One Mistake And One Rgret

Her Time Machine // oneshot

(NOTE: Italics berarti adegan flashback)

Seohyun-Kyuhyun

Seohyun menatap buku itu dengan pandangan nanar. Buku yang tidak pernah disentuhnya, yang selalu tersimpan manis di rak buku mahogani tua peninggalan kakeknya. Sedikit berdebu akibat tidak pernah tersentuh sama sekali, namun sampulnya masih terawat dengan baik. Buku itu tidak mengumpulkan guratan kata dan goresan pena, namun di dalamnya terkumpul beberapa foto dari masa lalu. Masa lalu yang ia coba lupakan.

Jemari kurus Seohyun membuka beberapa lembar pertama buku itu. Wajah-wajah yang tak asing lewat begitu saja ketika ia membaliknya dengan sedikit lebih cepat. Hingga akhirnya ia berhenti pada satu halaman yang menyimpan sebuah foto spesial. Alisnya bertaut dan dahinya terlipat sedikit. Bahkan hatinya ikut merasa seperti diremas. Dalam sebuah kertas persegi yang mengabadikan wajah masa kecilnya, berdiri seorang lelaki dengan sebuah senyuman lebar setengah memeluk bahu Seohyun. Dia lelaki yang ia cintai sekaligus ia benci. Cho Kyuhyun.

Menyebut nama itu di pikirannya saja sudah membuat bibir Seohyun melengkung ke bawah.

Foto itu diambil sekitar 8 tahun yang lalu, ketika mereka berdua masih duduk di Sekolah Menengah Pertama. Seohyun ingat benar kapan foto itu diambil (meskipun selama ini ia berusaha keras untuk melupakan semuanya), hari yang sama saat mereka berdua pergi ke festival sekolah sebagai anak baru yang masih kuper. Pada saat itu Seohyun hanya memiliki Kyuhyun sebagai teman, karena lelaki itu telah mendeklarasikan bahwa Cho Kyuhyun akan menjadi teman Seohyun untuk selamanya sejak mereka bertemu pertama kali di Taman Kanak-Kanak.

Janji yang kini telah hilang dimakan oleh waktu.

“A-apa? Kyuhyun, aku tidak mengerti.”

“Apa yang kau tidak mengerti, Seohyun-ah? Tidak bisakah kau ikut bahagia mendengar kalau aku sudah punya pacar? Untuk pertama kalinya! Hahaha!”

Tanpa sadar Seohyun meremat ujung rok seragamnya di balik meja, ia mencoba agar air matanya tidak keluar. “Kenapa?” suaranya terdengar sedikit bergetar.

“Aku tidak tahu, aku ingin punya saja.”

“Tapi kau tidak benar-benar mencintainya kan? Entah siapalah namanya itu.”

“Namanya Hyelim, Seohyun-ah, aku sudah bilang padamu kan. Dan tidak, aku memang tidak-eh-belum mencintainya. Tapi siapa yang peduli? Ayahku bilang remaja seumuran kita itu cuma punya cinta monyet.”

‘Cinta monyet’ desis Seohyun dalam hati. Lalu apakah yang ia rasakan sekarang ini hanyalah cinta monyet?

“Tttapi… Kyuhyun-ah, kau berjanji… kalau kau akan menjadi temanku selamanya… Kenapa… cewek itu….” Seohyun sudah tidak sanggup lagi untuk meneruskan kata-katanya ketika Kyuhyun menatapnya dengan pandangan setengah tidak percaya.

“Hahaha, kau tidak benar-benar menganggapnya serius kan, Seohyun-ah? Maksudku, aku menyukaimu dan aku juga senang berteman denganmu. Tapi aku mengatakannya waktu aku masih TK. Dan tidak mungkin kan kita terus bersama.”

‘Berani-beraninya kau mengatakan itu sambil tertawa?!’ pikirannya berteriak hingga terasa ingin meledak. Seohyun berdiri dari duduknya dan menumpahkan seluruh isi susu kotak yang ia beli ke wajah Kyuhyun.

“JANGAN PERNAH MENUNJUKKAN WAJAHMU SEKALIPUN DI HADAPANKU, CHO KYUHYUN!”

Dan seperti itulah bagaimana pertemanan mereka berakhir. Tentu saja terkadang Kyuhyun muncul tak sengaja di depannya, tetapi Seohyun dengan segera mengabaikan kehadiran cowok itu. Satu tahun, dua tahun, tidak ada yang membaik di antara mereka berdua. Seohyun tumbuh menjadi wanita dewasa yang anggun, sementara Kyuhyun, Cho Kyuhyun yang itu, setelah ‘lepas’ dari Seohyun justru semakin menjadi-jadi. Ketika ia masuk SMA, Seohyun mendengar reputasi Kyuhyun yang kini sudah dicap sebagai playboy, berganti-ganti wanita sesering ia berganti baju.

Tanpa sadar Seohyun kini tengah menitikkan air mata. Waktu terus bergulir dan saat ini, Seohyun yang menginjak umur 21 tahun sudah harus pindah ke London, Inggris untuk mengejar mimpi dan karirnya. Ini adalah hari terakhirnya di Seoul.

