16 Years Secret

Unbreakable String

Jung Yunho sedang menyetir mobilnya dengan mata terkantuk-kantuk ketika di depannya ada seseorang yang berdiri di tengah jalan raya, membelakangi arah mobilnya. Kontan, kesadarannya pulih sepenuhnya dan dengan tergesa ia membunyikan klakson. Pemuda itu menoleh ke arahnya, mengangkat tangan kanannya untuk menghindari sorot lampu mobil yang menyilaukan matanya. Yunho tidak sempat menghindarinya. Ia menginjak rem dan dengan cepat membanting kemudi mobil black Audi-nya ke arah kanan.

Ia menundukkan kepalanya, telapak tangannya mencengkeram erat pada kemudi mobil, terengah, panik sekaligus kalut. Bagaimana tidak, saat itu sudah lewat tengah malam dan daerah yang tengah ia lewati sangat sepi dengan himpunan pohon pinus yang mulai menggugurkan daunnya di sisi kanan dan kiri jalan. Ia tadi sempat merasakan tubrukan antara sisi kiri badan mobilnya dengan orang tadi, dan itulah ketakutan terbesar yang saat ini menggerogotinya.

Tepukan ringan yang nyaris seperti sentuhan tak berdaya dari tangan gemetar di sisi kanannya diikuti panggilan dari dongsaengnya yang terpaut umur 6 tahun menyadarkannya. Jung Changmin, pemuda berusia 18 tahun yang duduk di bangku penumpang disampingnya tidak kalah takut.

“Hyung,” lirihnya dengan nada bergetar. Wajahnya pucat, dan tangan kiri yang awalnya ia gunakan untuk sekedar membantu mengalihkan perhatian Yunho kepadanya tanpa sadar mencengkeram pundak hyung yang terpaut umur 6 tahun darinya. Yunho akhirnya menoleh, menatap Changmin. Ia bungkam namun sorot matanya menunjukkan suatu kecemasan.“Hyung, ki- kita menabrak-“

Kalimat Changmin menggantung, dan seketika terputus oleh gerakan Yunho yang membuka pintu mobil dengan mendadak. Ia menelan ludah, bergegas menyusul hyung-nya keluar mobil. Hawa dingin awal musim gugur segera menyergapnya dan secara refleks ia melingkarkan kedua tangannya di depan dada setelah menutup pintu mobil, telapak tangan kanannya menggosok-gosok lengan kiri mencoba mengusir rasa dingin menusuk itu. Jaket denim berwarna krem yang saat itu dipakainya mendadak menjadi tipis, seolah-olah ia hanya memakai selembar kaos tipis dibadannya dan syal cokelat tua yang melingkari leher jenjangnya tidak membantu sama sekali. Namun ia tak peduli dengan keadaannya saat ini, dan prioritas utama yang ada di otaknya adalah Yunho hyung-nya.

Ia sedikit berlari mengitari mobil, menuju sisi yang lain. “Hyung, apa yang terjadi?” tanyanya namun kemudian bungkam seketika saat melihat Yunho sedang menepuk-nepuk pipi seorang pemuda yang tergeletak di jalan. Sangat jelas di mata Changmin bahwa pemuda itu tidak sadarkan diri, dan hanya satu penyebab yang melintas di pikirannya bahwa pemuda itu kemungkinan besar tertabrak oleh mobil mereka.

“Changmin, bantu aku!” Yunho berkata, sedikit berteriak tanpa menoleh sedikit pun ke arah Changmin yang masih terpaku tanpa tahu apa yang seharusnya ia lakukan dalam keadaan seperti itu.

Pemuda itu memakai kaos lengan panjang berwarna abu-abu dan bawahan berwarna serupa, sepatu kets putih, jaket denim hitam, tanpa memakai kaos tangan, hoddie, maupun pelindung telinga.‘Dia pasti sudah gila memakai pakaian tipis di cuaca sedingin ini,’ pikir Changmin.

“Ya… ireona, ya!” Yunho masih tetap menepuk-nepuk pipi pemuda itu, sambil berusaha menyadarkannya. “Aish,” ia mengumpat kesal setelah beberapa saat usahanya tak membuahkan hasil. Ia kemudian melepas mantel hitamnya dan menyelimutkannya pada pemuda tersebut. “Changmin, bukakan pintu!” perintahnya sambil berusaha menyelipkan tangan kiri di belakang lututnya dan tangan kanan di belakang leher pemuda tersebut.

Changmin mengangguk, kemudian melaksanakan perintah Yunho tanpa protes dan membantunya memasukkan pemuda itu di kursi belakang mobil, memposisikannya senyaman mungkin. Ia tahu persis apa yang akan Yunho lakukan untuk menghadapi situasi ini. Sebenarnya ia kurang setuju, tetapi saat itu bukanlah saat yang tepat untuk berdebat dan itu akan ia lakukan nanti karena keselamatan pemuda tak sadarkan diri itu lebih penting dari segalanya, menurutnya.

“Aku akan di belakang, hyung, kupikir mungkin aku bisa sedikit membantu menyadarkannya,” sahutnya seraya menuju sisi samping kanan mobil, membuka pintunya dan masuk ke dalamnya. Ia kemudian meletakkan kepala pemuda tersebut di pangkuannya sambil membetulkan mantel yang menyelimutinya.

Yunho kembali ke kursi kemudi, menstater mobilnya dan meluncur ke jalanan hendak kembali menuju Seoul. “Kita ke rumah sakit, Min, kita akan merawatnya. Setidaknya inilah yang harus kita lakukan saat ini,” ujarnya beberapa saat kemudian, berusaha mengutarakan pendapatnya.

“Ne, hyung.”

.

.

