Chapter 1

My Love For You Insatiable

 

Sudah hampir 3 jam ia habiskan duduk sendiri. Menghadapi beberapa botol bir dan makanan seadanya di sebuah kedai kecil di pinggir jalanan sepi pinggiran kota Seoul. Wajah perempuan itu sudah semakin merah pertanda ia cukup mabuk dan bisa dipastikan ia akan kesulitan pulang kerumah. Matanya juga sembap, kering oleh air mata yang seharusnya tak ia tumpahkan, tapi toh mengalir juga. Saat itu sudah hampir pukul satu pagi. Tapi kedai itu masih punya beberapa pelanggan termasuk dirinya.

 

 

Kedai itu melantunkan sebuah lagu agak lama, Rain – Love Story. “Sama sekali tak cocok”, ia bergumam sendiri. Tapi ia menggumam mengikuti lirik lagu itu sambil sedikit memberikan ekspresi dramatis tiap menirukan gaya Rain bernyanyi. Sudah biasa saat ia mabuk, ia akan berlaku sedikit berlebihan dan tak punya malu. Ia tak malu, ia duduk di pojok dan sendiri, tak ada orang yang melihatnya.

 

 

Perempuan itu tak sadar bahwa pemilik kedai memperhatikan sambil tersenyum sekaligus khawatir ia akan berbuat sesuatu yang aneh. Seorang gadis cantik, sendirian dan mabuk. Sepertinya pemilik kedai tahu apa yang menimpa gadis itu. “masalah cinta tak seharusnya dimiliki gadis secantik itu, kurang pas”, ia bergumam sambil kembali menekuni tumpukan piring dan mangkuk didepannya.

 

 

Lagu Love Story selesai diikuti dengan sebuah melodi apik dari Beyonce – Sweet Dreams, kali ini bukan versi aslinya tapi versi ballad yang lebih mendayu-dayu yang cocok untuk didengarkan jam satu pagi. “Ah, tetap nggak cocok”, sekali lagi gadis itu protes walau ia tak bisa berbuat apa-apa. Dan ia ikut bernyanyi kecil, kali ini dengan gaya Beyonce yang semangat dan berartikulasi jelas. Suaranya tak jelek , waktu mabuk sekalipun.

 

 

Ia selalu mengagumi penyanyi Afro-America ini. Suatu waktu ia pernah bermimpi punya kulit seindah Beyonce dan suara seemas dia. Dan ia mulai dikenal banyak orang, banyak sekali penggemar. Selain bersuara emas, ia tak suka sisa mimpinya. Ia tak suka jadi terkenal. Baginya, famous is a pain in the . Kalau ia tahu akan seperti ini, jelas ia tak mau berurusan dengan kata’terkenal’.

 

 

Ia menghabiskan botol bir untuk kesekian kalinya, perutnya tak pernah merasa penuh. Saat itu ada tiga orang gadis memasuki kedai dan mulai memesan makanan. Sepertinya karyawan sebuah perusahaan, melihat dari seragam yang mereka kenakan. Kasihan sekali, harus bekerja sampai selarut ini, batinnya.

 

 

Sweet Dreams selesai digantikan lagi lagu lain. Han yeojaga meoreojyeo ga
Namjaneunnorae bureujiman , Big Bang-Love Song. Saat ia akan bergumam cocok tidaknya lagu ini, tiba-tiba tiga gadis tadi berkata dengan semangat, “BigBang, Big Bang. ahhhh, aku suka banget.”

 

 

Temannya bilang, “aku kemarin dapat kiriman merch Love&Hope Tour, aku paling suka handuk dan ring nya.” dan teman yang lain juga mulai berceloteh tentang kecintaan mereka terhadap BigBang. Aku suka TOP kyaaa, aku suka GD kyaa, aku suka si maknae cute banget kyaaa, aku suka waktu mereka ini, itu hahahhaha.

 

 

Jelena mendengar keributan itu selama hampir 15 menit kedepan. Ia merasa terganggu dengan nikmatnya minum bir sendirian. Ia risih mendengar gadis-gadis itu berteriak tanpa henti membicarakan Bigbang. Ia tak bisa lagi ikut bernyanyi dan menirukan gayanya. Mungkin saatnya aku pulang, batinnya.

 

 

Ia berdiri sedikit terhuyung meraih tasnya menuju kasir untuk membayar botol-botol bir itu.  Walau pandangannya agak kabur, ia yakin masih bisa sampai dirumah dengan selamat. Saat ia beranjak pergi dari kedai, terdengar alunan lagu Bruno Mars – Grenade. Throw my hand on a blade for ya, i’ll jump in front of a train for ya.

 

 

“Nah, ini baru cocok.” ia berlalu sambil sedikit menyeimbangkan tubuhnya agar tak terlihat terlalu mabuk. “Seandainya aku bisa melempar granat padanya. Pada si leader sialan itu.” ia bergumam sepanjang jalan pulang kerumah sambil menendang kaleng yang ia temukan di jalan.

 

 

Teleponnya bergetar untuk kesekian kalinya, dan ia putuskan untuk menjawab saja telepon itu. Sebelum ia angkat, ia pandangi layar teleponnya, wajah seseorang yang sedang tersenyum balik memandanginya.

 

Tapi aku tak bisa, lebih baik aku tangkap untukku sendiri granat itu daripada melihat senyum hilang dari wajahnya, ia membatin sebelum ia tekan tombol berwarna hijau di teleponnya.

 

“Yes, Jiyong-ah?”

 

_______________

end of chapter one

 

 

tolong yang baca dikomen plis, semua komentar yang konstruktif akan diterima dengan tangan terbuka.

dan mampir juga ke blogku, vinterestingpeople.wordpress.com

jeongmal gomapshimnida

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
MeganDC #1
Chapter 1: Hello.
Kaget juga baca cerita Indo di sini...hehe
Tapi aku gak punya masalah sama cerita ini sih, bisa bahasa Indonesia juga, asli pula :P
Nah ceritanya asik ya, kalo dilanjutin...hehe
Oke, mungkin author bisa mulai buat cerita pake bahasa inggris, disini mayoritas pake bahassa inggris dan meski ceritanya bagus mereka bakal males ngetranslateinnya :)
Oke good joob :)
SPalBB #2
no, i dont. <br />
but thanks and still, i plan to translate it. in fact i'm in the middle of it. ^-^<br />
alexpop
#3
You do know this sounds awkward when read right?<br />
Aish! Pake ing lgy...<br />
ahhh...<br />
Pake bhasa Indo krg populer dsini soalny kbnyakan pake ing smua...<br />
Kalo pke Indo jrg ad yg baca soalny mreka either arus translate ato kgk ngerti sama skali...