Siapa yang ia coba bodohi? Kyuhyun adalah teman pertamanya dan akan terus menjadi temannya sampai kapanpun. Meskipun tentu saja ia adalah teman yang bodoh. Tetapi lelaki itu begitu berarti bagi Seohyun. Ia menyadari bahwa mereka berdua -baik Seohyun maupun Kyuhyun- telah membuat kesalahan. Ia tidak seharusnya menyalahkan segalanya pada Kyuhyun. Apa yang dikatakannya saat itu memang ada benarnya, meskipun tidak semuanya. Seohyun sadar tidak seharusnya ia terlalu naik emosi. Jika ia menganggap dirinya sebagai teman terdekat Kyuhyun (dan juga men’cinta’inya) seharusnya Seohyun tetap mendukung Kyuhyun dan mendampingi laki-laki itu apapun yang terjadi. Jika saja ia dapat memutar balikkan waktu. Ia akan mengatakan bahwa ia menyesal telah mem’buang’ Kyuhyun.

Tidak.

Dia sesungguhnya masih memiliki kesempatan.

Seohyun berdiri dari duduknya. Ia dengan segera mengusap pipinya yang basah karena air mata. Ia tidak mau tampil berantakan di depan cowok itu ketika ia mengungkapkan semua perasaannya sebelum terlambat. Seohyun masih bisa memperbaiki semuanya.

Ia harus bisa.

–o0o–

Hyoyeon-Eunhyuk

Jam tangan Rolex pria yang kebesaran di tangan rampingnya sudah menunjukkan bahwa ia telah menunggu lebih dari 1 jam. Hyoyeon mendesah kepada udara kosong ditemani suara mesin uap kereta api yang baru saja datang. Tak sekalipun ia mencoba duduk, gadis itu lebih memilih bersandar pada dinding batu merah yang tepat berada di Peron 9. Tempat ia berjanji untuk menunggu ‘dia’.

“Lee Hyukjae sialan, di mana kamu?” ia lebih ke berbisik pada dirinya sendiri.

Angin yang berasal dari kereta api yang baru saja berangkat membuat rambut pirangnya berkibar menari mengikuti hembusan elemen tak kasat mata itu. Hyoyeon kembali teringat ketika ia pertama kali melepasnya pergi. Tepat di tempat ini.

“Lee Hyukjae, kau tampak tampan sekarang.” Hyoyeon merapikan seragam militer Hyukjae untuk terakhir kalinya sebelum ia menatap lelaki di depannya dengan bangga.

Sebuah gummy smile paling menawan menyambut Hyoyeon setelah itu. “Aku sudah tampan dari dulu, tahu. Makanya kau jatuh hati padaku.”

Hyoyeon memukul bahu Hyukjae setengah bercanda, yah kekasihnya itu ada benarnya juga. Tawa Hyoyeon semakin memudar lama kelamaan ketika ia ingat Hyukjae sebentar lagi tidak akan bisa menemaninya setiap saat. Alis Hyukjae bertaut melihat ekspresi Hyoyeon yang berubah, ia mengulurkan tangan untuk mencubit pipi Hyoyeon hingga pipinya melar.

“Hoy hoy, sudah kubilang jangan melepas kepergianku dengan wajah sedih. Nanti bagaimana aku bisa tenang bertugas kalau yang kuingat darimu sebelum aku pergi adalah wajah sedihmu. Kim Hyoyeon smiiiileeee~”

“ADAAAWW lhefashkan ahku Hiokjhae” Hyoyeon berusaha melepaskan tangan Hyukjae dari wajahnya sebelum akhirnya laki-laki itu menyerah.

Hyoyeon menatap Hyukjae dengan ekspresi campur aduk, ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Kekasihnya itu dipanggil untuk bertugas sebagai tenaga tambahan di bagian perbatasan dekat dengan Korea Utara. Dan ia, tidak akan bisa bertemu dengannya untuk waktu yang lama. Hyoyeon adalah wanita yang kuat dan tegar, maka ia tahu ia bisa menahan emosinya di depan Hyukjae hingga akhirnya laki-laki itu benar-benar pergi. Setidaknya untuk saat ini.

“Aku akan merindukanmu.” Bisik Hyoyeon, setiap kata yang keluar terdengar seperti alunan kasih sayang yang meluap.

Hyukjae tersenyum, kali ini lebih lembut. “Aku tahu. Aku akan merindukanmu 10 kali lipat lebih besar daripada kau merindukanku.”

“Dasar bocah.”

“Yang kau jatuh cinta padanya.”

“Pabo.” Tangan Hyoyeon kini sudah merangkul erat tubuh Hyukjae. Begitu juga dengan namja itu, Hyukjae seperti memeluk dengan seluruh tenaganya. Untuk sesaat mereka tidak bergerak dan hanya berpelukan seperti itu tanpa mempedulikan orang lain.

“3 Januari, aku akan pulang tanggal 3 Januari. Dan sampai saat itu tiba, maukah kau terus menungguku, Kim Hyoyeon?” Hyukjae bergumam di pelukannya, sementara Hyoyeon dengan sekuat tenaga menahan setiap air mata yang telah menggenang.

“Kau tidak perlu memintaku karena aku pasti akan melakukannya.”

“Kalau begitu tunggu aku, dan ketika aku pulang, aku akan membawamu ke altar dan menikahimu di sana, lalu kita akan membeli rumah di pinggir pantai seperti yang selama ini kau inginkan dan kita akan tinggal di sana bersama anak-anak kita yang banyak.”

Hyoyeon tertawa, dan terisak secara bersamaan. Apakah Hyukjae baru saja melamarnya? Dasar laki-laki bodoh, pelamaran macam apa itu. Tapi toh, Hyoyeon begitu mencintainya hingga ia tidak perlu memikirkan jawaban yang lain.

“Aku akan terus menunggumu Lee Hyukjae, dan ya aku mau jadi istrimu.”

“Berjanjilah untuk tidak pernah lelah menungguku, Hyoyeon.”