Yunho mengernyit, menjauhkan smartphone dari telinga kanannya. Sungguh hari yang melelahkan baginya. Menjemput Changmin dari bandara Incheon, mengantarkan anak itu berputar-putar kota Incheon dengan alasan bahwa ia merindukan suasana Korea setelah 1 tahun berada di Los Angeles mengikuti program pertukaran pelajar, menabrak seorang pemuda di tengah malam, menunggunya di rumah sakit dan sekarang ia terkena lampiasan amarah dari hyung-nya, Jung Jaejoong, hyung tertua di antara empat Jung bersaudara.

Changmin tertidur di sofa di rawat inap VIP. Remaja itu tampak sangat letih setelah perjalanan pesawat selama 16 jam dari bandara Los Angeles ke Incheon. Ia tampak bergairah ketika mengetahui bahwa 1 tahun program pertukaran pelajar hampir selesai dan ia bersikeras untuk melanjutkan studi universitas di Korea dengan alasan tidak mau kehilangan prinsip-prinsip budaya sebagai seorang warga Korea jika terlalu lama tinggal di luar negeri.

“Jaejoong hyung, dengarkan dulu penjelasanku,” tutur Yunho halus seraya tangan kirinya memijit keningnya yang berkedut. Ia pusing dan lelah.

“Dengar, Yun- kau ini sudah mencelakai orang lain,” desis Jaejoong di seberang sana. “-dan parahnya lagi tidak ada satu pun identitas mengenai dirinya, satu lagi… dia tak sadarkan diri sampai sekarang dan diperkirakan dia korban perampokan. Oh, Jung Yunho!” teriaknya di akhir kalimat dengan nada frustasi. “Apa yang telah kau lakukan, hah?! Tidak bisakah sekali saja kau tidak membuat onar?! Menabrak remaja belasan tahun yang aku yakin dia melarikan diri dari rumahnya.”

Yunho menghela napas, wajahnya mendongak ke atas menatap langit-langit putih rumah sakit. Ia mengakui bahwa ia bersalah. Ia memang pembuat onar, tetapi dulu, saat ia masih di bangku SMA, dan itu sudah lama sekali berlalu. Lama sekali.

Ia benci jika Jaejoong mulai mengungkit-ungkit masa lalunya yang kelam. Berandal, geng, perkelahian. Itu adalah dirinya yang dulu dan ia ingin melupakannya, menata kembali kehidupannya menjadi lebih baik demi masa depannya dan terutama demi ketiga bersaudara Jung yang lain, keluarga yang ia miliki saat ini ketika orang tua mereka terlalu sibuk keliling Eropa untuk mengembangkan bisnis keluarga mereka.

“Aku tahu, hyung. Maafkan aku,” lirih Yunho pasrah dan ia bisa mendengar keluhan napas Jaejoong di seberang sana yang mungkin mencoba meredam emosi. Yunho tahu betul, Jaejoong seperti sosok ibu di keluarganya ketika kedua orang tua mereka di luar negeri, dan ia bagai sosok ayah, namun sehalus dan selembut apapun sifat Jaejoong kepada ketiga dongsaengnya, jika sudah terbentur dengan amarah dan mengusik keteraturan prinsip-prinsip yang dibangunnya maka sifat garangnya tak akan tertandingi oleh siapapun.

“Oke, Yun- aku akan ke sana,” sahut Jaejoong. “Ah yah, bagaimana dengan Changmin? Dia bersamamu, kan?”

Betapa Yunho tidak habis dibuat heran oleh sifat hyung nya itu. Beberapa menit lalu ia terdengar sangat garang hingga telinganya berdenging sakit, namun detik berikutnya ia terdengar lembut saat menanyakan keadaan maknae mereka.

“Changmin sedang tidur. Dia lelah, fisik dan mental,” jawabnya sambil melirik ke arah sang maknae yang masih pulas di sofa putih.

Yunho meletakkan smartphone-nya setelah mengakhiri percakapan mereka. Ia sedikit menyetujui spekulasi Jaejoong bahwa kemungkinan pemuda itu lari dari rumah dan secara kebetulan bernasib sial mengalami perampokan dan dilukai oleh perampoknya atau mungkin pemuda itu sebelumnya terlibat perkelahian dengan geng berandal yang ada di dekat daerah mereka menemukannya. Ah, sungguh Yunho sangat tidak ingin memikirkan hal itu. Terlalu rumit namun sesungguhnya ia sangat khawatir tentang kemungkinan opsi kedua.

Ia mengacak-acak rambutnya frustasi, seolah-olah hal itu bisa menghilangkan pikiran kalut dari otaknya, membersihkannya dari hal-hal negatif yang berseliweran hilir mudik bagai kunang-kunang di malam hari musim penghujan.

Ia bangkit dari duduknya dan kemudian mendekati ranjang sang pemuda. Ia mengamati sosok tersebut. Berkulit putih khas orang Korea dengan mata sipit, wajahnya tampak tirus dengan rambut yang berwarna kecoklatan. Pemuda itu cukup tinggi, Yunho memperkirakan tingginya sekitar 178 cm. Pergelangan tangan kirinya terdapat jarum infuse yang menancap dan terhubung dengan selang yang mengalirkan cairan obat untuk membantunya pulih.

Pandangan mata Yunho jatuh pada suatu benda yang berada di dada pemuda tersebut. Ia mengulurkan jemarinya, berusaha meraih benda tersebut untuk memperjelas pandangannya. Sebuah kalung platinum putih berdesain minimalis dengan liontin permata zamrud berbentuk seperti tetesan air sebesar kelereng yang di dalamnya terdapat motif huruf  K.J berwarna emas.

