When It Rains

Based On The True Song

“Gukkie! Ibu memanggilmu!” ketuk Kikwang di depan pintu dengan gantungan segiempat kaku warna putih berhias guntingan kain flannel dengan kata ‘Jeong Guk’ warna hitam. Teriakan ‘Ne’ dari dalam kamar membuat Kikwang menunggu adiknya membuka pintu.

Hyung, sudah pulang?” tanya Jeong Guk setelah membuka pintu lebar-lebar. Kikwang hanya mengangguk singkat. Ia melongok kedalam kamar adiknya dan tersenyum tipis, menyapa kehadiran manusia lainnya di ruangan tersebut.

“Hei, Jongup,” sapa Kikwang. Pemuda dengan kaos tipis putih, bermata sipit dan senyum lebar itu menjawab ‘Annyeong, hyung’ bernada cerah. Pandangan Kikwang lalu beralih pada pemuda di sebelahnya, ia mengerutkan kening karena melihat ada yang sedikit aneh dengan salah satu teman adiknya tersebut.

“Minki? Kau tidak apa-apa? Gukkie, Minki sakit ya?” ujar Kikwang khawatir dengan Choi Minki yang kini tengah berbaring miring menutup mata beralas bantal di kepala berhadapan dengan arah Kikwang berwajah pucat. Jeong Guk lalu buru-buru mendorong kakaknya keluar dari kamar.

“Minki tak apa-apa kok, dia agak demam. Hyung, tadi memanggil kenapa?” tanya Jeong Guk sambil mendorong Kikwang lalu menutup pintu di belakang punggungnya. Kikwang merasakan sedikit kekhawatiran karena ada yang tak beres dengan adiknya dan teman-temannya. Tapi, ia hanya menyedikapkan tangan di depan dada dan berkata kalau Ibu memanggilnya ke bawah untuk mengambil kue dan es jeruk untuknya, Jongup dan Minki.

Jeong Guk adalah adik Kikwang sekaligus magnae di keluarganya. Dia sekarang menginjak bangku SMA kelas dua dan tertarik dengan banyak hal. Sempat suatu ketika Kikwang harus pusing mencari Jeong Guk ke rumah teman-temannya (ia lalu menemukannya di rumah Minki, dua blok rumahanya sendiri) hanya karena Jeong Guk ingin tahu kenapa kucing itu menggeram. Karena Ibu alergi kucing, pantas dia pergi ke rumah Minki karena pemuda itu punya kucing.

“Eh, ada noonaa!!” jerit Jeong Guk senang, Kikwang mengikutinya dari belakang ketika memasuki dapur. Ia hanya melihat dengan bosan bagaimana adiknya senang kalau ada Luna datang memasakkan sesuatu untuknya. Luna menoleh sebentar dan kembali ke kesibukannya, merebus pasta.

“Hei, Jeong Guk. Mau pasta?”

“Iya! Iya! Mau! Eh, noona. Kebetulan noona disini.” Kata Jeong Guk mendekati Luna. Kikwang mengerutkan kening.

“Ada apa Jeong Guk?” tanyanya. Tapi adiknya tak segera berkata, ia menoleh pada Kikwang yang tengah memperhatikan mereka, lalu tersenyum kikuk.

“T-tidak deh. Nanti saja. Ini, aku ambil kue dan esnya dulu ya! Hyung! Jangan habiskan pasta noona. Aku mintaa!!” ujar Jeong Guk seraya mengangkut senampan makanan dan minuman lalu membawanya keluar. Kikwang tak bereaksi, ia lalu memandang punggung Luna tanpa kata. Gadis itu sepertinya tahu sedang diperhatikan, ia lalu menutup panci dan membalikkan badan.

Arrasso… Nanti aku akan memberitahukanmu kalau adikmu mulai aneh-aneh lagi.” Ujar Luna dengan senyum manis. Kikwang hanya tersenyum lembut juga, tak sadar itu membawa aliran listrik aneh untuk dada kekasihnya.

“Pastanya sisakan untukku ya? Selebihnya, berikan pada Jeong Guk saja.”

 

lines-glitter-811787.gif

 

Kikwang sebenarnya ingin sidang skripsinya di laksanakan lebih cepat. Tapi, dosen Oh dan dosen Kwok sebagai pembimbingnya bilang kalau skripsinya harus lebih dimatangkan lagi, atau kalau tidak Professor Brian, Guru Besar Teknik Sipil itu akan menghabisinya mati-matian. Jadi, daripada mati kutu di ruang sidang nanti dan harus mengulang lagi, lebih baik ia membaguskan skripsinya. Ia sedang membaca ulang lagi halaman 213, sepertinya ada yang perlu diberi titik.

Hyung, apa kau di dalam?” sebuah suara halus mengiringi ketukan pintu di kamarnya. Ia menoleh sebentar memandang pintu. Siapa ya? Seingatnya, Lee Kwangsoo, hyung pertamanya tak punya suara sehalus itu. Kalau Guk juga tak mungkin.

“Iya, sia─ oh, Minki?” kata Kikwang tersenyum saat membuka pintu. Pemuda manis dengan rambut panjang warna hitam itu hanya menundukkan badannya singkat dan tersenyum padanya. Menurut Kikwang, sayang sekali kalau tahu bahwa anak di depannya ini lelaki. Soalnya, dia sangat manis.

