The Sweet Heart

The Sweet Heart

 

 

Donghae POV

Sudah dua minggu jarum infuse ini menempel di atas punggung tangan kiriku. Aku duduk di bangku panjang berwarna coklat yang berada di taman rumah sakit. Daun daun pohon yang menguning jatuh tertiup angin dan bertebaran di halaman rumah sakit.

Musim gugur kali ini tidak seperti musim gugur biasanya. Jauh lebih dingin dan suram. Yah… apa mungkin hanya perasaanku saja? Entahlah. Tidak ada yang bisa kukerjakan disini selain mengeluh dan mengeluh. Aku ingin sekali keluar dari rumah sakit, menjalankan aktivitasku yang sempat terabaikan dua minggu ini.

TOKK!

“Aduh!” Desahku sembari mengusap kepala kananku. Aku menoleh kearah kanan. Siapa yang melempari kepala kananku. Rasa sakit berdenyut di kepala kananku. Membuatku sedikit pusing. Aku menggeleng gelengkan kepalaku dan memijatinya perlahan agar pusing dan rasa sakitnya berkurang.

TOK!

“Aish!” Desahku ketika ada yang melempariku lagi. Kali ini, kepala kiriku yang terkena. Rasa sakit berdenyut hebat di kepala kiriku. Aku lalu menyapu pandanganku, mencari siapa yang berani melempariku hingga dua kali seperti ini.

“Bola tenis?” Gumamku ketika melihat sebuah bola berwarna hijau berada diatas tanah tak jauh dari tempatku duduk. dengan cepat aku mengambilnya. Aku kembali menyapu pandanganku lagi, mencari cari orang yang melemparkan bola tenis ini. Tidak ada sosok orang mencurigakan yang terlihat.

“Aigoo!” Seruku terkejut ketika melihat seorang yeoja yang sedang duduk tepat disampingku. Ia tersenyum sumringah dengan wajah yang jaraknya begitu dekat dengan wajahku. Rambutnya yang kecoklatan dikuncir kuda dengan sisa sisa helai rambut yang bergoyang tertiup angin. Ia mengenakan pakaian rumah sakit dan tangan kirinya memegang sebuah infusan.

“Siapa kau?” Tanyaku. Ia masih tersenyum lebar dihadapanku. Tangan kanannya lalu mengambil bola tenis yang kupegang.

“Bukan siapa siapa.” Jawabnya. “Aku hanya ingin mengambil bola tenis ini saja.”

Aku menghela napas kesal. “Jadi kau yang melempariku dengan bola ini?” Tanyaku.

Ia menggangguk, “Ne. aku sering memperhatikanmu melamun disini. Karena penasaran, jadi aku lempari bola tenis ini saja.” Jawabnya.

Jawaban macam apa itu? Terkesan bodoh dan konyol. Hanya karena ia sering memperhatikanku bukan berarti ia seenaknya saja melempari bola tenis itu. “Kau bodoh.” Ujarku. “Aku sangat tidak menyukaimu. Seenaknya saja melempari orang dengan bola tenis! Memangnya kau pikir kau siapa?”

PLETAK!

“Yak!” Teriakku.

“Hey, namja-manis-rumah-sakit, apa kau tidak pernah diajari sopan santun? Huh? Kita ini baru bertemu, seharusnya kau lebih santun sedikit padaku. Apalagi yang ada dihadapanmu ini yeoja.” Katanya sembari mencibir.

Aku memandangnya kesal. Masa bodoh dengannya, aku sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun hari ini. Moodku sudah rusak dan kehadiran dia disini hanya makin merusak moodku saja.

“Ngomong ngomong namamu siapa?” Tanyanya sembari tersenyum manis kearahku. Matanya berbinar binar. Dia terlihat begitu ceria dibalik wajah pucatnya.

“Lee Donghae.” Kataku.

“Lee Donghae?” Tanyanya. “Namaku Goo Anjoo. Salam kenal!” Lanjutnya sambil membungkuk.

Ia lalu tersenyum dihadapanku sembari menatapku. Wajahnya sangat ceria, seperti anak kecil yang baru mendapatkan kado. Setiap perlakuannya padaku, hanya membuatku kesal saja, tapi entah mengapa wajahnya itu berhasil membuat moodku yang jelek tiba tiba baik.

“Kau sakit apa?” Tanyaku.

Anjoo menoleh dan menatapku bingung. Ia seperti tak percaya denganku yang bertanya padanya dengan lancar dan spontan. “Aku sakit typus.” Katanya. “Sudah dua minggu aku dirawat disini.” Lanjutnya.

“Aku juga sudah dua minggu ada disini.” Kataku.

“Memangnya kau sakit apa?”

“Aku sakit…” Kalimatku terputus seketika. Mataku memandang matanya yang berbinar. Rasanya seperti ada pelangi dan bintang yang berkelap kelip di bola matanya yang hitam. “Demam berdarah.” Lanjutku. “Ne, demam berdarah.”

“Ah…” Gumamnya. “Itu berarti kau harus banyak istirahat. Kondisimu sepertinya parah, karena kau terlihat seperti orang sehat.”

“Parah?” Tanyaku tak mengerti. “Jika aku terlihat sehat, itu berarti kondisi tubuhku bagus, kenapa kau bilang parah?”