“K.J., hmm- motif itu, seperti pernah kulihat di suatu tempat,” lirih Yunho dengan tatapan menerawang. Ia memejamkan matanya, mencoba mempertajam kembali ingatannya, memaksakan sebuah memori lama untuk terkorek namun seberapa keras pun ia berusaha tetap saja ia tak mampu mendapatkan petunjuk apapun. Ia mendesis kesal, biasanya ia memiliki ingatan fotografi yang baik tapi entah mengapa untuk kasus ini sedikitpun ia tak bisa. Ia membuka matanya saat suara pintu kamar rawat inap terbuka, menampakkan hyungnya yang berwajah khawatir.

“Oh~ Yun,” kata Jaejoong dengan nada penuh kasih sayang.“Gwenchana-yo?” Jaejoong menyambut Yunho, adik tertuanya dengan sebuah pelukan hangat. Sifat kerasnya hilang seketika terutama setelah ia melihat keadaan sang maknae yang saat itu baru saja terbangun, mengucek-ucek mata merahnya, terlihat masih lelah. “Changmin-ah, hyung merindukanmu,” Jaejoong menghampiri Jung termuda tersebut, namun Changmin sudah menubruknya dengan keras menyebabkan Jaejoong agak mundur ke belakang. ‘Tubuh tingginya memang kadang merepotkan,’ pikir Jaejoong sambil mengulaskan senyum tipis.

Changmin memeluk Jaejoong erat, sangat erat hingga hampir membuatnya sesak nafas. Baby maknae-nya memang tak pernah berubah, selalu bersifat manja kepadanya tak peduli bahwa dia sudah dewasa sekarang. Jaejoong menepuk-nepuk punggung Changmin, berusaha meredakan isakan rasa rindu Changmin kepadanya yang saat itu telah melesakkan wajahnya di leher Jaejoong dan mungkin rasa syok atas kejadian semalam. “Sssh, Min, hyung di sini. Semuanya akan baik-baik saja,” hiburnya.

“Hyung, lapar…,” lirih Changmin hingga Jaejoong hampir tak mendengarnya, namun Yunho yang masih berada di samping ranjang pemuda yang ditemukannya tadi malam menyaksikan drama mengharu-biru reuni kakak tertua dan sang maknae itu dengan senyum ganjil.

“Hmm?”

“Hyuuuuung~”

“Ya, baby?” Jaejoong masih menepuk-nepuk punggung Changmin dengan penuh kasih sayang, mencoba menangkap maksud adik kecilnya.

Changmin mendongak, menatap wajah hyungnya dengan pandangan berkaca-kaca seperti anak anjing yang kehilangan induknya di bawah guyuran hujan deras. “Hyung, aku lapar. Aku kangen masakanmu, hyung,” sahutnya.

“Ck~” Jaejoong berdecak, baby maknae-nya tetaplah seperti dulu, memiliki nafsu makan yang besar apalagi disaat ia menginjak usia 18 tahun. Selama 1 tahun berada di Los Angeles, pada beberapa minggu pertama dia di sana, Changmin setiap hari meneleponnya. Merengek meminta Jaejoong untuk tinggal bersamanya, menemaninya dan hanya dengan satu alasan bahwa ia tidak cocok sama sekali dengan menu makanan ala barat. Berat badannya drop, mengalami radang lambung akut di bulan ketiga yang kemudian memaksa Jaejoong untuk terbang ke Amerika dengan meninggalkan setumpuk proyek kerja untuk komposisi soundtrack drama musikal. Toh ia bisa mengerjakannya sambil menjaga Changmin dan hasilnya bisa ia kirimkan via email.

Tentu saja walaupun demikian, Jaejoong –pemuda berusia 26 tahun itu- tak bisa berlama-lama di sana karena managernya berulang kali memperingatkan bahwa ia hanya memberikan kelonggaran cuti maksimal selama 1 minggu, dan bagi orang sesibuk Jaejoong dengan deadline proyek musikalnya, 1 minggu merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk merawat Changmin sekaligus memulihkan kondisinya. Walaupun ia memiliki kedua adiknya yang lain, ia tidak mungkin menyuruh mereka untuk terbang ke Amerika untuk merawat Changmin. Ia tidak bisa mempercayai kemampuan mereka berdua.

Jung Yunho, adik tertuanya kini berusia 24 tahun bekerja sebagai seorang programmer website di perusahaan terkemuka dan menjadi seorang guru klub bela diri di sebuah SMU elite di Seoul. Sebagai seorang programmer, ia tidak diharuskan untuk selalu datang ke perusahaannya karena proyek-proyek tersebut bisa ia kerjakan di rumah mereka dan ia hanya ke perusahaan bila terdapat meeting-meeting untuk pembuatan produk baru. Sedangkan adik keduanya, Jung Yoochun, berusia 21 tahun, pemuda casanova yang masih kuliah di jurusan bisnis namun juga terobsesi dengan berbagai karya puisi para penulis di era Joseon yang menurutnya sangat sempurna dan indah. Terkadang ia menggunakan beberapa di antaranya untuk merayu para gadis di kampusnya. Baginya sebuah puisi indah sudah cukup untuk menaklukkan seorang gadis dalam waktu 30 detik, tergantung bagaimana mengucapkannya dengan penuh makna.

Jaejoong mengalihkan pandangannya ke arah Yunho, matanya memicing, menatap dongsaengnya tajam. “Kau tidak memberinya makan, Yun?”

Yunho sadar, ia telah membuat Jaejoong marah lagi karena menelantarkan sang adik hingga kelaparan. “Ah, mianhae. Aku terlalu sibuk mengurusi pemuda ini.”

“Jung Yunho…”

Ia mengangkat tangan kanannya ke arah belakang leher, mengusapnya karena mendadak merasakan hawa dingin yang familiar. “da-dan Changminie tertidur tadi,” sahutnya tergagap. “Tapi hyung, demi apapun aku tidak bermaksud untuk menelantarkan Changmin. Oke- oke aku keluar mencari makanan,” Yunho bermaksud bergegas meninggalkan ruangan ketika Jaejoong menggelengkan kepalanya tanda Yunho untuk tidak perlu melakukannya.

