Pursuit of happiness

Description

Leeteuk has a good friend since he was little boy. they were close each other. care each other. but the girl has another feeling for him., and hoping that Leeteuk has the same feeling like her, when she was telling him in his birthday. but does Leeteuk has the same feeling like her? what if he's not?

Foreword

Love is a gift from God’—Kim Haneul

‘Love is an action’—Park Jungsoo

———————-

“Dari siapa ini?”  teriaknya.

Namun tak satupun dari dongsaengnya sanggup menjawab, bukan karena tak ingin menjawab. Setelah pesta usai para dongsaengnya memilih untuk segera masuk ke alam mimpi. Dan tinggallah ia seorang diri yang masih terjaga dengan amplop berwarna pink ditangannya.

Ia memutuskan untuk duduk di meja makan,seorang diri, agar fokus membaca suratnya. Barangkali saja isinya cukup penting.

—————————-

Teruntuk Jungsoo Oppa!.

Entah sudah berapa lama kita tidak berbincang-bincang, bukan?

Maaf bukannya tak ingin, tapi aku masih belum memiliki keberanian untuk itu. Mendengar suaramu? Selain suaramu di lagu-lagumu, aku masih tidak berani.

Aku tahu, pasti kau akan menggeleng-geleng pelan seraya tersenyum. Aneh memang, sudah lima belas tahun kita berteman. Tapi saat ini aku tak memiliki keberanian untuk berbicara langsung denganmu.

Aku pengecut. Dan maaf untuk itu.

Sebenarnya setiap hari, setiap kali mata terbuka setelah terlelap semalaman, bayanganmu tampak dalam dunia abstrak-ku.

Setiap nafas ini berhembus, setiap kali jantung ini berdetak namamu tersirat tanpa seizinku.

Jangan tanya, sudah berapa lama? Aku juga tak tahu. Aku tak sempat menghitungnya.

Mungkin karena selalu bersamamu, jadi ku kira awalnya ini adalah hal biasa. Yang tak perlu ku hiraukan.

Hey, aku berharap senyummu terus mengembang saat membaca suratku ini.

Oppa!

Suratku ini mungkin akan sangat panjang, karena sudah tiga bulan lebih kita tidak berkomunikasi dan begitu banyak yang ingin aku tanyakan padamu.

Jadi bersabarlah saat membacanya,ok?

Pertama mari kita buat pengakuan selama lima belas tahun berteman denganmu?

Jika mukamu menjadi merah dan kesal saat membaca suratku ini, kau bisa menunda membacanya tapi jangan merobeknya sebelum kau selesai membaca, ok?

Kau tahu tahun lalu? Saat ulang tahunmu, ketika kekasihmu mengirimimu pesan ucapan selamat ulang tahun. Kau tak tahukan? Karena akulah yang menghapusnya sebelum kau membacanya!

Baiklah aku kejam. Aku tahu!  Dan Maaf untuk itu!

Aku juga pernah diam-diam mengirimi Sora-eonni pesan, yang membatalkan kencan kalian di akhir pekan. Pesan yang ku tulis dari nomor-mu tentu saja. Aku diam-diam memakainya disaat kau tertidur lelap di apartemenku.

Sekali lagi, aku kejam! Dan aku telah membuatmu susah bukan? Dan sekali lagi maaf!

Aku juga pernah membatalkan kencanmu, dengan member snsd itu!.

Tentu saja dengan amat sengaja! Kau tahu kenapa? Karena aku sebal, saat aku tengah sakit kau malah memutuskan untuk pergi dengan mereka. Hanya untuk sekedar minum wine bersama.

Kau marah, saat aku berkata jujur tentang ini saat itu. tapi aku lebih marah, karena aku teman yang amat sangat membutuhkanmu saat itu.

Dan aku takkan minta maaf untuk yang satu ini.

Jika dibandingkan waktu yang kau habiskan dengan mereka. Bukankah, kau lebih banyak menghabiskan waktu denganku ? Karena itulah aku kesal.

Bagaimana bisa kau membandingkan satu pohon dengan seluas isi hutan?

Hey, oppa! Aku tak ingin banyak membuat pengakuan dosa disini. Cukup di hadapan Tuhan saja, nanti aku mengakui semuanya. Aku tak ingin mukamu semakin merah dan murka terhadapku. Dan memilih untuk membakar pesan ini.

Setelah pengakuan dosa singkat tadi, aku ingin bertanya. Pertanyaan yang terus ku tahan sudah sejak lama.