Hyoyeon benar-benar menepati janjinya. Bahkan ketika 3 Januari telah jauh berlalu. Bahkan ketika Hyukjae tidak pernah memberi kabar lagi. Ketika Hyukjae tidak pernah muncul di Peron 9 itu. Hyoyeon tetap setia menunggu.

Setiap hari, Hyoyeon datang ke stasiun di jam yang sama dan tempat yang sama. Menunggu laki-laki yang dicintainya muncul di depannya sambil menunjukkan gummy smile paling menawan yang ia miliki. Hyoyeon tidak pernah lelah menunggu, ia tidak pernah berhenti berharap. Ia akan selalu ada untuk menyambut Hyukjae.

Hyoyeon tersenyum lemah, ketika dilihatnya jarum jam berkata ia harus pergi dari sana sekarang. Ia melangkahkan kakinya menjauh dari Peron 9. Menyapa beberapa petugas yang tersenyum padanya ketika ia beranjak keluar. Petugas yang sudah hafal dengan kehadiran gadis itu di stasiun. Hyoyeon tetap tersenyum, meskipun saat itu Hyukjae tidak ada untuk memeluknya lagi.

Mungkin tidak hari ini. Tapi besok, atau bisa saja besoknya lagi, Hyukjae akan kembali padanya.

–o0o–

Sunny-Sungmin

Hujan yang membasahi wajahnya seakan ingin menghapus jejak air mata yang sempat mengalir di sana. Sunny berdiri kaku di depan Rumah Sakit yang sama yang menjadi saksi kepergian tunangannya, SungMin. Bahkan ia telah siap dengan pakaian serba hitam. Setiap tahun, setiap tanggal 13 Februari ia akan datang ke tempat ini membawa seluruh dukanya.

Ia tahu ia hanya akan menyiksa dirinya sendiri karena tenggelam dalam masa lalu. Meskipun ia tahu Sungmin tidak akan pernah kembali lagi meski ia memohon-mohon pada Tuhan. Sungmin telah pergi untuk selamanya, ia mengerti. Sunny hanya ingin kenangannya bersama lelaki itu tidak hilang. Bahwa ia masih ingin terhubung dengan segala hal yang mengingatkannya akan Sungmin.

Tapi hari ini tidak sama seperti biasanya. Tanggal 13 Februari tidak pernah hujan, Sunny tahu itu. Langit tidak berduka ketika dokter menghampiri Sunny dan berkata bahwa operasi pengangkatan kanker Sungmin gagal. Sunny ingin membenci langit yang seolah menertawakannya ketika itu. Apalagi ketika mengingat namanya sendiri mencerminkan cuaca pada siang di mana Sungmin meninggalkannya.

Hujan terus jatuh tak peduli apakah Sunny kedinginan di tengah terpaannya. Dan Sunny sendiri, ia tidak repot-repot mengeluarkan payung ataupun berusaha membuat tubuhnya kering. Sunny ingin larut bersama hujan itu. Dalam hatinya ia ingin agar semua kesedihannya berakhir sudah. Yang ia harapkan hanya memutar balik waktu ketika tangan Sungmin yang digenggam Sunny masih hangat. Ia ingin kembali ke masa lalu dan mengatakan bahwa ia benar-benar mencintai tunangannya itu sebanyak yang ia mau sampai Sungmin bosan mendengarnya.

Ia menyesal ia tidak mengatakannya lebih banyak lagi ketika Sungmin masih hidup.

Namun penyesalan hanyalah penyesalan.

“Ne, Sunny-ah.”

“Hmm?”

“Saranghae.”

“Aku tahu, aku tahu. Aku sudah banyak mendengar itu darimu Sungminnie. Sekarang makan buburmu jangan sampai jadi dingin.”

Itu adalah kali terakhir Sungmin mengatakan ia mencintai Sunny sebelum kata itu tidak pernah lagi keluar dari mulutnya. Dan Sunny mengutuk dirinya sendiri karena ia tidak membalas Sungmin dengan jawaban yang lebih pantas.

Sunny memejamkan matanya dan kepalanya terangkat menantang hujan, setiap tetes yang menyentuh kulitnya ia rasakan. “Sungminnie, saranghae. Saranghae, saranghae, saranghae, saranghaeyo.” Ia terisak bersama setiap kata cinta yang terucap. Air matanya berkamuflase dan jatuh bersama hujan tanpa ia sadari.

“Berapa kali aku harus mengatakannya supaya kau bisa mendengarkanku di sana, Sungminnie?” Kali ini Sunny terdengar lebih putus asa. Hatinya sudah lama hancur dan ia sendiri tidak bisa menyatukan kepingan-kepingannya lagi.

“Saranghaeyo…” bisik Sunny lagi, kali ini lebih lemah.

–o0o–

Yuri-Yesung

Yuri menyalakan handphonenya lagi untuk mengecek jam, sudah pukul 2 pagi dan ia sama sekali tidak mengantuk meskipun ia berbaring di tempat tidur. Ia menatap tempat kosong di sebelahnya, biasanya punggung laki-laki itu akan menyambutnya setiap kali Yuri terbangun dan membuka mata. Ya, hanya punggung. Karena Yesung kini telah menolak untuk tidur menghadap ke arah Yuri. Akibat akumulasi kekecewaan yang terlalu besar.

Yuri tahu ia salah. Salah besar. Ia tidak bermaksud, pada awalnya, untuk bermain api dengan rumah tangganya bersama Yesung ketika ia menerima tawaran Taeyang -teman sekantornya- untuk makan siang. Makan siang yang berlanjut menjadi perselingkuhan ketika Yuri tidak bisa menahan dirinya. Sampai Yesung memergokinya sendiri.