“Tak usah, aku sudah membuatkan bekal tadi dari rumah,” katanya sambil mengambil tas tangan yang berisi berbagai bekal masakannya. “Maafkan aku karena terlalu emosi.”

Yunho menghela nafas lega dan tiba-tiba saja secara ajaib hawa dingin yang tadi menyergap tengkuknya menghilang. Changmin menerima bekal tersebut dengan raut gembira, kemudian kembali ke sofa untuk memulai ritualnya.

Tepat saat Jaejoong berjalan mendekati bed, ia melihat sedikit gerakan tangan pemuda tersebut.

“Ayo anak muda, kau bisa! Buka matamu!” bimbing Jaejoong penuh semangat dan harapan.

Setelah perjuangan beberapa menit, kedua kelopak mata pemuda tersebut akhirnya terbuka. Ia merasakan pandangannya buram untuk beberapa saat dan setelah fokus sepenuhnya, hal pertama yang ia lihat adalah sesosok wajah tampan Jaejoong yang hanya berjarak sekitar 40 cm darinya.

Pemuda itu mengerang, merasakan rasa pening yang tiba-tiba menyerang bagian belakang kepalanya serta nyeri pada pundaknya yang terluka.

Yunho dengan cepat menekan bel yang ada di sisi kiri atas bed untuk memanggil dokter, perawat atau siapapun staf paramedis di rumah sakit tersebut untuk membantu pemuda itu.

Seorang dokter bersama beberapa perawat bergegas masuk, memeriksa keadaan pemuda tersebut.

“Kau mengingat sesuatu, Nak?” tanya dokter Lee dengan  nada lembut.

Pemuda itu mengernyit, mencoba mengingat dan menahan rasa sakit menusuk di kepalanya. “Jun... Junsu. Kim Junsu,” lirihnya sebelum kegelapan menyelimutinya kembali.

.

.

Dua minggu berselang setelah pemuda itu divonis mengalami amnesia temporer, ia diperbolehkan untuk meninggalkan rumah sakit. Hanya satu kata yang mampu diucapkan olehnya ketika dokter menanyakan apakah ia mengingat sesuatu. Amnesia temporer memang bersifat sementara dan dokter menyatakan bahwa pemuda itu hanya mengingat namanya saja. Perlu waktu yang tidak bisa diprediksi untuk membuat pemuda tersebut pulih seluruhnya

Yunho mendesah saat mendengar vonis dokter. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membantu pemuda tersebut. Satu-satunya hal yang bisa ia jadikan petunjuk untuk mencari identitas pemuda itu hanyalah kalung liontin dengan inisial K.J., dan itupun tidak terlalu meyakinkan karena mungkin saja itu hanya liontin biasa dengan inisial nama pemuda itu. Ada kemungkinan ribuan nama Kim Junsu di Korea, dan itu sangat menyulitkan untuk menelusuri keluarga pemuda malang tersebut. Tetapi Yunho bersikeras. Ia yakin pernah melihat inisial itu. Motif tulisannya dan ukiran huruf itu sangat khas, tetapi ingatannya akan hal itu masih samar.

Mereka memutuskan untuk merawatnya di rumah mereka setelah berdebat dengan cukup rumit terutama Jaejoong yang tidak ingin menambah masalah di dalam keluarganya, apalagi identitas pemuda itu belum jelas. Tetapi kekerasan hati Jaejoong akhirnya luluh karena rasa iba yang juga ikut berperang melawan sifat egonya. Ia berpikir bahwa pemuda malang itu sudah selayaknya mereka rawat karena entah mengapa ia merasakan sebuah desiran rasa sesak ketika menatap wajah pemuda itu selain sebagai bentuk pertanggungjawabannya atas kecerobohan adiknya.

Junsu berdiri canggung di depan pintu kayu berdaun ganda yang dibukakan oleh Yunho di depannya. Ia merasa sungguh tidak enak hati pada keempat bersaudara Jung yang dengan suka rela bersedia merawatnya. Yoochun yang berdiri di samping kiri Junsu menepuk pundak kanannya, meremasnya sedikit untuk memberikan support kepada pemuda malang tersebut.

“Jangan khawatir, kau tidak akan merepotkan kami, kok,” katanya ramah tanpa menoleh dan tetap menatap lurus ke depan. “Ayo masuk!”

Junsu mengangguk, memasuki rumah besar tersebut dan dibimbing oleh Yoochun memasuki kamar tamu yang telah disiapkan untuknya. Ia kemudian duduk di tempat tidur yang bersprei putih di kamar tersebut dan tangan kanannya tanpa sadar menelusuri teksturnya.

Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, ia sebenarnya sungguh merasa bersalah kepada keluarga Jung tersebut. Saat masih di rumah sakit ia begitu khawatir dengan identitasnya. Bagaimana jika dia orang jahat atau seorang anak bos mafia yang dikejar oleh mafia saingan ayahnya. Pikirannya menguar hebat, dan semuanya hanya berisi kekhawatiran tentang hal-hal yang belum tentu benar. Beberapa kali ia mengalami serangan kepala yang hebat, demam tinggi dan beberapa kali kehilangan kesadarannya tetapi para Jung bersaudara selalu ada untuknya di saat-saat kritis tersebut. Ia merasa sangat berterima kasih untuk kebaikan itu dan tanpa ia sadari matanya terasa panas dan sebulir kristal bening jatuh ke pipinya yang tirus.

“Oh, Junsu,” desah Yunho kaget melihat pemuda itu menangis.

Junsu baru menyadari bahwa dirinya menangis dan dengan kasar ia hapus jejak air mata yang telah turun. Kepalanya menunduk, tidak berani melihat Yunho yang masih berdiri di depan pintu.