“Kau itu benar benar tidak pernah membaca buku rupanya.” Katanya. “Jika kondisi tubuh seseorang terlihat sehat dan bukannya demam, itu berarti kondisinya sedang dalam kondisi kritis. Suhu tubuh pasien yang menderita demam berdarah biasanya lebih dari 37 derajat atau suhu normal tubuh manusia.” Jelasnya sambil tersenyum.

“Oh.” Tanggapku. “Kau cocok jadi dokter.”

“Dokter katamu?” Tanyanya. “No no no no no! aku sama sekali tidak berniat menjadi dokter.”

“Lalu mau menjadi apa?”

“Pelawak.”

Jawabannya seketika membuatku diam. Aku menatapnya aneh dengan bibirku yang tertutup rapat.

“Ada apa denganmu?” Tanyanya bingung. “Apa ada yang salah denganku?”

“BWAHAHAHAHA!” Tawaku lalu meledak seketika. Aku menunjuk nunjuk hidungnya sembari tertawa keras. Apa katanya? Pelawak? Cita cita macam apa itu? Gadis ini sudah gila rupanya! Tawaku tidak kunjung berhenti sampai sampai perutku terasa nyeri karena banyak tertawa.

“Wae?” Tanyanya. “Apa salah bercita cita menjadi pelawak? Semua orang punya cita citanya masing masing, aku akan menjadi pelawak besar di Korea. Jangan tertawa! Karena yang pantas tertawa adalah aku nanti ketika aku sudah menjadi pelawak besar di Korea!” Katanya kesal.

“Kau tidak cocok jadi pelawak! Sama sekali tidak cocok!” Ujarku disela tawaku.

“Masa bodoh orang mau berkata apa, aku tetap pada cita citaku untuk menjadi pelawak. Cita cita bukan hanya menjadi dokter dan guru saja kan? Pelawak bisa membuat orang menjadi ceria dan melupakan kesedihannya. Bukankah itu baik?” Tuturnya kesal.

Tawaku terhenti seketika. Aku melihat kearah Anjoo yang sedang melipat tangannya lalu membuang wajahnya. Wajahnya memerah karena marah.

“Aku kan hanya bercanda. Habis, kau unik sekali, masa ingin menjadi pelawak.”

“Huh!” Decaknya masih membuang muka karena marah.

Aku menghela napas panjang, “Baiklah aku minta maaf.” Kataku mengalah. Anjoo tidak berkutik. Ia masih tetap dengan posisi marahnya. “Aku menyesal telah menertawakanmu, aku minta maaf. Jeongmal mianhae.” Kataku lagi. Ia tetap marah dan sama sekali tidak menghiraukanku. “Oh, ayolah, jangan ngambek begitu! Baiklah, aku bersedia melakukan apa pun untukmu, asalkan kau jangan marah lagi.” Bujukku.

Anjoo lalu menoleh dengan senyumannya yang lebar dan ceria. Matanya kembali berbinar menatapku. Raut wajahnya berubah 180 derajat dari yang sebelumnya, “Benarkah itu?” Tanyanya.

“Benar.” Jawabku. “Tapi jangan marah lagi.” Kataku. Aigoo! Mengapa aku memperlakukannya seperti anak kecil begini? dan mengapa aku yang tadinya marah marah mendadak jadi baik seperti ini? Benar benar sulit dijelaskan.

“Baiklah!” Serunya. “Jika benar katamu tadi, aku ingin kita taruhan.”

“Taruhan?”

“Ne, kita taruhan.” Katanya mantap. “Siapa yang keluar rumah sakit lebih dulu dia yang akan menang.” Lanjutnya sembari tersenyum.

“Lalu hadiahnya apa?” Tanyaku.

“Tidak ada.” Jawabnya.

Aku menggaruk kepalaku bingung, “Tidak ada? Taruhan macam apa itu? Justru orang yang bertaruh mencoba sekuat tenaga untuk menang karena hadiahnya. Kalau seperti itu, aku jadi tidak semangat untuk bertaruh.” Kataku.

Anjoo terdiam. Dia terlihat berpikir. Kepalanya agak mendongak keatas dan ia melihat kearah langit. Aku tersenyum saat melihatnya seperti itu. Entah mengapa, senyumku itu tergurat refleks begitu saja di bibir.

“Bagaimana jika taruhan ini adalah sebagai pembuktian? Jadi yang keluar dari rumah sakit, itulah yang paling kuat. Kau sebaiknya harus berusaha keras untuk mengalahkanku, karena kau pasti akan sangat malu jika aku mengalahkanmu. Kau lelaki harusnya jauh lebih kuat dariku!” Katanya.

Aku terkekeh sebentar, “Ya, kita lihat saja siapa yang menang.”

“Oke!”

Anjoo pun beranjak dari kursi duduk. ia tersenyum padaku sebentar lalu melangkah pergi menjauh. Mataku terus melihat sosoknya. Tidak berkedip sama sekali, sampai akhirnya ia berbelok di koridor rumah sakit dan menghilang.

***

Tidak terasa sudah lebih dari 3 hari aku pulang dari rumah sakit dan tidak biasanya aku memikirkan seseorang hingga melamun seperti ini. Yeoja itu, wajahnya yang tulus dan senyumnya yang ceria tiba tiba tergambar dengan jelas di benakku pagi ini.

