First

Don't you know?

Sorry for Miss Typo n Hope you enjoy it~ ^^

 


 

...........

 

Dengan gerakan sangat pelan dan tanpa suara, seseorang mendorong pintu kamar tersebut. Kepala Junho mencuat muncul dari sela pintu, mengintip suasana dalam kamar tersebut. Sedetik kemudian ia tersenyum lebar —penuh kejahilan, dengan mata sipit yang melengkung sampai nyaris tak terlihat, tapi anehnya justru senyuman itu yang membuat seorang Lee Junho terlihat semakin menawan dengan caranya sendiri.

Remaja lucu yang masih berusia 13 tahun itu, melangkah masuk ke dalam kamar. Seperti cara dia membuka pintu sebelumnya, ia pun menutupnya dengan gerakan sangat pelan. Ia berjinjit melangkah menuju satu-satunya ranjang dalam kamar tersebut. Di atas ranjang itu terlihat gundukan tubuh bulat yang 'bersemayam' di balik selimut, menutupi seluruh tubuh kecuali rambut hitam yang mencuat di ujung selimut.

Sesampainya di tepi ranjang, Junho menghitung tanpa suara. Bibirnya bergerak dengan hitungan 'hana-dul-set' dengan posisi kedua tangan di atas, siap melakukan aksinya.

Tiga detik kemudian terdengar suara teriakan nyaring dari kamar tersebut yang menggemparkan seluruh rumah. Burung-burung kecil yang sempat singgah di atas kabel listrik, terbang menjauh dengan panik menuju langit biru pagi hari. Satu-satunya ibu rumah tangga yang sedang sibuk di dapur itu, hanya menggelengkan kepala maklum mendengar keributan dari lantai atas rumahnya.

Bunyi kedebuk dan tawa kemenangan Junho menyusul, terdengar makin mendekat. Langkah terburu-buru dua anak laki-laki yang sedang kejar-kejaran menghentakkan tiap anak tangga menuju lantai bawah.

"Umma!" rengekan namja muncul di ambang pembatas dapur. "Sudah kubilang berapa kali, jangan membiarkan Junho masuk ke kamarku!" Remaja gendut yang seusia dengan Junho itu menghentakkan kakinya. Pipinya yang gemuk, semakin terlihat menggemaskan saat ia cemberut dengan bibir pink yang mengerucut kecil di antara pipi gemuknya.

"Dia hanya ingin membangunkanmu sayang."

"Tidak Umma. Dia ingin membunuhku!"

"Kau selalu bilang seperti itu setiap pagi. Tapi nyatanya kau masih bisa hidup sampai sekarang kan?"

"Umma~ kau tidak pernah lihat cara dia membangunkanku. Dia kejam! Dia selalu membangunkan dengan cara—"

"Berheti mengutuknya tiap pagi kalau nanti sore kau malah tertawa bersamanya, sayang."

"Umma, sebenarnya anakmu itu siapa? Kau selalu saja membelanya!"

"Umma hanya punya satu putra, sayang." Wanita cantik itu akhirnya berbalik dengan sepiring penuh potongan ayam tepung goreng, tersenyum pada putranya. "Hanya ada satu putra yang paling umma sayang bernama Jang Wooyoung. Nah, sekarang mandilah, setelah itu kau bisa menikmati sarapanmu."

Wajah Wooyoung berubah cerah seketika saat melihat masakan ibunya. "Bolehkah aku makan dulu," ia merajuk.

"Yach gendut. Mandi dulu sana!" teriakan dari ruang tengah yang berdekatan dengan dapur membuat Wooyoung kembali cemberut.

"Diam kau Junho!"

Junho yang berbaring di sofa hanya nyengir sendiri mendengar teriakan marah Wooyoung.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

  "Aku tidak mau melakukannya!" Pretty boy itu memasang wajah garang sambil melipat tangan di depan dada.