Ia merasakan dirinya berada pada sebuah pelukan hangat dengan tangan kekar menepuk-nepuk pundaknya penuh kasih sayang. Hanya sebuah pelukan yang bisa Yunho lakukan saat ini dan ia yakin betul bahwa Junsu sangatlah kesepian dan merasa takut apalagi dengan memori yang hilang seperti itu.

“Sssh… semuanya akan baik-baik saja,” hibur Yunho dengan nada canggung. Ia mengakui bahwa ia tidak seluwes Yoochun yang seorang casanova untuk mengatakan kalimat-kalimat penghibur seperti itu.

Junsu terdiam tetapi telinga Yunho masih bisa menangkap sebuah kata terima kasih yang diucapkan pemuda itu dengan sangat lirih.

“Sebaiknya kau sekarang istirahat,” Yunho melepas pelukannya dan membimbing Junsu untuk berbaring  serta menarik selimut hingga ke dada Junsu.

Saat Yunho akan bangkit, tiba-tiba gerakannya terhenti. Ia merasakan jemari Junsu mengenggam ujung kaos abu-abunya. “Hyung, gomawo,” katanya dan Yunho membalasnya dengan senyuman.

.

~UnbreakableString~

.

Shin Hye Sung menggeretakkan giginya. Hanya satu minggu ia meninggalkan Osaka untuk sebuah urusan bisnis di Swiss tetapi dia harus dihadapkan dengan menghilangnya Kim Junsu.

Lelaki berumur 50 tahun itu menggeram, bagaimana bisa para pengawal kehilangan jejak Junsu. Anak itu memang haus akan kebebasan. Sejak insiden meninggalnya kedua orang tuanya secara tragis, ia dirawat oleh pamannya, Shin Hye Sung yang bagi Junsu telah memperlakukannya seperti anak sendiri walaupun caranya mendidik terkadang terlalu keras dan tidak biasa.

Kim Junsu memanfaatkan keadaan disaat pamannya pergi ke luar negeri, mengelabui pengawal pribadinya dan akhirnya melarikan diri. Dan saat itu ia merasa bagai burung yang terbang bebas di angkasa.

“Cari dia sampai ketemu!” perintahnya tegas kepada asistennya.

Shin Hye Sung menghempaskan tubuhnya pada kursi kerjanya. Ia memijit keningnya ketika sebuah langkah sepasang kaki jenjang berhak tinggi mendekat, menampakkan sosok wanita yang tampak masih muda di umurnya yang sudah memasuki 45 tahun.

“Anata,” sahut Ryoutarou Sakura lembut dengan senyum cerah sambil berjalan mendekati suaminya.

Wanita itu memberikan senyum hangat dan lembut kepada Hye Sung.“Aku sudah mengerahkan detektif untuk mencarinya. Kau tidak usah khawatir.”

"Terima kasih, Sakura," kata Hye Sung. "Tetapi yeobo, kau tahu kan bahwa fisik Junsu tidaklah terlalu bagus. Bulan lalu dia baru saja keluar dari rumah sakit karena radang lambung akut. Aku tidak habis pikir bagaimana dia bisa sakit seperti itu padahal aku mengontrol dan mengawasi dengan ketat setiap menu makannya. Dan beberapa minggu sebelumnya dia-"

"Cukup, Hye Sung!" potong Ryoutarou Sakura dengan cepat sebelum suaminya itu terperosok semakin jauh ke dalam kesedihan karena menyalahkan diri sendiri. "Tidak ada gunanya meratapi nasib seperti ini. Yang kita perlukan sekarang adalah berusaha mencarinya dan berdoa agar dia baik-baik saja."

"Kau benar, yeobo," sahut Hye Sung. Ia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya terpukul begitu hebat karena masalah tersebut. Ia berpikir bahwa seharusnya saat ini ia tidak kalut dan emosional. Ia harus tetap bisa berpikiran dingin agar bisa menyelesaikan masalah hilangnya Junsu lagipula posisinya sebagai direktur di perusahaan tersebut mengharuskan dia untuk tetap bersikap profesional.

“-dan anata, mengapa kau harus berpura-pura seperti itu? Kau terlalu hebat, anata, menjadi aktor selama 16 tahun. Tidakkah kau lelah?” Ryutarou tersenyum manis kepada Hye Sung begitu asistennya mengundurkan diri keluar dari ruang kerjanya. Ia kemudian berjalan mengitari meja kerja suaminya, berdiri di belakang Hye Sung, membungkuk dan memeluknya seduktif.

“Tetapi kamu memerankan peranmu dengan baik, yeobo.  Jika kau ingin menyudahinya, aku hanya perlu melakukan beberapa adegan untuk menutup skenario ini.”

“Untuk saat ini aku tidak ingin melibatkan keluarga besarku di Jepang. Biarkanlah semuanya berjalan seperti air mengalir,” ucapnya di telinga kanan suaminya.

Hye Sung menoleh, memberikan kecupan pada bibir plum istrinya yang berkebangsaan Jepang itu.“Anak bodoh itu…,” bisiknya di sela-sela ciumannya.

Namun adegan itu hanya berlangsung beberapa menit karena Pengacara Park masuk ruangan tersebut dengan wajah garang.

“Ck~ tidak bisakah kau mengetuk pintu atau memang sopan santunmu sudah hilang, Pengacara Park?” sindirnya seraya membetulkan letak jas dan dasinya yang kendor.

Park Shi Hoo, lelaki berusia 50 tahun yang dulunya merupakan orang kepercayaan Kim Sung Woo –ayah dari Kim Junsu dan sekaligus presiden direktur terdahulu dari perusahaan yang kini dikelola Shin Hye Sung- melemparkan sebuah map berwarna biru muda ke meja Shin Hye Sung. “Apa maksudnya ini?”

Ryutarou Sakura tidak berminat untuk mendengarkan perdebatan sengit itu. Ia mengambil tas jinjing merk Channel miliknya dan memilih untuk keluar dari ruangan tersebut.