Kira kira apa kabarnya, ya? Dia sudah lama menghilang dari rumah sakit seminggu sebelum aku keluar. Yeoja itu tidak mengucapkan selamat tinggal atau apa pun padaku. Apa dia sudah melupakan taruhan yang ia katakan waktu itu? Seharusnya, ketika ia keluar dari rumah sakit, ia menemuiku dan membanggakan dirinya karena menang. Tapi, sejak kejadian di taman waktu itu, Goo Anjoo tidak pernah menemuiku lagi.

Aku tersenyum senyum sendiri saat memikirkannya. Energi apa kira kira yang dapat membuatku seperti ini? Entahlah. Semuanya refleks saja terjadi. Jarang sekali aku menemukan yeoja seunik dia, seceria dia dan setulus dia. Dia seperti kupu kupu bagiku.

TING TONG! TING TONG!

Bel pagar depan berbunyi. Lamunanku tentang yeoja itu buyar seketika. Aku segera beranjak dan segera membukakan pagar. Kulihat ada seseorang berdiri samar disana. Memakai topi berwarna putih dan kemeja merah.

“Annyeong! Aku baru disini, salam kenal! Aku ingin mengenal tetangga tetangga baruku lebih dekat lagi, jadi aku memutuskan untuk mengunjungi kalian satu persatu sembari memberi oleh oleh dari kampungku terdahulu, Daegu.”

Suara itu jelas terdengar, lebih jelas seperti suara wanita. Aku lalu membuka pintu pagarku dan melihat siapa yang ada disana. Orang itu menunduk, tidak terlihat apa pun di wajahnya karena tertutup topi. Yang dapat kulihat kini hanyalah semburat merah di pipinya yang muncul karena panas matahari dan hidung mancungnya yang lancip diujung. Helai demi helai rambutnya bergoyang tertiup angin semilir yang lewat diantara kami berdua.

Ia mendongak lalu menatapku lekat. Aku menatapnya balik, seakan tidak percaya akan apa yang kulihat. Ia juga begitu, terlihat sangat terkejut dan tak percaya.

Yeoja itu…

“Namja-manis-rumah-sakit!” Teriaknya dengan nada suara gembira. Ia melihatku lebih dalam lagi seakan tak percaya akan apa yang dilihatnya. “Namja-manis-rumah-sakit!” Ulangnya dengan suara yang lebih keras lagi.

“KYAA!”

Dengan selang waktu kurang dari satu detik, yeoja itu langsung memeluk diriku dan berteriak dengan keras seperti orang sinting. Aku sedikit meronta untuk melepaskan diriku dari pelukannya. Tangannya yang mungil mencengkeram punggungku dengan begitu kencang. Bahkan kulit kulit di punggungku rasanya seperti terkelupas karena tergores kukunya yang tajam.

“Kau kemana saja?” Tanyanya disela pelukan. Ia berbicara dengan kencang didekat telingaku, membuat telingaku sedikit pengang. “Aku mencarimu kemarin di rumah sakit, tadinya aku ingin menjengukmu dan membanggakan diriku yang lebih hebat darimu yang masih dirawat di rumah sakit. Tapi, rupanya perawat rumah sakit berkata padaku bahwa kau sudah pulang. Aku senang sekali mendengarnya! Itu kabar baik! Tak kusangka aku menemui disini!” Ocehnya panjang lebar.

Anjoo lalu melepaskan pelukannya. “Ah…” Decakku kesal sembari mengelus ngelus punggungku. “Kau ini kasar sekali! Jangan memelukku seperti itu! Aku tidak suka!” Seruku kesal.

Ia terkekeh didepanku sembari tersenyum senyum dengan ekspresi imut. Sama sekali tidak ada rasa bersalah di wajahnya. Yeoja itu terlalu polos bagiku. Ia tidak seperti yeoja kebanyakan, jauh lebih menarik daripada yeoja yeoja biasanya.

“Ah, jangan begitu!” Ujarnya. “Seharusnya kau senang bertemu denganku lagi. Ini aku bawakan oleh oleh dari Daegu.” Katanya sembari menyodorkan sebuah bingkisan.

“Gomawo.” Balasku sembari menerima bingkisan itu. Anjoo tersenyum melihatnya. “Masuklah dulu dan berbicara sebentar padaku. Aku tau kau pasti ingin mengenalku lebih jauh.” Ajakku sembari mengangkat alisku dan tersenyum.

Anjoo membulatkan matanya, “Benarkah? Ah! Tentu saja!” Katanya setuju. Ia lalu mendekatiku dan meraih lenganku. Aku hanya tertawa atas apa yang ia lakukan. Terlalu lucu sikapnya bagiku. Aku sama sekali tak kuasa memarahinya.

Kami berjalan di halaman belakang. Disana banyak pohon pohon dan semak semak ditanam. Rumput rumput hijau juga tumbuh subur di halaman belakangku. Disana ada kolam berenang berbentuk angka delapan yang lumayan luas. Di samping samping kolam berenang terdapat kursi sofa yang sandarannya terbuat dari rotan dan tempat duduknya terbuat dari bantal berisikan bulu angsa dan kapas.

Kami berjalan di pinggiran kolam berenang. Ia masih mengapit lenganku sembari berjalan berdampingan denganku. Posisi kami seperti posisi dua orang mempelai yang berjalan bersanding di karpet merah menuju altar gereja.