“Aku mau mengembalikan buku hyung yang kupinjam kemarin.” Katanya, sambil memberikan buku Emile Durkheim yang kemarin Kikwang serahkan pada Jeong Guk karena ingin meminjam. Oh, jadi ternyata dipinjam Minki ya?

“Iya sama-sama Minki. Eh?” Kikwang menerima buku tersebut, tak sengaja melihat pergelangan tangan Minki yang pucat. Pemuda itu lalu buru buru menarik tangannya dan menutupi dengan kemeja panjang yang ia kenakan.

“A-aku, permisi dulu hyung.” Minki lalu buru-buru berbalik dan masuk ke kamar seberangnya, kamar Jeong Guk. Kikwang mengerutkan kening, berpikir sebentar dan melihat buku yang ada di tangannya. Sambil menutup pintu, ia membuka buka halaman buku yang sudah tua tersebut.

Ini pikiran terkasar Kikwang saat melihat pergelangan tangan pemuda itu. Apa Minki berencana bunuh diri? Kenapa banyak goresan tak teratur di pergelangan tangannya dekat nadi begitu? Ia kembali melihat cover belakang buku yang baru saja dikembalikan Minki dan menatap pintu kamarnya yang sudah tertutup. Secara harfiah dia memang sedang menatap pintunya, tapi sebenarnya dia sedang membayangkan pintu kamar adiknya dan Minki yang berada di dalam sana. Sepertinya, kecurigaan Kikwang semakin kuat dan harus ada yang menjadi korban interogasi.

Malamnya, Kikwang hanya makan malam berdua dengan Jeong Guk. Minki tidak bisa ikut makan malam karena ada sesuatu hal. Hujan juga sudah turun rintik-rintik ketika Minki berlari pulang tanpa membawa payung, karena kalau menahan Minki lebih lama, Jeong Guk kahwatir hujan malah lebih lebat dan tak berhenti seperti beberapa hari kemarin.  Lagipula hari ini Ayah dan Ibu sedang menghadiri acara reuni akbar SMA mereka di luar kota (jangan lupakan bagaimana mereka memuji satu sama lain saat mengenang masa lalu, lagipula mereka pacaran sejak SMA) dan akan pulang mungkin lusa. Kikwang menghembuskan nafas iri karena SMAnya saja sepertinya tak mengingat para alumnusnya. Tapi, itu tak penting, melihat Jeong Guk mengunyah nasinya membuat ia mengingat sesuatu.

“Aku tak tahu apa yang kau sembunyikan dariku,” tunjuk Kikwang pada poinnya, Jeong Guk menatap kakaknya dengan tampang tak mengerti. Kikwang melanjutkan sambil menggigit dagingnya pelan, “tapi yang jelas, aku tahu ada yang tak beres dengan Minki.”

Adiknya yang manis itu seperti baru saja melihat laba-laba besar seukuran tangannya sendiri, ia langsung memuntahkan air ke lantai dan terbatuk-batuk kasar. Tenggorokannya terlalu sakit untuk menjawab pernyataan kakaknya. Setelah beberapa kali berdehem, ia baru bisa menjawab dengan suara serak.

Hyung ini ngomong apa sih? Aku tak mengerti?” ujar Jeong Guk lalu mengunyah sayurnya lagi. Kikwang tak menyerah, ia mengaduk sup dan bicara dengan nada agak ditekan.

“Minki tidak baik-baik saja seperti apa yang kau katakan padaku beberapa hari yang lalu.” Ujarnya santai, padahal dalam hati ia ingin tahu apa reaksi adiknya kalau ia mengatakan hal yang dia sendiri belum tahu kebenarannya. Tangan Jeong Guk yang akan mengambil daging lalu berhenti di udara dan menatap kakaknya sengit. Ia menarik lagi tangannya dan mendarat di depan dada.

“Aku kan sudah bilang. Minki hanya sakit demam. Lagi pula dia memang tidak baik-baik saja karena dia sakit.” ujar Jeong Guk sedikit marah, lalu meneruskan, “kenapa hyung begitu curiga?”

Kemarahan yang tak wajar, mata yang tak fokus di satu titik dan nada yang bergetar membuat kecurigaan Kikwang semakin meningkat. Ia ikut-ikutan menaruh sumpit dan melipat tangan di atas meja, mencondongkan badan ke arah Jeong Guk. Entah kenapa ‘kasus’ ini jadi sangat menarik untuknya. Paling tidak, disini ia tak perlu menghitung secara aljabar agar ‘kasus’ bisa roboh rata dengan tanah tanpa mencederai bangunan di sekitarnya.

“Kalau begitu, jelaskan padaku kenapa ada seseorang yang demam mempunyai banyak luka gores di pergelangan tangannya?” ujar Kikwang kalem. Ia tersenyum menang saat melihat kekagetan di wajah Jeong Guk.

“M-mungkin saja.. Mungkin saja d-dia tak sengaja mendapatkan luka itu..”

“Luna bicara padaku.” Potong Kikwang, kali ini wajahnya serius, “ia mengatakan semua yang sudah kau katakan padanya.”

Sebenarnya, ini rencana simpanan. Kikwang bahkan tak pernah menyinggung masalah Jeong Guk di depan Luna karena ia tahu kekasihnya tak akan buka mulut. Kali ini dia menyiapkan jebakan untuk adiknya tersayang agar buka mulut. Senyumnya melebar tatkala Jeong Guk uring-uringan karena mengira Luna membocorkan rahasianya. Oh, mianhae, chagiya.