“Pengacara Park, kau ini benar-benar,” nadanya kalem, tak ada emosi sedikitpun yang tampak dari kalimatnya. Ia mengambil map tersebut, membukanya dan alisnya terangkat. “Tentang ini? Kurasa kita tak perlu membahasnya lagi.” Ia meletakkan kembali map tersebut di meja kerjanya.

“Tidak bisa. Aku tidak akan pernah menyetujuinya. Ini akan menyerobot kawasan Hyakuren Garden dan aku tidak bisa menerimanya,” tolak Park Shi Hoo berusaha tenang.

Shin Hye Sung merencanakan proyek kerjasama pembangunan hotel bersama dengan Sogo Corp., salah satu cabang perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Ryoutarou. Dan bagi perusahaan mereka proyek ini sangat menguntungkan bagi perkembangan perusahaaan mereka.

Wajah Park Shi Hoo mengeras dan dia berusaha untuk mengendalikan dirinya agar tidak meledak di depan atasannya. Pembangunan proyek tersebut jelas-jelas akan mengambil alih area Hyakuren Garden, sebuah villa yang dibangun di pinggiran Sungai Oirase, perfektur Aomori dengan taman bunga sakura dan dikelilingi hutan maple. Hyakuren Garden dibangun oleh mendiang Kim Chae Rim -ibu dari Kim Junsu dan sekaligus istri dari presiden direktur sebelumnya Kim Sang Woo- secara bertahap selama 5 tahun. Bangunan itu merupakan kenangan kedua bersaudara Kim karena di sanalah mereka biasa menghabiskan waktu liburan bersama kedua orang tuanya.

Shin Hye Sung menggeretakkan giginya dalam diam. Bagaimanapun juga dan apapun caranya ia harus mendapatkan apa yang dia inginkan.

“Mereka sudah mati, Pengacara Park,” desis Hye Sung, seraya berdiri dengan kedua tangan menumpu pada meja, menatap tajam kepadanya. “Hyakuren Garden sudah hampir kolaps. Villa itu sudah tidak ada harapan lagi. Biaya perawatannya tinggi dan itu tidak sebanding dengan besar pendapatan yang kita peroleh dari pengunjung villa tersebut. Itu hanya akan menambah beban kita, kau mengerti, hah?!” lanjutnya seraya menggebrak meja kerjanya. Raut wajahnya berubah bengis.

Park Shi Hoo menatap balik pada kedua manik mata itu, terlihat menantang. Ia tahu bahwa ia lancang dan tidak sopan.

“Hyakuren Garden adalah peninggalan Nyonya Kim Chae Rim,” sanggahnya.

“Villa itu sudah hampir jatuh, dan apakah kau ingin perusahaan utama kita ikut kolaps dan bangkrut karena membiayai villa rongsok itu? Dan jangan mentang-mentang kau memiliki 17% saham di perusahaan ini sehingga kau bisa bertindak seenaknya! Jadi mengapa kita tidak akhiri saja pertikaian tidak penting ini dan memulai kerja sama membangun kerajaan kita, hmm?”

“Shin Hye Sung!” Park Shi Hoo meraih kerah jas hitam mewah yang dipakai Hye Sung, mencengkeramnya dengan penuh ancaman. Sejak dulu ia tidak pernah sepaham dengannya namun ia tidak pernah menentangnya sekeras itu seberapapun bencinya ia kepada orang yang kini hanya berjarak beberapa senti darinya itu. “Jangan pernah untuk memaksaku menyetujuinya! Aku akan menentangnya dalam rapat dewan direksi,” geramnya.

“Jangan melibatkan perasaan emosionalmu dalam bisnis, Pengacara Park. Itu hanya akan menghancurkanmu. Kau tahu itu?” bantah Hye Sung, tatapannya tajam menantang. “Aku tahu kau menentang hal ini karena kau mencintai Chae Rim tetapi dia sudah mati, Shi Hoo, dan kau sudah memiliki kehidupan sendiri. Dia sudah mati dan seharusnya cintamu kepadanya juga sudah mati!” Cengkeraman di kerah leher Hye Sung dirasakannya semakin ketat, membuatnya semakin susah bernapas tetapi ia bukanlah tipe orang yang mudah mundur hanya karena sebuah gertakan kecil. Ia mencengkeram pergelangan tangan asistennya itu. “Aku tidak habis piker bagaimana bisa kau dulu tahan melihat Chae Rim dan Sang Woo bermesraan di hadapanmu. Aku memegang tiket kehancuranmu dan kau bekerja untukku sekarang, Pengacara Park, jadi tidak seharusnya kau menentangku seperti ini, atau kau memilih untuk mengirim nyawa keluarga kecilmu bertamasya ke langit?” desisnya keji.

Tubuh Pengacara Park menegang. Cengkeramannya mengendur, dan rasa frustasinya ia lampiaskan dengan memukul meja dengan kepalan kedua tangannya. Ia menunduk. Pria di depannya itu memang pandai mempermainkan psikologinya. Tak heran jika ia mampu mengambil alih kekuasaan perusahaan ini. ‘Pria kejam.’

-dan Pengacara Park memilih untuk meninggalkan ruangan itu dengan tatapan membunuh setelah sebelumnya melemparkan berkas-berkas tadi hingga membentur furniture yang ada di ruangan tersebut dan berserakan di lantai.

BLAM~!!!

Pintu itu menutup dengan keras, meninggalkan Shin Hye Sung yang menyunggingkan senyum misterius di belakangnya.

Klik.

“Yoboseo?” Shin Hye Sung merogoh saku celana kanannya ketika dirasakan ada sesuatu yang bergetar. Sebuah panggilan masuk dari orang kepercayaannya."Kau sudah menemukannya? Ah tidak perlu, biarkan dia bermain-main di Seoul setelah itu bawa dia kembali ke Osaka begitu dia selesai. Kau cukup mengawasinya saja."