“Omong omong, kenapa sejak kejadian di taman waktu itu, kau tidak terlihat lagi dihadapanku?” Tanyaku ingin tahu. Aku menoleh kearahnya, melihat wajahnya yang sedang serius memandang sekitar.

“Oh, itu, aku tidak diperbolehkan eomma ku untuk keluar kamar, dan saat aku pulang beberapa hari lalu, aku buru buru karena harus mengurus perpindahan rumah jadi aku tidak bisa mengunjungimu. Tadinya aku ingin menemuimu dan menyombongkan diri bahwa aku bisa mengalahkanmu!” Jelasnya dengan nada bangga di akhir kalimat.

“Sudah kuduga kau pasti akan menyombongkan diri dan mencemoohku di rumah sakit.” Kataku. Anjoo hanya tertawa menanggapinya.

Kami berjalan terus sembari berbincang bincang. Menceritakan tentang diri kami masing masing. Ia sangat hiperaktif, memegang lenganku dan menggoyang goyangkan lenganku berkali kali sambil mengoceh dengan mimik wajah lucu. Terkadang ia melompat lompat sembari berjalan disampingku. Terlalu aktif memang, namun sikapnya benar benar dapat membuatku merasa senang.

DRRTTT… DRRTTT…

Ponselku bergetar. Aku menarik lenganku yang digapit oleh Anjoo dan segera merogoh kantung celanaku. Ia hanya diam sambil memandangiku dengan wajah penuh tanda tanya. Ponselku terlalu dalam berada di sakuku, sehingga sulit untukku meraihnya. Aku terus berusaha untuk mengambilnya, sampai pada akhirnya ponselku ada di tanganku. Namun…

“KYAA!” Teriak Anjoo dengan posisi badan yang hampir terjungkal kedalam kolam berenang. Aku terkejut dan langsung menjatuhkan ponselku yang masih bergetar. Tak peduli siapa yang menelepon dan apakah itu penting atau tidak. Aku langsung meraih pinggang Anjoo dan memeluknya, menyelamatkannya dari kecelakaan kecil itu. Dalam selang waktu 3 detik, tanganku sudah melingkar sempurna di pinggangnya dan badanku menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Posisi kami 45 derajat sempurna dari atas.

Anjoo tak berkutik dan terus menatapku. Hampir saja ia tercebur karena tersikut tak sengaja olehku. Kami saling bertatapan wajah.

“Hihihi…” Selang beberapa waktu terdiam, ia terkikik dan tersenyum penuh arti padaku. Matanya mengedip genit kearahku. Aku sempat terlonjak dan bermaksud agar menariknya, tapi terlambat. Jari jari mungilnya sudah lebih dulu menarik kerah bajuku, mengajakku untuk jatuh ke kolam berenang bersama.

BYURR…

Air menyembur kemana mana menerima masa badan kami berdua. Aku menahan napasku dan berusaha berdiri untuk mengambil udara. Paru paruku sangat sesak. Aku lalu menghirup napas sebanyak banyaknya setelah kepalaku timbul dari balik air.

“Anjoo!” Teriakku saat tahu bahwa yeoja itu tidak terlihat di sekitar. Aku menolehkan kepalaku ke kanan dan ke kiri, mencari sosok yeoja periang itu. Tidak ada siapa siapa, cuma air kolam berenang saja yang terlihat beriak kecil.

“Anjoo!” Panggilku lagi lebih keras. “Anjoo!”

“Aku disini!” Jawab sebuah suara. Aku menoleh ke belakang dan mendapatinya sedang memeluk punggungku. “Memangnya kau tidak merasakannya, dari tadi aku disini.”

Aku mendengus, “ Membuat khawatir saja!” Kataku. “Kenapa kau nekat menceburkan dirimu dan aku di kolam berenang ini padahal jelas jelas kakimu tidak dapat menyentuh dasarnya?” Tanyaku kesal. “Andai saja tidak ada aku, kau pasti sudah mati tenggelam.”

“Aku pikir dasarnya dangkal karena terlihat dari atas.” Jawabnya. “Rupanya itu hanya pembiasan cahaya belaka.” Lanjutnya.

Kami lalu naik keatas kolam berenang. Aku menolongnya dan menariknya keluar dari kolam berenang. Anjoo terlihat kedinginan, tubuhnya sedikit bergetar. Wajar saja, angin musim gugur yang berhembus begitu dingin.

“Istirahatlah dulu dan duduk di sofa ini. Biar aku ambilkan handuk.” Suruhku.

Anjoo menggeleng, “Tidak usah, aku pulang saja. lagi pula, jarak rumahku tidak jauh, hanya lima langkah saja dari rumahmu.” Tolaknya.

“Kau yakin?”

“Ne.” Jawabnya. Ia melingkarkan tangannya di badannya, memeluk dirinya sendiri untuk menciptakan sedikit rasa hangat. “Aku pergi dulu. Annyeong!” Serunya.

Anjoo merunduk sedikit, memberikan salam dengan kesan hormat padaku. Ia melangkah pergi. Tapi tiba tiba langkahnya terhenti karena kedatangan sepupuku yang berdiri tepat dua langkah di depannya.

“Hae, kau dipanggil…” Kalimat sepupuku terhenti ketika melihat keberadaan Anjoo. Kami bertiga terdiam dalam keheningan dan kebingungan yang cukup lama.