‘Emm, Bagaimana kabarmu, Oppa?’ jika keadaan masih seperti biasa, aku yakin pasti akan meluncur banyak keluhan darimu. Kemudian meminjam pundakku untuk menangis sebelum akhirnya tertidur, yah itulah kebiasaanmu sedari dulu.

‘Bagaimana rasanya jauh dari hingar bingar kamera, walau aku tahu kau  tak pernah benar-benar jauh dari para pembawa berita bukan? Sekalipun kau sedang wamil, mereka selalu ada disekitarmu bukan? Kau tak bisa benar-benar lepas dari mereka bukan? Dan itulah mengapa pekerjaanmu disebut Public Figure!’

Semua orang mungkin akan mengira, kau baik-baik saja bukan? Setidaknya takkan ada skandal selama kau wamil.

Aku tahu kau akan berkata mereka salah, aku setuju. Mereka membuat persepsi yang salah. Skandal bisa terjadi kapanpun, aku tahu itu.

Bebanmu semakin berat, seperti beberapa bulan lalu saat kau bercerita padaku. Tentang lelahnya dirimu.

Sebagai teman, aku hanya berharap dan berdoa kau baik-baik saja. Kau kuat! Sekalipun kau mudah sekali menangis, aku tahu kau kuat.

Dan aku rasa itulah mengapa kau di angkat sebagai Leader Super Junior, bukan?

Kau kuat, sekalipun kau sering merasa kau lemah. Kau tidaklah lemah, Oppa! Kau hanya seringkali merasa sensitif.

Kemudian saat kita bertemu.

Pertemuan kita?

Raut wajahmu yang mudah terbaca kala kau datang kepadaku. Berbagai macam pancaran wajahmu, sudah kau tunjukan padaku.

Suatu kali kau datang padaku mengutuk perkerjaanmu, yang membuatmu susah bahkan untuk sekedar bernafas.

Suatu kali di musim panas, kau datang dan menunjukan rona bahagia, dan mengatakan betapa kau mencintai pekerjaanmu.

Dan di akhir tahun kau datang padaku, kau ingat? Menangis.

Kau bertegur sapa denganku yang baru saja pulang dari perjalanan jauh saat itu, kau menyambutku dengan isak tangis namun kau menunjukan rona bahagiamu dan membuatku bingung.

Pancaran wajahmu yang telah lama hilang kembali.

Kau berkata bahwa baru saja Grupmu memenangkan Award yang paling bergengsi. GDA! Albummu juga menjadi album terlaris!

Kau bahagia, karena usahamu terbayar sudah.

Usahamu, mimpimu, semua hal yang kau jerih payahkan terbayar bukan?

Dan betapa semua ini pantas untukmu! Aku bersyukur tangismu di akhir tahun adalah tangis bahagiamu dan saat itupun kau mensyukuri kau telah di lahirkan di dunia ini.

Kau menangis persis, tangis bahagia saat pertama kali kau debut. Kau ingat? Aku rasa tidak.

Dan sesudah tangismu selesai, kau berujar padaku

“Kau benar, Haneul-ah! Semua manusia yang terlahir ke dunia ini spesial. Tak terkecuali siapapun, kau, aku, siapapun tanpa terkecuali!”

Aku mengangguk setuju dan tanpa kau tahu bahwa selama ini, aku merasakan apa yang kau rasakan. Sekalipun itu hanya luka karena tertusuk jarum.

Aku rasa itulah yang disebut pertemanan, saat kita memiliki perasaan yang selalu sama.

Kau ingat, masih di hari dan jam yang sama kau melanjutkan ucapanmu tentang perasaanmu.

Kau berujar bahwa cintamu telah terbalaskan,

“Haneul-ah, betapa sempurnanya akhir tahun ini bukan? Mendapat Award dan mendapatkan pacar! Kemarin seharusnya kau sudah hadir jadi kau bisa ikut merayakanya dengan kami. Dan—“

Maaf aku tak mampu mengingat kata-katamu selanjutnya. Karena sesudahnya, ada hal yang aku sadari. Perasaan berdesir, yang selalu ku coba untuk ingkari.

Keselarasan hati kita yang tak lagi sama, yang tak lagi sejalan.

Tepat saat, kau pulang seusai bercerita di apartemenku. Aku menangis sejadi-jadinya.

Oppa, tahukah kau aku sudah berusaha untuk tidak menangis? Tapi air mata itu mengalir tanpa seijinku!

Aku memegang dadaku, yang terasa berdenyut. Naas. Karena aku tak tahu sakit apa yang ku rasakan.

Lubang!

Yah,seperti ada lubang yang menganga di hatiku, lubang yang meminta di tutupi, Oppa! Dan rasanya sesak, nyeri. Berdenyut setiap saat.

