Professionalism? Next!

Professionalism? Next!

Di umurnya yang mendekati kepala tiga, Kim Seokjin sama sekali belum mempertimbangkan komitmen akan hubungan romansa.

Sesekali pikiran untuk menjalani hubungan dengan seseorang (entah itu serius atau sekedar percobaan) memang mampir di benaknya, namun ia memiliki terlalu banyak to-do-list di tangannya untuk mengutamakan kehidupan pribadi dalam waktu dekat. Memiliki pasangan yang dapat diajak menonton film animasi di malam Minggu terdengar menyenangkan, namun untuk sekarang ia merasa puas menghabiskan waktu luang tanpa seseorang menanti kehadirannya.

Rekan kerjanya, Park Jimin, sering mengatainya kaku dan terlalu serius untuk seseorang yang dilahirkan dalam kategori sempurna. Kehidupan sempurna sayangnya adalah hal yang ambigu bagi Seokjin karena jika dilahirkan di keluarga kaya, memiliki otak cerdas, dan wajah tampan adalah apa yang orang-orang katakan sebagai kesempurnaan, maka bagi Seokjin sempurna adalah hidup tanpa ekspektasi dan bayang-bayang.

Yang mana merupakan hal yang takkan bisa ia capai selamanya.

Tetapi hidup memang jenaka seperti itu, karena pada akhirnya kesempurnaan bagi seseorang adalah suatu fase yang selamanya takkan dapat orang tersebut raih—dan karenanya, berlaku berbeda bagi tiap insan di dunia.

Maka berpegang teguh pada stereotip kaku yang orang-orang kantor sematkan padanya, Seokjin menolak untuk ikut ketika orang-orang di divisinya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan bersama di salah satu ruang privat yang ternyata telah direservasi sebulan sebelumnya oleh Kim Taehyung, entah dalam rangka apa.

Jungkook, intern yang baru-baru ini ditetapkan akan diangkat menjadi pegawai tetap setelah dinyatakan lulus dari universitasnya, terus menempel dan mengikutinya seharian dengan bujukan dan rayuan, “Hyung, acara nanti malam tidak akan terasa lengkap tanpamu!”

Dukungan Jimin menyebabkan Seokjin berspekulasi apakah keduanya telah bersekongkol di belakangnya seharian. “Apakah kau tidak kasihan pada Jungkook, Hyung? Dia terus mengekorimu seperti anak anjing hanya karena kau tidak mau ikut bersenang-senang nanti malam.”

Ia merasa penat, sungguh; dikarenakan tumpukan pekerjaan, deadline dan terutama tekanan dari Jungkook dan Jimin yang ia akui sebenarnya bermaksud baik. Seokjin hanya merasa ingin merebahkan diri di atas tempat tidur malam ini, apakah permintaannya terlalu mustahil untuk dipenuhi?

“Mungkin lain kali?” ujarnya berusaha bernegosiasi, sebisa mungkin menghindari sepasang mata berbinar Jungkook yang sering membuatnya tak sampai hati. “Kook, aku benar-benar lelah.”

“Kau bisa beristirahat di hari Sabtu dan Minggu!” Jimin memberi usulan yang mengundangnya untuk melemparkan pandangan tajam. “Hyung, ini sudah… entahlah, mungkin satu tahun sejak terakhir kali kau ikut bersama kami?”

Seokjin melakukan kesalahan dengan menoleh putus asa ke arah Jungkook yang merengut penuh harap. “Oke, kalian menang.”

Kesalahan lain muncul ketika ia terbawa suasana, menegak alkohol sedikit lebih banyak dari seharusnya. Seokjin menyalahkan tubuhnya yang tidak lagi terbiasa menerima alkohol sehingga merendahkan toleransinya, namun ia berhasil mengontrol diri untuk berhenti sebelum menjadi bahan ejekan Jimin selama sebulan.

Ketika sepasang matanya mengedarkan pandangan, irisnya berhenti pada wajah familiar yang ia ketahui jarang menghadiri acara seperti ini dan memiliki reputasi tak jauh berbeda dengannya. Min Yoongi tampaknya sadar tengah menjadi pusat perhatian seseorang, berakhir membalas tatapan Seokjin selama beberapa detik sebelum mengangkat botol soju di tangannya sebagai gestur sapaan.

Menepuk pundak Jimin di sebelahnya, Seokjin berbisik, “Aku baru tahu Min Yoongi mau datang ke acara seperti ini.”

Di sisinya, Jimin tengah mengunyah potongan besar samgyupsal sambil merespon, “Tidak, kau dan dia adalah dua orang yang paling sulit diajak bersenang-benang di antara semua pegawai kantor.” Tanpa berusaha menelan daging di mulutnya terlebih dahulu.

Ia tidak sering berbicara dengan Min Yoongi, terutama sebelum ia diangkat menjadi kepala departemen di dalam divisi yang dipimpin oleh yang bersangkutan. Percakapan mereka tidak pernah lebih dari seputar pekerjaan atau basa-basi akibat berpapasan, pun bekerja di lantai yang sama menyebabkannya sedikit-banyak mengetahui reputasi rekan-rekan kerjanya.

Namun justru karena itu, Seokjin tidak mengerti mengapa ia menyetujui ajakan Min Yoongi untuk pulang bersama. Ia juga tidak mengerti bagaimana ia berakhir terbangun di tempat tidur sang Min menggunakan handuk kimono yang dapat dipastikan bukan miliknya.

Semua keputusan malam itu dipengaruhi oleh alkohol, tapi Seokjin seratus persen sadar bahwa baik dirinya maupun Yoongi—keduanya sama sekali tidak berada dalam kondisi mabuk berat. Ada bagian dari dirinya yang mengakui bahwa ia merindukan ini, terbangun dengan seseorang di sisinya dan menyadari dirinya diperlakukan dengan benar.

Sayangnya, dari semua orang yang hadir malam itu, kenapa harus Min Yoongi; kepala divisi baru yang selalu tak acuh dan tidak pernah terlihat ramah?

Mengabaikan kepalanya yang berdenyut sakit, Seokjin mengambil seluruh barangnya dan berusaha untuk keluar dari kamar itu tanpa suara.

-

Berlari kecil menuju pintu lift yang bergerak menutup, Seokjin cukup beruntung karena sempat menjulurkan tangannya di sela pintu, meyebabkan pintu lift kembali terbuka untuk mempersilakannya masuk. Hanya tersisa lima menit sebelum ia terlambat mengisi absensinya hari itu.

Sayangnya banyak hal di dunia ini yang membutuhkan pengorbanan dalam prosesnya, terbukti ketika ia mendongak dan bermaksud untuk melangkah masuk ke dalam lift, sosok yang paling ia hindari tengah berdiri kaku menatap wajahnya. Layaknya patung, Seokjin membatu di tempatnya selama beberapa detik sebelum memutuskan untuk mundur dan mengorbankan absensinya.

Di luar dugaan, Min Yoongi menguasai diri dengan cukup baik dan menggerutu, “Apa yang kau lakukan? Cepat masuk sebelum kau membuat kita berdua terlambat.”

Wajahnya terasa panas, namun pilihan di tangannya tidak cukup banyak, terutama setelah Yoongi berusaha bersikap senatural mungkin meski berada di posisi canggung yang tidak jauh berbeda. Seokjin masuk ke dalam lift, mengambil posisi sejauh mungkin dari Yoongi yang tampak tak acuh menyeruput kopi di tangannya.

Perjalanan ke lantai 19 tidak pernah terasa begitu lama.

Tepat di saat bunyi nyaring DING yang menandakan mereka telah sampai di lantai tujuan, Seokjin mengambil langkah tergesa menuju meja kerja miliknya. Ia mengabaikan sapaan Jimin, menduduki kursi dan mengawasi Yoongi masuk ke dalam ruangannya melalui sudut mata. Apakah ruangan orang itu memang selalu sedekat ini?!

Hyung!” seruan sang Park membuatnya melompat kecil, disusul oleh tawa canggung yang amat mencurigakan. Jimin tampak tak terlalu mempedulikan. “Kau membuatku khawatir karena tidak membalas pesanku!”

“Pesan apa—oh,” Seokjin teringat akan belasan pesan singkat yang Jimin kirimkan selama libur akhir pekan. “Jimin, kau menanyai kehidupan seksualku,” ia berusaha berekspresi sedatar mungkin karena sungguh, bagaimana cara otak anak ini bekerja? “Yang benar saja.”

Aegyo Jimin tidak berhasil membuatnya luluh. “Tapi Hyung, aku benar-benar penasaran karena aku melihatmu masuk ke dalam taksi bersama seseorang.”

Seraya menyalakan komputernya, Seokjin mengerlingkan mata jengah dan menyandarkan punggungnya pada kursi. “Lalu?”

“Lalu,” Jimin bangkit dari kursinya, merangkul kepala departemennya dengan akrab. Ia membisikkan, “Aku ingin tahu siapa orang beruntung itu dan apa yang terjadi setelahnya.”