"Kau harus melakukannya, Khunnie!" Perempuan yang lebih tua tujuh tahun darinya itu balas menatapnya tajam sambil bertolak pinggang.

"Sampai mati pun aku tidak mau menggunakan barang-barang menjijikkan itu," tegas Nichkhun, remaja blasteran Thai-China yang baru menginjak umur 14 di tahun ini.

Seketika wajah perempuan cantik di hadapannya berubah memelas, nyaris terlihat ingin menangis di tempat. "Lalu apa yang harus ku lakukan?" ia terdengar putus asa. "Tiffany tidak bisa datang karena tiba-tiba ia kena cacar. Aku tidak punya waktu lagi untuk mencari model baru. Satu-satunya harapanku hanyalah keponakan satu-satunya. Andai ia mau berbaik hati membantu bibinya yang tertimpa masalah ini."

"Bibi," wajah Nichkhun mengerut, tak tega tapi juga tak bisa membantu. "Aku memang keponakanmu satu-satunya. Tapi aku anak laki-laki. Bagaimana bisa kau memintaku menjadi model perempuan untuk perlombaan fashionmu?"

Perempuan cantik itu malah tersedu sendiri, mengabaikan protes Nichkhun, ia mengambil tisu kotak di atas meja untuk menghapus air matanya. "Hancur sudah karirku. Hiks hiks hiks. Impianku, kandas sudah sampai di sini. Hanya karena keponakan kesayanganku tak mau mengorbankan dirinya sebentar, aku tak bisa menjadi desain terkenal. Perlombaan fashion untuk memulai karirku saja tak bisa kuikuti. Haruskah aku melamar jadi pembatu rumah tangga di negara orang? Hiks hiks hiks."

"Astaga," Nichkhun memijat pelipisnya melihat tingkah bibinya yang sudah melampaui drama melankolis. Kepalanya terasa sedikit pusing mendengar berbagai keluhan tersebut. Ia tak bisa mengabaikannya. "Baiklah. Aku akan melakukannya."

"Bagus. Cepat gunakan dress dan wig itu. Aku akan meng-make up mu dalam beberapa menit."

Nichkhun hanya bisa melongo melihat perubahan drastis dari bibinya yang kini sudah tersenyum penuh kemenangan ke arahnya. Ah..... Kini Nichkhun menyesal telah termakan dengan air mata buaya milik bibinya sendiri.

"Seharusnya tadi aku tak usah kasihan padamu."

Mengabaikan sindirannya, sang bibi tersenyum lebar. "Baiklah Khunnie, aku akan menyihirmu menjadi gadis yang paling cantik se-Asia dalam lima belas menit."

"Ah, Sial."

..............

Bel rumah itu berbunyi. Nichkhun yang sedang duduk di sofa menunggu persiapan bibinya di dalam kamar, hanya bisa mendengus.

"Khunnie. Buka pintunya. Mungkin itu jemputan kita," teriak perempuan cantik dari dalam kamarnya.

Nichkhun berdecak kesal. Mood-nya sama sekali buruk sejak ia menggunakan wig pirang panjang, make up, dress summer yang terlihat begitu girly. Ia berdiri, bulu kuduknya terus merinding tiap kali ia merasakan udara masuk ke sela-sela kakinya saat ia berjalan menggunakan rok selututnya.

"Hanya sehari, hanya sehari," gumamnya terus pada dirinya sendiri. Mengingatkan bahwa penderitaan ini hanya sehari untuknya. Sayangnya Nichkhun sama sekali tak tahu kalau sehari itu bisa menjadi jauh lebih buruk dari perkiraannya setelah ia membukakan pintu untuk tamunya.

Di depan pintu, Taecyeon berdiri sambil membawa bola sepak dengan Junsu yang berdiri di sampingnya merangkul bahu Taec. Kedua temannya itu berniat mengajak Nichkhun bermain sepak bola bersama untuk menghabiskan hari minggu ini. Tapi apa yang menyambut mereka setelah pintu dibukakan, membuat dua namja itu membisu melongo melihat penampilan 'baru' Nichkhun.