“A-apa? T-tapi.. Tapi noona sudah berjanji padaku! Aah!! Noona sudah berjanjii!” tantrum yang dilemparkan Jeong Guk membuat Kikwang menahan tawa. Lucu sekali sih adiknya yang kelas 2 SMA ini tapi sifat seperti kelas 2 SD.

“Nah. Sekarang. Kenapa kau masih menyembunyikannya?” tuntut Kikwang. Tapi, Jeong Guk hanya diam, mengaduk aduk nasinya kesal. Kakaknya hanya menghembuskan nafas karena anak itu masih belum bisa diajak kerja sama, “lagipula, buku tentang bunuh diri yang kau pinjam kemarin nyatanya dibawa Minki, ‘kan? Aku tak pernah tahu orang yang sakit demam akan seputus asa seprti itu.”

Hening. Jeong Guk masih bergerak gelisah.

“Gukkie.” Panggil Kikwang. Adiknya menyerah.

“B-baiklah. Baiklah! Minki memang punya masalah tapi dia melarangku untuk bicara pada siapapun bahkan kau! Tapi.. ugh.. kenapa noona harus bicara padamu siih!” rengek Jeong Guk lagi. Kikwang hanya tersenyum.

“Sudah. Jangan salahkan noonamu. Aku yang memaksanya bicara.” Kikwang berkata santai dan menyeruput supnya yang sudah dingin. Jeong Guk menghembuskan nafas kesal.

“Bagaimana caranya? Luna noona bukan orang yang bermulut besar, tahu!” protes Jeong Guk. Kikwang masih tersenyum, kali ini ia sengaja memasang smirk dan menyangga dagu lalu menatap lurus-lurus pada Jeong Guk.

“Kau takkan mau tahu bagaimana aku memaksanya.” Ujar Kikwang. Butuh beberapa waktu akhirnya Jeong Guk mengerti dan mengernyit jijik.

“Ugh. Dasar mesum.” Katanya sambil menyuapkan nasi. Kikwang memasang wajah malas dan mengetuk ketukkan bagian atas sumpitnya ke meja, menyatakan bahwa ia meminta perhatian dari orang di seberangnya.

“Hei, hei.. jangan mengalihkan pembicaraan.” Katanya.

Arra.. Arra.. Begini. Hyung sudah tahu ceritanya dari Luna noona kan?” kata Jeong Guk berhati-hati. Kikwang hanya mengangguk bagaikan ia tahu cerita Luna soal Minki, padahal tidak sama sekali.

“Ya. Lalu?” jawabnya santai. Jeong Guk mengerang kesal.

Hyung ini bagaimana! Ya jelas-jelas ayah Minki itu kriminal! KRI-MI-NAL! Orang itu harusnya masuk penjara, lalu dihukum mati. Ugh. Pokoknya, dia menjijikkan!” kata Jeong Guk yang begitu kesalnya hingga menusuk nusuk nasi dengan sendok sangat kuat. Bagaikan ia melihat wajah orang yang ia kesalkan dan berhasil merusaknya hingga hancur di mangkuk nasinya.

Satu hal yang baru ditarik kesimpulan oleh Kikwang adalah Minki mencoba bunuh diri karena ayahnya yang sangat menjijikkan itu dan harusnya bisa dihukum mati. Oke, lalu langkah kedua, Kikwang harus tahu apa akar masalahnya. Ia berpura-pura menghembuskan nafas kesal sama seperti Jeong Guk lalu menambahkan dengan nada prihatin dalam kalimat,

“Lalu kenapa Minki memutuskan untuk bunuh diri?” ujar Kikwang seperti ia sedang mengingat-ingat Luna tengah bercerita soal Minki. Adiknya mendecakkan lidah dan berkata kesal sambil mengunyah makanan pelan.

“Apalagi dengan Ibunya yang sudah tidak ada sejak setahun lalu. Siksaan yang diterimanya semakin parah! Bayangkan saja, ketika Ibunya masih ada, Minki masih tersiksa secara sembunyi-sembunyi karena Ibunya tahu. Lalu, sekarang bagaimana? Tidak ada yang bisa melindungi Minki dari orang bejat itu! Bahkan dia secara tidak langsung, aku juga tak tahu bagaimana orang itu menyebarkan cerita bohong kalau Minki pecinta lelaki dan tidur dengan para lelaki! Padahal.. padahal dia sendiri yang melakukan itu pada anaknya sendiri!

Hyung! Dia itu mengalami pelecehan seksual! Sial sekali bukan? Karena berita bohong itu menyebar di sekolah, tak ada yang mau dekat-dekat dengannya bahkan Jongup pun tak mau sekamar bersamanya kalau tidak ku paksa! Aku tak pernah mempercayai Minki akan berbuat sehina itu maka aku menanyakannya. Kau tahu? Awalnya, dia mengakui dan menghindariku. Lama kelamaan, aku melihat banyak luka di tangan dan di dadanya sendiri. Kupikir karena Ayahnya menghukumnya, tapi ini lebih parah! Dia. Mencoba membunuh dirinya sendiri! Astaga. Apa yang telah kulakukan pada temanku ini? Maka aku hanya ingin membantunya. Menolongnya dan membawanya ke jalan dimana dia bisa berontak! Tak ada yang mau menolongnya, hyung..”

