Forbidden Love

Hunger Games

Chansung’s POV

 

 

Hidungku yang setajam anjing liar mengendusi bau roti baru matang. Asalnya dari bawah sana—dapur rumah kami—satu tempat paling tampak tanda-tanda kehidupannya ketika matahari belum sepenuhnya naik. Gadis muda bernama Junho sudah sejak pagi buta berusaha membuat panci-panci mengkilap dengan bantuan abu gosok dan sikat bergerigi. Suara kelontongannya memang bising sekali, sampai-sampai aku menyambar bantal ekstra untuk kutelusupkan dan membungkus kepalaku di dalam sana.

 

Selanjutnya—seperti sekarang—dari tempatku berbaring paling nyaman, aku dapat mengendus bau makanan yang asapnya memenuhi kamar tidurku di lantai atas. Yeah, waktunya makan pagi, dan aku tinggal menanti sebentar lagi sampai ‘Mummy’ kami datang menjemput.

 

“Chansung! Hwang Chansung, bangun lah!”

 

Suaranya dari depan pintu kamarku. Milik Junho. Aku bergeming dalam tidurku, tidak menjawab panggilannya yang sehangat mentari cerah di luar sana. Masih pagi lagian, wanita itu terlalu dini repot-repot membangunkanku. Dan tentu saja, aku enggan mengurangi jatah tidurku yang sudah tiris. Paling-paling Junho akhirnya menyerah, memilih angkat kaki dan menyuruh ‘Setan Kecil’ itu mengganggu tidur nyamanku (Jeonggam patuh sekali pada Junho, ingat?).

 

“Channie~ bangun lah! Aku sudah sediakan makanan favoritmu di bawah.”

 

Kali ini suaranya dekat. Mungkin dia memutuskan untuk menerobos tempat paling terlarang baginya—kamar laki-laki. Aku tersenyum dalam tidurku, memikirkan keberanian Junho dalam menghadapi ‘bahaya’nya sendiri. Ini sarang beruang, omong-omong. Mau apa wanita itu masuk ke ruangan yang notabenenya adalah kamar laki-laki, huh? Yang benar aja! Kau bisa pikir yang tidak-tidak melalui sudut pandang seorang laki-laki, bung!

 

“Channie?”

 

“Hm…”

 

Byur.

 

Diguyur air—sialan.

 

Junho membangunkan dengan cara paling tidak manusiawi. Aku baru akan menghujat, setelah tubuhku basah kuyup dan pitamku naik kejut, Junho malah menorehkan senyum maut yang membuat hatiku kalut. Ah ya, butuh berpikir ulang untuk membuka jalur konfrotasi sepagi ini. Lagi pula, kulihat wanita itu sudah berpakaian rapi; mengenakan gaun kuning-gading selutut yang membawa dampak ceria hari ini. Rambutnya yang sewarna kacang tanah telah digelung ke atas, menyisakan anak-anak rambut di sekitar telinga. Cantik, tidak mengurangi nilai sepuluh yang tempo hari kuberikan hanya untuknya.

 

Dia Lee Junho, seorang kakak, teman, sekaligus seorang ibu. Ayahku dan ibunya menikah tiga tahun lalu, dan dua bulan lalu, ketika orang tua kami melakukan perjalanan ke luar negeri, pesawat yang ditumpangi mereka dikabarkan jatuh ke tanah dan menyisakan nisan untuk kedua orang tua kami. Kini rumah megah milik ayah hanya di tempati oleh kami bertiga, aku, Junho, dan Jeonggam.

 

“Repot-repot, Junhoyah?” sapaku dengan kuap kantuk. Tanganku menyambar kain linen kering yang tergantung di kepala ranjang, kemudian menyeka sisa-sisa air yang merembas turun dari bantal busa yang tadi menyembunyikan wajahku dan menatap ‘Mummy’ kami dengan pias wajah bersahabat. “Kau datang kemari ingin memandikanku, hm?”

 

Lee Junho—seperti biasa—hanya tersenyum kecut dan membuang mukanya pada saat kutatap. Aku dan dia hanya terpaut usia setahun, dan aku sangat mengerti tindakan buang muka itu hanya untuk menutupi rona pipinya. Dua buah mataku sudah cukup jelas untuk melihat semburat kemerahan pada pipi kenyalnya, dan menurutku, warna pipinya lebih mirip seperti kepiting rebus dari pada buah berri yang masuk masa panen pada petak-petak di ladang. Aku memang sengaja menggodanya, dan dia tahu itu. Rona dipipinya sudah cukup jelas menggambarkan bahwa dia menikmati candaanku. Dan aku merasa harus lebih sering menggodanya untuk menggantikan gairah masa mudanya yang terenggut untuk merawatku dan Jeonggam.

 

“Ups…aku tidak sengaja mengguyurmu, Channie.” Melempar gayung ke kaki ranjang, Junho terkekeh pelan dan melanjutkan, “Aku sudah pakai cara yang lebih sopan kok!”

 

Aku melihat kaki ramping Junho berjalan ke sudut ruang, menuju jendela tergantung dan menyingkap helai gorden hingga terbuka. Melihat sepasang kaki indah itu berjalan, aku merasa rasa bahagia menyusup dalam hatiku, dan perlahan-lahan, mengiringi mataku untuk tetap menatap lurus ke siluet Lee Junho.

 

“Benar kah?” tanyaku sangsi. Aku menggeliat bangkit dan mendudukkan tubuhku dibibir ranjang. Masih menatap Junho tanpa sedetik pun beralih ke objek lain. “Masa aku tidak merasa kalau kau memanusiakanku sih?”