Wajah Yesung yang benar-benar tersakiti ketika itu membuat Yuri melupakan Taeyang dengan segera. Persetan, ia sudah tidak peduli lagi dengan cowok itu. Yuri tahu ia hanya ingin Yesung kembali padanya, ia ingin hati Yesung yang hangat dapat ia genggam kembali.

“Mianhae… aku benar-benar minta maaf.” Suaranya yang tercekat hanya disambut Yesung dengan keheningan untuk beberapa saat.

“Aku selalu berpikir aku bisa mempercayaimu, Yuri-ah.” Cara Yesung menatapnya membuat Yuri semakin hancur. Itu adalah tatapan orang kecewa.

Yuri terisak, ia menutup kedua wajahnya dengan tangannya yang kini juga ikut basah karena air mata. Sementara Yesung hanya duduk di sofanya dengan kaku. Pria itu sama sekali tidak mengganti pakaiannya sejak ia pulang ke rumah, masih tetap dengan jas kantornya yang sekarang sudah sedikit acak-acakan dan kusut.

“Kau tahu ketika aku menikahimu…” suara Yesung yang pelan justru terasa menusuk-nusuk di telinga Yuri, “Aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku tidak akan pernah menyesalinya. Aku bersyukur pada Tuhan bahwa aku dianugerahi istri yang sempurna.”

Perlahan-lahan Yuri mengangkat kepalanya dan menatap wajah Yesung tepat di matanya. Seketika dadanya terasa sesak, Yesung menangis. Hanya setetes, namun tetap air mata.

“Tapi sepertinya, di dunia ini memang tidak ada kesempurnaan kan?”

“Mianhae… Yeobo…” rintih Yuri. Ia terlalu lemah sekarang.

Yesung bangkit berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah pintu. “Tolong jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi. Aku mohon.”

Yesung tidak pernah menceraikan Yuri. Tidak sekalipun pria itu mengatakan bahwa ia ingin berpisah dengan Yuri. Tetapi keadaan setelah itu tidak pernah sama lagi. Seolah-olah tubuh pria itu ada bersamanya tetapi hatinya tidak. Dan Yuri menangis dalam diam setiap hari karena itu.

Sudah hampir setahun sejak kejadian itu, dan seharusnya hari ini -ah tidak- kemarin, karena ini sudah melewati tengah malam, adalah hari peringatan pernikahan mereka berdua. Yuri ingin memperbaiki semua, maka dari itu ia telah menyiapkan beberapa kejutan. Berharap dengan begitu suaminya akan melunak sedikit. Ia telah menyiapkan banyak balon, sama seperti ketika suaminya itu melamarnya dulu, menggunakan benda warna-warni itu untuk menyembunyikan cincin lamarannya.

Tapi Yesung tidak pulang malam itu, dan meninggalkan Yuri sendirian di kamarnya. Wanita itu tidak tahu apakah Yesung sengaja, atau memang telah melupakan semuanya.

Yuri bangkit dari tempat tidur, ia memilih duduk di lantai sebelah tempat tidurnya dan menatap layar ponselnya sekali lagi. Ia selama ini telah menunggu sebuah telepon yang tidak akan kunjung datang. Sekali lagi ia sendirian, menangisi segala kesalahannya.

–o0o–

Sooyoung-Hankyung

‘Kriiiing kriiiing’

Sooyoung hanya menatap telepon yang berdering itu untuk beberapa saat tanpa berniat untuk menyentuhnya. Ia tahu siapa yang menelepon, kemungkinan besar.

‘Kriiiing kriiiing’

Meskipun sedikit enggan, akhirnya Sooyoung beranjak untuk mengangkatnya.

“Yoboseyo?”

“Sooyoung.”

Ah, suara itu. Ya tebakannya memang benar. Suara yang tak pernah ia dengar langsung lagi.

“Hankyung, ada apa? Kenapa malam-malam?” seluruh emosinya yang menyeruak ia coba sesalkan jauh ke dalam.

“Aku akan menjemput Luhan besok siang.” Hatinya terasa berhenti berdetak ketika nama anaknya yang masih berusia 4 tahun disebut oleh lelaki itu.

“Kau jauh-jauh datang dari HongKong dan bersedia mengambil penerbangan terpagi ke Seoul hanya untuk menjemput Luhan?” Apakah suaranya terdengar pecah sekarang? Sooyoung tidak tahu. Ia menatap nanar ke mana saja yang ada di kamarnya yang gelap.

“Luhan anakku juga, Sooyoung.”

Ah, ya. Kata-kata itu mungkin yang paling ingin didengarnya lagi saat ini. Luhan, anak mereka berdua. Ketika mereka masih bersama sebagai keluarga.

“……..Kau tahu benar bukan, ketika Luhan sudah di tanganmu itu artinya aku akan sendiri lagi. Bahkan menemui anakku sendiri pun aku tidak akan bisa karena dia ada di negara lain?”

“Bukan aku yang menginginkan perceraian ini, Sooyoung. Kita bahkan sudah bercerai cukup lama, seharusnya kau sudah lebih ikhlas sekarang.”

“Nyatanya aku tidak.” Sooyoung terdengar tegas namun di dalam, ketegarannya sudah mulai luntur.

Untuk sesaat Hankyung tidak menjawab, pria itu hanya terdiam sebelum ia akhirnya berkata, “Tidak ada yang menginginkan perceraian terjadi Sooyoung. Tidak aku, dan juga dirimu. Tapi nyatanya kenyataan berkata lain.”