Seokjin tertawa mendengar kalimat terlampau jujur yang dikeluarkan rekan kerjanya. “Yah, Jimin-ah, kurasa kau harus kembali duduk di kursimu dengan tenang,” ia mengedipkan sebelah mata dengan senyum sumringah. “Orang-orang masih sering menggosipi kita sejak kejadian waktu itu, aku tidak mau memberikan mereka lebih banyak bahan obrolan.”

Mengangkat bahu ringan, Jimin menurut meski mulutnya mengatakan hal bertolak belakang. “Tidak masalah denganku. Aku senang digosipi dengan consecutive hottest employee of the year.”

Jeon Jungkook yang baru saja muncul di balik meja seberang memilih untuk menyuarakan rasa penasarannya. “Memangnya kalian pernah digosipi karena apa?”

“Oh, halo juga, Jungkook,” seringai di wajah Jimin mengundang Seokjin untuk melemparkannya tatapan tajam dan gelengan kepala. Tapi ia bukanlah Park Jimin jika ia tidak melanjutkan, “Bukan masalah besar. Aku mungkin pernah melakukan satu-dua hal dengan Seokjin-hyung di masa-masa awal menjadi pegawai di kantor ini.”

Tangannya bergerak untuk menutup wajah dan memijat dahi, si sialan Park Jimin. Namun yang bersangkutan dengan senang hati melanjutkan, “Maksudku, siapa yang tidak pernah berusaha masuk ke dalam celana Kim Seokjin? Benar, ‘kan, Kook-ah?”

“Astaga,” potong Seokjin tak habis pikir. Ia dapat melihat Jungkook berdiri memandanginya dan Jimin bergantian dengan wajah memerah kentara sebelum menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti harus pergi mem-fotocopy sebuah dokumen tebal. “Lihat apa yang kau lakukan pada anak malang itu.”

Di sebelahnya, Jimin melanjutkan fokusnya pada layar monitor seolah ia tidak baru saja memberikan salah satu informasi paling memalukan yang tidak penting untuk dibicarakan. “Jika dia benar-benar berakhir bekerja di sini, suatu saat nanti dia juga akan mengetahuinya dari orang lain.”

Alasan itu tidak terdengar masuk akal, begitu pula cara Jimin memberikan penjelasan (pantas saja skandal mereka tak pernah redup) tapi Seokjin memilih untuk menerimanya dan tidak memperpanjang masalah. Ia baru saja membuka berkas proposal yang hari ini akan diajukannya ketika suara Jimin kembali terdengar.

“Kau tahu, sebelumnya aku bertaruh Jungkook akan mengajakmu pulang bersama malam itu,” nadanya terdengar ringan, kontras dengan Seokjin yang tiba-tiba merasa tercekat. Untung saja ia tidak sedang menegak minuman dan berakhir tersedak. “Sayang sekali anak itu mabuk berat.”

Percakapan pagi itu terlalu berat untuk mood-nya yang berantakan. Seokjin hanya bisa menghela napas. “Kau pasti bercanda.”

Ia dapat merasakan Jimin kembali memutar kursi menghadapnya. “Antara anak itu, atau aku,” pernyataan itu mengundangnya mengernyit tak paham. “Tidak adil kalau seorang intern enam bulan bisa menghabiskan malam denganmu sedangkan aku, rekan kerja tiga tahun merangkap teman bersebelah meja, masih harus menunggu giliran dan timing yang tepat.”

Seokjin mengambil hardcopy proposal di tumpukan dokumen paling atas pada sisi kanan mejanya, memukul tumpukan kertas tebal itu pada lengan Jimin dengan raut bersimpati jenaka. “Terus bermimpi.”

-

Faktanya, Min Yoongi telah bekerja di lantai yang sama dengannya selama setahun belakangan. Kemudian sekitar dua bulan lalu, laki-laki itu mendapatkan jabatan baru yang mana merupakan kepala divisi dari departemennya. Seokjin banyak menghabiskan satu bulan sebelumnya untuk bekerja di lapangan, ia sama sekali belum pernah diharuskan menghadap Yoongi di ruangannya.

Berdiri di depan pintu ruangan Yoongi, Seokjin berusaha mengontrol diri dan bersikap wajar. Ini akan terjadi cepat atau lambat, batinnya nelangsa. Bersikaplah professional, lagipula laki-laki itu tidak tampak seperti seseorang yang akan membahas perihal one night stand di kantor.

Menarik napas panjang, ia mengetuk pintu sebanyak tiga kali, lalu disambut oleh suara rendah yang mempersilakan masuk dari dalam. Seokjin membuka pintu, melangkah masuk dan berhenti dua langkah dari meja atasannya.

Yoongi sama sekali tidak melirik ke arahnya, wajahnya tertutupi oleh layar monitor hingga Seokjin berinisiatif untuk meletakkan proposal di atas meja. Ia berdeham, “Itu proposal campaign untuk brand awareness bulan depan. Aku butuh komentar dan persetujuanmu.”

Tampaknya suaranya cukup menarik perhatian si pemilik surai hitam, karena sosok yang sibuk menggerakkan mouse itu tiba-tiba menghentikan gerakan tangannya, kemudian mendorong kursi yang didudukinya untuk menanggapi keberadaan Seokjin yang berdiri resah.

“Oh,” respon singkat itu sama sekali tidak menghangatkan suasana. Seokjin hanya diam memperhatikan ketika Yoongi meraih proposalnya, membuka dan memindai tiap halaman. Dahinya berkerut, sedangkan tangan kanannya meraih pulpen terdekat dan mulai mencoret proposalnya tanpa belas kasihan.

“Tujuan akhir proposalmu masih belum jelas, begitu pula dengan target khususnya,” Yoongi menutup proposal itu dan memberikan gestur pada Seokjin untuk mengambilnya. “Dan desainnya terlalu murahan. Anak TK bisa membuat yang lebih menarik.”

Terkejut mendengar kritik pedas itu, Seokjin setengah tidak mempercayai pendengarannya. Ia belum pernah mendapat kritik yang sebegitu memalukannya selama hampir lima tahun bekerja di perusahaan ini. Membuka mulutnya untuk memberi penjelasan, ia dapat mendengar sang Min kembali berbicara, “Aku tahu kau adalah anak kesayangan Sungmin,” ia tersentak kecil mendengar nama kepala divisi yang menjabat tepat sebelum Yoongi. “Tapi aku bukan Sungmin, jadi aku tidak akan cepat merasa puas dengan hasil kerjamu.”

Mengerjapkan matanya, Seokjin masih berusaha memproses apa yang baru saja terjadi ketika suara rendah itu kembali mengeluarkan kata-kata tajam. “Kau harus berusaha lebih baik jika mau mempertahankan posisimu.”

Kembali fokus pada komputernya, Yoongi seolah memberikan sinyal pada Seokjin untuk lekas keluar dari ruangan dan mengerjakan revisi tanpa perdebatan yang hanya akan membuang waktu. Terlepas dari belum seutuhnya menerima kenyataan, ia memilih untuk meninggalkan ruangan dan kembali ke mejanya dengan tumpukan protes tertahan di ujung tenggorokan.

Melihat Seokjin kembali dengan kondisi terguncang, Jimin dan Jungkook langsung menghampiri kepala departemen mereka dengan wajah khawatir dan rentetetan pertanyaan, “Hyung, apa yang terjadi?”

Tiga menit setelahnya, Seokjin akhirnya memiliki tenaga untuk menjawab, “Aku benar-benar membenci Min Yoongi.”

-

Sebenarnya Seokjin tidak benar-benar membenci Min Yoongi, setidaknya butuh tiga alasan kuat lain untuk dirinya benar-benar membenci atasan barunya itu. Ia menghabiskan waktu untuk mengecek kekurangan proposal dan revisi yang diberikan, mengabaikan jam makan siang dan bertekad untuk menyelesaikan proposal itu sebelum jam pulang tiba.

Alasan ia tidak bisa membenci Min Yoongi terlepas dari pemilihan kata dan kritik pedas yang ditujukan padanya adalah semata-mata yang dikatakan oleh lelaki itu benar adanya. Kesalahan yang disebutkan benar-benar terpapar jelas setelah ia meneliti proposal itu lebih dalam, dan tentang menjadi anak kesayangan, itu bukan salahnya, ‘kan?

Mungkin Seokjin memang menjadi sedikit lebih rileks karena terbiasa dipuji oleh Sungmin dulu, karenanya ia cenderung mengabaikan hal detail dan fokus pada yang umum. Yoongi belum memahami bagaimana cara ia bekerja, tentu atasan barunya itu menganggap proposalnya terlalu kasar.

Hyung, roti?” tawar Jungkook di sebelahnya. Seokjin bahkan tidak menyadari sejak kapan anak itu berada di sana, mengundangnya tersenyum berterimakasih dan menerima roti keju yang disuguhkan.

Ketika mengunyah roti itu, Seokjin baru menyadari betapa lapar perutnya sekarang. “Kau adalah penyelamatku, Kook-ah.”