.

~UnbreakableString~

.

Jung Jaejoong membuka laci nakas di samping tempat tidurnya. Rasa penasarannya menyeruak dan ingin sekali menguak keingintahuannya. Ia mengambil sebuah kotak kayu berukir dari dalam laci, membukanya dan mengambil sebuah benda yang sangat familiar dan sering ia lihat selama hampir 3 minggu terakhir. Sebuah kalung platinum dengan liontin zamrud berbentuk tetes bulir air berinisial K.J di dalamnya, yang diberikan oleh kedua orang tuanya Jung Jin Woo dan Jung Hye Soo saat ia dirawat di rumah sakit, 4 tahun lalu karena serangan kepala hebat yang membuatnya tak sadarkan diri selama 1 minggu.

 “Sudah kuduga. Aku yakin sekali pernah melihat kalung yang dipakai Kim Junsu sebelumnya,” suara Yunho menyadarkannya dari lamunan. Jaejoong menoleh, menatap Yunho yang kini duduk di tepi tempat.

“Kau tahu mengenai ini? Appa dan Umma menyuruhku untuk menyimpannya. Beliau berkata bahwa di dunia ini hanya ada dua buah kalung seperti ini,” Jaejoong memperhatikan dan meraba tekstur halus pada liontin zamrud tersebut. “Aku tidak mengerti, mengapa Kim Junsu memiliki kalung tersebut. Apakah kami pernah memiliki hubungan? Aku tidak ingat jika aku pernah bertemu dengannya.”

Yunho menatap lirih hyungnya. “Aku tahu.”

Jaejoong mendongak. “Kau tahu?”

Yunho mengangguk dan kemudian memberikan sebuah map berisi satu bendel file di dalamnya. Ia sangat bersyukur keahliannya di bidang informasi dan teknologi sangat membantunya. Lagipula sudah saatnya rahasia itu untuk dibuka karena bagaimanapun juga Jaejoong berhak untuk mengetahuinya.

Mata Jaejoong langsung terfokus pada judul file yang berjumlah 13 lembar tersebut.

Tangannya tanpa sadar bergetar seiring dengan baris demi baris file yang ia baca dan juga seiring dengan otaknya mengulas kembali kilas bayangan yang sering ia alami selama beberapa 4 tahun terakhir. Ia sungguh tidak bisa mempercayainya, namun gempuran memori itu semakin kuat menguasai otaknya. Kedua bibirnya terkunci rapat.

“Aku sudah meminta ijin kepada Appa dan Umma untuk hal ini,” Yunho berkata dengan nada hati-hati seraya memperhatikan reaksi hyungnya. “Sebenarnya kau bukanlah anak kandung dari Appa dan Umma.” Jaejoong tidak berucap, ia tetap membaca tetapi Yunho tahu bahwa ia mendengarkan dengan seksama setiap kalimat yang ia ucapkan. Ia menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. “A- ayah dan ibumu, kedua orang tuamu, mereka tewas dalam sebuah insiden yang melibatkan mafia di Osaka saat kalian –dirimu, ayah, ibu, dan adik lelakimu- berlibur di Jepang pada musim semi 16 tahun yang lalu.

“Aku punya adik? Ba-bagaimana dengan dia, Yun?” tanya Jaejoong dengan nada bergetar, tanpa mengalihkan matanya dari file tersebut. Tangannya sibuk membolak-balik halaman dokumen itu, membacanya dua kali untuk lebih meyakinkan dirinya. Ia ingin sekali bahwa apa yang ia baca saat itu hanyalah sebuah ilusi mimpi.

“Maafkan aku, hyung,” Yunho menunduk. “Dia hilang dalam insiden itu, dan waktu itu kau terkena tembakan di kepala. Beruntung saat itu dokter mampu mengeluarkannya, tetapi peluru itu melukai bagian otakmu. Kau koma selama 5 hari, dan saat kau bangun, hyung, kau tidak mengingat apapun. Maka pada saat itulah Umma dan Appa memutuskan untuk mengadopsimu, merubah nama belakangmu menjadi Jung, membuatmu menjadi hyung ku. Itu karena appa kita merupakan sahabat sejak kecil. Juga untuk melindungimu,” terangnya dengan nada lirih di akhir kalimat.

Jaejoong meremas kertas file yang kini berada di tangan kanannya. Ia kemudian berdiri, wajahnya menunduk, menatap lantai. “Kenapa kalian tidak pernah mengatakan ini kepadaku?! Kenapa kalian membangun semua kebohongan ini. Melindungiku? Melindungi dari apa?” lirihnya. Ia tampak terguncang.

Berkas file itu tiba-tiba jatuh dari tangan Jaejoong karena ia merasakan keningnya sakit dan pandangannya kabur. Keseimbangannya goyah, dan ia berusaha untuk menahan diri agar tidak jatuh. Tangan kirinya menumpu pada sandaran kursi belajar yang ada di belakangnya, dan telapak tangan kanannya ia gunakan untuk menekan dahinya.

“Ah, sssh…”

Mataya terpejam, menahan sensasi berputar di kepalanya.

“Hyung!”

Secara refleks Yunho berdiri, memeluk Jaejoong dan berusaha menenangkannya. Tetapi Jaejoong langsung mendorongnya dengan kuat, membuatnya jatuh terjengkang.

“Jangan… sentuh… aku.” Ia tersenggal dengan napas memburu sambil terhuyung ke belakang. Punggungnya menabrak tembok putih di belakangnya, membuatnya merosot jatuh ke lantai karena keseimbangannya terguncang. Keringat mengucur di dahinya dan ia merasa ingin pingsan saat itu juga.