Seulas senyuman lemah tersungging di wajah Sooyoung. Ia tahu benar itu, Hankyung. Sooyoung rela menukar apapun untuk memutar balikkan waktu agar ia bisa mengulang dan merenovasi segalanya. Termasuk rumah tangganya yang hancur. “Kalau saja Tuhan mengijinkan kita kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya, apakah kau masih mau bersamaku, bersama Luhan, menjadi keluarga yang lebih utuh lagi?” Apa yang ia pikirkan sampai menanyakan hal itu? Sooyoung mengira akalnya sudah mulai menghilang.

“…….Ya, aku akan memberikan segalanya untuk itu.”

Ia tersenyum lagi, kali ini sebuah senyuman lega. Sooyoung merasa semua beban di dadanya telah terangkat. Ia telah mendapatkan jawabannya. “Terima kasih…”

–o0o–

Taeyeon-Kangin

Matahari yang bersinar cerah menyambut Taeyeon yang bersantai di teras rumahnya pada pagi itu. Gadis itu banyak memikirkan hal kali ini. Tentang hidupnya, tentang jalan yang dipilihnya. Dan ingatannya bertumbuk pada satu orang. Otomatis sudut bibirnya terangkat ketika wajah lelaki spesial itu terlintas di kepalanya.

Kangin, orang yang pernah mengisi hidupnya selama 3 tahun. Lelaki yang pernah memberinya kebahagian dan tawa yang tak terkira. Mungkin juga senyuman tertulus yang pernah diberikan Taeyeon seumur hidupnya adalah saat ia tersenyum untuk Kangin.

Tidak, bukan berarti Taeyeon tidak bahagia sekarang. Ia juga bahagia bersama Leeteuk, pria yang sebentar lagi akan mengikat janji sehidup semati dengannya. Leeteuk adalah lelaki yang baik, ia memperlakukan Taeyeon sebagaimana wanita layak diperlakukan. Ia menyenangi kehadiran pria itu.

Namun hanya dengan mengingat kenangannya bersama Kangin, Taeyeon merasa dadanya sesak. Ia dulu begitu yakin bahwa Kangin adalah orang yang akan mendampinginya seumur hidup. Bahkan terlalu yakin. Ia tertawa bersama Kangin, menangis untuk Kangin, dan mencintainya sekuat yang ia bisa. Tetapi hanya karena satu kesalahan kecil, hubungan mereka berakhir.

“Kangin… aku bilang apa tentang kebiasaanmu mabuk itu? Aku bilang sudah hentikan.” Taeyeon merebut botol soju yang dipegang Kangin. Dilihatnya botol-botol soju yang lain tergeletak di apartemen Kangin yang kini terlihat berantakan.

Kangin tidak fokus menatap ke arah Taeyeon, ia tertawa-tawa sebentar. “Hahaha Kim Taeyeon, pacarku yang manis.”

“Aku tahu kalau aku manis. Aish lihat, sepertinya kau mabuk sekali. Ayo kubantu kau berdiri untuk cuci muka.”

“Tidak mau…” gumam Kangin. Pria itu sepertinya sudah setengah tertidur.

Taeyeon berdiri sambil menarik-narik lengan Kangin, badannya yang besar membuat tubuh mungil Taeyeon kesusahan setengah mati. “Ugh…. Kang….In… Baaaanguuuun.”

Yang terjadi kemudian berada jauh dari perkiraan Taeyeon, “AKU TIDAK MAU!!!” teriakan Kangin menggerumuh di ruangan kecil itu, untuk sesaat Taeyeon terkejut karena itu adalah pertama kalinya Kangin berkata dengan suara keras padanya. “Kangin… ayo bangun…” Taeyeon mulai ragu-ragu.

“SUDAH KUBILANG AKU TIDAK MAU!” Kangin yang merasa terganggu mengayunkan tangannya sekenanya ke arah Taeyeon, dan tanpa sengaja pukulannya menghantam wajah Taeyeon seperti sebuah tamparan.

‘PLAK!’ suara tamparannya cukup keras untuk bergema di seluruh ruangan. Taeyeon terpaku, ia membeku dan hanya bisa duduk di lantai sambil memegang pipinya yang mulai memerah. Kangin yang mabuk masih tidak sepenuhnya sadar ketika Taeyeon lari meninggalkannya kemudian.

Setelah itu, apa yang terjadi adalah keduanya memutuskan untuk berpisah jalan. Hanya sebuah kesalahan kecil dan takdir mereka berubah sepenuhnya. Taeyeon kini sadar, setelah mengingatnya lagi, bahwa seharusnya ia menanyakan alasan Kangin mabuk pada itu. Malam itu mungkin adalah pertama kalinya Kangin, semenjak dilarang, minum-minum sampai mabuk. Seharusnya ia menyadari hal itu dari awal bahwa kelakuan Kangin terlalu janggal, seharusnya ia menanyakan pada Kangin alasan mengapa pria itu begitu depresi hinga mabuk.

Seharusnya, jika Taeyeon memang begitu mencintainya, ia mempertahankan Kangin meski apapun yang terjadi.

Ya, seharusnya.

Ia berpikir apa jadinya jika ia tidak terlalu mudah menyerah? Apa jadinya jika hubungan mereka terus berlanjut? Untuk sekarang ia yakin ia bahagia dengan hidupnya saat ini.

Tapi jika saat ini orang itu adalah Kangin, apakah semuanya akan sama saja?

Bagaimana kalau… kebahagiaan yang ia rasakan nantinya ‘berbeda’?

–o0o–

Tiffany-Siwon

Nafasnya berembun setiap kali ia menghembuskan nafas di udara yang dingin. Payungnya menghalangi tubuhnya basah dari gerimis salju yang mulai menutupi pohon-pohon dan jalan di sekitarnya dengan mantel putih. Tiffany hanya berjalan di taman tanpa arah. Ia bahkan tidak tahu mengapa kakinya membawanya ke sini lagi.