Jungkook tersenyum menunjukkan giginya dan Seokjin benar-benar belum pernah menemukan orang lain yang terlihat menyerupai kelinci seidentik si anak magang. Ia membiarkan Jungkook membungkuk di sisinya, menelusuri proposal yang ia kerjakan dan memberi beberapa usulan mengenai desain visual.

“Kau benar-benar berbakat jika itu menyangkut desain,” Seokjin memuji dan memberikan ruang lebih leluasa untuk Jungkook mengotak-ngatik desainnya yang disebut lebih buruk dari anak TK.

“Bagaimana jika kau mengirimkannya padaku? Aku bisa membantumu memenuhi selera bos baru kita itu.”

Tawaran itu terdengar menggiurkan, namun Seokjin terbiasa melakukan pekerjaanya seorang diri tanpa bantuan. Enam bulan tampaknya cukup bagi Jungkook untuk menyadarinya. “Ayolah, Hyung. Proposal ini buka tanggung jawabmu seorang.”

Suara yang paling tidak ingin ia dengar tiba-tiba masuk melalui indra pendengarannya. “Kim Seokjin,” panggilan itu spontan membuatnya menolehkan kepala. “Rapat di lantai 20.”

Fokusnya pada proposal benar-benar menyebabkannya lupa waktu dan juga lupa jadwal. Seokjin menyerapah pelan, mengambil laptop dan buku catatannya dengan tergesa. “Jungkook-ah, kau bisa mengirim file itu dari komputerku. Terima kasih bantuannya!” Ia berujar sebelum berlari kecil mengikuti jejak Yoongi menuju lift.

Untungnya, rapat itu tidak menambah deretan tragedi penghancur harinya. Cukup menambah pekerjaannya hingga ia yakin revisi proposal yang dikutatinya tidak akan selesai dalam waktu dekat, namun berjalan lancar dengan selingan candaan yang berhasil menghiburnya.

Seokjin memutuskan untuk mampir ke pantri setelah keluar dari ruangan, menuangkan secangkir teh untuk dirinya dan mencicipi camilan apapun yang terdapat di sana. Setelah ini, ia memutuskan akan mampir ke cafetaria di lantai dasar sebelum kembali ke lantai di mana ia bekerja.

Teh di cangkirnya masih tersisa setengah ketika ia mendengar namanya disebutkan dalam sebuah obrolan. Seokjin dapat melihat tiga orang tengah bercengkrama dari balik kaca yang mengelilingi pantri, dengan spontan membuatnya membalikkan badan. Ia tengah mempertimbangkan untuk pergi dan meletakkan tehnya di sana seiring dengan obrolan di balik punggungnya.

“Aku yakin dia bisa berada di posisinya sekarang karena orang dalam,” suara satu terdengar terlalu jelas. “Pekerjaannya biasa-biasa saja, aneh sekali dia terus mendapatkan projek besar.”

Suara dua menambahkan, “Bukankah projek yang dia pegang selalu sukses?”

Lalu suara tiga, “Pasti karena siasat licik atau mungkin bantuan orang tuanya. Kalian pasti tahu background keluarganya. Aku masih tidak mengerti kenapa dia bekerja di sini.”

Betapa Seokjin ingin muncul di antara mereka dan memprotes bahwa satu, projek besar sama sekali tidak menyenangkan dan dua, jika mereka memang mengetahui identitas keluarganya, seharusnya mereka tahu mana mungkin orang tuanya sudi membantu projek perusahaan ini.

Tapi lima tahun bekerja di sini sudah cukup membantu Seokjin untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan. Omongan di belakang seperti ini sudah seperti makanan sehari-hari, ia sudah lama berhenti memasukkannya ke dalam hati.

“Oi, Kim Seokjin,” lagi, suara itu menyebabkan rasa kesal menghampiri sang Kim yang hanya berusaha mencari ketenangan dengan secangkir teh hangat. Seokjin mencari si pemilik suara, kemudian terbelalak ketika mendapati Yoongi berdiri bersampingan dengan tiga orang yang tengah membicarakannya.

Ia dapat melihat dengan jelas ekspresi horor tiga tukang gosip itu ketika menyadari bahwa ia mendengar semua yang mereka bicarakan. Seokjin merasa bodoh karena dalam hati mengasihani orang-orang tersebut, rasa malu dan bersalah pasti menyelimuti mereka sekarang.

Berbeda dengannya, Yoongi tampak terlalu menikmati kecanggungan itu hingga Seokjin menyadari bahwa atasannya itu memanggilnya dengan sengaja. Lelaki beriris gelap itu pasti juga mendengar semua omongan yang ditujukan padanya. Seokjin tidak mengapresiasi atau tersentuh dengan tindakan heroik itu, toh ia tersenyum kecil dan meninggalkan pantri setelah Yoongi mengajaknya untuk kembali ke lantai mereka.

“Ah, aku akan pergi ke cafetaria sebelum kembali ke mejaku,” ia memberitahu ketika pintu lift terbuka di lantai 19, lalu menekan tombol yang menahan pintu untuk terbuka, mempersilakan Yoongi untuk keluar. “Kau bisa kembali lebih dulu.”

Yoongi bergeming di tempatnya, lalu kembali menyandarkan punggung pada dinding lift dan berujar, “Aku akan ikut denganmu. Kopiku habis dan kopi di pantri tidak layak untuk diminum.”

Pintu lift kembali tertutup, menimbulkan tanda tanya besar dalam benak Seokjin yang berakhir menghela napas setelah menghubungkan puzzle dalam otaknya. “Yoongi-ssi, kau tidak perlu mengasihaniku.”

Dengan kedua tangan masih melipat di depan dada, Yoongi menaikkan sebelah alisnya penasaran. “Kenapa kau malah bersembunyi dan tidak mengatakan sesuatu? Mereka secara literal membicarakanmu di belakang.”

“Itu tidak terjadi satu atau dua kali. Aku sudah kebal mendengarnya,” Seokjin memberikan senyum tulus ketika melanjutkan, “Tapi terima kasih telah mengkhawatirkanku.”

Gumaman aku masih tidak mengerti dari mulut Yoongi menyebabkan Seokjin tertawa kecil, pikiran buruknya tentang Yoongi terhapus sedikit demi sedikit. Mungkin Yoongi tidak sekasar yang ia pikirkan, hanya saja benci berbasa-basi dan memiliki sifat menyerempet tsundere. Jika Seokjin bisa terbiasa mendengar omongan buruk, maka ia pasti bisa terbiasa dengan ucapan tanpa proses penyaringan.

Mereka duduk berhadapan di cafetaria dan Seokjin bersyukur kecanggungan di antara mereka hampir tak terasa. Tidak banyak obrolan yang mampir, namun ia merasa keheningan yang menemani tidak seburuk apa yang ia bayangkan—setidaknya hingga Yoongi memutuskan untuk membahas apa yang terjadi di antara mereka dua malam lalu.

“Tentang malam itu,” Yoongi berdeham di sela kalimatnya. “Kupikir kita sedikit terbawa suasana.”

Memahami arah pembicaraan ini, Seokjin nyaris tersedak ketika hendak menelan makanan dalam mulutnya. Ia menegak air mineral di atas meja dengan cepat. “Uh, aku tidak berpikir kau akan membahasnya.”

“Aku hanya tidak ingin kau salah paham,” ucap si pemilik marga Min, menatap lurus Seokjin yang tengah mengutuk telinganya karena selalu terlalu jujur. “Aku serius dengan pekerjaanku dan aku tidak mencampur kehidupan pribadi dan pekerjaan.”

Seokjin mengangguk setuju. “Begitupun aku,” ia mengedipkan sebelah matanya secara refleks, tak sempat menyesalinya meski merutuki dalam hati tanpa jeda. “Aku senang kita memiliki pemahaman yang sama.”

Jelas-jelas tampak terkejut dengan kedipan mata mendadak yang Seokjin berikan, Yoongi terbodoh dengan mulut setengah terbuka selama beberapa saat. Seokjin baru saja akan memberikan klarifikasi bahwa itu adalah kebiasaannya yang terjadi secara refleks, tapi berakhir mengurungkan niatnya ketika atasannya itu tertawa kecil dan menggelengkan kepala.

-

Dalam waktu kurang dari sebulan, hubungannya dan Yoongi berkembang cukup pesat. Tidak ada lagi kecanggungan di antara mereka dan Seokjin tidak lagi merasa ingin lari ke belahan dunia seberang tiap suara Yoongi singgah di telinganya. Mereka tidak lantas menjadi teman akrab, namun Seokjin menemukan dirinya sesekali berbincang kecil dengan Yoongi tiap mereka berpapasan.

Terlepas dari itu semua, Seokjin berhasil mendapatkan persetujuan yang ia inginkan setelah menyelesaikan revisi proposal berkat bantuan Jungkook. Kebahagiannya memang tidak berlangsung lama karena pertama, Yoongi sama sekali tidak meluangkan waktu untuk memberi pujian dan kedua, beberapa hari kemudian, atasannya itu kembali mengkritik laporan acara yang diserahkan oleh Jimin dan melimpahkan seluruh kesalahan pada dirinya.