“Siapa yeoja ini?” Tanyanya sembari menunjuk nunjuk Anjoo dengan kemoceng yang ia pegang. Entah apa yang ia lakukan dengan kemoceng itu. Tangan kanannya memegang sebuah pisang yang sudah setengah termakan.

“Dia temanku. Namanya Goo Anjoo.” Kataku sembari merangkul Anjoo yang masih terdiam karena kebingungan. “Dia baru saja pindah menempati rumah kosong di depan.” Lanjutku.

“Oh, begitu.” Balas sepupuku itu. “Annyeong! Namaku Lee Hyuk Jae, panggil saja Eunhyuk, salam kenal!” Katanya memperkenalkan diri.

Anjoo tetap terdiam mematung dibawah rangkulanku. Ia masih menatap Eunhyuk dengan mata serius seperti orang yang terpana. Entah benar atau tidak, tapi aku melihat rona kagum di wajahnya. Hatiku sedikit panas saat melihatnya begitu. Aigoo! Jangan jangan aku…

“Kenapa saat aku melihatmu aku jadi ingat sesuatu.” Katanya pada Eunhyuk.

“Memangnya kau ingat apa?” Tanya Eunhyuk.

“Monyet.”

Pisang yang dipegang Eunhyuk langsung jatuh setelah Anjoo menyelesaikan jawabanya itu. Eunhyuk melongo dengan mata yang membulat sempurna. Aku langsung tertawa terbahak bahak saat mendengar jawaban polos Anjoo. Anjoo hanya tersenyum saja melihat aku yang tertawa terbahak bahak. Eunhyuk menatap Anjoo dengan kemarahan yang membara.

Menyadari atas tatapan murka Eunhyuk, Anjoo langsung melesat cepat, berlari keluar rumah. Aku tidak sempat menghentikannya. Gerakannya terlalu cepat. Tetesan tetesan air terciprat dari bajunya yang basah saat ia berlari. Aku hanya dapat tersenyum melihat punggungnya yang dalam waktu selang lima detik sudah menghilang dari tatapanku.

***

Sudah seminggu ia tinggal di rumah barunya. Aku selalu menemuinya di taman kompleks yang berjarak 500 meter dari rumahku. Ia selalu duduk disana, saat sore hari di kursi yang sama. Entah apa yang ia lakukan, mungkin melihat anak anak kecil bermain didekat air mancur atau mungkin…

… menungguku datang.

Entahlah, tidak pernah sebelumnya aku memikirkan seorang yeoja seperti ini. Hanya dia yang dapat masuk kedalam pikiranku, menari nari di benakku dan membuatku seakan akan terhipnotis seperti ini.

Sore ini, aku sudah berjanji untuk mengajaknya kencan. Tidak jauh, hanya ke taman dekat kompleks saja. ini hanya kencan sederhana. Aku mengajaknya karena aku ingin mengenalnya lebih dalam lagi.

“Namja-manis-rumah-sakit!” Teriaknya saat ia keluar dari balik pintu rumah. Aku memandangnya, terpana akan sosoknya yang sekarang.

Anjoo begitu cantik memukau. Ia mengenakan dress hijau cerah dengan corak bunga yang sederhana. Dress itu terbuat dari beludru yang indah dengan jahitan jahitan manis di tiap helainya. Lengannya panjang ketat ¾ tangan. Ikat pinggang putih selebar tiga jari semakin membuatnya terlihat anggun ditambah dengan sepatu selop sederhana berwarna hitam dengan bandul pita yang mungil.

“Ayo! Kita kencan!” Serunya. Ia lalu menggapit lenganku lagi. Aku hanya terkekeh melihatnya. Kami berjalan dengan percaya diri di sisi sisi jalan utama.

Di taman kota, banyak anak anak sedang bermain. Disana terdapat air mancur tinggi menjulang beserta pohon pohon trembesi yang botak menghias area area kosong taman.

Kami duduk di tempat seperti biasa, yaitu dibawah pohon trembesi paling besar dan paling gagah. Anjoo terus menggapit lenganku, seperti tidak ingin melepaskannya. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Sengaja aku mengajaknya sebelum petang karena ingin menyaksikan matahari terbenam di taman kota bersamanya.

Kami menyaksikan anak anak bermain agak lama sembari mengobrol tentang satu sama lain. Yah… impiannya menjadi pelawak memang terbilang unik, tapi aku suka akan ambisinya yang kuat dan besar. Ia memiliki akar keinginan yang kuat.

“Kau mau lolipop? Aku belikan satu untukmu.” Tawarku.

Seperti dugaanku, Anjoo pasti menyengir, tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya dan mengangguk. “Tentu saja. kau yang traktir ya!” Serunya. Aku hanya terkekeh sebentar melihatnya.

Aku lalu membelikannya satu yang berbentuk bulat dan untukku satu. Lollipop itu sangat besar, lebarnya seluas telapak tangan. Baru menjilatnya beberapa menit saja, lidahku sudah pegal.

“Hmm… Apakah kau pernah berciuman?”tanyaku iseng padanya.

Anjoo yang sedang asyik menjilat lollipopnya lalu menoleh, “Berciuman?” Tanyanya. aku mengangguk. Ia menggeleng, “Tidak pernah.”