 

“Kau mati rasa kali,” cibir Junho sembari mendorong daun jendela, memunggungiku. “Aku beberapa kali mengguncang bahumu tapi kau tidak bangun juga,” aku wanita itu dan aku tahu dia hanya membual (jelas-jelas dia baru masuk ke kamarku dan langsung mengguyurku dengan air).

 

“Lalu?”

 

“Menggelitik kakimu.”

 

“Hm?”

 

“Mencubit pipimu, menarik rambutmu, memukul punggungmu—“

 

“—wah, semuanya seram, ya?” potongku tidak sabaran, berusaha menghentikan imajinasi liar Junho yang semua mengarah untuk melumpuhkanku. Jiwa psikopat perempuan itu masih hidup walau pun Hunger Games telah lewat beberapa bulan lalu. Aku berdeham pelan dan menyingkirkan pikiran gelap kalau ‘Mummy’ kami adalah pembunuh ulung. “Kalau caramu seperti itu sih bukan membangunkanku namanya. Itu sama aja kau membunuhku pelan-pelan, Jun.”

 

“Kau nggak mungkin mati semudah itu, Chan!” elak Junho soal pernyataan ‘pembunuhan-ku’. Lagi-lagi dia terkekeh dan membuat wajahnya semakin cantik tertimpa sinar mentari. “Kau itu kan bebal, spesialis tahan banting.”

 

“Jadi kau sedang menguji ketahan-bantingan-ku, ya?” tebakku rancau. Kulirik wadah air yang tadi dia lempar ke bawah ranjang selagi Junho menghampiriku dan menempatkan kordinatnya tepat di hadapanku. Mau apa dia sekarang? Menyerangku dengan gayung itu?

 

“Tidak kok,” Junho tersenyum gemas dan jemarinya menari-nari di atas kepalaku, membelai lembut rambutku dan aku hanya bisa terpekur. “Apa aku kelihatan orang seperti itu, Chan?”

 

“Tidak.”

 

“Jadi buat apa aku menguji ketahan-bantingan-mu dan membunuhmu pelan-pelan?”

 

“Meninggalkanku dan Jeonggam, dan kabur bersama laki-laki lain, mungkin.”

 

“Yang benar saja!” biji mata Junho melototiku dengan garang, dan dia bertolak pinggang dengan angkuh sekarang. Aku menebak-nebak indikasi kemarahan tiba-tiba Lee Junho oleh faktor PMS, tapi sudut bibirnya berangur-angsur menyunggingkan senyum yang tak mampu kutelaah apa maknanya. “Hentikan deh pembicaraan absurd kita ini. Aku nggak bakalan membunuhmu dan kabur bersama laki-laki lain. Masih ada Jeonggam, ingat? Kau milikku! Kalian milikku! Dan satu-satunya alasan yang bisa memisahkan kita hanya lah Hunger Games.”

 

“Mmm…”

 

Sebenarnya aku enggan membahas topik berat begini. Apa peduliku kalau Junho benar-benar ingin membunuhku dan pergi bersama laki-laki lain? Apa dengan begitu aku bisa hidup senang dan Junho juga bahagia? Akui saja lah, selama ini aku dan Junho berusaha menutupi kisah cinta terlarang kami. Apa kata orang lain kalau kakak-beradik seperti kami menjalin sebuah hubungan? Dan… soal Hunger Games? Yaampun, Junho mengingatkanku soal kematian yang muncul di depan mata. Tapi apa aku peduli soal acara bunuh-bunuhan yang diselenggarakan setahun sekali itu? Sayangnya tidak. Kalau kau pikir nyaliku makin melempem setelah Junho mengangkat tajuk soal Hunger Games, kau salah besar.

 

“Junhoyah… kau yakin hanya Hunger Games yang bisa memisahkan kita?”

 

“MIAW MEONG!” –panggilan Jeonggam dari ruang makan, aku dan Junho menoleh berbarengan, merasa terkejut.

 

Kulirik Junho satu kali lagi, menanti jawabannya.

 

“Aku yakin.”

 

Junho keburu kabur keluar kamar sebelum aku sempat membalas.

 

“Aku tidak.”

 

Lee Junho itu seorang gadis berpikiran normal kan? Cepat atau lambat usia akan memaksanya untuk menikah dan memiliki kehidupan yang lain. Tanpa aku. Tanpa Jeonggam. Apa yang bisa aku lakukan ketika waktu itu datang? Ketika dia berdiri di Altar dengan lelaki yang bukan aku? Dia mengenakan gaunnya yang cantik, dan aku hanya memberinya selamat dari jauh.

 

Dia bukan milikku. Aku juga bukan miliknya seperti apa yang dia katakan tadi. Dia hanya seorang gadis yang dilimpahkan kewajiban untuk merawat adik laki-lakinya dan seekor kucing hewan peliharaan mereka. Dia seorang teman, kakak, juga seorang ibu. Dia kekasih terlarang yang begitu kucintai. Sampai kapan dia bisa berada di sisiku?

 

Sampai kapan?

 

Sampai… kapan?

 

 

 

 

 

…THE END.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
jangwooyoung0730
#1
Chapter 1: and huwaaaaa,,, CNN yg iniiii.... tapiii,, wae wae waeee?.? kal
o udah jadi sodara kisah cinta pasti rumit. uuuh CNN, kangen banget sama cnn... authornim, apa akhirnya junho ninggalin chan dan nikah? atau mereka tetap merwat jeonggam bersama sama?
afiati #2
Chapter 1: Good ^_^ pasti junho lucu bnget deh...