“Hyung~”

Yunho tidak menyerah dan kembali menenangkannya walaupun Jaejoong terus memberontak lemah. Ia semakin mengeratkan pelukannya, dan merasakan dadanya basah oleh air mata. Jaejoong terisak. Ia menangis seraya memukul-mukul punggung Yunho dengan frustasi, melampiaskan rasa sakit karena kenyataan pahit tersebut dan sekaligus berusaha melepaskan diri. Yunho tahu bahwa Jaejoong hyungnya membutuhkannya saat ini. Walaupun Jaejoong hanyalah anak angkat dari keluarga Jung tetapi Yunho menyayanginya seperti halnya kakak kandungnya sendiri. Jaejoong dulu selalu bersamanya saat ia menghadapi masalah di masa remajanya, dan saat ini giliran dialah yang akan ada di sisi Jaejoong saat ia dalam kondisi rapuh seperti sekarang ini.

“Yunho hyung, Jaejoongie hyung! Gwenchana?” suara Changmin yang saat itu masuk ke kamar menyadarkan Yunho.

Yoo Chun menyusul Changmin di belakangnnya. Pemuda berkacamata itu segera menyibakkan selimut yang menutupi tempat tidur. Jaejoongie hyungnya sudah tak sadarkan diri begitu ia sampai di kamar tersebut.

“Hyungie, apa yang terjadi dengan Jaejoongie hyung?” tanya Yoo Chun seraya membantu Yunho membaringkan hyung mereka ke atas tempat tidur.

“Maafkan aku, ini semua salah kami,” lirih Yunho seraya menyingkirkan surai hitam yang menutupi dahi Jaejoong yang kini terlelap. “Ini adalah sebuah rahasia yang kami jaga dari kalian semua. Ya kami –kedua orang tua kita dan aku-

“Aku tidak mengerti, hyung,” kata Changmin dengan raut wajah bingung.

“Jelaskan kepada kami, Yunho hyung,” raut Yoo Chun seketika tanpa emosi seraya mengusap keringat di dahi Jaejoong dengan kain basah yang tadi segera ia ambil. Ia paling tidak suka jika ada rahasia di antara mereka.

Yunho merasakan gejolak keraguan. Ini adalah sebuah rahasia yang mungkin jika terungkap akan bisa memecah persaudaraan mereka. Tetapi ia tidak memiliki pilihan yang lain. Cepat atau lambat semuanya akan terungkap, dan ia memilih saat inilah ia mengungkap semuanya.

“Jaejoongie hyung, sebenarnya dia adalah anak angkat di keluarga ini. Nama aslinya adalah Kim Jaejoong, dan kedua orang tuanya tewas dalam sebuah insiden di Jepang 16 tahun yang lalu,” kata Yunho bergetar, berusaha agar tangisnya tidak pecah saat mengatakan hal itu. “Kepalanya tertembak, ia koma dan saat bangun Jaejoongie hyung sudah tidak bisa mengingat lagi masa lalunya.

Changmin tercekat. Ia menggigit bibirnya. “Ba-bagaimana dengan yang lain? Saudaranya, mungkin?”

“Hilang. Diduga saat itu adiknya diculik oleh kawanan mafia yang terlibat dalam kejadian tersebut.” Yunho mendongak, menatap kedua adiknya. “Aku mohon, tetaplah menyayanginya seperti biasa,” pintanya dengan wajah sendu.

Yoo Chun tersenyum, ia bangkit dan meraih Yunho dalam sebuah pelukan hangat. “Kami akan tetap menyayanginya, dirimu, dan Changmin. Karena bagiku kalianlah harta yang tak tergantikan bagiku.”

“Hyungdeul…” Changmin menghambur, ikut memberikan pelukan kepada kedua hyungnya tersebut.

Tetapi Yunho tiba-tiba teringat sesuatu. Ia melepaskan diri dan menatap kedua adiknya. “Bagaimana dengan pemuda malang itu? Kim Junsu,” tanyanya.

“Dia menghilang hyung, kami tidak menemukannya di kamarnya atau di manapun di rumah ini. Kami sudah mencarinya, dan… aku tidak tahu lagi harus bagaimana,” jawab Yoo Chun.

“Oh, tidak,” Yunho berdecak dan tak sadar salah satu tangannya menjambak rambutnya frustasi.

“Wae?”

“Kalung yang dipakai pemuda itu sangat persis dengan milik Jaejoong hyung. Aku rasa mereka memiliki sebuah hubungan. Atau jika perkiraanku tidak meleset dia memiliki hubungan darah dengan Jaejoong hyung. Adiknya yang dulu menghilang.”

“MWOO?!!”

.

~ To Be Continued~

.

Author note

LoL~ terima kasih sudah membaca fanfic yang absurd ini karena ini baru pertama kalinya saya bikin fanfic k-pop, bergenre family-brothership pula beralur ruwet seperti sinetron.

Glossary :

  1. Anata : panggilan istri kepada suami dalam bahasa Jepang.

Okay, sekian penjelasan keruwetan ini. Saya juga ruwet nulis scene di fanfic ini sampai mengganti total beberapa scene dan nama tokoh hihihi. Salam… dan maafkan saya karena fanfic ini baru 1/3 dari seluruh cerita karena saya juga belum mencantumkan scene Junsu lebih mendetail, tetapi ini juga tergantung mood saya juga nanti akan seberapa panjang fanfic ini ehehehe ^^a

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Zheeda #1
Chapter 1: chapter 1: authornim,apakah ff ini akan dilanjut?
luizty #2
Chapter 1: woowww kerennn...
rahmaGyu #3
Chapter 1: Wahhhhh keren
thenewbie
#4
Chapter 1: landjut, ne? Like this kinda story. Check out mine too....!
CinqLuna #5
Chapter 1: whoa~ really nice plot!
Novemberfest #6
seems interesting ^^