“Kalau begitu, apa mau mencobanya?” Tanyaku.

“Dengan siapa?”

“Aku.”

Anjoo terdiam tak berkutik dan kembali mematung. “Tapi, aku…” Kalimatnya terputus. Ia menoleh lalu menatapku lekat. “Aku terlalu muda untuk berciuman, aku tidak mau.” Tolaknya.

Aku tersenyum, “Itu gampang.” Ujarku.

Aku lalu menempelkan lollipopku di bibirnya. Ia masih kebingungan. Matanya bergerak keatas dan kebawah menatapku dan lollipop yang ku tempelkan di bibirnya.

Aku lalu mendorong kepalaku dan menempelkan bibirku di lollipop yang tertempel di bibir Anjoo. Mataku terpejam. Begitu juga dengan mata Anjoo, terpejam dengan refleksnya. Aku menikmati ciuman-tak-jadi itu sesaat.

Kami pun melepaskan ciuman itu. Jantungku berdegup kencang dan darahku mengalir dengan panas dan cepat. Organ organ tubuhku rasanya tidak berjalan dengan benar saat aku melepaskan bibirku dari lollipop itu. Beribu ribu kupu kupu rasanya memenuhi perutku, geli sekali, membuatku jadi sedikit mual.

Anjoo membuka matanya, menatapku perlahan dengan mata bulatnya. Ia lalu memeletkan lidahnya dan menjilati sisi sisi bibirnya. “Hmm… manis!” Serunya sambil menjilati bibirnya. “Lolipop milikmu jauh lebih enak daripada milikku. Kau curang! Memberikanku lollipop yang rasanya kurang enak!” Serunya.

Aku menghela napas kesal. Kupikir, ia akan mengomentari ciuman-tidak-jadi itu. Tapi, rupanya yang ia komentari adalah rasa lollipop milikku! Aku hanya mendengus dan terus mendengus. Tidak bisakkah ia merasakan apa yang kurasakan, sangat sulit bagiku untuk menciumnya walau dengan perantara lollipop seperti itu.

Matahari sudah terbenam di ufuk barat. Aku lalu mengajaknya untuk pulang. Seperti biasa, ia selalu berjalan disampingku dan menggapit lenganku.

“Gomawo untuk hari ini.” Kataku ketika ia sudah berada tepat di depan rumahnya.

Anjoo melepaskan lenganku, “Ne, sama sama!” Balasnya dengan nada ceria sambil tersenyum manis.

Kami terdiam, tidak tahu mau berkata apa apa lagi. “Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu.” Kataku. Anjoo mengangguk menanggapiku.

CHUU…

Aku langsung melesat pergi masuk kedalam rumah setelah mencium pipinya dengan gerakan cepat. Jantungku berdegup dengan keras dan tubuhku seakan akan merinding. Aku begitu senang, rasanya seperti ingin terbang saja.

Gorden jendela kamarku di lantai atas kubuka sedikit. Aku mengintip Anjoo yang masih berdiri di tempat yang sama. Ia terlihat terkejut dengan perlakuanku tadi. Ia masih mematung dengan mata yang membulat sempurna.

“KYAAA!” Teriaknya dan sontak membuatku terlonjak kaget. “Aku dicium namja-manis-rumah-sakit!” Teriaknya lagi. Ia lalu menampar pipi kirinya. Masih tak percaya, ia kembali menampar pipi kanannya. dan begitu ia lakukan berulang ulang sampai ia percaya bahwa itu bukan mimpi.

“Aku dicium olehnya!” Teriaknya lalu berlari memutar di jalanan depan rumahnya. Aku hanya dapat tertawa melihatnya begitu. “Aku dicium olehnya!” Teriaknya berkali kali. Teriakan itu terus menggema hingga Anjoo lelah dan memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumahnya.

***

Anjoo POV

Seperti biasa, setiap sore aku selalu duduk di kursi taman kompleks. Hari ini hari yang mendung. Sejak pagi tadi, gerimis terus menerus jatuh membasahi bumi. Aku melihat anak anak kompleks yang sedang bermain main di air mancur yang menjadi pusat taman. Taman tidak seramai biasanya, mungkin karena gerimis sejak tadi pagi.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sesosok laki laki manis yang biasa datang menemuiku disini. Biasanya ia sudah datang, tapi hari ini batang hidungnya sama sekali belum terlihat. Aku tidak pernah bisa berhenti memikirkannya sejak kemarin malam, apakah itu yang namanya jatuh cinta?

Sudah lebih dari 20 menit aku menunggu dan Donghae belum kunjung datang. Aku tidak pernah memanggil namanya, aku lebih suka memanggilnya dengan nama julukan yang aku buat yaitu namja-manis-rumah-sakit.

Gerimis kecil yang tadinya mengguyur bumi kini berubah menjadi hujan deras. Semua orang yang sedang berada di taman berlalu lalang tak tentu arah mencari tempat untuk berteduh. Putus asa karena Donghae tidak kunjung datang, aku lalu berlari menerobos hujan deras ke rumahku.

Aku menatap rumah Donghae lama saat aku bersiap untuk masuk kedalam rumah. Mataku bergerak ke kanan dan ke kiri mencari sosok itu di rumahnya, tapi Donghae maupun bayangannya sama sekali tidak terlihat.