Mungkin karena di sini, ia bisa menangis dan menumpahkan segalanya emosinya tanpa takut akan ada yang mengatakan bahwa ia adalah gadis yang bodoh. Tidak akan ada yang protes di taman yang hening dan bisu ini.

Ya, tempat ini, tempat pria itu selalu membawanya tiap kali Tiffany merasa terpuruk. Tiap kali air matanya menggenang dan hatinya terasa diinjak-injak. Pria itu akan mengajaknya ke sini. Dan untuk sesaat dunia terasa hanya milik mereka berdua. Hanya Tiffany dan lelaki bernama Choi Siwon.

Meskipun sekarang, air matanya harus ia hapus dengan tangannya sendiri.

“Siwon… ja-jangan bercanda…” apa dia tidak salah dengar? Apa lelaki di hadapannya itu sedang bermain-main dengannya?

Siwon menurunkan pandangannya, “Aku tidak bercanda, Fany. Aku harus pergi. Dan sudah saatnya kita jalan sendiri-sendiri.”

Tangan Tiffany bergetar ketika ia mengulurkannya ke arah Siwon, ia masih ingin memastikan bahwa Siwon masih akan menggenggam tangannya lagi. “Siwon… bukankah kita akan selalu bersama? Bukankah kau bilang kau akan selalu menggenggam tanganku ketika aku menggapaimu? Kau tidak akan meninggalkanku sendiri kan? Raih tanganku, Siwon…”

Siwon menatap uluran tangan Tiffany dengan tatapan yang tak terbaca. Namun tak sekalipun ia meraihnya.

“RAIH TANGANKU SIWON. AKU TAHU KAU TIDAK AKAN PERNAH MENINGGALKANKU! IYA KAN? SEMUA ITU HANYA BOHONG KAN?” Teriakan putus asa Tiffany  larut bersama air matanya yang mulai jatuh satu persatu. Sementara itu Siwon masih tidak bergeming, ekspresinya mengatakan bahwa lelaki itu juga tersakiti tetapi tak ada yang bisa dia lakukan.

“Mianhae… Mianhae…” bisik Siwon lembut dengan suara yang ingin pecah.

Tiffany melangkah mundur tak percaya, ia menatap Siwon dengan matanya yang melebar. Rasa takut kini menyelimuti dirinya ketika gambaran ia harus sendiri lagi terbayang di pikirannya. Hanya Siwon satu-satunya yang ia miliki, hanya Siwon yang bisa ia percayai, hanya Siwon yang ia tahu tulus mencintainya. Dan Tuhan kini juga ingin mengambil Siwon darinya?

“Andwae… Tidak, Siwon… Aku mohon… Jangan pergi. Aku tidak mau sendiri lagi. Aku mohon…” rintihnya sambil bergelinang air mata. Seluruh tubuh Tiffany bergetar karena ketakutan.

“Tapi aku harus Fany. Jaga dirimu baik-baik. Aku yakin kau bisa hidup tanpaku.”

Ketika punggung Siwon berbalik menghadapnya, ia tahu bahwa gadis itu akan kehilangan Siwon untuk selamanya. Sementara tak ada yang bisa ia perbuat untuk merubah itu sama sekali. Tiffany jatuh berlutut sambil terisak ketika Siwon sudah tak lagi terlihat di taman itu. Tangisannya berlangsung hingga ia tak tahu sudah berapa lama lagi.

Berbulan-bulan semenjak itu sampai sekarang, ia tidak tahu alasan mengapa Siwon memutuskan hubungan dengannya. Ia tidak berhasil mendapat jawaban mengapa Siwon tiba-tiba harus pergi. Menanyakan pada taman ini pun percuma. Mereka hanyalah saksi bisu. Dan Siwon akan tetap menjadi misteri dan kenangan paling berharga yang akan terus tinggal dalam lubuk hatinya.

Seandainya saja ia punya mesin waktu yang bisa membawanya kembali, seandainya. Jika saja ia kembali ke waktu itu, ia ingin menanyakan kenapa. “Apakah karena aku yang salah?” Bukannya terpaku dan menangis melihat punggung Siwon perlahan-lahan menjauh.

Mungkin dengan begitu ia akan bisa melangkah lebih maju. Jika saja ia mendapatkan jawabannya.

–o0o–

Jessica-Donghae

Ia tahu ini adalah akhir dari hubungannya dengan Donghae. Malam yang gerimis itu, Jessica sudah memutuskan bahwa sudah saatnya ia dan Donghae mengakhirinya. Ketika mobilnya menjemput Jessica, gadis itu tahu bahwa ia sudah harus siap. Walaupun begitu, yang menantinya di dalam hanyalah kursi kosong. Lagi. Seperti biasanya.

Laki-laki itu bahkan terlalu sibuk ketika ia ingin mengakhiri ini semua. Seperti yang sudah-sudah. Seperti ketika hari ulang tahunnya, ketika pemakaman Ayah Jessica, ketika gadis itu pertama kali mendapat pekerjaannya, ketika peringatan hari jadi mereka. Laki-laki itu tidak pernah ada untuknya.

Jessica masuk ke dalam mobil mewah itu, ia hanya duduk terdiam sambil memutar memorinya jauh kembali ke masa lalu. Saat Donghae masih jadi manusia biasa, bukan lelaki yang begitu terobsesi dengan kekuasaan dan pekerjaannya.