Tiga menit kemudian, Taecyeon dan Junsu tak berhenti tertawa bersama. Memegang perut mereka sambil membungkuk di lantai setelah mendengar penjelasan Nichkhun.

"Yach! Berheti tertawa atau aku akan memukul kalian!" ancaman Nichkhun itu sama sekali tak berpengaruh pada kedua temannya. Junsu bahkan mengambil kesempatan memfoto penampilan Nichkhun tanpa izin.

"Aku akan membunuh ponselmu," geram Nichkhun dengan mata berkilat penuh marah.

"Taecyeonie! Tolong aku!"

"Lari!"

"Yach!" Nichkhun melempar bola sepak ke arah Taecyeon yang menarik tangan Junsu keluar dari kawasan rumah Horvejkul. Tapi Taecyeon dan Junsu berhasil berkelit menghindari lemparan bola tersebut.

"Khunnie, jangan banyak bergerak. Penampilanmu tak boleh berantakan atau aku yang akan membunuhmu," ancaman bibinya membuat Nichkhun mengeram kesal.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

  Sebuah bola sepak itu memantul-mantul secara gantian dari kedua lutut dan kaki Junho ke udara. Sementara bunyi kunyahan keripik kentang di sampingnya menjadi pengiring dari bunyi pantulan bolanya. Bocah gemuk yang berdiri di sampingnya hanya memandang permainan bola solo Junho sambil terus memakan snack keripiknya.

"Ku dengar dari Leejoon kalau game pertempuran baru keluaran Nacon baru saja keluar," Junho berbicara tanpa menghentikan pantulan bola sepaknya.

"Benarkah?"

"Hm."

"Kalau begitu besok kita harus mencobanya."

Junho tersenyum mendengar suara riang Wooyoung. Ia menghentikan bolanya tepat saat ia melihat kedatangan enam anak laki-laki lain dari seberang lapangan.

"Junho-yah!" Yoseob melambai dari jauh.

"Ya!" Junho balas melambai dari jauh.

"Teman-temanmu sudah datang," celetuk Wooyoung.

"Apa yang kau bicarakan? Mereka juga temanmu."

"Secara teknis mereka teman sekolahku. Tapi tetap saja tak ada yang mau berteman dengan anak gendut sepertiku kecuali kau."

"Kalau begitu bermain sepak bola dengan kami. Sekalian itu bisa membuat perutmu mengecil," canda Junho sambil memukul pelan perut gemuk Wooyoung dengan bolanya.

"Shiro," tolak Wooyoung, kembali menyuap kripiknya. "Lebih asik duduk di sini menontonmu sambil makan kripikku."

Junho memutar bola matanya. "Ya sudah. Terserah kau saja." Ia hendak beranjak ke tengah lapangan saat mendengar suara Wooyoung selanjutnya.

"Menjadi anak gendut tidak terlalu buruk kok. Asal mempunyai teman sepertimu sudah membuatku senang."

Junho tertegun melihat Wooyoung tersenyum padanya. Detik berikutnya, Junho ikut tersenyum tulus bersama Wooyoung.

 ................

Junho tertawa bersama Doojon setelah berhasil menendang bola melewati gawang yang dijaga Jinwoon. Junho menoleh ke pinggir lapangan, tawanya memudar melihat Wooyoung berjalan pergi dari posisinya semula. Junho lari mendekatinya.

"Wooyoung-ah. Kau mau pulang?"

Wooyoung menoleh, agak terkejut melihat Junho berhenti bermain dan lari ke arahnya. "Aniyo. Aku mau membeli snack dan minuman di minimarket sana."

"Oh." Junho tersenyum. "Belikan buatku juga yah?"

