

“Eh, hai,” jawabku dengan dialeg Busan. Baru tersadar dengan apa yang baru

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
ghoulifiedchan
[TPWOLM] Prologue updated! check it out!

Comments

You must be logged in to comment
taengstysone #1
tulisannya bagus. keep update and fighting authornim
gonggi
#2
bagus loh tata bahasanya, dan yang penting tetep nge- feel. diterusin ya kalo bisa :)
adlinazet #3
Tulisannya bagus :) kesan 'dalem'-nya masih ada walaupun udah ditranslate~ keep writing!