Mereka bertemu pertama kali saat masih di SMA. Jessica masih seorang gadis pendiam, penghuni perpustakaan yang dibuat terpesona oleh sang Kapten Basket sekolah dengan senyuman dan mata yang bersinar lebih dari siapapun, Lee Donghae. Sifat mereka yang bertolak belakang justru membuat mereka menemukan kecocokan di diri masing-masing. Donghae akan menemukannya di manapun bahkan ketika Jessica menyembunyikan dirinya di bagian paling tersudut perpustakaan yang sunyi. Dia bilang, ia punya sensor yang akan menemukan Jessica di manapun ia berada. Tentu saja semenjak saat itu senyuman Donghae bak sinar matahari yang mencerahkan segala cerita hidupnya.

“Mawar?” gumam Jessica ke arah sebuah benda berkelopak merah yang disodorkan Donghae kepadanya. Mata Donghae berkelip-kelip dengan jahil di depan wajah Jessica.

“Kenapa Mawar?” tanya Jessica lagi.

Kali ini deretan gigi putih muncul di wajah pria itu, “Karena mawar mirip denganmu.”

Dahi Jessica berkerut, mengapa tiba-tiba Donghae peduli akan filosofi sekarang? Donghae membuka mulut lagi, kali ini ia menatapnya dengan lebih intens. “Ia cantik, sangat cantik.Tetapi ia menarik diri dari orang lain dan berusaha menjauhkan orang dari dirinya dengan duri.”

Jessica terhenyak, lelaki di depannya itu tahu benar apa yang harus dikatakannya. Ia tersenyum, sebuah senyuman yang diulas dengan ketulusan. “Kalau begitu apa kau tidak takut dengan durinya?”

“Tidak. Aku menyukainya dan aku tidak keberatan tertusuk oleh duri. Karena bagaimanapun mawar yang kutemukan adalah mawar paling indah yang ada dunia ini. Aku harus menyimpannya kan, sebelum ada orang lain yang mengambil?”

Mereka tertawa bersama setelah itu. Dan Jessica menikmati hari-harinya bersama Donghae. Sekalipun ia tidak menyangka bahwa Donghae akan berubah.

“Ke mana saja kau selama ini, Donghae?! Kau tidak pernah ada untukku!” Jessica berteriak sekuat yang ia bisa ke arah lelaki yang kini duduk di ruang kerjanya dengan ogah-ogahan.

“Aku sibuk, Sica. Banyak yang harus kukerjakan. Perusahaan ini bergantung padaku. Kau pikir dunia ini hanya berputar di dirimu saja?!” Atmosfer di antara mereka semakin menegang ketika Donghae mulai menaikkan suaranya.

“TIDAK. Sekarusnya kata-kata itu untukmu. DUNIA TIDAK HANYA TENTANGMU DONGHAE.”

“APA YANG SEBENARNYA KAU MAU? AKU SUDAH MEMBERIKAN SEGALANYA UNTUKMU! UANG, BARANG-BARANG, KAU BUTUH APA LAGI HA?!!”

“AKU HANYA MENGINGINKAN LEE DONGHAE YANG DULU!!” Akhirnya ia mengatakannya. Semuanya yang ia selama ini simpan. Pada akhirnya semuanya ia tumpahkan.

Donghae terdiam. Ia menatap Jessica dengan mata yang kini cahayanya telah pudar.

Isakan Jessica terdengar dengan jelas setelah itu di antara keheningan yang menyelimuti mereka. “Aku tidak butuh uangmu… atau segala kemewahan yang kau berikan, Donghae…” bisiknya pelan dengan tenggorokan tercekat.

Di dalam mobil malam itu, seharusnya mereka bertemu. Jessica yang meminta Donghae untuk menemaninya makan malam. Makan malam yang terakhir. Tetapi apa yang diberikan oleh Donghae? Kehampaan. Sebuah janji yang ia langgar lagi.

Mobil ini adalah mobil yang dikirim Donghae untuk menjemputnya. Sepertinya hari ini ia harus makan malam sendiri lagi. Jessica menoleh ke sampingnya, sebuket bunga mawar terletak di sana semenjak ia masuk ke dalam mobil. Ia tidak perlu menanyakan siapa yang meletakkan benda itu di sana.

Jessica menghela nafas dengan berat. Ia lelah menanggung ini semua sendirian. Jessica kelelahan karena selama ini telah berpura-pura menjadi orang lain. Ia menginginkan kehidupannya yang dulu. Apakah Tuhan akan memberikannya jika ia meminta dan memohon dengan lebih keras lagi? Apakah itu mungkin?

Jessica memeluk buket mawarnya dengan erat dan membiarkan air matanya jatuh menetesi kelopak-kelopak merahnya yang mekar dengan indah. Bolehkah ia berharap lebih lama lagi?

–o0o–

Yoona-Kibum

“Maafkan aku. Maafkan aku, Changmin, tapi aku tidak bisa.”

“H-Ha? Yoona? YOONAAAA!!”

Yoona tidak mempedulikan teriakan-teriakan di belakangnya. Ia terus berlari menyeberangi altar sampai akhirnya ia sampai ke jalan setapak. Ia telah membuat keputusan yang berani. Meninggalkan pernikahannya, meninggalkan pengantin lelakinya, meninggalkan buket bunganya, semuanya. Dan kini ia tengah mengejar masa lalunya kembali.

Setelah cukup jauh, Yoona berhenti berlari. Gaun putihnya kini ia jinjing supaya kakinya tidak terserempet dan terjatuh. Dan nafasnya kini pun semakin memburu. Ia menengadah menatap langit. Hari itu langit berwarna kelabu dan salju turun seperti kunang-kunang putih yang menyapa bumi. Sentuhan dingin benda itu di kulitnya hanya semakin mengingatkannya tentang Pria itu. Pria yang mengingatkannya akan salju.