"Enak saja," ketus Wooyoung, tapi dengan niat canda, karena detik berikutnya ia ikut nyengir.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

  Suara mesin kasir berbunyi. Pemuda tinggi bernama Kwangsoo itu menyerahkan sejumlah uang pada salah satu pembeli di minimarket tersebut. "Ini kembalianmu, cantik."

Anak 'perempuan' yang memegang kantong plastik itu menatap tajam Kwangsoo. "Aku—tidak—cantik." Ia mengeram seperti anak laki-laki, atau lebih tepatnya ia memang anak laki-laki. Tanpa menghiraukan pandangan aneh penjaga kasir tersebut, Nichkhun yang masih lengkap dengan dandanan perempuannya berjalan keluar mini market dengan mood yang semakin buruk.

Saat memasukkan recehan koin ke dalam saku dressnya, salah satu koin tergelincir tak sengaja dari jarinya, jatuh berguling di atas trotoar sampai berheti di depan sepatu seseorang. Nichkhun ingin mengabaikan koin itu. Tak ingin ambil pusing hanya karena sebuah koin milik bibinya. Siapa suruh dia meminta Nichkhun membelikannya makanan ringan dengan penampilan seperti ini. Tapi sebelum Nichkhun benar-benar beranjak dari tempatnya menuju mobil bibinya di pinggir jalan, suara lain menghentikannya.

"Hei, uangmu terjatuh."

'Oh. Ayolah. Itu hanya satu koin,' Nichkhun mengeluh dalam hati. Tapi toh ia berbalik juga, tak enak harus mengabaikan niat baik orang lain. Apalagi saat ia melihat bocah laki-laki gemuk yang usianya terlihat tidak beda jauh darinya.

Remaja gemuk itu mengulurkan koin sambil menatap Nichkhun dengan kagum. Nichkhun mencoba sesopan mungkin dengan menerima koin itu sambil tersenyum, tak ingin mengecewakan bocah gemuk yang bertampang innocent di hadapannya.

"Terima kasih."

Mata Wooyoung berbinar melihat senyuman Nichkhun. Dalam pandangan Wooyoung, wajah malaikat Nichkhun —berwig pirang panjang— tampak bercahaya dan berbingkai frame bunga-bunga mekar dengan backsoud 'lalalala.....' seperti dalam drama-drama. "Kau cantik." gumam Wooyoung sendiri menyeruakan isi kepalanya.

"Hah?" Nichkhun membeo di tempat, merasa ia salah dengar.

Pipi Wooyoung merona sendiri, dengan gerakan malu-malu —memainkan jari jarinya— ia mengulang ucapannya. "Kau.... kau sangat cantik."

Astaga. Rasanya Nichkhun ingin membenturkan kepalanya ke dinding terdekat. Tidak sampai satu jam sejak ia berpenampilan seperti anak perempuan. Kini ada anak laki-laki innocent yang 'mengatainya' cantik dan terlihat tertarik padanya. Seandainya yang mengatakan hal itu adalah pria tua berwajah mesum mungkin Nichkhun akan menatapnya tajam sambil menunjukkan kolornya dan jati gendernya sebagai anak laki-laki. Tapi kalau yang mengatakan itu adalah anak laki-laki yang umurnya terlihat lebih muda darinya, dan juga berwajah innocent seperti ini, apa yang bisa Nichkhun lakukan?

Melihat Nichkhun yang terdiam menatapnya, membuat Wooyoung makin malu sendiri dan salah tingkah. "A-aku, sungguh-sungguh. Kau sangat cantik...." pipi Wooyoung merona lucu. "Aku suka...." tambahnya pelan.

'Dasar bocah polos,' batin Nichkhun menghela nafas. "Terima kasih," hanya itu yang bisa ia balas meski dengan setengah hati karena 'dipuji' cantik. Dan untuk menolak secara halus, Nichkhun lebih memilih mengatakan dengan suara santai. "Tapi maaf, aku tidak suka dengan anak gendut."

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

  Doojon menawarkan botol minuman mineralnya pada Junho, tapi Junho menolaknya dengan halus. "Aku menunggu minuman yang dibelikan Wooyoung saja."