“Apakah aku harus mengajarimu bagaimana cara mengetik? Bagaimana bisa terdapat banyak sekali kesalahan ketik hanya dalam satu laporan?”

“Bukan aku yang mengerjakan laporan itu. Aku juga tidak merasa pernah menyerahkan laporan itu padamu.”

“Park Jimin yang menyerahkannya padaku. Sejauh pengetahuanku, dia anak buahmu.”

Ada denyutan menyiksa di kepalanya, Seokjin percaya bahwa denyutan itu berasal dari emosinya yang terancam meledak. “Lalu kenapa kau memanggilku dan bukan Jimin?”

“Aku bertanggungjawab terhadapmu,” Yoongi membalas tatapan tajam Seokjin tanpa minat. “Dan kau bertanggungjawab terhadap bawahanmu.”

Mengangkat kedua tangannya pertanda ia mundur dari perdebatan ini, Seokjin mengambil laporan di atas meja Yoongi dan beranjak keluar dari ruangan. Ia telah menyentuh kenop pintu ketika Yoongi memanggilnya, masih dengan embel-embel formal.

“Kau bisa berhenti memanggilku Seokjin-ssi. Umur kita hanya terpaut tiga bulan, cukup panggil aku Seokjin atau hyung,” ucap sang Kim, masih berdiri di depan pintu tanpa sempat membukanya.

Yoongi mengabaikannya dengan senang hati. “Apa yang akan kau lakukan malam ini?”

Tersadar bahwa akhir pekan telah kembali datang, Seokjin menghabiskan waktu untuk berpikir sejenak. “Aku akan membuat presentasi untuk minggu depan, mungkin menonton drama atau bermain game—”

“Aku bermaksud untuk mengajakmu mampir ke tempatku,” potong Yoongi tanpa mengalihkan pandangan dari tumpukan kertas yang tengah ia tandatangani di atas meja. “Kita bisa memesan takeout dan jika pilihan dramamu tidak terlalu buruk, kita bisa menontonnya bersama.”

Bergeming di tempatnya, Seokjin hanya dapat mengerjap dan bergumam, “Orang ini benar-benar tidak dapat ditebak.”

Tampaknya Yoongi menangkap suaranya karena sosok itu mengangkat kepala dan bertanya, “Apa kau mengatakan sesuatu?”

Seokjin dengan cepat berkata tidak dan menyetujui tanpa berpikir panjang. “Aku akan kembali ke rumahku terlebih dahulu, lalu aku akan pergi ke tempatmu setelahnya.”

Puas dengan jawaban itu, Seokjin dapat melihat Yoongi mengangguk dan kembali pada pekerjaannya. Ia telah berada di luar ruangan dan bermaksud menutup pintu ketika Yoongi kembali bertanya, “Kau masih ingat tempat tinggalku, ‘kan?”

Pertanyaan itu Seokjin jawab dengan menutup pintu cukup keras.

Berderap terburu menuju mejanya, ia menjatuhkan tubuhnya ke atas kursi dan terus mengomel dengan volume sekecil mungkin. Tingkahnya menarik perhatian Jimin yang memasang raut penuh tanya. “Hyung, apakah mataku akhirnya rusak karena terlalu lama melihat layar atau wajahmu memang merona?”

Tidak menjawab pertanyaan yang terdengar disengaja untuk menggodanya, ia menyodorkan laporan di tangannya pada Jimin. “Kau harus bersyukur karena aku adalah atasan baik hati yang dengan lapang dada menerima kenyataan untuk diomeli karena kesalahanmu.”

Meringis seraya membuka laporan yang ia serahkan kemarin siang, Jimin mencibir, “Kau sama sekali tidak terdengar seperti orang yang lapang dada menerima kenyataan.”

Berakhir hanya melirik sebal rekan kerjanya, Seokjin mendapati Jungkook mengintip dari balik monitor dan menunggunya untuk memberikan sinyal bahwa ia diperbolehkan berbicara. Melihat Jungkook yang tampak begitu polos mau tak mau membuatnya terseyum ramah.

“Aku dan Jimin-hyung akan pergi karaoke setelah ini,” ujarnya dengan sepasang mata bulat menggemaskan. “Kami berencana mengajakmu. Apakah kau memiliki waktu luang malam ini, Hyung?”

Jimin bersiul rendah di sampingnya, sedangkan Seokjin memilih untuk mengabaikan dan dengan rasa bersalah meminta maaf, “Kali ini aku benar-benar tidak bisa, aku baru saja membuat janji dengan orang lain.”

Secara terang-terangan, Jimin langsung menunjukkan ketertarikan dan menjadikannya pusat perhatian. “Kau sudah memiliki janji? Untuk Jumat malam? Luar biasa,” pemilik surai red-wine itu bertepuk tangan. “Siapa orang beruntung itu?”

Memutar bola matanya sebagai respon otomatis, Seokjin menjawab, “Min Yoongi.”

“Kupikir kau membencinya?” Jungkook bersuara, disambut oleh anggukan Jimin yang tampak seperti memiliki konflik besar dalam hidupnya.

“Itu hanya kesalahpahaman, kami berteman sekarang,” tatapan curiga dua orang di dekatnya berhasil membuatnya merasa gerah. “Dia tidak banyak berbicara, begitu pula denganku. Kami sama-sama serius jika itu menyangkut pekerjaan dan umur kami hanya terpaut tiga bulan.”

Penghuni meja di sebelahnya memiringkan kepala, tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya kembali ke mejanya tanpa suara. Seokjin dapat melihat Jungkook melakukan hal serupa, memandanginya setengah tak percaya namun tidak berkomentar lebih banyak.

-

Berdiri di depan pintu apartemen Yoongi, Seokjin menenteng satu kantung makanan di tangannya. Ia mulai menyesali tindakannya menyetujui ajakan Yoongi; meski kini hubungan mereka dapat dikategorikan sebagai teman, ia mempertanyakan apakah benar pertemanan mereka sudah mencapai tahap mengunjungi tempat tinggal satu sama lain?

Ia tidak banyak menghabiskan waktu untuk bergaul dengan rekan kerjanya selain Jimin (dan Jungkook sejak anak itu menjadi intern). Itu pun jika Jimin tidak mendekatinya dan dengan gencar mengajaknya berbincang, Seokjin yakin ia tidak akan memiliki satu orang pun yang dapat disebut sebagai teman dekat di kantornya.

Tujuannya berada di perusahaan itu hanya satu, yaitu membuktikan bahwa ia dapat berdiri mandiri tanpa dukungan material dan koneksi orang tuanya. Seokjin merasa memiliki hubungan terlalu akrab dengan orang lain hanya akan menghambat dan membuatnya lengah.

Min Yoongi membukakan pintu sejurus kemudian, mempersilakannya masuk dan mengingatkannya untuk menutup pintu. Seokjin berbohong apabila ia mengatakan bahwa ia tidak merasa gugup, tetapi ia telah memutuskan untuk menepati janjinya dan mungkin memastikan pertemanan baru yang dimilikinya dengan yang lebih muda.

“Aku membawa pizza dan beberapa botol bir,” ia menginformasikan setelah memasuki ruang tengah dan melihat Yoongi berdiri di depan kompor dengan sebuah panci besar. “Kupikir kita hanya akan memakan takeout?”

“Kurasa rabokki dapat disebut makanan takeout,” Yoongi menunjuk sebuah meja dapur tepat di sebelah kulkas. “Terima kasih. Kau bisa menaruh pizza di sana dan bir di dalam kulkas.”

Ini adalah kedua kali Seokjin berada di dalam apartemen Yoongi, namun sebelumnya ia sama sekali tidak meluangkan waktu untuk memandangi isi juga interior apartemen diakibatkan terburu-buru untuk pergi. “Apakah kau merapikan apartemenmu karena aku akan datang?”

Menyipitkan matanya akibat tuduhan yang ditujukan padanya, Yoongi mendengus, “Kau tidak sespesial itu,” ia berucap dan menyebabkan Seokjin tertawa. “Aku tidak suka tempat tinggalku berantakan.”

Seokjin meletakkan pizza dan bir yang ia bawa di tempat yang Yoongi sebutkan, menawarkan bantuan yang ditolak dengan alasan sudah hampir selesai. Ia memutuskan untuk duduk di atas kursi bar yang menghadap ke dalam dapur, tepat di sebelah kompor dengan Yoongi di seberangnya.

Pada akhirnya, keduanya duduk berhadapan dengan satu panci berisikan rapokki di antara mereka.

Suara kunyahan dan mie yang diseruput mengisi keheningan hingga makanan yang disiapkan habis tak tersisa. Seokjin menawarkan diri untuk mencuci piring yang disetujui terlalu cepat oleh Yoongi dengan alasan, “Mencuci piring tidak termasuk kegiatan bersih-bersih yang kusukai.”

“Kau bisa memanaskan pizza sambil menungguku mencuci piring.”

“Perutmu masih cukup untuk menerima pizza?”

“Mau bertaruh?”

