01. FINAL.

60 SECONDS

 

 

“Kondisi fisiknya baik –baik saja. Tapi..”

 

Di ruang dokter itulah, seorang lelaki berwajah tampan, dengan dagu lancip, tulang pipi yang terlihat sangat sempurna, bola mata yang berwarna coklat muda  dan segala ketampanan yang dimilikinya berada. Ia harus menerima kenyataan bahwa tunangannya kehilangan ingatan setelah mengalami kecelakaan yang cukup parah.

 

“Tidak.. Tidak. Tidak mungkin.”

 

Myungsoo tetap menolak semua kebenaran ini dalam fikirannya. Ia tidak bisa terima. Benar –benar tidak bisa terima, apalagi ini seminggu sebelum pernikahannya berlangsung. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan ruang dokter dan menyeret kakinya yang terasa berat menuju kamar tunangannya. Ia mengintip lewat kaca kecil yang ada di pintu kamar rumah sakit. Tampak Sulli tertidur pulas –atau setidaknya seperti itu, pikir Myungsoo. Tak ingin menyiksa dirinya lebih lama dengan terus melihat tubuh tunangannya yang terkulai lemas, ia memutuskan pulang dan menyegarkan pikiran.

 

 

***

 

“Ia terjebak pada ingatannya 10 tahun yang lalu. Dan hanya keajaiban yang bisa membuat ingatannya kembali.”

 

Kalimat tersebut terus berkutat di pikiran Myungsoo. Bagaimana pun usahanya, ia harus mendapatkan lagi sulli di sampingnya. Ia tak mau menyerah begitu saja pada takdir. Begitu jalan pikiran Myungsoo –namun kenyataan seakan berbalik mengkhianati Myungsoo saat ia mendengar tawa dan perbincangan Sulli dengan seseorang siang ini..

 

“Kau lucu sekali, oppa.”

 

“Nah.. Bukan. Kau saja yang mempunyai selera humor yang rendah, Ssul.”

 

“Lelaki macam apa kau mengatai tunangannya sendiri mempunyai selera humor yang rendah, hah?”

 

Bukan.. Ini bukan sebuah mimpi konyol. Ini kenyataan. Dengan memberanikan diri, Myungsoo melangkahkan kaki ke dalam kamar Sulli. Suasana seakan membeku. Tatapan mata Sulli dan lelaki itu tertuju pada Myungsoo. Lelaki itu tampak mengeluarkan seringaian liciknya saat melihat wajah kalut Myungsoo.

 

“Untukmu..”

 

Myungsoo meletakkan bouquet bunga yang disiapkannya pagi tadi di meja kamar Sulli. Sulli tersenyum hangat –senyuman hangat yang kini berbalik seperti boomerang yang menyakiti hati Myungsoo.

 

“Terima kasih bunganya.”

 

Lelaki yang duduk di samping kasur Sulli itu tampak tak nyaman dengan suasana ini. Ia lantas berdeham,

 

“Sudah waktunya Sulli untuk istirahat, jadi kalau tidak keberatan, bisakah anda meninggalkan ruangan ini? Ia butuh istirahat agar ia dalam kondisi baik saat pernikahan kami Sabtu depan.”

 

Pernikahan? Sabtu depan? Lelaki ini benar –benar keteraluan. Ia mencuci bersih otak Sulli. Myungsoo bukan orang yang kasar, namun saat ini, ia sudah sangat kehabisan kesabarannya. Semuanya berjalan diluar kendalinya. Ia melangkah ke arah lelaki itu dan melayangkan pukulan mentah tepat di rahang lelaki itu.

 

“KIM JONGIN! KAU SIALAN! APA YANG KAU LAKUKAN PADA SULLI?”

 

Lelaki bernama Jongin itu hanya tersenyum licik tanpa membalas pukulan bertubi –tubi yang dilancarkan Myungsoo padanya.

 

“Yah kau berhenti! Kau tak boleh sembarangan memukul orang dasar kau tak tahu sopan santun!”

 

Sulli berdiri dari tempat tidurnya dan menghampiri Jongin yang terkulai lemas, ia menghapus darah yang ada di sudut bibir Jongin.

 

“T-tapi ak-aku..”

           

            “Aku minta kau keluar. KELUAR SEKARANG!”

 

            Pertama kali dalam seumur hidup ia mendengar Suli berteriak padanya. Sulli tak pernah melakukan hal seperti itu walau pun mereka sedang bertengkar. Ia kehabisan kata-kata dan langsung pergi meninggalkan ruangan Sulli.

 

***

 

            Dua hari berikutnya, Myungsoo masih tidak bisa menerima keadaan yang dialaminya. Ia selalu pulang dengan keadaan mabuk.

 

            “Kau pengecut.”

 

            Dalam kondisi setengah mabuk, Myungsoo masih bisa mengetahui pemilik suara itu.

           

            “Apa urusanmu denganku, hyung..”