"Oh, ya sudah."

Hari sudah makin sore dan mereka sudah memutuskan untuk berhenti bermain. Beberapa anak sudah pulang duluan, tapi Junho masih duduk di pinggir lapangan menunggu Wooyoung kembali.

"Aku duluan yah," Doojon pamit.

"Ya. Hati-hati."

"Hm. Sampai jumpa besok di sekolah."

"Oke."

Junho menatap kepergian teman-temannya, sampai akhirnya ia bisa melihat sosok Wooyoung yang berjalan berlawanan arah dengan teman-temannya. Remaja gemuk itu terlihat berjalan lesu dengan kepala menunduk dalam tanpa membawa apapun. Junho memandangnya dari jauh dengan heran.

"Kenapa dengan dia? Jangan bilang dia lupa bawa uang." Junho berspekulasi sendiri. Ia berdiri dan berjalan menuju Wooyoung. "Mana minumanku?" protesnya. "Hei, kau tidak sedang kecopetan kan?" tanya Junho khawatir melihat Wooyoung masih menundukkan kepalanya.

"Junho-yah...." suara serak Wooyoung yang terdengar disela isakan membuat Junho terkejut. Apalagi saat Wooyoung mengangkat wajahnya dan menunjukkan mata sembabnya.

"A-apa yang terjadi?" gagap Junho, mulai panik melihat Wooyoung menangis.

"Aku tidak mau gendut," Wooyoung merajuk di sela tangisnya. "Aku mau kurus Junho. Aku mau kurus. Bantu aku."

"A-apa?"

"Bantu aku."

"Oke. Oke. Tapi berhentilah menangis. Kau itu laki-laki. Mengapa masih saja gampang menangis?"

Tapi Wooyoung tak bisa berhenti menangis sesegukan. Junho menghela nafas. Ia melepaskan bola sepak di tangannya, Junho lebih memilih memeluk bocah gemuk itu, mengusap punggung dan bahunya.

"Tenanglah. Aku pasti membantumu."

Dengan kalimat dan sikap menenangkan dari Junho itu, baru bisa membuat Wooyoung benar-benar berhenti menangis dan kembali tenang sambil membalas pelukan Junho.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

  Dua tahun kemudian.

Seorang pemuda berseragam high school sedang berjalan menyelusuri rak tempat berbagai macam snack yang dijejer dalam mini market tersebut. Ia hanya melihat tanpa mengambil salah satu dari mereka.

"Kalian lebih enak dipandang daripada dimakan," Wooyoung bermonolog sendiri sambil menepuk perutnya yang rata. Ia tersenyum sendiri dengan wajah tampan yang terlihat lebih tirus dari dua tahun yang lalu, tapi tetap terlihat imut secara bersamaan dengan pipi yang masih agak chabby.

Ponselnya berbunyi. Itu panggilan dari Junho.

"Kau di mana?" suara Junho menyahut di ujung saluran.

"Aku di mini market."

"Yach. Kau tidak sedang—"

"Tenang saja. Aku hanya beli minuman," potong Wooyoung. "Kau tunggu saja, aku akan segera sampai di lapangan dalam lima menit. Hei bilang dengan lainnya jangan memulai permainan tanpa aku."

"Iya ya. Aku juga tak mungkin mulai main tanpamu." Wooyoung tersenyum mendengarnya. "Wooyoung-ah. Belikan minuman untukku juga."

"Neh hyung," canda Wooyoung pada panggilan hyung. Junho tertawa di ujung sana.

"Aku juga, belikan untukku." suara lain menyeletuk dari tempat Junho. Disusul dengan suara lain dengan kalimat yang sama. "Aku juga!"

Wooyoung berdecak kesal. "Enak saja. Mereka pikir aku pembantu," gumamnya menggerutu.