***

Kejadian itu terus berulang ulang hingga seminggu lamanya. Ku pikir Donghae tidak ingin menemuiku waktu itu karena hujan, sayangnya perkiraanku salah. Ia tidak pernah datang menemuiku, meskipun cuaca sedang cerah. Setiap hari aku selalu setia menunggunya di taman.

rasa khawatir dan penasaran menyeruak dalam diriku. Aku sudah berusaha untuk menahannya, namun semakin lama rasa itu semakin besar, menyelubungi diriku dan mendorongku untuk melakukan sesuatu. Akhirnya, dengan rasa sedikit percaya diri, aku pun mendatangi rumahnya.

Pagar rumah Donghae terbuka. Namun, yang aku dapati bukan Donghae, melainkan sepupunya, Eunhyuk.

“Mau apa kau?” Tanyanya ‘to the point’ tanpa berbasa basi.

“Aku ingin menemui Donghae. Apa dia ada?”

Mimik wajahnya langsung berubah, “Dia tidak ada.” Jawabnya singkat.

“Tapi, aku ingin sekali menemuinya.” Ujarku. “Aku sudah menunggunya di taman seminggu ini tapi dia tak kunjung datang. Tidak biasanya, ia seperti itu.” Kataku. “Aku pikir ia tidak ingin menemuiku lagi.” Kataku sembari tertunduk. Sedih dan rindu, itulah yang kurasakan sekarang.

Eunhyuk memandangiku dengan tatapan iba, “Dia pasti ingin sekali bertemu denganmu, tapi dia sedang mengurusi urusan penting.” Katanya.

“Apa itu?”

“Bukan apa apa, nanti juga dia akan pulang, kau tenang saja.” Jawabnya.

“Bolehkah aku menitip pesan untuknya?” Tanyaku. “Tolong katakan padanya bahwa aku sangat merindukannya dan bilang padanya gomawo karena sudah menjadi teman yang baik untukku.”

Eunhyuk masih menatapku, entah tatapan sedih atau kasian. “Kau sampaikan saja padanya sendiri.” Katanya. Aku mendongak dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Mataku sudah berkaca kaca karena menahan rasa sedih dan rindu. “Biar ku antarkan kau ke tempat Donghae berada.”

***

Kami berhenti di sebuah bangunan megah. Aku sempat bertanya tanya kenapa harus kesana, tapi Eunhyuk menyuruhku untuk diam. Kami menyusuri koridor bangunan itu. Eunhyuk seperti terburu buru, ia melangkah dengan langkah yang lebar dan cepat.

Langkahnya lalu terhenti di salah satu ruangan. Eunhyuk menyuruhku untuk masuk. Karena penasaran, aku lalu masuk. Betapa terkejutnya aku ketika melihat orang yang berada di kamar itu. Ne, Lee Donghae, ia sedang tertidur lemas diatas kasur dengan infuse tertancap di tangannya dan selang oksigen di hidungnya.

“Apa dia tidak pernah memberitahumu soal penyakitnya?” Tanya Eunhyuk yang berdiri di sampingku.

Air mata langsung menetes dari pelupuk mataku. Setetes, dua tetes, sampai akhirnya mampu membasahi seluruh permukaan pipiku. “Penyakit apa maksudmu?” Tanyaku sembari mengusap air mataku dengan punggung tanganku. “Ia sehat, ia tidak sakit!”

“Dia koma, Anjoo!” Kata Eunhyuk. “Kanker hati, ia sudah menderitanya sekitar delapan bulan lalu. Ia sudah sekarat sejak lama, kankernya tumbuh begitu cepat dan sekarang sudah mencapai stadium terakhir. Kemoterapi sudah dilaksanakan, tapi tubuh Donghae tidak bisa menerima obat keras yang masuk dan mengalir di darahnya. Jadi, Dokter melakukan tekhnik pengobatan lain.” Jelas Eunhyuk.

Kakiku terasa lemas sekali. Aku terus menatap wajah Donghae yang putih memucat, “Lalu, apakah dia bisa sembuh?” Tanyaku sembari menangis tersedu sedu. “Sampai kapan ia akan menderita begini?”

Eunhyuk menggelengkan kepalanya, “Dokter bilang hanya 10% kemungkinan dia untuk hidup lebih lama lagi. Orang tua Donghae masih mencari pendonor organ hati untuknya.” Jawab Eunhyuk.

Aku tertunduk lesu, “Padahal ia senang sekali waktu itu, padahal ia… ia…” Kalimatku terpotong dan aku langsung menangis. Kakiku tidak kuat lagi menopang tubuhku. Aku pun terjatuh, terduduk dan menangis, menyesali takdir yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.

“Dia memang sangat senang jika bersama denganmu.” Ujar Eunhyuk. “Kau itu seperti penyemangat hidup baginya.” Katanya lagi.

Aku terdiam tak bergeming. air mata terus menerus menetes di mataku. mataku serasa sudah bengkak. Tangisku tak kunjung reda sampai akhirnya pandanganku menjadi gelap dan kesadaranku menghilang.

***

Donghae POV

Aku terbangun dari tidur panjangku. Ku kedip kedipkan mataku sebentar hingga pandanganku jelas. Didepanku berdiri 4 orang, yaitu Ayahku, Ibuku, Eunhyuk dan Dokter spesialis kankerku.