Berdenyut beriringan dengan denyut nadiku.

Setiap denyutnya mengingatkanku pada ucapanmu, setiap denyutnya memintaku untuk menutupinya, tanpa ku tahu caranya.

Dan lebih tragisnya lagi, lubang ini kasat mata Oppa!

Oppa pernahkah kau mengalaminya?

Aku rasa tidak! Maaf, jika persepsiku skeptis tentang ini.

Karena yang aku tahu, kau memiliki banyak Fans yang mencintaimu bukan? Jadi aku rasa kau tak pernah di posisi ini.

Dan bertahun-tahun sudah Oppa, aku hidup dengan perasaan itu.

Setiap hari aku belajar, bagaimana cara menutupinya? Sampai aku menemukannya.

Namun sudah ku katakan, aku ini pengecut. Aku hanya bisa berlaku picik, sesekali kepadamu. Atau pada kekasihmu.

Lalu saat, kita berargumen. Aku mencoba menempatkan posisiku menjadi nomor satu, di hatimu.

Posisiku yang aku tahu tak mungkin jadi nomor satu. Posisiku yang berlabel sahabat ini, mana mungkin jadi nomor satu,bukan? Dan takkan pernah bisa jadi nomor satu,bukan?

Karena itu diam-diam terkadang aku menjadi picik.

Lalu kau tahu, hari demi hari aku tumbuh, Oppa! Aku tumbuh menjadi seorang gadis, namun kau tak pernah berkesempatan banyak untuk melihatnya setiap saat.

Aku memang tumbuh, berproses. Dan ada hal yang aku pelajari, aku kira setelah dewasa lubang ini akan menghilang seiring berjalannya waktu. Lubang ini masih menganga,Oppa!

Aku bertahan, dengan berbagai cara. Mencari pelarian.

Aku kencan dengan banyak pria, terutama di ulang tahunku ke tujuh belas.

Aku ingat saat itu, kau seperti seorang Ayah, yang takut anak gadisnya diculik.

Aku senang, kau perhatian padaku. Tapi sakit, saat kau memberikanku alasan yang tak sesuai dengan pengharapanku. Masihkah kau ingat alasan itu?

“Kau sudah ku anggap adikku, Haneul-ah! Aku tak setuju kau berpacaran dengannya, dia playboy. Aku bisa tahu karena aku pria!” dengan tegas kau melarangku untuk pergi berkencan.

Sweet-seventeenku. jadi hari yang terburuk untukku.

Waktu berlalu, kau sibuk dengan duniamu yang lebih banyak menghabiskan waktu di atas panggung.

Kau ingat Oppa, saat kau berharap aku datang ke konsermu, yang terakhir sebelum wamil. Aku dengan angkuhnya berkata ‘tidak bisa’.

Apakah aku telah membuatmu kecewa? Mianhae!

Tapi, sungguh Oppa aku datang ke konsermu diam-diam. Aku hanya tak ingin kau tahu bahwa aku datang!.

Oppa, tiga bulan yang lalu!

Sesungguhnya itulah yang ingin aku katakan di surat ini!

Tiga bulan lalu, kata-kata sakral itu meluncur dari bibirku. Tentu saja dengan sengaja!

Apa yang aku rasakan setelah berujar satu kata itu? tegang!

Tubuhku tegang oppa. Aku rasa kau juga, karena kita sama-sama merasakan perubahan atmosfir tersebutkan oppa? Saat jantung kita sama-sama berpacu kencang bagaikan kuda yang berlari kencang di arena balap.

Padahal kita tak berada dalam ruang yang sama, hanya melalui saluran telepon. Tapi aku mampu merasakannya, perubahan pacuan adrenalin dalam tubuh kita!

Cinta ajaib Oppa, setelah tegang aku merasakan beban di tubuhku yang mendadak hilang! Lubang yang denyutnya tak lagi ku rasakan, sekalipun masih menganga!

Tiga bulan lalu aku berujar, “Saranghae!” bukan sebagai teman dan bukan dalam konteks pertemanan. Kau pun tahu itu,aku yakin.

Hatiku. Tak bisa lagi mengikuti alur pertemanan kita Oppa. Tidak sampai saat ini.

Sampai saat ini,aku masih tidak bisa melanjutkan relasi kita dalam konteks teman. Maaf.

Bahkan sampai di hari ini. Hari yang teramat sakral untukmu, hari kelahiranmu. Hari yang selalu aku syukuri.

Oppa! Jangan pernah mencariku, terutama jika kau di hinggapi perasaan bersalah karena percakapan kita terakhir itu. Jangan pernah mencariku,ok?