Yoongi berakhir menurut, memasukkan pizza ke dalam oven dan mengambil bir dari dalam kulkas untuk meletakkannya di meja ruang tengah. Mereka berakhir duduk bersebalahan di atas sofa dengan televisi yang menyala, menegak bir kaleng dan berbincang kecil ditemani oleh variety show di layar kaca.

Pizza yang Seokjin bawa tersisa setengah (ternyata Yoongi juga masih sanggup memakannya) ketika sang Min berujar, “Aku benar-benar masih tidak mengerti kenapa kau tidak menyelak omongan orang-orang itu.”

Teringat akan kejadian tiga minggu lalu, Seokjin mengangkat bahu ringan. “Seperti yang kukatakan, terlalu sering mendengar orang lain membicarakanmu bisa membuatmu kebal,” ia menggunakan lengannya untuk bersandar pada kepala sofa. “Aku lebih tidak mengerti kenapa itu sangat mengganggumu.”

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut lawan bicaranya, sehingga Seokjin memilih untuk menambahkan, “Dan aku juga tidak mengerti kenapa kau bersikap sangat ramah dengan mengajakku makan malam bersama,” ia berkata lugas. Tersadar akan suatu hal, kedua matanya membulat. “Yah, Min Yoongi, aku sudah mengatakan untuk tidak mengasihaniku!”

Di luar dugaannya, Yoongi mengernyit dan membalas dengan pertanyaan, “Kau pikir aku mengajakmu karena aku merasa kasihan?”

Seokjin mengangkat sebelah alisnya seolah berkata, lalu karena apa lagi?

“Dengar,” Yoongi menghela napas. “Aku tidak pernah mengasihanimu. Aku hanya tidak suka melihat seseorang diperlakukan secara tidak adil, terutama di depan mataku,” tangannya mengangkat kaleng bir dan menegaknya.

“Mengenai ajakanku malam ini, aku hanya merasa kita tidak mengikuti urutan sebuah hubungan dengan benar. Orang-orang berkenalan, berteman, berpacaran, lalu menghabiskan malam bersama. Sedangkan kita melakukannya dengan urutan yang sangat berantakan dan aku ingin membenarkannya.”

Anggukan Seokjin berhenti ketika ia mengulang urutan hubungan yang Yoongi sebutkan dalam kepalanya. Ia hendak mengklarifikasi satu hal ketika si pemilik surai hitam melanjutkan, “Lagipula aku memiliki firasat bahwa kau bukanlah tipe orang yang merepotkan. Mungkin kita benar-benar bisa menjadi teman baik ke depannya.”

“Tunggu,” Seokjin yang sedaritadi telah mengabaikan televisi dan duduk lurus menghadap Yoongi menegakkan posisinya. “Aku harus meluruskan sesuatu di sini. Aku bukan tipe… berkomitmen.”

Ketika mendapati Yoongi memberikan sinyal untuk melanjutkan, Seokjin mendesah lelah. Benar-benar bukan topik yang menyenangkan. “Kalau kau belum menyadarinya, alasan semua orang selalu menjadikanku kambing hitam adalah karena aku anak dari… pemilik perusahaan kompetitor.”

“Aku mendedikasikan hidupku untuk membuktikan pada orang-orang yang membicarakanku bahwa aku bisa hidup mandiri dengan kedua kakiku sendiri,” selalu terdapat sedikit rasa sesak di dadanya ketika membahas masalah ini. “Karena itu aku selalu menghindari memiliki satu hubungan khusus—aku tidak mau merusak apa yang telah kuraih sejauh ini.”

Tatapan Yoongi selalu terlihat mengintimidasi, namun kali ini Seokjin dapat melihat sorot hangat di baliknya. “Kebetulan sekali, aku juga tidak tertarik dengan hubungan serius,” tangannya bergerak mencari remote telvisi untuk mengganti channel. “Tapi kau tahu kau tidak bisa selamanya hidup dengan ambisi itu, bukan? Kurasa kau akan menyadarinya suatu hari nanti.”

“Hiduplah untuk dirimu sendiri, bukan demi orang lain. Kau tidak akan beranjak ke manapun dengan mindset seperti itu.”

Kalimat Yoongi menyebabkannya terdiam dan berpikir dalam. Apa yang dikatakan atasannya itu ada benarnya. Seokjin termenung dan berkutat dengan pikirannya, bahkan tak menyadari pertanyaan Yoongi mengenai drama apa yang harus mereka tonton bersama.

Kepalanya kosong dan penuh di saat bersamaan, merasa dirinya baru saja ditampar oleh prinsip yang selama ini ia pegang. Setelah dipikir lagi, ambisinya memang terdengar cenderung kekanakkan. Seokjin sama sekali tak bergeming hingga ia merasakan bibir Yoongi menempel di bibirnya.

Terkejut dengan apa yang tengah terjadi, ia bergerak mundur dan mendelik menatap wajah Yoongi yang hanya berjarak sejengkal dari wajahnya. Seokjin dapat melihat Yoongi menatapnya dengan tatapan yang tidak dapat ia artikan, menyebabkannya hanyut dan tidak menolak ketika sentuhan di bibirnya kembali terasa.

Kecupan Yoongi terasa lembut dan tak menuntut, cukup untuk dirinya menutup mata dan menikmatinya. Ia dapat merasakan tangan Yoongi mengambil posisi di belakang kepalanya, bersamaan dengan kecupan yang perlahan semakin dalam.

Seokjin membiarkan tubuhnya didorong hingga jatuh berbaring di atas sofa, tertawa di sela ciuman yang tengah mereka lakukan. Yoongi terasa seperti pizza dan bir kaleng yang tengah mereka santap, namun Seokjin sama sekali tidak memiliki alasan untuk protes—justru menarik lelaki di atasnya untuk memperdalam ciuman mereka.

Tangannya meremas kaos tipis yang Yoongi kenakan, membiarkan kedua lengan Yoongi memerangkapnya terlepas dari postur tubuhnya yang lebih besar. Suhu ruangan yang sengaja diatur hangat untuk menghalau dinginnya musim gugur kini terasa seperti siksaan karena Seokjin dapat merasakan tubuhnya panas, terutama dengan sweter tebal yang ia kenakan.

Yoongi melepaskan pagutannya dan menyusupkan wajahnya di sisi rahang Seokjin, memberikan kecupan-kecupan kecil yang mengakibatkan Seokjin mendesah resah. Ia dapat mendengar Yoongi menggeram di telinganya, kemudian berucap dengan suara rendah yang tak pernah Seokjin lupakan sejak malam yang mereka habiskan bersama, “Menginaplah di sini malam ini.”

Terkekeh dengan tawaran itu, Seokjin mengatur napasnya dan menantang, “Tergantung keuntungan yang kudapat.”

Mengangkat wajahnya dari perpotongan leher Seokjin setelah memberikan gigitan tipis di daun telinganya, Yoongi menyeringai kecil menatap wajah tampan yang luar biasa memerah di bawahnya. “Kita bisa bernegosiasi setelahnya.”

-

Suasana sibuk kantor terlepas dari jam yang baru menunjukkan pukul sembilan pagi di hari itu menyebabkan Seokjin mengecek jam tangannya untuk memastikan ia datang cukup pagi demi menghindari Yoongi. Ia mengambil beberapa map di atas meja, lalu menelepon Jimin untuk memberitahu rekan kerjanya bahwa ia akan mengunjungi venue dan tidak akan berada di kantor hingga sore hari.

Jungkook yang baru saja datang terkejut ketika Seokjin langsung menarik tangannya menuju lift dengan informasi minim mengenai pengecekan venue untuk acara brand awareness mendatang. Ia tidak melewati bagaimana atasannya menghela napas lega sesampainya mereka di dalam mobil yang kantor pinjamkan untuk keperluan pekerjaan.

“Kau baik-baik saja, Hyung?”

Seokjin sangat tidak baik-baik saja.

Bagaimana bisa ia membiarkan dirinya terbawa suasana untuk kedua kali, dengan orang yang sama dan merupakan atasannya? Seokjin ingin menjambak rambutnya frustasi, namun melakukannya di depan Jungkook hanya akan membuatnya mendapatkan tatapan ngeri.

Jelas-jelas ia memberitahu Yoongi bahwa ia bukanlah tipe berkomitmen, tapi kenapa…? Ia tahu bahwa hubungan seks tidak dapat dikatakan sebagai sebuah komitmen, tetapi Seokjin tidak dapat menyangkal bahwa ia merasa buruk dan bersalah. Tentu saja pada diri sendiri.

Omongan Yoongi mengenai ambisinya, tentang hidup demi sendiri—kembali berputar tanpa henti dalam pikirannya. Meski hanya berupa nasihat implisit, Seokjin dapat menafsirkannya dengan baik. Apakah omongan itu yang berhasil meluruhkan pendiriannya selama ini?

Membiarkan dirinya larut dalam pekerjaan, Seokjin menaruh seratus persen perhatian pada apa yang ia lakukan. Mengecek seluruh detail, mencatat kekurangan dan memberikan Jungkook sedikit masukan mengenai pekerjaan lapangan. Harinya berjalan terlalu cepat dan ketika ia sadar, ia telah kembali berada di lantai kerjanya.