"Hei kalian," suara Junho teriak terdengar dari ponsel Wooyoung. "Jangan suruh Wooyoung beli minuman buat kalian semua. Dia bukan pembantu kalian. Dia hanya pembantuku."

"Yach!" seru Wooyoung memprotes. Tapi detik kemudian ia tersenyum mendengar kekehan Junho.

Wooyoung menyerahkan uangnya pada kasir sambil menerima kantong plastiknya. "Ini kembalianmu," Kwangsoo —penjaga kasir minimarket itu— menyerahkan beberapa recehan koin pada Wooyoung.

"Kau makin tinggi saja Hyung."

Kwangsoo memandang Wooyoung dengan heran. "Apa aku mengenalmu?"

Wooyoung nyengir. "Mungkin," setelah itu ia pergi tanpa membiarkan Kwangsoo bertanya lagi. Wooyoung bisa mendengar suara Junho tertawa kecil dari ponsel yang masih terhubung dengan panggilan di telinganya.

"Wah Daebak. Baru dua tahun aku melarangmu ke mini market. Sekarang kasir itu tak mengenalmu? Kau harus berterima kasih pada mentormu yang sudah membuatmu seperti ini."

Wooyoung ikut tertawa kecil. "Neh hyung~" candanya lagi dengan panggilan hyung. Dengan gerakan asal Wooyoung ingin mengantongi recehan koin di saku celana, tapi itu malah terjatuh di aspal trotoar. "Aissh."

"Ada apa?" tanya Junho mendengar desahan Wooyoung.

"Uangku terjatuh." Wooyoung berjongkok untuk memungut beberapa koinnya. Setelah itu ia mengantonginya dengan sukses. Baru saja ia mau melangkah pergi ketika suara lain menghentikannya.

"Masih ada yang tertinggal."

"Eh?" Wooyoung berbalik. Melihat seorang pemuda berseragam high school dari sekolah lain yang berdiri sambil mengulurkan koin padanya.

"Koinmu yang terjatuh, masih ada yang tertinggal," ulang Nichkhun, pemuda tampan yang lebih tinggi dari Wooyoung itu mengulurkan koin yang tadi ia pungut.

"Oh," Wooyoung mengerjap sebentar sambil menatap Nichkhun. Ia merasa familiar dengan wajah itu, tapi juga tidak mengenalnya dalam waktu yang bersamaan. Mengabaikan perasaan aneh itu, Wooyoung mengambil koinnya sambil tersenyum manis.

"Terima kasih."

Tanpa Wooyoung sadari, senyuman manisnya yang tampak menawan itu membuat Nichkhun tertegun. Dalam pandangan Nichkhun wajah imut Wooyoung tampak bercahaya dengan bintang kelap kelip di sekitarnya, terlihat begitu menggemaskan dengan garis bibir merah muda yang melengkung di antara pipi chubby-nya, ditambah backsound imajiner lagu 'Lalalalala....." sebagai iringannya seperti dalam drama-drama.

"Neumo kyopta...." gumam Nichkhun tanpa sadar.

"Hah? Apa?" tanya Wooyoung bingung, kurang jelas dalam pendengarannya. Ia memiringkan kepalanya sambil memandang Nichkhun innocent, membuatnya terlihat makin menggemaskan.

Nichkhun tersenyum kikuk —kaku dan gugup— sambil mengusap tengkuknya. "Kau cute...."

"Oh..." Wooyoung sudah terbiasa mendengar hal itu. Jadi dia hanya tersenyum riang membalasnya "Terima kasih." Ia membungkuk sebentar, lalu berbalik pergi.

"Tu-tunggu!" Nichkhun melangkah satu langkah kedepan dengan tangan terulur.

"Ada apa?" Wooyoung kembali menoleh dengan heran.

"Kau.... maukah kau jadi namjachingu-ku?" Nichkhun merutuki lidahnya yang terbelit dan malah mengucapkan kata yang salah. Seharusnya ia cukup mengatakan 'chingu' yang artinya teman, tapi kenapa malah terselip kata 'namjachingu' yang bisa diartikan sebagai pacar? Belum sempat ia menjelaskan maksudnya, Wooyoung sudah tampak salah paham duluan.