 Jeong Guk bercerita panjang lebar. Kikwang hanya melihat Jeong Guk dengan wajah terkejut yang tak kentara karena adiknya masih sibuk menunduk memakan nasinya. Pelecehan seksual? Astaga, Minki? Oleh ayahnya? Oh, Tuhan. Kikwang menarik nafas, mencoba meredam amarah yang tak terlihat pada adiknya serta Luna. Karena kenapa masalah seperti ini dia tak diberitahu?

 “Besok,” lirih Kikwang karena baru saja dihantam batu besar mendegar cerita adiknya, “apa Minki akan menginap lagi?”

“Tentu saja! Aku akan menggunakan seluruh kekuatan alasanku supaya Minki bisa menjauh dari orang ituuuu!!!” kata Jeong Guk berapi-api dengan wajah yang lucu membuat Kikwang tersenyum memandang adiknya. Namun, ia termenung lagi. Mungkin salah satu alasan kenapa Jeong Guk tak bercerita padanya tapi pada Luna karena kekasihnya adalah seorang psikiater. Adiknya mungkin berharap ada yang bisa ia lakukan pada Minki. Apalagi mengingat kakak Luna adalah seorang perwira polisi, mungkin ada harapan. Tapi, ia tahu tak segampang itu menangkap keluarga Choi Minki.

Dengan pekerjaan ayah Minki seorang advokat penting di kotanya lalu dengan begitu saja mudah  menjebloskannya ke penjara? Tunggu dulu. Bahkan Luna tak punya cukup bukti untuk membuat orang bengis itu jatuh dari kursinya, ia takkan bisa menggiringnya masuk penjara. Belum selesai Kikwang berpikir, suara adiknya memecah keheningan.

Hyung.” Panggilnya. Kikwang mengunyah suapan terakhir dan berdehem menjawab adiknya, “aku.. begini. Hm… aku ingin tanya..”

“Ya. Tanya saja.”

“Agak menjijikkan. Tapi.. sungguh, jangan berpikiran aneh padaku. Aku.. aku ingin tahu.”

“Iya, cepat tanya saja.”

“Aku tak mungkin menanyakan ini pada Minki. Tapi.. aku ingin tahu. K-kalau ada dua lelaki melakukan.. melakukan itu,” Jeong Guk menambahkan tanda kutip di udara dengan jarinya, “kau bisa bayangkan tidak bagaimana cara melakukannya?”

Kali ini, Kikwang yang menelan air begitu banyaknya hingga ia harus tersedak dan terbatuk-batuk serta memuntahkan sedikit air seperti Jeong Guk tadi. Adiknya langsung khawatir dan berkata pertanyaannya itu bodoh dan ia tahu ia tak boleh menanyakannya. Tersenyum dalam hati, Kikwang ingin mengerjai adiknya. Dengan berbekal senyuman nakal dan tangan yang sedang membuka satu persatu kancing kemeja birunya yang basah. Kikwang mencondongkan diri ke arah Jeong Guk yang menghindarinya dengan tatapan apa-yang-akan-kau-lakukan?

“Kenapa, Gukkie?” ujar Kikwang, masih dengan senyum yang menggoda. Kali ini dadanya yang telanjang sudah terlihat dan kancing kemejanya akan terlepas semua, “kau mau mencobanya?”

“A-apa?” punggung Jeong Guk sudah tertempel sempurna di kursi, menjauhi kakaknya yang mulai tak waras. Dalam hati ia sulit mengakui kakak keduanya memang benar-benar tampan, tapi tetap saja. Dia kan laki-laki!

“Tak akan sakit kok. Mungkin di awal─”

“YAA!! MENJAUH DARIKU KAU OM-OM MESUM!”

Baru saja Kikwang berdiri membuat kursinya berdengit kebelakang, Jeong Guk sudah berlari keluar dari ruang makan berbekal garpu tajam untuk melindungi dirinya dari kakak yang sekarang tengah tertawa terbahak-bahak di ruang makan.

 

lines-glitter-811787.gif

 

Setiap malam, Kikwang selalu punya kebiasaan aneh. Jam setengah dua belas dia akan terbangun, duduk termenung di tempat tidurnya dan akhirnya turun kebawah untuk meminum air dingin. Setelah itu, matanya akan menolak tidur sampai jarum jam menunjukkan pukul satu pagi. Luna sudah menyarankan dia untuk mencoba bicara dengan dokter, tapi Kikwang masih tak ingin.

Kali ini, mungkin matanya akan menolak tidur sampai pagi mengingat Minki menginap sekarang.

Saat turun akan ke dapur, ia mendegar sayup-sayup orang menangis. Kikwang tak takut hantu, namun juga ia juga tahu  kalau mereka eksis. Dengan berbekal keberanian dan mengantuk, ia membelokkan langkahnya ke ruang tamu. Pertama-tama ia hanya menyembulkan kepala untuk melihat siapa yang menangis. Matanya terbuka lebar ketika ia tahu siapa yang tengah menunduk menutupi wajahnya dan melipat kaki di atas sofa. Kikwang menarik nafas sebentar, ia lalu berjalan mendekatinya.

“Minki? Tidak tidur?” ia menjatuhkan diri di sebelah Minki dengan santai dan mengambil remote TV, menyalakannya seperti tidak terjadi apa-apa.

“A-ah. A-aku tidak bisa tidur, hyung.” Ujar Minki cepat cepat menghapus air mata yang menetes. Kikwang masih tak menatap wajah Minki, sengaja memberinya waktu untuk merapikan dirinya. Ia hanya secara acak mengganti channel TV dan membiarkan gumaman lembut suara kotak ajaib itu memenuhi ruangan serta hantaman air hujan yang menyerbu di luar rumah.

