I Met You

A Story of Us

 

Aku terus bertanya-tanya, apakah aku sebodoh itu?

Tubuhku membeku, sedingin es. Bahkan aku tidak bisa lagi merasakan jemari tanganku. Telingaku mendengung karena udara dingin yang menembus gendang telingaku. Walau aku sudah mengenakan mantel tebal, kemudian syal yang melingkar di leherku serta sarung tangan yang seharusnya menjaga tanganku tetap hangat, aku benar-benar mati rasa.

Mataku memandang lurus-lurus ke arah sungai yang juga membeku di bawah sana. Pandangan mataku nanar. Air mata tidak bisa lagi keluar dari sana. Ia sudah membeku seperti air di sungai itu. Rahangku bergetar, gigiku beradu dan mulai menggigit bagian dalam pipiku, menahan rasa dingin.

Aku mungkin benar-benar bodoh. Tidak seharusnya aku membiarkan diriku terus di sini, berjam-jam lamanya menunggu dirinya. Aku sadar sejak awal dia tidak akan datang. Si brengsek itu memang tidak akan datang. Tapi salah satu sudut di dalam hatiku terus mengatakan ia akan datang. Aku bahkan bukan peramal. Aku dibutakan oleh hatiku sendiri. Aku bodoh.

Bayangannya di dalam kepalaku terus saja menganggu. Seakan menahanku di sini. Serba salah. Apakah aku harus tetap menunggu atau bergegas pergi. Aku seperti gadis bodoh yang menangisi laki-laki yang mungkin paling brengsek yang pernah kukenal. Rasanya perih sekali, jauh di dalam diriku.

Lagipula, sejak awal, mungkin aku sudah salah sejak awal. Sikapku kepadanya, tidak seharusnya seperti itu. Semuanya sudah terlanjur.

“Younghee!”

Itu namaku. Dan aku tahu suara milik siapa itu. Namun, aku tidak bergeming. Aku sudah tidak bisa menggerakkan tubuh ini.

“kamu benar-benar masih di sini?”

Suara ini semakin mendekat. Mendekatiku. Aku, menoleh pun tidak. Pandangan mataku masih sama seperti beberapa saat yang lalu. Hanya jutaan rasa yang bercampur aduk saja yang berada di dalam diriku yang seakan bergemuruh. Memuncak seperti siap meledak. Bibirku yang sudah membiru layaknya mayat hidup, semakin bergetar.

Aku pun mendengar derap langkah pemilik suara itu semakin jelas. Ia berhenti tepat di sebelahku. Kedua tangannya dengan sigap merengkuh bahuku, memutar tubuhku agar menghadap dirinya. Aku tidak berusaha menatapnya. Mataku hanya memandangan ke arah dadanya. Sebuah syal tebal juga tergantung di sana, menyembul dari balik mantel coklat mudanya.

“kau gila?! Sudah jam berapa ini?!” tanpa meninggikan suara, dengan  suara beratnya ia bersikap seakan khawatir dengan keadaanku. Si brengsek ini... dialah satu-satunya orang yang kubenci di dunia ini.

Ia lalu melepaskan rengkuhannya di bahuku. Aku melihatnya mulai merogoh saku mantelnya. Ia mengeluarkan ponselnya lalu mulai menelepon seseorang.

“tante, ini Chanyeol. Aku menemukannya, aku sudah bersama Younghee. Kami akan segera pulang.” Ucapnya cepat dengan nada lebih teratur. Jadi dia datang hanya karena ibuku yang menyuruhnya. Sudah seperti yang aku duga, pada dasarnya, aku tahu dia tidak akan datang. Aku mulai mengangkat kepalaku, mengalihkan tatapanku kini ke arah matanya. Aku memandangnya lekat-lekat. Aku benci pada dirinya. Pandangan sinisku menusuk jauh ke dalam matanya. Ia balik memandangiku. Pancaran sinar di dalam matanya seakan begitu menghawatirkan keadaanku. Dia pembohong ulung.

“ayo kita pulang.” Ia memasukkan ponsel ke dalam saku mantelnya kembali, kemudian menarik pergelangan tangan kananku. Aku tidak bergeming. Ia menyadarinya kemudian berbalik, memandang ke arahku risau. Bingung.

“kau tidak mau pulang? Kau mau mati kedinginan di sini?!” tanyanya dengan suara berat yang sama. Aku masih memandanginya dengan sinis. Tarikan napasku tertahan.