Ia memandang Nichkhun dengan aneh. "Te-terima kasih," gugupnya setengah takut dengan orang yang baru ia temui itu. "Tapi maaf, aku tidak tertarik dengan namja."

 

.

 

.

 

.

 

.

 

.

  End.

~ Sayaka Dini ~

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
vickywahyu #1
Chapter 2: Lohhh yang nie mana lanjutannya....ayo thor update....gomawo
jangwooyoung0730
#2
Chapter 2: waah ntah berapa kali aku baca cerita ini, tapi aneh nya aku udah comment tapi comment ku ga ada. hehe maaf, mungkin karena sinyal disini jelek.
berharap cerita ini akan berlanjut plus cerita cerita author yg lain juga bisa berlanjut, tp sepertinya harapan itu tidak mungkin, bukan begitu authornim? hehehe. wirtrsblock atau mungkin hal lain yg menghalangi author untuk itu. aku juga pesimis kalo author masih baca comment ku apa ga. hehe. tapi aku suka semua cerita author. aku ga tau author masih mau jadi author buat ff ky atau ga, tapi yg pasti aku penggemar author juga. andai aku bisa buat cerita seperti ini. hehehe. author ddaebaaak. aku kangrn karya karya autor, wooho,cnn,taeckay,dan ky nya. hehe. author fighting buat urusan nya.


jangan, buat ky bersatu disini authornim. biarkan ini jadi cerita indah wooho. huweeee. mikir 'senyuman junho akan memudar suatu hari nanti karena jabatan tangan itu' bikin miris. ga mau~~~~ itu akan menyakitkan. ga -mauuuuu. tch, nichkhun sangat percaya diri sekali. kata siapa dia tampan? buatku yg paling tampan itu Wooyoung, jr dan mark. Hahaha. stop. okay.

Terima kasih authornim sudah menghiburku dengan cerita ceritanya. :-)
mannuel_khunyoung
#3
ijin bca nun :3 (ini udah yg ktiga kali T.T ; miris nunna belum update2 :"( )

Oke-oke Wooho shipper disini xD
ReLif_53 #4
Chapter 1: Hahaha.. 1 sama... Kekeke..
Gak bisa bayangin woo jadi gendutt.. Junho sayang banget ya ma woo.. So sweet..
Uyounggie
#5
Chapter 2: Ye ye ye ye...!!

Kereen..!!

Lanjut..! Tapi thor..! Jgn langsung buat scandal yaa..! Biar terasa lebih lama..!

Kasian ama junho
hwaiting93 #6
Chapter 2: Astaga astaga astaga deg-degan takut uyong akhirnya sama khun ><
pengen akhirnya itu wohoo walaupun aku khunyoung shipper :(
Ga tega sama nunneo yg imut-imut duh aduhhh haduuuhhhhh

Cepet dilanjut ya thor , ini daebak jadi harus dilanjut hehe ^^v
rin_26 #7
Chapter 2: junho suka woo?
Hadeh emang si mereka selalu bersama sejak kecil jadi wajar klo salah satu dari mereka akhirnya jatuh cinta
junho baik banget dia teman sejati buat woo yg mau nerima woo apa adanya
tpi ada khun bagaimanapun aku ttp selalu mendukung khunyoung bersatu walupun khun suka woo setelah woo berubah,hehe apadah

itu foto khun masih ada?hmm..berarti suatu saat woo bakal tau siapa sebetunya yeoja yg berhasil membuat dia merubah penampilah

ok lanjun...lanjut can't wait next chap
rin_26 #8
Chapter 1: keadaan berbalik,yg tadiny khun nolak woo sekarang jadi woo yg nolak khun
Azalea22 #9
Chapter 2: Aya update soon part 3 nya ya.. Tq