“Minki?” kata Kikwang ketika ia tiba-tiba menoleh pada pemuda di sampingnya, berpura-pura terkejut, “kenapa kau menangis? Jeong Guk melakukan sesuatu yang jahat kepadamu?”

Ia bertanya khawatir, namun Minki hanya tertawa pelan lalu berkata bahwa adik Kikwang tak melakukan apapun padanya. “Justru aku yang ingin berterimakasih padanya, hyung.”

“Oh ya? Wah, Jeong Guk tak pernah melakukan sesuatu untukku yang mengharuu berterimakasih padanya.” Kata Kikwang kesal, pemuda manis di sebelahnya masih tertawa. Ia lalu ikut tersenyum dan memandang Minki penuh-penuh.

“Tapi, Minki. Serius. Aku harus berterimakasih padamu karena kau tahan padanya dan semua kegilaan yang ia perbuat. Aku juga minta maaf karena dia selalu menggangu Ciko, kucingmu, dan membawanya pergi tanpa sepengetahuanmu. Itu karena Ibu tak bisa dekat-dekat bulu..” ujar Kikwang menerawang. Ia lalu menoleh pada Minki yang tersenyum.

“Tak apa kok, hyung.”

Keheningan merajai keduanya. Kikwang tak tahu harus darimana memulai. Kalau dia menerapkan metode seperti ia membohongi Jeong Guk, mungkin saja Minki tak akan bersikap terbuka lagi pada Jeong Guk. Maka dia mencari akal, namun sebelum ia bisa berkata, Minki membuka suara.

“Yang kemarin itu,” katanya, Kikwang mendengarkan dengan tertarik, “Luna noona. Jeong Guk berkata kalau hyung akan segera menikah. Benarkah?” tanyanya polos. Mendengar begitu, Kikwang terkejut dan membuka-menutup mulut bingung harus menjawab bagaimana.

“Ah, begitu? Doakan saja ya. Oh, Minki. Aku harap kau juga datang di pernikahanku, ne?” kata Kikwang dengan senyum manis, walau dalam hati ingin mencaci-maki Jeong Guk tapi paling tidak itu kata-kata adiknya yang mengadung doa. Nah, kalau yang ini, Kikwang mau berterimakasih padanya.

Hyung ingin aku datang?”

“Tentu saja! Aku kan sudah mengenalmu dari kecil. Lagipula, kau teman Jeong Guk. Pakai jas yang pantas, biar kau kelihatan tampan, Minki-ah. Kalau tidak, nanti dikira perempuan.” Kikwang tertawa kecil, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Namun ketika ia mencuri lirik pada Minki, pemuda itu hanya menunduk dan bermain jari.

“Hei.. Hei.. Hyung hanya bercanda. Kau ini tampan kok, kau kan namja!” ceria Kikwang sambil mengguncang pundak Minki pelan.  Pemuda itu hanya tersenyum, tapi tak lega. Kikwang kembali memfokuskan pandangan pada televisi.

“Aku senang,” lirih Minki, Kikwang meliriknya, “aku senang diterima sangat baik di rumah Jeong Guk. Bertemu dengan hyung, bahkan kenal calon kakak ipar Jeong Guk.”

Tidak ada tanggapan, Kikwang membiarkan Minki bicara.

“Tidak seperti di rumah. Aku selalu sendirian. Bahkan Ayah seakan..,” ia tercekat sebentar saat memanggil kata itu, “..seakan tak tahu bahwa aku adalah anaknya. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Dia seperti tak ingin aku berada di dekatnya. Tapi, aku menyayangi Ayahku.”

Kalimat terakhir menohok Kikwang, tapi tak ada kalimat yang keluar.

“Dunia seperti berputar sangat cepat di depanku, hyung,” kali ini Kikwang menoleh pada Minki, “aku seperti tak bisa mengejar harapan lagi. Semuanya berjalan tanpa ada yang mengetahui aku ada. Hidup atau tidaknya aku di dunia ini seperti tak ada gunanya lagi. Tapi aku tak mau menderita begini.”

Minki tertawa mendengus sebentar, “Ada kalanya aku berpikir ketika kita mati, kurasa tak akan ada masalah yang menghampiri. Semuanya berjalan lebih mudah.. untukku.”

Mwoya.” Kata Kikwang tanpa sadar nada bicaranya jadi dingin, memandang Minki sedikit marah, “kau ini bicara apa, Minki-ah.”

Minki lalu mendongak dan menatap Kikwang, kakak sahabatnya itu tengah menatapnya intens dengan kerutan di kening dan alisnya terangkat. Namun ia tak mengerti dan hanya terus menatap Kikwang.

“Kalau kau mati, bagaimana dengan Jeong Guk? Kau pikir dia senang kalau sahabat masa kecilnya meninggalkannya sendirian begitu? Kalau kau pikir Jeong Guk itu preman, kau salah besar. Dia itu anak kecil umur limat tahun yang jika kau ambil permen dari tangannya dia menangis. Jadi bayangkan saja kalau dia kehilanganmu.” Ujar Kikwang bersungut-sungut menatap pemuda yang lebih muda darinya. Tapi, tak ada tanggapan berarti dari Minki, ia masih terus saja menatap Kikwang.