“Selamat ya, Donghae, kau sudah sembuh total.” Kata Dokter sembari tersenyum. Aku melihat kearah mereka dengan heran. Sembuh total? Apa maksudnya? Bagaimana mungkin aku bisa sembuh total?

“Tapi, kan aku baru terbangun dari koma, mana mungkin aku bisa sembuh total.” Kataku. “Ini pasti mimpi. Ini pasti mimpi!”

“Tidak, sayang.” Bantah eomma ku. “Saat kau koma, ada seorang yeoja yang datang kesini dan menjengukmu. ia terus menerus membisikkan kata kata yang indah dan ceria. Disaat itu, kau terbangun dari koma tapi sayangnya matamu belum sempat terbuka dan kau belum juga sadar. Sampai akhirnya, sekarang kau sudah sadar dan sembuh total.” Jelas eomma ku.

“Ne, ada yang mendonorkan hati untukmu, saat kau sudah terbangun dari koma, dokter langsung mengoperasimu. Sekarang, kau sudah sembuh total, selamat ya.” Ujar appa ku.

Aku mengangguk tapi sayangnya rasa bingung itu masih ada meskipun sudah dijelaskan panjang lebar oleh kedua orang tuaku. “Lalu, siapa yeoja itu? Goo Anjoo?” Tanyaku sambil menatap Eunhyuk.

Eunhyuk mengangguk takut takut, “Ne, aku yang memberitahunya tentang penyakitmu.” Akunya takut takut. Aku memelotinya marah saat tau itu, namun entah mengapa aku tidak bisa marah karena sudah terpaut senang akan kesembuhanku.

“Lalu, dimana dia?”

“Ia ada di rumah sakit ini.” Jawabnya. “Dia yang mendonorkan hati untukmu.”

Kalimat terakhir yang kudengar dari bibir Eunhyuk seperti petir yang menghantam kuat kepalaku. Aku sedikit terhuyung karena pusing atas apa yang kudengar. Ku paksakan diriku untuk bangun dan berlari keluar kamar untuk menyusulnya. Orang tuaku dan dokter sudah berteriak agar aku tidak keluar kamar rawat karena kondisiku yang masih belum stabil. Tapi, aku sama sekali tak peduli. Infuse yang tertancap di punggung tanganku terlepas dan darah mengucur dari tanganku. Aku membuka semua pintu pintu yang ada di rumah sakit, mencari sosoknya yang manis.

Dan akhirnya kutemukan ia…

Anjoo sedang terbaring diatas kasur rumah sakit. Seorang perawat baru saja ingin menutup wajahnya dengan sehelai kain putih, namun aku menghentikannya. Aku melihat wajah kaku itu dengan seksama.

Itu benar benar Anjoo…

Tapi, mengapa harus dia? Seharusnya biar aku saja yang mati! Aku menatap wajahnya lekat lekat. Bibirnya tersenyum, dan terlihat olehku masih ada urat ceria yang tergambar samar di wajahnya. Aku mendorong kepalaku mendekati wajahnya, hingga akhirnya tak ada lagi jarak antara wajahku dan wajahnya.

CHUPP…

Ku kecup sebentar bibirnya yang sudah kaku dan dingin. Aku meneteskan air mataku. tetesan tetesan itu jatuh di wajahnya. Ku dekatkan bibirku di telinganya, membisikkan sesuatu untuknya.

“Terima kasih sudah mengizinkanku memiliki hatiku. Aku berjanji akan terus hidup di dunia ini sebagai penghargaan atas cintamu padaku. Kau segalanya bagiku, aku tidak akan pernah melupakanmu, Goo Anjoo!”

Aku lalu menutup wajahnya yang tersenyum kaku dengan kain putih itu. Ia sudah pergi, tapi aku tahu ia sudah melakukan pilihan yang terbaik. Anjoo… semoga kau bahagia disana, aku mencintaimu.

*THE END*

-Epilog-

Pagar rumahku terbuka, aku menatap rumah yang ada didepanku sembari tersenyum. Dengan sedikit ancang ancang, aku lalu berlari dengan kamera yang tergantung di leherku. Entah mengapa hari ini aku sedang ingin mengambil gambar pemandangan pemandangan yang ada. Pasti akan sangat indah dan menakjubkan.

Aku berlari dengan cepat di sepanjang jalan utama gang perumahanku. Ini sudah hari ke-63 sejak kepergian Anjoo. Itu berarti sudah lebih dari dua bulan aku sembuh.

“Hey! Namja-manis-rumah-sakit! Hati hati! Nanti kau jatuh dan sakit lagi!”

Langkahku langsung berhenti. Aku menoleh kebelakangku dan mencari cari siapa yang berbicara. Namun, tak ada satu pun orang di gang.

Senyum pun tergurat di wajahku, “Ne.” Tanggapku pada suara samar samar itu. aku lalu berbalik dan kembali berlari lagi dengan semangat hidup yang membara.

***

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
darkbluez #1
Chapter 1: Akhirnya sedih banget... T_T Tapi aku suka sama tokoh Goo Anjoo! Dia baik banget sama Donghae! Sampe mau berkorban mengoperasi hatinya...... /crying/ :')



Cool FanFics!
jewelsvalencia #2
Chapter 1: Ahhhh sedih banget TT ^ TT

bagus nih ceritanya chingu :D