“sejak awal...” ujarku dengan mulut bergetar. “sejak awal tidak seharusnya begini.” Ia tertegun mendengarku berbicara. Dahinya berkerut. “kamu hanyalah laki-laki brengsek yang tidak patut aku perjuangkan!”

Tangan kiriku, yang kupikir sudah tidak bisa kugerakkan lagi, kini terangkat. Kemudian, dengan kasar aku melepaskan genggaman tangan Chanyeol di pergelangan tangan kananku. Aku tidak melihat ekspresi wajahnya, tapi aku tahu ia tidak berusaha menahanku lagi. Entah, mungkin karena mendengarku berteriak kepadanya. Ini pertama kali bagiku memaki dirinya.

Aku pun dengan kaku berjalan menjauhinya. Rasa sakit di dalam hatiku, yang kupikir bisa begitu saja hilang setelah untuk pertama kali membentaknya, ternyata tidak kunjung hilang. Terus saja menusuk-nusuk dadaku. Seiring jauh aku berjalan meninggalkannya, dadaku semakin nyeri dan pedih. Air mataku untuk kedua kalinya seakan ingin meluncur turun, tapi tetap tidak bisa. Rasa egoku pun menahanku untuk menoleh. Aku berjanji, ini adalah malam terakhir aku bertemu dengan Chanyeol, laki-laki brengsek itu.

 

 

Kami bertemu beberapa bulan sebelumnya. Sangat klise, keluargaku adalah kerabat baik keluarganya. Mereka sudah berteman cukup lama. Cerita bergulir layaknya drama di televisi saat orang tuaku mengatakan bahwa kami akan dijodohkan. Kata-kata ‘dijodohkan’ itu tidak pernah ada di dalam kamus hidupku. Tidak pernah sedikitpun terlintas di dalam kepalaku, akan akan menjadi seorang gadis yang dijodohkan dengan seseorang yang tidak kukenal.

Keluarga kami pun merencanakan sebuah pertemuan. Di sebuah restoran di sudut kota. Tiba di sana, tidak butuh waktu lama bagiku untuk menunggu kedatangan keluarganya. Keluarga Park. Di saat itu, aku melihat dia untuk pertama kalinya. Aku tidak bisa melepaskan pandangan mataku darinya.

“Song Younghee?” ayahnya menyapaku dengan ramah. Ia lalu tersenyum. Aku membalas senyumannya. Tatapan mataku bergulir ke arah ibunya. Ibunya pun seramah ayahnya. Ia lalu menarik maju anak laki-lakinya agar mau mengulurkan tangannya kepadaku.

“Chanyeol. Park Chanyeol.” Ucapnya dengan sungkan. Napasku tertahan. Mataku hanya dapat menelusuri setiap sudut wajahnya. Matanya, alisnya, hidungnya, bibirnya, semuanya. Rambut pendeknya yang berwarna coklat tua tertata rapi di sana. Tubuhnya tinggi, jauh lebih tinggi daripada diriku. Aku tidak ingat bagaimana kemudian aku mengenalkan diriku. Apakah aku masih tertegun kemudian ibuku yang memperkenalkanku? Ataukah aku sendiri yang mengucapkan namaku.

Hanya ada satu hal yang aku ingat setelahnya. Aku menyukainya. Aku jatuh cinta padanya. Hatiku yang mengatakannya. Kau tahu, hati tidak pernah berbohong. Kau bisa menutup matamu dari hal yang tidak ingin kamu lihat, tapi kau tidak bisa menutup hatimu dari hal yang tidak ingin kau rasakan.

Aku pikir segalanya akan berjalan lancar. Untuk seketika aku merelakan diriku untuk dijodohkan dengannya. Keluarga kami menghabiskan waktu cukup lama di sana. saling mengobrol, mengingat-ngingat masa lalu mereka. Bagaimana mereka bisa menjadi begitu dekat. Mereka lupa bahwa kami, aku dan Chanyeol, masih berada di antara mereka.

Kami duduk di antara mereka dengan sangat canggung. Aku begitu malu untuk mengangkat kepalaku, untuk sekedar memandang ke arahnya. Hingga tanpa aku sadari ia sudah berada di sebelahku. Aku menoleh kaget. Ia sudah membungkuk di sana, begitu dekat denganku. Ia lalu berbisik. “bisa kita berbicara sebentar? berdua saja.” Aku memandanginya dengan mataku yang membulat. Jantungku berdegup kencang sekali. Rasa dingin menelusup ke seluruh pori-pori kulitku. “tidak di sini.” Tambahnya.