Teman lamamu ini, yang sudah kau anggap sebagai adikmu.

Percayalah! suatu saat nanti, jika lubang ini sudah tertutup atau setidaknya tidak menganga terlalu besar.

Aku akan datang kepadamu, bahkan sekalipun kau tak ingin melihatku. Aku akan datang tanpa rasa malu, dan mungkin akan berpendar-pendar di sekelilingmu lagi dan lagi.

Jadi jangan mencariku,ok?

Dan juga selamat ulang tahun! Sekalipun aku tak ada di sekitarmu saat ini, ketahuilah hari kelahiranmu selalu teramat penting untukku.

Jadi sekali lagi selamat atas hari kelahiranmu.

P.S          : Kau tahu oppa, harapan terbesarku saat aku tahu bahwa aku mencintaimu? Aku selalu berharap aku tidak pernah jatuh cinta padamu.Tapi hatiku berkata lain Oppa, aku tidaklah jatuh….aku terjun bebas tanpa pengaman apapun!.

Regard,

Kim Haneul

(Your Dongsaeng or Your old bestfriend).

 

 

 

——————-

“Kapan kau mempunyai keberanian untuk menemuiku,huh?” tanyanya, di hadapan gadis itu.

Hari ini adalah sebulan sudah ia menyelesaikan tugasnya.

Dan tepat setahun sudah dari ulang tahunnya di tahun lalu, saat ia menerima surat dari gadis itu. Gadis yang berjanji menemuinya saat ia memiliki keberanian untuk berjumpa sesuai dengan isi suratnya.

“Kenapa tak kau katakan padaku?” Jungsoo menaikkan sedikit intonasi bicaranya. Ia yang biasanya tampil tenang, kini sedikit menunjukan emosi.

“Hyung, tenanglah!” beberapa dongsaengnya menegurnya.

“Di ulang tahunku tahun ini, kau tak mengirimiku surat, wae?” suaranya melunak, emosinya juga.

“Setelah memutuskan untuk pergi. Dan menyuruhku jangan mencarimu. Kemudian kau berkata kau akan kembali. Aku menunggumu! Kau tahu?. Setidaknya jika kau masih tak bisa menemuiku, kau harus mengirimiku surat bukan?”

“Mengapa begini?”

“Lihatlah! Aku datang menemui tidak dengan perasaan bersalah, aku datang setelah penantian panjang! Banyak yang ingin aku ucapkan padamu selain rasa terima kasih!”

Gadis itu tidak bereaksi, ia tetap diam.

“Baiklah, dengar ini. Aku akan berujar satu kali, dan kau harus dengarkan dengan seksama dan ini akan sangat panjang!” tegas Jungsoo.

“Hyung, jangan begini!” para member merasa bahwa jungsoo sudah melewati batas.

Sayangnya, Jungsoo acuh. Ia tetap melanjutkan apa yang harus ia katakan tak perduli apa yang para dongsaengnya katakan.

“Kau tahu Haneul-ah. Suratmu saat aku berulang tahun di tahun lalu. Aku masih menyimpannya dengan baik, bagaikan berlian mungil. Ku simpan dengan rapih sampai saat ini. Saat ini, akupun membawanya. Setiap kali aku merasa lemah, aku membacanya. Bagaikan memberi kekuatan. Tenagaku seakan kembali setelah membacanya. Perasaan cintamu yang terkandung dalam isi surat, yang membuatku kuat.

Kau tahu semua orang selalu berkata ‘terima kasih’ atas karena kelahiranku. Namun terima kasih darimu yang membuatku selalu bersyukur atas kehidupanku. Seperti oksigen yang mampu ku hirup dengan bebas seperti itulah aku mensyukuri kehadiranmu. Dan itu syukurku atas dirimu.

Dan sesalku adalah aku tak tahu bahwa kau ternyata mencintaiku. Bukan perasaanmu yang membuatku menyesal. Tapi yang aku sesali adalah kepengecutanku untuk mengakui bahwa aku juga mencintaimu, aku selalu takut, jika aku mengakuinya akan merusak hubungan pertemanan kita. Maka –“  Jungsoo tak mampu melanjutkan kata-katanya. Ia menangis, tubuhnya yang tadinya berdiri tegak, melemah.

Persendian kakinya seakan tak mampu lagi menahan bobot tubuhnya, jadilah ia duduk.

Dalam benaknya kali ini, ia baru saja menyadari bahwa beberapa kali gadisnya berusaha menunjukan perasaan cinta padanya. Walau dengan cara yang tak benar.