Sadar diperhatikan begitu karena sedari tadi tersulut emosi, Kikwang menghembuskan nafas menahan amarah lalu menatap Minki lagi, kali ini dia tersenyum.

“Dengar ya, adikku yang manis. Kau sudah ku anggap adikku sendiri bahkan Ibu berkata pada Ayah kalau kau mungkin sebenarnya adik perempuan kami yang tak sempat hidup di dunia,” Minki tersenyum geli, begitu juga dengan Kikwang, “kau harus bertahan. Hidup memang begitu, tak ada yang berada di garis lurus. Kalau kau berada di garis lurus, itu artinya kau tak hidup. Kau mati. Hidup seperti roller coaster, kau bisa saja menangis ketakutan karena tak tahan ketinggian atau bahkan berteriak karena senang.

“Jangan berpikir kau hidup sendirian disini. Meskipun kelihatannya cheesy, tapi.. Ada aku, ada Jeong Guk. Bahkan ada Kwangsoo hyung yang siap jadi jerapahmu kalau kau mau.” Tiba-tiba Kikwang merasa bersalah mengikut sertakan kakaknya yang paling tua, namun tak jadi masalah karena Minki tertawa.

“Kau tidak sendirian, Minki. Bahkan jika kami tak ada, kau masih punya Tuhan.”

Minki tersenyum, membuat kedua matanya menjadi bulat sabit. Kikwang merasa ia telah berhasil menghentikan Minki melakukan hal yang aneh seperti diungkapkan oleh Jeong Guk, meskipun pada akhirnya kini Kikwang harus sibuk menghentikan Minki yang tiba-tiba menangis bercampur tertawa dan mengucapkan ‘terimakasih’ padanya.

 

lines-glitter-811787.gif

 

“KAU!”

Jeong Guk berteriak sambil mendobrak terbuka pintu kamar kakaknya, membuat Kikwang yang tengah sibuk membaca komik diatas tempat tidur langsung menoleh terkejut. Ia mengerutkan kening karena adiknya benar-benar tengah marah terlihat dari wajahnya yang bersungut-sungut. Dengan hentakan kaki seperti anak kecil, ia melangkah masuk dan menunjuk Kikwang.

“KAU!”

“Ya, aku? Kenapa sih?” tanya Kikwang kembali membaca komiknya, Jeong Guk berdecak sebal dan duduk di atas tempat tidur.

“Kau berbohong padaku, iya ‘kan? Luna noona tak pernah memberitahumu apapun!” sungut Jeong Guk. kikwang hanya tersenyum, menutup komik dan menatap wajah adiknya.

“Siapa yang bodoh kalau begitu?” ucap Kikwang ringan sambil membalik halaman komiknya. Adiknya kembali merengek.

“KAU! Kau yang bodoh hyuuuungggg!!” katanya seperti orang yang menangis. Kikwang hanya tertawa,

“Kalau begitu, aku berhasil membodohimu, pintar.” Goda Kikwang, kali ini ia menutup komiknya dan tersenyum pada Jeong Guk yang masih meringik sebal pada kakaknya, menggumamkan kata-kata sumpah serapah yang tidak kasar.

“Omong-omong,” putus Kikwang di tengah-tengah acara merapal ‘kata kasar untuk kakak’-nya Jeong Guk, “bagaimana keadaan Minki sekarang?”

Tentu saja dia penasaran. Ini sudah beberapa hari setelah kejadian dimana Kikwang mencoba bicara dengan Minki. Meyakinkan pemuda itu bahwa tidak ada yang benar-benar sendirian di dunia ini. Kikwang juga sudah bicara pada Luna, mengatakan semua yang ia katakan pada Minki secara detail tanpa salah. Kekasihnya hanya bilang mungkin Minki dalam tahap dimana ia sedang berpikir untuk tetap melanjutkan atau tidak keputusannya. Semoga saja berakhir baik.

“Kurasa, sudah agak membaik. Kemarin, dia sempat maju kedepan dan membacakan puisi miliknya.” Kata Jeong Guk tiba-tiba tersenyum, memandang langit sore dari jendela kakaknya yang tak jauh dari tempat ia duduk, “kata Minki, kau bicara padanya saat tengah malam. Kau bicara apa memang?”

“Bukan urusanmu.” Ucap Kikwang sok penting sambil membalik halaman komiknya lagi, “tapi syukurlah kalau begitu jadinya.”

Hening sebentar, Jeong Guk menatap lantai tengah bergelut dengan pikirannya. Kikwang mengintip dari balik komik, dan tersenyum. Menyenggol pelan punggung adiknya dengan lutut.

“Jangan ber-mellow drama begitu ah, tak cocok dengan wajahmu.”

“Memang wajahku kenapa?”

“Seperti preman.”

Kikwang menerima pukulan telak di perutnya, walaupun pada akhirnya Jeong Guk juga ikut kesakitan karena perut kakaknya lebih keras dari yang ia bayangkan. Keheningan kembali merajai diantara mereka berdua, yang terdengar hanyalah tetesan air hujan yang mulai ramai dari luar jendela kamar. Kikwang menutup komiknya ketika suara ponsel Jeong Guk terdengar dari kamar seberang.

Setelah adiknya berlari keluar kamarnya, inginnya Kikwang langsung tidur mengingat suasana sudah sangat mendukung. Baru saja ia menurunkan suhu AC, Jeong Guk kembali membuka kamarnya rusuh dan berkata sambil terengah-engah.