Hyung! Kenapa kau meninggalkanku?” sahut Jimin tak terima tepat di saat ia sampai di mejanya. “Kau mau membunuhku dengan semua dokumen ini?”

“Aku membelikanmu kue sebagai permintaan maaf,” ia berkata seraya memberikan sebuah plastik transparan berisikan kotak kue dari toko favorit Jimin. “Lagipula kau yang terlambat, Jimin-ah.”

“Hanya lima belas menit!” Jimin tetap menerima kue tersebut dan tersenyum sumringah. Ia memeluk pundak Seokjin berterimakasih. “Sial, Hyung, kau benar-benar tahu kelemahanku.”

Tertawa mendengarnya, Seokjin berpura-pura jengah dan berusaha mendorong Jimin untuk melepaskan pelukannya. “Aish, cepat makan kue itu dan selesaikan pekerjaanmu!” serunya di sela tawa.

Sweter rajut oversized yang ia kenakan tertarik menjatuhi bahu akibat pelukan agresif Jimin dan Seokjin mendapati Jungkook menatapnya dengan mulut menganga setelahnya. Ia hendak menanyakan apa yang terjadi namun Jimin yang baru saja melepaskan pelukannya langsung menunjuk ruam kemerahan di bawah tulang selangkanya.

Terbelalak mendapati apa yang menjadi pusat perhatian Jimin dan Jungkook, Seokjin menarik sweternya dan berdeham, “Sebelum sepatah kata keluar dari mulut kalian, aku—”

“Astaga, astaga, ASTAGA, Kim Seokjin!” suara Jimin menarik perhatian banyak orang di sekitar mereka, mengakibatkan Seokjin dengan spontan menutup mulut sang Park dan meringis minta maaf pada pekerja lain.

Jimin melepaskan tangan Seokjin di mulutnya dengan mudah, dengan wajah tak percaya berbicara pada diri sendiri, “Apa yang kupikirkan ternyata memang benar,” ia menatap Seokjin layaknya kekasih yang terluka setengah mati. “Kau memang pulang bersama Min Yoongi malam itu dan—astaga, sudah berapa kali kalian melakukannya?”

“Aku tidak akan melanjutkan perbincangan omong kosong ini,” Seokjin merespon dengan wajah datar meski Jungkook dapat melihat telinganya yang merah padam.

“Kau mengkhianatiku, Hyung! Dan juga Jungkook!”

“Hei! Jangan membawa namaku!”

Sang Kim berjalan meninggalkan dua teman berisiknya. “Aku benar-benar tidak akan melanjutkan omong kosong ini,” ungkapnya sambil lalu. “Dan jangan beraninya mengikutiku.”

Ia mengabaikan seruan Jimin, dalam hati bersyukur karena menyadari bahwa tidak ada yang berani mengikutinya. Seokjin masuk ke dalam pantri, menuangkan kopi panas ke dalam cangkir dengan harapan dapat menghapuskan rasa malu yang mendera.

“Kau terlihat benar-benar akrab dengan dua orang itu,” suara Yoongi di belakangnya membuatnya nyaris menyemburkan kopi panas yang baru saja masuk ke dalam mulut. “Terutama Park Jimin.”

Kenapa aku harus bertemu dengan orang ini? Batinnya putus asa. Ia berusaha mengontrol ekspresinya, lalu membalikkan tubuh dan mendapati Yoongi berdiri bersandar pada meja menghadapnya.

Entah bagaimana, Seokjin tahu Yoongi akan bertanya perihal wajahnya yang semerah tomat masak. Ia memotongnya dengan berkata, “Tentu saja, Jimin adalah tangan kananku dan kami duduk bersebelahan entah sejak kapan.”

“Kupikir kau bukan tipe berkomitmen?”

Menyadari maksud pertanyaan itu, Seokjin membulatkan matanya. “Oh, ya Tuhan, hubungan kami tidak seperti itu.”

Yoongi terlihat santai dengan kemeja hitam yang dikenakannya, sayangnya lelaki itu tidak terlihat akan melepaskan Seokjin dengan mudah karena ia menambali dengan, “Tidak menurut dua perempuan di ujung sana. Tampaknya suara Park Jimin cukup untuk membangkitkan hasrat menggosip mereka.”

Kembali menyeruput kopinya, Seokjin menggerutu, “Aku baru tahu kau juga senang bergosip,” lalu membenarkan kalimatnya ketika melihat Yoongi menyipitkan mata, “Atau senang mendengarkan gosip. Yang manapun.”

“Itu kejadian beberapa tahun lalu dan sebuah kesalahpahaman besar,” Seokjin akhirnya mengalah meski tak sepenuhnya mengerti mengapa ia berakhir memberikan penjelasan. “Dan Jimin memang senang bertindak seenaknya sehingga orang-orang memilih untuk mempercayai apa yang mereka lihat, bukan cerita di baliknya.”

Sejurus kemudian, Yoongi beranjak tanpa memberikan komentar. Meninggalkan Seokjin yang bersungut, “Kenapa dia harus bertanya kalau tidak benar-benar mau tahu.”

-

Menunggu kereta bawah tanah datang, Seokjin mengeluarkan handphone-nya untuk mengecek catatan akan kegiatannya esok hari. Ia merasa luar biasa lelah hari ini, mungkin dikarenakan kegiatan mengunjungi venue ditambah cecaran Jimin tanpa henti hingga setengah jam lalu.

Ia masuk ke dalam kereta, memilih untuk berdiri alih-alih menduduki salah satu kursi kosong. Sepasang matanya memandangi jendela dengan tatapan nanar, tanpa sadar telah sampai di stasiun tujuannya.

Keluar dari gerbong dan menolehkan kepala, Seokjin dapat melihat Yoongi keluar dari gerbong yang bersebelahan dengan gerbongnya. Ia baru saja hendak menutup wajah dan berlalu meninggalkan stasiun jika saja atasannya itu tidak sempat menyadari kehadirannya.

Sayangnya Yoongi melihatnya, bahkan berinisiatif menghampirinya. Mereka berjalan keluar dari stasiun beriringan. “Ini kedua kalinya, bukan?”

Beberapa bulan lalu, ketika hubungan mereka sebatas pekerja di kantor yang sama, Seokjin ingat pernah berpapasan dengan Yoongi dan menaiki gerbong yang sama. Mereka hanya saling menyapa singkat saat itu, siapa yang tahu kini mereka dapat berjalan beriringan?

Sesampainya di perempatan jalan di mana tempat tinggal keduanya berada di jalan yang berlawanan, Seokjin mengucapkan salam perpisahan lebih dulu. Ia melangkah meninggalkan Yoongi tanpa menunggu respon dari yang bersangkutan.

“Seokjin-ah,” mendengar Yoongi tak lagi menggunakan embel-embel formal, Seokjin dapat merasakan jantungnya berusaha melompat keluar dari balik tulang rusuknya. “Hati-hati.”

Meski merasa bertindak kekanakkan, Seokjin benar-benar tidak tahu bagaimana ia seharusnya bersikap. Ia langsung masuk ke dalam kamar mandi, menghidupkan air panas dan membiarkan air berusaha menenangkan hati juga pikirannya.

Yang sebenarnya tentu saja tidak banyak membantu, namun cukup untuk membuatnya merasa lebih segar. Ia membaringkan tubuh di atas kasur, menggunakan lengannya untuk menutup mata dan berharap untuk menemukan semua jawaban di esok hari.

Keesokan harinya, Seokjin berakhir kembali berusaha menghindari Yoongi. Ia berhasil melakukannya selama beberapa hari hingga tubuhnya dapat mendeteksi kehadiran Yoongi secara otomatis. Selain itu, ia juga berhasil menutup mulut Jimin dengan perjanjian akan mentraktirnya dan Jungkook akhir pekan ini.

Di hari ketiga, Seokjin akhirnya gagal ketika ia berdiri di depan pintu ruangan Yoongi, bermaksud menyerahkan laporan bulanan dan hendak berbalik untuk meminta Jimin menggantikannya. Yoongi membuka pintunya tepat di saat ia hendak kembali ke mejanya, memerintahkannya untuk masuk dan langsung menembak dengan pertanyaan, “Kenapa kau menghindariku?” Setelah pintu tertutup rapat.

“Aku tidak menghindarimu,” ia berusaha membela diri.

Yoongi sama sekali tidak mempercayainya dan tanpa ekspresi berkata, “Kau jelas-jelas meninggalkan cafetaria setelah bersitatap denganku kemarin.”

Menghela napas frustasi, Seokjin meletakkan laporan yang ia bawa di atas meja Yoongi, kemudian menatap si pemilik ruangan yang masih berdiri di depan pintu seolah menghalanginya seandainya ia bermaksud kabur. Yoongi berusaha membaca raut wajahnya, mencari sesuatu yang ditutupi oleh aksi berusaha-terlihat-natural semaksimal mungkin.