 

            Seseorang yang ia panggil hyung hanya mendengus mengejek, namun dalam hati, ia prihatin dengan apa yang dialami dongsaeng-nya ini.

 

            “Dulu, aku pikir Jongin lah pecundang terbesar dalam hidupku. Namun sekarang, tidakkah kau berpikir kalau kau lah pecundang terbesar?”

 

            “Sebaiknya kau tutup saja mulutmu hy—“

 

            “Kau menyerah begitu saja pada takdir? Kau tak ingat waktu dimana kau berusaha sekuat tenaga mendapatkan Sulli? Bagaimana susahnya kau meyakinkan Sulli bahwa kau tak akan melakukan hal yang sama seperti apa yang telah Jongin lakukan padanya –berkencan dengan wanita lain dibelakangnya? Yang kau lakukan sekarang hanyalah mabuk-mabukan dan meratapi nasibmu. Tidakkah kau menyedihkan?”

 

            Dengan itu, Sunggyu meninggalkan ruangan Myungsoo.

 

***

 

            Sulli sangat khawatir, ia merasa tak enak dengan apa yang teah ia lakukan beberapa hari yang lalu pada orang tak dikenal itu. Ia ingin mencari orang itu dan meminta maaf karena telah berteriak padanya.

 

            Ia sudah boleh pulang dan kini ia sedang berjalan sendirian di taman yang berjarak beberapa komplek dari rumahnya. Ia berharap akan bertemu dengan lelaki itu.

 

            Dan nampaknya dewi fortuna sedang berada di pihaknya. Ia melihat lelaki itu duduk di sebuah kursi taman sambil melamun.

 

            “Hei.. Kau lelaki yang datang menjengukku itu kan?”

 

            Myungsoo mengenali suara itu dan ia mengengok ke arah suara tersebut. Ia lupa dengan kenyataan yang dihadapinya. Ia lalu berdiri dan meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Sulli,

 

            “Kau sudah sehat? Kau sudah ingat? Sulli, jawab aku.”

 

            Tanpa diduga, Sulli melepaskan tangan Myungsoo dari wajahnya. Myungsoo akhirnya kembali ke kenyataan yang dihadapinya bahwa Sulli masih tidak mengingatnya.

 

            “Maaf tapi aku tidak tahu siapa anda. Jongin oppa hanya memberitahuku bahwa aku tunangannya, dan seminggu lagi, kami akan menikah. Oh, apa kau teman Joingin oppa? Atau kau mantan kekasihku?”

 

            Kepala Myungsoo seakan berputar. Ia tak tahu apa yang dihadapinya akan serumit ini. Ia hanya bisa tersenyum,

 

            “Mau ku traktir minum? Anggap saja permintaan maafku karena telah berbuat kasar di hadapanku tempo hari yang lalu.”

 

            Sulli mengangguk dan mereka pun berjalan menuju café terdekat. Tanpa menunggu pesanan dari Sulli, Myungsoo segera memesan satu cappuccino dengan satu cangkir Caramel Macchiato, dan mengajaknya duduk di susut café tersebut.

 

            “Bagaimana kau bisa tahu minuman kesukaanku tanpa bertanya dulu padaku?”

 

            Myungsoo tersenyum simpul.

 

            “Aku bahkan tau lebih banyak mengenaimu jika dibandingkan dengan seberapa jauh Jongin mengenalmu.”

 

            Sulli hanya mengeryitkan dahi dan sesaat setelah itu, pesanan mereka datang. Mereka menghabiskan waktu dalam café tersebut dalam sunyi. Mereka tak bicara sama sekali sampai mereka meninggalkan café tersebut.

 

            “Terima kasih untuk traktirannya.”

 

            Kata Sulli sembari membalikkan badan dan beranjak memasuki rumah, namun Myungsoo menarik lengan Sulli dan mengecup keningnya. Sulli tak menolak –ia merasa Myungsoo bukanlah orang asing. Ciuman itu –walau hanya dikening, terasa tidak asing. Namun buru-buru ia menariknya dan bergegas pergi.

 

***

 

            Walau matanya terasa malas melihat ke arah kalender, ia tetap melihatnya juga. Sekarang hari Sabtu. Ya, Sulli akan menikah dengan Jongin –yang harusnya degannya. Ia sudah siap dengan tuxedo yang dikenakannya. Mungkin ini yang dinamakan pahitnya kenyataan. Ia akan datang ke acara pernikahan Sulli walau ini tidak ada gunanya. Ia tahu hanya menyakiti dirinya sendiri. Namun ia selalu ingin melihat Sulli mengenakan gaun, itu menjadi satu-satunya alasan mengapa ia ingin datang siang ini ke gereja tempat Sulli akan mengucap janji sehidup-sematinya.

 

            Rupanya acara sudah mulai beberapa saat yang lalu. Alunan musik gereja dan suasana sakral bisa ia rasakan saat berdiri di depan halaman gereja. Setetes air mata mengalir di pipi Myungsoo, namun segera ia hapus. Ia tak ingin menangis di tempat umum.