H-hyung.” Kikwang hanya menatap adiknya sambil mengerutkan kening.

“M-Minki… Hyung.. M-Minki!” Jeong Guk berdiri sambil gemetaran. Tak kunjung mendapat jawaban sekaligus khawatir, Kikwang segera turun dari tempat tidur dan mendatanginya.

“Apa? Ada apa? Jeong Guk!” kata Kikwang terburu-buru sambil mengguncang tubuh adiknya.

“D-dia..”

“Iya?! Dia apa?!”

“Dia ditemukan tewas, hyung!”

Jeda sebentar, Kikwang menatap adiknya horor.

Mwo?” bisik Kikwang terkejut.

 

lines-glitter-811787.gif

 

Hujan masih mengguyur kota Seoul saat Kikwang dan Luna beserta Jeong Guk hadir di pemakaman Choi Minki. Berbekal payung hitam yang besar, Kikwang berdiri kaku di samping pusara adik temannya ini bersama Luna yang tengah menyelipkan tangan diantara lengannya yang bebas dari tugas memegang payung.

Sementara Jeong Guk masih menangis sambil menunduk diatas batu nisan Minki, Kikwang berusaha untuk menutupi adiknya dengan payung tapi air hujan sedikit lolos dan akhirnya membasahi Jeong Guk.

“M-Minki… Kenapa jadi begini?! Kau berjanji padaku.. kau bahkan berjanji padaku akan menemaniku sampai lulus nanti! Kau pembohong, kau pembohong, Minki!” gumam Jeong Guk diantara isakan tangisnya. Jeong Guk tak mau bersusah-susah menghapus air matanya, toh, hujan akan menghapuskan untuknya. Sayangnya, ribuan tetes air itu tak menghapus kesedihan bahkan kemarahan milik Jeong Guk.

“Dasar bodoh,” ucap Jeong Guk lagi, kali ini lebih keras dan air matanya menderas, “aku menyayangimu. Aku menyayangimu seperti saudaraku sendiri. Kenapa kau selalu berpikir kau sendirian! Kenapa sih, Minki bodoh! Kau bodoh!!” seperti orang kesetanan, Jeong Guk memukul-mukul nisan Minki. Luna segera mengambil gagang payung di tangan Kikwang dan mendorongnya pelan untuk menghentikan adiknya.

“Jeong Guk.. Gukkie.” Kikwang berkata pelan, menghentikan adiknya dengan mencengkeram pergelangan tangan Jeong Guk dengan erat dari belakang punggungnya, “kalau kau begini terus, Minki tak akan tenang di sana-”

“AKU TAK PEDULI!” jeritnya, membuat beberapa pengunjung pemakaman yang belum beranjak menatap mereka, “dia seharusnya tak tenang! Sudah seharusnya dia tak tenang! Kenapa.. Kenapa dia begitu jahat padaku hyung?! Kenapa!”

Kikwang lalu memeluk adiknya, tak memperdulikan kalau nanti celananya akan kotor terkena tanah yang basah. Yang ia lebih pedulikan sekarang adalah adiknya, adik yang ia sayang serta hati yang tersakiti. Luna meremas pelan pundak Kikwang, saat pemuda itu mendongak menatapnya, ia memberikan pandangan bahwa mereka harus membawa Jeong Guk untuk pergi dari sini.

Sesaat setelah Jeong Guk memberi kabar kalau Minki ditemukan tewas, mereka segera menuju ke rumah Minki. Sudah ada ambulan dan satu mobil polisi disana dan beberapa perawat serta seorang dokter. Mereka berdua buru-buru masuk ke rumah dan bertemu dengan pembantu rumah tangga keluarga Choi. Ia lalu bercerita bahwa tuan muda Minki masuk kamarnya setelah pulang sekolah dan tak keluar dari sana. Saat Ayahnya memanggil, Minki tak menjawab dan kamarnya dikunci.

Tuan Choi sepertinya sangat marah, maka ia mendobrak pintu Minki. Tapi ia tak ada di kamar, setelah di cek di kamar mandi, Minki sudah ditemukan tewas dengan pergelangan tangan sobek yang terendam di bath up dan darah yang memenuhi air. Seketika tuan Choi begitu histeris dan segera berteriak memanggil semua penghuni rumah.

Kikwang dan Jeong Guk memutuskan untuk menunggu hasil pemeriksaan polisi sambil menelfon teman-teman dan tetangga yang mengenal Minki. Butuh satu jam untuk menerima hasilnya, dan berakhir bahwa Minki dinyatakan positif bunuh diri. Jeong Guk sangat emosional saat itu, jika tidak Kikwang menyeretnya untuk pulang dan berganti baju, mungkin adiknya sudah memukuli tuan Choi habis-habisan.

Dalam perjalanan pulang dari pemakaman, Kikwang masih hanyut dalam pikirannya. Ia membiarkan Luna untuk menyetir karena takut kalau-kalau ia malah melamun. Beberapa kali pemuda itu melihat kaca tengah untuk memastikan keadaan adiknya. Tak banyak berubah, hanya saja ia tak berteriak-teriak seperti di pemakaman. Namun Jeong Guk hanya menangis tanpa suara. Kikwang menghembuskan nafas lagi dan menatap jalan. Hujan masih belum berhenti.

“M-Minki.. Minki mengatakan hal yang aneh tadi pagi.” Ucap Jeong Guk setelah sekian lama terdiam dengan terbata-bata, Luna menengadah sebentar untuk melihat bayangan Jeong Guk.