“Katakan padaku, apa yang salah?” Sosok lebih pendek darinya itu berjalan mendekatinya. “Kupikir kau juga menginginkannya. Tidak ada komitmen, hanya pertemanan yang dibumbui oleh s—”

“Oke, kau bisa berhenti di sana,” Seokjin memotong cepat. “Aku memang menghindarimu tapi itu dikarenakan aku merasa entahlah, canggung?” Ia berujar meski kata canggung terasa tidak tepat di lidahnya.

Sejujurnya, Seokjin merasa bingung. Apakah benar ini yang diinginkannya? Keberadaan Yoongi, juga nasihat lelaki itu membuatnya dua kali lipat lebih tak memahami keinginannya sendiri. Seokjin hanya merasa membutuhkan ruang lebih luas untuk berpikir.

Berdiri dua langkah di hadapannya, Yoongi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan memiringkan kepala. “Maksudmu kau menghindariku karena merasa canggung tidur dengan rekan kerjamu?” Ia berusaha memastikan. “Memangnya kau anak kuliah?”

Merasa tersindir, Seokjin mendelik dan membela diri, “Apa masalahmu dengan anak kuliah? Dan kau bukan rekan kerjaku, Yoongi. Kau atasanku!”

“Terdengar seperti mahasiswa yang menghabiskan malam dengan dosennya,” pernyataan itu terdengar seperti ejekan di telinga Seokjin. Yoongi mempersempit jarak di antara mereka hingga Seokjin berakhir setengah terduduk di atas meja dan kembali bersuara, “Kau yakin tidak pernah melakukannya dulu di masa kuliah, hm? Apa kau merasa canggung karena teringat tingkahmu dulu?”

Seharusnya perkataan itu menyinggungnya, tetapi Seokjin terlalu terhibur untuk memasukkannya ke dalam hati. “Lihat siapa yang berkata tidak suka mencampur hubungan pribadi dan pekerjaan,” tenggorokannya tercekat ketika tangan Yoongi dengan kurang ajar masuk ke dalam sweter yang ia gunakan. “Untuk seseorang dengan predikat workaholic, kau benar-benar workaholic yang buruk.”

Tawa Yoongi dengan suara rendahnya yang menawan sama sekali tidak membantu Seokjin untuk berpikir lebih jernih. “Hanya untukmu,” ia menemukan pegelangan tangan Seokjin menggunakan tangannya yang bebas, lalu menahannya untuk tetap duduk di atas meja. “Kutarik kata-kataku kemarin, kurasa kau sedikit spesial.”

“Aku tersanjung,” balas Seokjin, sama sekali tak terdengar terkesan. Ia terus-menerus melirik pintu, takut seseorang memutuskan untuk membukanya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Tangan Yoongi membelai tipis punggung telanjangnya, dan posisi mereka saat ini seratus persen akan menimbulkan kesalahpahaman.

Menarik napas dalam di ceruk leher Seokjin, Yoongi dapat merasakan tubuh Seokjin menegang kaku. “Ada apa denganmu dan sweter oversized?”

Ia membiarkan tangan Yoongi menari di punggungnya, lalu berpindah ke pinggangnya. Seokjin sama sekali tak berminat untuk menjawab pertanyaan retoris itu. “Kunci pintu ruanganmu. Sudah terlalu banyak gosip tentangku di kantor ini.”

Dalam sekejap, ia dapat merasakan tangan Yoongi melepas pergelangan tangannya dan menimbulkan rasa kehilangan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Kenapa aku harus mengunci pintu? Memangnya apa yang akan kita lakukan?” Sosok di depannya mengambil satu langkah mundur untuk menatapnya dengan laporan yang sebelumnya diletakkan di atas meja.

“Kau harus lebih menunjukkan usaha dalam membuat laporan,” ucap Yoongi seraya membulak-balikkan beberapa halaman. “Atau kau mau kembali beralasan kali ini Jimin yang mengerjakannya?”

Memicingkan mata tak percaya, Seokjin berdiri dan mengambil laporan di tangan Yoongi. Ia menyentakkan kenop pintu dan mendapati pintu yang ternyata telah dikunci. Melalui bahunya, ia menatap jengkel Yoongi sambil membuka kunci pintu menggunakan kunci yang menggantung.

“Preventif,” si pemilik iris gelap mengangkat bahu. “Tapi aku memutuskan untuk menjaga imej workaholic-ku. Terima kasih padamu.”

Kim Seokjin menggelengkan kepalanya tak habis pikir, lalu meninggalkan ruangan dengan keki.

-

Terima kasih pada kejadian di ruangan Yoongi, Seokjin akhirnya berhasil mengambil keputusan bahwa ia akan melanjutkan pertemanan dengan atasannya itu. Ia adalah laki-laki biasa yang juga membutuhkan hiburan di sela penat dan Yoongi menawarkan hubungan mutualisme tanpa komitmen yang tidak melanggar prinsipnya.

Seperti yang Yoongi perkirakan, terlepas dari sesi intim, mereka dapat menjadi teman baik dalam waktu cepat.

Suatu hari, Seokjin mengajak Jungkook untuk mengikuti rapat divisi sebagai pengalaman tambahan. Intern berumur awal kepala dua bersurai cokelat itu tampak gugup dan berkali-kali berkata, “Hyung, kurasa aku belum siap untuk ini.”

Di sebelah Seokjin, Yoongi melirik si anak magang dengan tatapan tak mengeri. “Kau hanya akan duduk dan mencatat apapun yang perlu dicatat, kenapa gugup sekali?” Ia merespon meski tahu Jungkook menujukan keluhannya pada Seokjin dan bukan dirinya.

Seokjin ingin membenarkan perkataan Yoongi, namun ia menahan diri mengingat pembawaan Jungkook yang cenderung pemalu dan penyendiri. “Kau adalah intern terbaik di perusahaan ini, tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Kook-ah,” ujarnya seraya meremas pundak yang lebih muda.

Memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan—ini hanyalah rapat rutin yang diadakan tiga bulan sekali oleh tiga divisi untuk menyelaraskan kegiatan dan timeline pekerjaan. Seokjin sendiri selalu lebih banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan alih-alih berbicara, dan Jungkook hanya akan berada di sana sebagai anak bawang yang Seokjin percaya dapat mengambil kesimpulan dari sudut pandang berbeda.

Tidak akan ada hal mengejutkan yang terjadi, setidaknya Seokjin berpikir demikian hingga mereka sampai di ruang rapat; Jungkook duduk di antara dirinya dan Yoongi yang entah mengapa bersikap ramah dengan terus mengajak si intern berbicara. Seokjin tidak mengenal Yoongi sedalam itu, tapi ia tahu Yoongi bukanlah seseorang yang gemar berbasa-basi dengan orang baru.

Ketika rapat berakhir, wajah Jungkook tak lagi pucat akibat antusiasme berdiskusi mengenai fotografi dengan Yoongi. “Minimal kalian menaruh sedikit perhatian pada rapat itu,” ucap sang Kim, menghela napas mengingat bagaimana ia menjadi satu-satunya di antara mereka yang menggunakan laptop dan melakukan presentasi.

Jungkook tertawa meminta maaf dan Seokjin berakhir memaklumi karena wajah ekspresif Jungkook selalu melemahkan hatinya. “Kau benar-benar akan datang ke apartemen Jimin-hyung lusa, ‘kan?”

Menyedot ice americano yang baru saja diletakkan di meja mereka, Seokjin mengangguk seadanya. Ia dapat melihat Yoongi memicingkan mata hingga ia membuka mulutnya untuk membela diri tanpa suara, aku seratus persen ingat bahwa kita tidak memiliki janji untuk bertemu minggu ini.

Mereka tidak selalu menghabiskan akhir pekan bersama, terutama sejak garis di antara mereka tak lagi samar. Belakangan ini, Seokjin juga menemukan dirinya berada di apartemen Yoongi di hari kerja—tidak selalu dikarenakan seks, namun lebih sering menghabiskan waktu bersama Yoongi ternyata tidak seburuk imajinasi dramatisnya.

“Oh, Yoongi-ssi! Bagaimana kalau kau juga ikut? Aku yakin Jimin-hyung tidak akan keberatan,” sahut Jungkook dengan mata berbinar penuh harap, mengundang Seokjin untuk menyeringai tipis dan mencubit gemas pipi mahasiswa di sebelahnya.

“Jungkook-ah, Yoongi tidak—”

“Boleh saja,” celetuk Yoongi mengejutkan Seokjin yang langsung melotot tak percaya. “Memangnya apa yang akan kalian lakukan?”

Faktanya, Seokjin mengenal Yoongi cukup baik. Ia cukup mengenal Yoongi untuk mengetahui bahwa lelaki itu tidak gemar bersosialisasi dengan orang-orang yang tidak akrab dengannya. Yoongi lebih senang menghabiskan hari di apartemennya di waktu kosong, bahkan enggan pergi ke bioskop dengan pengecualian film yang ditayangkan benar-benar menarik minatnya.

Jadi dua hari setelahnya, ketika mereka berada di ruang tengah apartemen Jimin dan Taehyung, Seokjin tak dapat menahan diri untuk mengatakan, “Aku tidak percaya kau menyetujui ajakan Jungkook.”