Yoona tidak menangis, dia bukan tipe wanita seperti itu, ia menelan air matanya jauh jauh ke dalam. Menurutnya menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan gadis itu sudah tidak mempedulikan suhu dingin yang mulai menusuk tulangnya. Ia berdiri di situ dengan gaun pengantin putihnya, apakah ia harus berlari lagi? Apakah ia harus melarikan diri lagi?

Ya. Dia akan berlari. Tapi kali ini untuk mengejar apa yang dia inginkan.

Kakinya mulai terayun lagi, kali ini mungkin lebih cepat. Sebelum waktu menghapus segalanya Yoona ingin mengambil kembali apa yang telah ia tinggalkan dulu.

“Ini kukembalikan.” Suaranya tetap stabil, Yoona sebaik mungkin mencoba untuk menyembunyikan emosinya.

Lelaki di depannya hanya menatap Yoona dengan alis bertaut. Di telapak tangan pria itu ada sebuah cincin perak yang sedetik lalu masih ada di tangan Yoona. “Kenapa?” suara lelaki itu lebih seperti heran, bukannya tidak percaya.

Yoona tersenyum, “Aku tidak cocok untukmu Kibum-ah. Kukembalikan cincinmu, aku sudah tidak membutuhkannya lagi.”

Kibum terdiam, ia tidak menjawab ataupun protes. Ia hanya diam. Dan Yoona sudah menduganya. Pria itu tidak akan menanyakan apapun, pria itu tidak akan menahannya. Bukan karena Kibum tidak mencintainya, oh Yoona tahu betapa Kibum begitu mencintai dirinya. Dan ia juga tahu bahwa hatinya tidak bisa berhenti memberikan cinta pada pria itu juga. Hanya saja Kibum memang seperti itu.

“Sampai jumpa, Kibum-ah.” Yoona ingin meneriakkan bahwa ia masih mencintai Kibum dan bahwa ia ingin pria itu menarik tangannya, untuk sekali saja ia ingin Kibum marah kepadanya. Tapi sepertinya keinginnya itu hanyalah harapan belaka. Karena Kibum tak bergerak sekalipun.

Mungkin seharusnya ia juga berusaha sedikit lebih keras menolak paksaan orangtuanya untuk menikahi Changmin hanya karena alasan bisnis keluarga. Ia tahu ia kurang memegang apa yang seharusnya ia pertahankan lebih erat. Yoona menyesal, hingga rasanya ia sesalu dihantui oleh rasa penyesalan itu. Karena pada akhirnya ia masih tidak bisa berhenti mencintai Kibum dalam diamnya.

Yoona berhenti lagi, nafasnya terengah-engah ketika akhirnya ia sampai di depan toko yang ia cari. Toko beretalase lebar, tempat pria itu bekerja, tempat pria itu mengejar impiannya sendiri. Sebuah toko alat musik klasik yang selalu dirindukan Yoona. Ia tahu dia ada di dalam, tapi tak sekalipun Yoona beranjak untuk masuk. Padahal salju di luar semakin menebal dan pakaiannya yang tipis membuatnya semakin gemetar karena kedinginan.

Lagi-lagi Yoona diselimuti keraguan. Apakah pilihannya kali ini benar-benar tepat? Apakah… dia akan menerimanya kembali?

Bukannya melangkah ke dalam, Yoona justru melangkahkan kakinya perlahan melewati toko itu. Dalam sedetik ia merasa dirinya bodoh jika masih mengharapkan pintu itu akan terbuka untuk menerimanya.

‘Kliniing’

“Yoona?”

Kakinya berhenti dan kepalanya menoleh untuk menatap sesosok pria yang begitu dirindukannya.

Nafas Kibum terlihat memburu, mungkin karena berlari dari dalam toko. Dan jantung Yoona terasa berdetak begitu cepat ketika menyadari kemungkinan itu.

Yoona sebelumnya tidak pernah menangis. Tapi kenapa matanya kali ini berkaca-kaca dan melihat wajah itu saja sudah membuat hatinya terasa hangat hingga mengalahkan dinginnya salju ini. Yoona berusaha terlihat kuat dengan mengulum senyum, “Annyeong Kibum-ah. Boleh aku pulang ke tempatku seharusnya?”

Dengan sweater biru gelap dan juga celana khakinya, pria itu masih tidak bergerak sama sekali dari ambang pintu. Sepertinya butuh waktu agak lama bagi Kibum untuk mencerna segala hal di benaknya sekarang. Kibum hanya membalas senyuman itu dengan tatapan hangat, “Tentu. Pintunya selalu terbuka untukmu.”

Ketika Yoona menggenggam tangan Kibum untuk sekali lagi, Yoona sudah merasa pulang ke rumah. Tempat ia diterima apa adanya dan tempat di mana ia akan menghabiskan seluruh waktunya kini.

 

-END-

 

The story that we made went in vain. We fell apart this easily.
Just one mistake, just one regret. No one’s perfect.
I’m going to embark on a time machine.
If I would be able to go meet you again.
Before it becomes a distant fleeting memory.
Before our memories are forgotten.
(SNSD – Time Machine)

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
amiisiltya #1
Chapter 1: Sesih sama yang HaeSica hiks hiks
supergenerations_25
#2
Chapter 1: wow... fic ini sangat bagus...
hampir bikin nangis.... >.<
hehehehe love it!!!
Fionafushia
#3
Chapter 1: Wow bagus sekali ceritanya~