“Berkata apa?” tanya Luna, Kikwang memasang pendengaran walaupun pandagannya sudah tak sanggup menatap adiknya yang menangis.

“D-dia bilang.. Dia bilang agar aku menjaga Chiko dengan baik. A-aku, b-berkata kalau aku bukan tuannya, j-jadi, aku tak bisa. Namun dia memaksaku,” Jeong Guk mengambil jeda untuk menangis, “ia lalu berkata.. ia lalu berkata kalau dia akan sangat senang bisa menjadi bagaian keluarga kita. D-dia me-minta maaf.”

Luna terdiam sebentar, Kikwang tak merespon.

“Kita kehilangannya,” ujar Luna pelan, Kikwang menoleh pada gadisnya. Wajah Luna mengerut serius, ia menggigit bibirnya seperti kalau sedang kehilangan sesuatu, “kita melewatkannya.”

“Apa maksudmu?” ucap Kikwang.

“Seseorang yang bunuh diri atau suicide punya beberapa tahap. Yang pertama, ia akan berpikir bahwa bunuh diri adalah hal yang terbaik. Kedua, mereka akan mencari tahu soal bunuh diri dan alatnya. Tahap ketiga, mereka menduga-duga dan memperkirakan kematian dengan beberapa alat yang sudah mereka siapkan.”

Luna menarik nafas sebentar. Mobil mereka berhenti karena mereka sudah mencapai tujuan, ketika ia menarik rem tangan, Luna menatap Kikwang dan Jeong Guk bergantian. Ia melanjutkan perkataannya.

“Tahap keempat, mereka sudah memutuskan alat dan bagaimana mereka mati. Kelima.. Ini adalah saat dimana mereka meminta tolong. Mereka diambang keputusan dimana mereka akan benar-benar akan menuju kematian atau tidak. Seperti Minki, perkataan seperti itu sebenarnya ia meminta tolong bahwa ia benar-benar sudah tak kuat berada di dunia ini. Jika seseorang tahu mencegahnya, maka itu tidak akan terjadi. Sayangnya, tak ada satupun dari kita yang tahu,”

Luna tersenyum, tidak menyalahkan Jeong Guk.

“Tahap keenam, mereka melakukannya.”

“Aku bodoh.” Singkat Jeong Guk, “aku bodoh tak tahu kalau dia kesakitan. Tapi dia juga bodoh! Minki juga bodoh hyung!” ia marah tanpa alasan pada kakak yang sekarang menatapnya.

“Dia selalu berpikir kalau dia sendirian, dia selalu berpikir kalau orang-orang yang menyayanginya hanya imanjinasi. Dia selalu menghindar saat ada orang yang peduli padanya, menyimpan rasa sakitnya sendiri! Kau bodoh! Choi Minki kau bodoh!”

Sekali lagi, Jeong Guk menangis keras di dekapan tangannya. Luna menatap karpet mobil dan lalu menatap wajah Kikwang. Pandangan Kikwang masih menatap lekat-lekat pada Jeong Guk yang menangis, air mukanya berubah menjadi sedih. Luna mengerti, pasti sangat berat untuk Kikwang kehilangan seseorang yang sudah dianggap adik dan melihat Jeong Guk sangat sedih.

Namun diantara tiga orang dalam mobil itu, mereka tahu, tak ada satupun dari mereka yang bisa mengembalikan waktu. Mereka tahu mereka sudah terlambat dan tak ada gunanya menangisi yang sudah selesai. Hanya menabur garam di laut. Tak ada yang mereka bisa lakukan.

Cha,” kata Kikwang menarik nafas, saat tangisan Jeong Guk mulai mereda, “sudah jangan menangis. Kau ini namja.” Padahal sendirinya ingin menangis.

“Ayo keluar,” ajak Kikwang karena hujan sudah mulai menipis, ia membuka pintu, “tak ada gunanya kita di mobil terus.”

Luna masih tak bergerak dari duduknya, melihat Kikwang berlari menuju pagar rumah tanpa menggunakan payung. Luna kembali menatap pada Jeong Guk, ia mengelus kepalanya sayang.

“Gukkie.”

“Mungkin hyung marah padaku. Aku tidak biasanya sehisteris ini. Aku berlebihan ya noona?” kata Jeong Guk mengangkat dua sudut bibirnya sambil menangis. Namun, Luna masih tersenyum.

“Sudah, jangan menangis lagi. Ayo kita kedalam. Kubuatkan kau cokelat panas nanti, bagaimana?”

Memang harus ada yang begitu, harus ada manusia yang duduk menjadi pendengar. Mengerti keluh kesah yang lain dan menerima tampungan permasalahan. Tak ada orang yang sanggup menanggung semuanya sendirian.

Mereka akan meledak seperti bom waktu. Beberapa meledak dengan benar, ada juga yang salah.

And when it rains, you always find an escape. Just running away from all of the ones who love you.

From everything, you made yourself a bed at the bottom of the blackest hole. And you'll sleep till May, you'll say that you don't want to see the sun anymore

Paramore - When It Rains

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
aee_eusebio
#1
Chapter 2: ya ampuun penataan bahasamu keren syekaleeeee,,saia suka saia sukaaaa XD
hehe,,sengaja baca yg JunHara duluan cuz,,they're my favorite kekeke

daebak chingu XD lanjutkan~~