 

            Ia pun memasuki gereja tepat saat Sulli berdiri di tengah altar bersama Jongin. Ia hanya berdiri di sisi pintu masuk gereja sambil mengagumi betapa cantiknya Sulli saat mengenakan gaun pengantin. Samar-samar ia bisa mendengar Jongin mengucapkan janji pernikahannya.

 

            “Saya, Kim Jongin, menerimamu, Choi Sulli, bersedia dan berjanji akan setia dalam kebahagiaan dan kemalangan, dalam susah dan dalam bahagia.”

 

Pengelihatannya kabur, air mata yang ditahannya sudah tak bisa lagi di tahan. Ia menangis. Ia melepas cincin pertunangannya dengan Sulli. Tanpa sengaja, cincin itu terjatuh sehingga menimbulkan suara yang cukup nyaring –cukup nyaring untuk membuat Sulli menoleh ke arahnya.

 

Sulli menoleh ke arah lelaki itu dan mengabaikan pendeta dan Jongin yang menunggunya untuk mengucapkan hal yang sama seperti Jongin. Sulli menatapnya lekat, ia tampak taka sing dengan penampilan lelaki itu, dan seakan terbawa ke masa lalu, orang –orang disekitarnya seakan berhenti dan ia ingat siapa lelaki itu. Lelaki yang menggunakan tuxedo hitam.

 

2.59 pm; October, 13 2012

 

“Ya, kau akan berdiri di situ dan berkata ‘ah, tentu aku, Kim Myungsoo bersedia hidup bersamamu, Choi Sulli. Dalam keadaan susah maupun senang.’ Kau akan mengenakan tuxedo hitam ini.”

 

Myungsoo hanya tersenyum sambil mendengarkan ocehan tunangannya. Mereka bediri di depan altar gereja, seakan-akan mereka akan menikah sekarang. Bahkan Myungsoo telah mengenakan tuxedo-nya (Sulli memaksanya untuk seolah-olah menjadi pengantin sungguhan saat ini). Padahal, pernikahan baru akan dilaksanakan minggu depan. Mereka hanya ingin melihat isi dalam gereja tempat mereka akan mengucap janji sehidup semati tersebut.

 

“Tentu, dan kau akan menjadi pengantin wanita tercantik dan paling beruntung karena menikahi seorang lelaki tampan sepertiku.”

 

Sulli hanya tertawa sembari memukul kecil lengan Myungsoo. Tak lama kemudian Sulli melihat jam tangannya.

 

“Aku harus fitting gaun sekarang. Aku akan menemuimu sabtu depan disini. Tepat disini.”

 

Ia mengecup pipi Myungsoo sekilas lalu meninggalkan Myungsoo berdiri di depan altar –melihat punggung Sulli menghilang keluar dari gereja. Myungsoo pun meninggalkan gereja tersebut. Sesampainya di rumah, ia seakan dihempaskan kembali ke bumi setelah tadi Sulli seperti membawanya ke angkasa. Ia mendapat kabar bahwa Sulli tertabrak mobil dalam perjalanannya menuju tempat fitting gaun..

 

“Deng.. Dong.”

 

3 pm; 20 October, 2012

Suara jam gereja membangunkan Sulli dari lamunannya. Ia tahu sekarang. Bukan Jongin orangnya, tapi Myungsoo. Ia melihat sekilas ke arah Jongin yang kebingungan dan lari dari altar menuju tempat dimana Myungsoo berdiri, ia meraih tangan Myungsoo dan menyeretnya keluar gereja. Myungsoo tampak kebingungan dengan situasi ini.

 

“Sulli, apa yang kamu lakukan?”

 

“Bodoh, aku yang harusnya bertanya, apa yang kamu lakukan? Tidakkah seharusnya kamu yang berdiri disana?”

 

“60 detik.. 60 detik, waktu yang aku butuhkan untuk menyelesaikan semua cerita ini.”

 

Ujar Sulli sambil menangis terisak. Myungsoo pun mulai paham. Sulli telah mendapatkan kembali ingatannya.

 

“Haruskah aku mengatakannya sekarang?”

 

Sulli hanya mengangguk, lalu Myungsoo menggandeng tangannya dan memasuki gereja –melangkah ke altar dan mengabaikan Jongin yang berdiri di samping mereka.

 

Disanalah mereka, mengucap janji sehidup semati..

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
samsomnear
#1
Authornim pls translate in English, I want to read it badly.
MyungLiMinSul
#2
hello authornim :) can you translate it in english please. i want to read it but i can't understand. please please *puppy eyes* ke ke ke ke. MyungLi <3
FlawlessGoddess #3
Chapter 1: Bagus ih, ga kuat :-( Bikin myungli lagi coba:3
sujuinfinitelove
#4
Can I translate this and post this up?
Alheechy #5
Can you translate in English? ;^; please(?) I really want to read your fic~