Ia mengutuk dirinya, yang selalu menolak fakta itu sedari dulu.

Beberapa dongsaengnya mencoba membantunya berdiri. Namun, ia terlalu lemah bahkan untuk sekedar berdiri.

“Hyung, lihatlah!” seru salah satu dongsaengnya. “Jemarinya bergerak, Hyung!”

Ia melihat jemari Haneul bergerak. Seraya berdoa dalam hati untuk kesadarannya. Yang sudah cukup lama berbaring koma di bangsal ini.

Agar ia[read:Jungsoo]  bisa meminta maaf, telah merutuki gadis ini yang tak memberinya kabar setelah surat terakhirnya di ulang tahunnya tahun lalu.

Setelah mengalami ketakjuban dan tentu saja sejuta harapan untuk kesadaran gadis tersebut. Ia dikagetkan dengan suara yang tak nyaman dari monitor kecil.

Monitor berukuran kecil, yang menunjukan garis lurus. ‘ini pasti mimpi’ pikir Jungsoo, yang mencoba membuat trik halus, menolak kenyataan yang ada.

Beberapa dokter mencoba masuk dan segera menyuruh mereka keluar. Jungsoo menolak keras untuk keluar ruangan dan terpaksa para member menariknya.

“Tenanglah, Hyung!”

“Bagaimana aku bisa tenang? Tidakkah kau lihat garisnya lurus? Bukankah itu kemungkinan terburuk,huh?” sergah Jungsoo.

“Jika memang  kematian sudah di depan mata. Tak ada yang bisa kau lakukan Hyung!” Jungsoo, menatap Kyuhyun tajam.

“Diam kau, Kyuhyun!” murka Jungsoo. Hening.

Koridor tersebut sepi. Semua member duduk, tenang. Kecuali Jungsoo yang begitu tegang, sekedar dudukpun ia tidak bisa.

Sejam kemudian dokter dan suster keluar ruangan, Jungsoo menatap mereka satu persatu mencoba menerka apa yang terjadi.

“Maaf, kami sudah berusaha yang terbaik!” sang dokter mendesah frustasi.

Namun, Jungsoo acuh. Ia lebih memilih segera masuk ke dalam ruangan. Memastikannya sendiri.

Semua selang yang sudah di copot. Bahkan monitornya sudah tak menyala. Tubuh dan wajah gadis itu di tutupi kain putih.

Tak terima kenyataan, Jungsoo membuka kainnya.

“Bangunlah, Haneul-ah! Aku juga mencintaimu! Ini masih dibulan ulang tahunku, kelahiranku! Sudah lama bukan kita tidak merayakannya! Ayo kita rayakan!

Tidak lucukan, jika bulan kelahiranku menjadi bulan kematianmu,eoh?”

“Memang tidak lucu!” interupsi sebuah suara.

Jungsoo melotot tajam.

“Mengapa kau diam, bukankah tadi kau berharap aku bangun,Eoh? Atau kau berharap aku benar-benar pergi, Oppa?” tanya Haneul. Ia duduk di ranjangnya. Jungsoo menatapnya lekat.

“Apa maksud semua ini?” tanya Jungsoo. Tak lama para member masuk dengan sebuah kue ulang tahun.

“Ini semua idenya Hyung!” mereka menunjuk Haneul, sebagai dalang dari semua ini.

“Yak! Kim haneul! Apa yang kau coba lakukan?”

“Ini kejutan untukmu oppa! Aku sengaja merayakannya saat kau keluar wamil!” jelas Haneul.

“Sudahlah, Hyung. Jika tidak begini kau takkan menyadari perasaanmu padanya!”

“Mereka semua, mendukungku Oppa! dan cepat katakan kau cinta padaku, Oppa! sebelum aku berubah pikiran dan menolakmu!”

“Yak! Kau kira kau punya pilihan untuk menolak, setelah mengerjaiku? Jangan harap Kim Haneul!”

“Arra! Arra! Mianhae sudah mengerjaimu! Kemarilah oppa, aku ingin sekali memelukmu!” jungsoo mendekat dan memeluk Haneul erat. Tak lama semua member ikut memeluk mereka.

“Saranghae, Oppa!” ujar Haneul ditengah pelukan.

“Nado, Saranghae!” serentak para member menyahuti.

“Anniyo! Maksudku hanya Jungsoo Oppa!” protes Haneul.

“Ooooooh, Jungsoo Oppa!” teriak para member bersamaan seraya melepas pelukan mereka. Haneul dan Jungsoo tertawa bersamaan melihat tingkah para member.

–THE END—

Comments

You must be logged in to comment
minggo
#1
Update soon