Aku tidak tahu bagaimana reaksi kedua orang tua kami. Aku hanya reflek mengangguk, lalu mengikutinya pergi menjauh dari meja kami. Ia terus saja berjalan hingga berhenti di sebuah lorong panjang, tepat di sisi taman luas milik restoran ini. tidak ada siapa-siapa di sana. hanya kami berdua.

Chanyeol yang berjalan di depanku sebelumnya, kemudian berbalik. Ia memandang ke arahku. Aku cepat-cepat melihat ke arah lain. Aku tidak bisa memandang matanya.

“kamu tahu ini gila kan?” ucapnya tiba-tiba. “di jaman modern seperti ini... dijodohkan?” ia lalu tertawa dengan terpaksa. Ia secara tidak langsung mencemooh perjodohan ini. Aku kini menatap ke arahnya ragu-ragu. Sejenak aku berpikir, apakah ini berarti dia tidak setuju dengan perjodohan ini. Seketika aku merasa sangat kecewa.

“aku atau kamu yang harus mengatakannya?” tanyanya kepadaku. Aku tidak tahu maksud pertanyaannya sama sekali. “apa kau mengerti maksudku?” ia seakan membaca pikiranku. “di antara kita...” ia menekannya ujung jari telunjuk ke dadanya lalu setelahnya menunjukku. “ada yang harus mengatakan kepada orang tua kita untuk menghentikan rencana ini.”

Sudah aku duga. Dia tidak menyukai rencana ini sama sekali. Aku tidak berkata-kata. Aku hanya bisa memandanginya. “hei... kenapa diam saja? Aku tahu kamu juga tidak menginginkan hal ini, kan?” ia memaksakan jalan pikirannya kepadaku. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan.

“apa jangan-jangan...” Chanyeol mulai menerka-nerka, seakan ia bisa membaca pikiranku. Ia segera menyudutkanku dengan dugaannya yang memang benar adanya. “jangan.” Ucapku cepat. Ucapku tanpa kupikirkan sama sekali. “jangan lakukan sekarang.” Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin aku katakan. Bibir ini seakan bergerak dengan sendirinya. “mereka sangat senang sekali malam ini. Berikan mereka sedikit waktu.”

Aku berbohong. Aku egois. Aku tahu itu. Aku hanya tidak ingin malam ini adalah malam terakhir aku melihatnya. Aku sudah benar-benar jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta padanya tanpa tahu apapun tentangnya, sama sekali. Tapi aku percaya, hatiku tidak pernah salah.

“maksudmu... kita...” Chanyeol berusaha menyusun kata-katanya. “hah... aku bisa gila.” Ia terlihat kalut kemudian mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Ia melemparkan pandangannya ke arah taman. “kau tahu, aku tidak bisa berakting. Aku masih kuliah. Aku  bukan seorang aktor kawakan. Aku hanya tahu memainkan alat musik. Aku masih punya banyak rencana untuk diriku sendiri dan perjodohan ini tidak pernah ada di dalam rencana hidupku. Aku tidak bisa berpura-pura seakan ada suatu hubungan di antara kita.” Ucapnya blak-blak-an. Ucapannya menusuk jauh ke dalam hatiku. Aku berusaha tenang.

“ini tidak akan lama.” ucapku sangat tenang. Seakan aku yang sudah merencanakannya sejak lama. Di sini, aku merasa diriku lah yang lebih pandai berakting. Aku bisa dengan sangat baik menyembunyikan rasa pedih di dalam hatiku. “setelahnya kita bisa mengatakan bahwa kita tidak cocok satu sama lain.”

Chanyeol memandangiku lama. Ia berpikir sejenak. Aku berharap ia setuju dengan ucapanku. Aku hanya ingin ini berhasil. Jika ia setuju, aku bisa mulai berusaha untuk merubah jalan pikirannya. Aku memang egois.

“baiklah. Tidak akan lama. Iya kan?” ia mengangguk-angguk. Ia lalu menjulurkan tangan kanannya. “jabat tanganku. Ini perjanjian kita. Oke?” dengan matanya, ia menunjuk ke arah tangannya agar aku menjabatnya. Dan begitulah malam berlalu. Malam pertama kali aku bertemu dengan Chanyeol, aku menutupnya dengan sebuah perjanjian bersamanya. 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
AuthoRyu #1
Suka! Update soon author nim! XD