Yoongi mengambil keripik kentang yang Jimin suguhkan, lalu balas bertanya, “Memangnya kenapa?”

“Entahlah, menurutku kau bukan orang yang mengatakan iya pada ajakan orang yang baru satu kali berbincang denganmu.”

Salah satu sudut bibir Yoongi terangkat dan Seokjin amat sangat membenci ekspresi itu melebihi apapun juga. “Menurutku belakangan ini kau terlalu banyak berbicara, tapi aku sama sekali tidak terkejut. Kurasa selama ini kau hanya menahan diri akibat tujuan hidup konyolmu itu.”

Seokjin merengut tersinggung, mengambil piring keripik kentang yang sedaritadi menjadi satu-satunya camilan yang menyita perhatian Yoongi dan meletakkannya jauh dari jangkauan atasannya sebagai bentuk merajuk.

Jimin kembali ke ruang tengah bersama dua orang lain yang baru saja datang, sesama pegawai di kantor mereka namun dari lantai dan divisi berbeda. Ia mengenal keduanya sebagai Kim Namjoon dan Jung Hoseok. Hoseok adalah temannya dulu semasa sekolah, sedangkan Namjoon…

“Yoongi-hyung!” Pemuda tinggi itu menyapa Yoongi dan memberi pelukan singkat yang berbalas. “Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini.”

“Begitu pula denganku,” Yoongi bergeser lebih dekat pada Seokjin untuk memberikan ruang agar Namjoon dapat mengambil spot kosong di sebelahnya. Well, Namjoon adalah rekan kerja Yoongi di divisi sebelumnya.

Taehyung, roommate Jimin yang jugalah pegawai di lantai yang sama dengan mereka, kembali ke ruang tengah bersama Jungkook dengan beberapa botol soju dan lebih banyak camilan. Mereka semua berakhir duduk melingkar di atas karpet dan berbincang satu sama lainnya.

“Kenapa kau bisa berada di sini?” Hoseok bertanya penasaran. “Aku selalu mengajakmu keluar tapi kau selalu memiliki alasan untuk menolakku!”

Seokjin tertawa, merasa sedikit bersalah lalu melirik Jimin dan Jungkook yang entah tengah memperdebatkan apa di seberangnya. Dua rekan departemennya itu memang banyak mengubahnya menjadi pribadi yang lebih santai dan terbuka. Juga Yoongi, tentu saja (meski ia takkan mengakuinya terang-terangan).

Sebagai salah satu tuan rumah, Taehyung memutuskan untuk bermain game yang dapat membuat mereka berinteraksi bersama alih-alih dalam kelompok kecil masing-masing. Suasana juga telah menjadi lebih ringan akibat alkohol dan candaan yang dilempar pada satu sama lain.

Never have I ever,” sebagai pencetus game yang seharusnya dimainkan oleh sekelompok teman dekat dan bukannya rekan kerja yang berada di ambang garis antara kenal dan baru kenal, Taehyung memulai dengan, “Menggunakan baju terbalik ketika pergi ke kantor.”

Hal paling menyebalkan dari game ini tentu saja pertanyaan yang semakin tidak masuk akal seiring dengan berjalannya permainan. Seokjin tidak terkejut ketika akhirnya pertanyaan semakin memanas dan tentu saja, demi Tuhan, tentu saja pertanyaan ini akan datang cepat atau lambat.

Never have I ever, ehem, melakukan one night stand dengan sesama pegawai kantor.”

Pertanyaan yang datang dari Namjoon itu mengundang protes yang dijawab oleh si pemberi pertanyaan dengan, “Wajar saja aku menanyakan pertanyaan yang tidak pernah kulakukan!”

Melirik Yoongi bergeming tanpa menyentuh minumannya, Seokjin berusaha untuk tidak panik dan tidak menegak alkohol di depannya dengan alasan apa yang mereka lakukan bukanlah one night stand. One night stand berartikan sekedar menghabiskan satu malam bersama dan hubungan mereka—Seokjin pikir, hubungan mereka tentu saja lebih dari itu.

Ia melihat Jimin, Taehyung, bahkan Hoseok menegak minuman mereka dengan gerutuan dan wajah yang sedikit merona. Mata Jimin bertemu dengannya kemudian, seolah menuduh dirinya berbohong karena tidak menegak minuman akibat pertanyaan Namjoon.

“Oke, aku akan mengubah sedikit pertanyaan Namjoon-hyung,” Jimin tidak melepaskan pandangannya dari Seokjin—itu bukan pertanda baik. “Never have I ever, tidur lebih dari tiga kali dengan satu pegawai kantor yang sama.”

Yah, Park Jimin, itu terlalu spesifik,” protes Hoseok, lalu mengedarkan pandangan ke semua orang dalam ruangan untuk memperkuat argumennya. Ia hendak melanjutkan kalimatnya ketika melihat Yoongi mengambil gelas dan menegak alkoholnya.

Ruangan menjadi hening selama beberapa saat dan Seokjin bersumpah akan mencekik Jimin sebelum ia pulang. Seringai penuh kemenangan Jimin muncul saat Seokjin meraih gelas dan menegak minumannya cepat.

“Tunggu,” Namjoon yang baru selesai memproses apa yang terjadi menatap horor Yoongi dan Seokjin bergantian. “Kalian…?”

“Aku patah hati,” desah Taehyung di sebelah Jungkook yang meringis. “Tapi mumpung sudah sampai di sini… never have I ever, berpikir untuk mendekati Seokjin-hyung ketika pertama kali mengenalnya.”

Untuk kedua kalinya, ruangan kembali hening sebelum satu persatu (termasuk Taehyung yang memberikan pertanyaan) menegak minuman mereka sambil mengelak dari tatapan tak percaya Seokjin; kecuali Yoongi yang hanya menggelengkan kepala takjub.

“Ini terjadi ketika kita masih sekolah dulu, tenang saja!”

Hyung, aku sudah tidak berpikir seperti itu lagi!”

Di antara keributan aksi membela diri, Jimin mengangkat sebelah alisnya memandang Yoongi. “Kenapa kau tidak menegak minumanmu? Jadi kau satu-satunya yang tidak berpikir untuk mendekati Seokjin-hyung tapi juga satu-satunya yang berhasil masuk ke dalam celananya?”

Yoongi mengangkat bahu ringan. “Mungkin.”

“Apakah kalian benar-benar harus membuat ini menjadi canggung?!” Seokjin mengerang putus asa.

-

Kali ke sekian ia menghabiskan malam di apartemen Yoongi, Seokjin tengah memakan popcorn dan menonton sebuah film aksi komedi, kepala bersandar pada dada Yoongi dengan tangan Yoongi melingkar di pundaknya. Tidak ada gestur romantis layaknya sepasang kekasih, namun Seokjin selalu menyukai skinship dan Yoongi, meski awalnya merasa keberatan, berakhir terbiasa dan membiarkan Seokjin melakukan apapun yang membuatnya merasa nyaman.

“Bagaimana dengan ambisimu? Apakah masih sama?” sang Min melontarkan pertanyaan di pertengahan film yang mereka tonton, menguap lebar dikarenakan rasa kantuk mulai menyerang.

“Hmm, mungkin. Sesungguhnya aku tidak benar-benar tahu jawabannya,” Seokjin terlihat berpikir, lalu melepaskan diri dari rangkulan Yoongi dan duduk santai dengan punggung menyentuh sofa. “Tapi aku tahu satu hal. Selama ini aku berpikir hubungan dan komitmen hanya akan menghambat tujuan hidupku, sekarang aku sadar bahwa aku hanya mencari alasan karena belum berani untuk benar-benar mencobanya.”

Menatap Seokjin yang masih menaruh fokus pada film di layar kaca, Yoongi berdengung kecil dan berujar pelan, “Mungkin sudah saatnya kau mencoba untuk membuka hati. Salah satu dari dua rekan kerja favoritmu itu pasti akan menawarkan diri sebagai bahan percobaan dengan sukarela.”

Seokjin tertawa, menggunakan tangan untuk menutup mulutnya—kebiasaan kecil yang telah Yoongi hafal luar kepala. Ia memerhatikan rambut Seokjin yang kini berwarna ungu pucat, sangat tidak masuk akal karena seseorang bisa terlihat dua kali lipat lebih tampan dengan warna konyol itu.

“Bagaimana denganmu, Yoongi?”

Mengerjap mendengar pertanyaan itu, Yoongi membuang wajah dan menggerutu, “Aku tidak dengan sengaja membatasi diriku untuk berhubungan dengan orang lain, berbeda denganmu.”

Lawan bicaranya mengangguk paham. “Aku tidak tahu tentang Jiminie, lupakan tragedi never have I ever itu, tapi aku sering mendapati Jungkookie mencuri pandang ke arahku,” Seokjin kembali mengunyah popcorn, menelannya lalu seolah bermonolog, “Apakah memiliki hubungan khusus dengan rekan kerjamu dapat dikategorikan sebagai sikap yang tidak profesional?”

“Tentu saja tidak,” cetus Yoongi cepat, mengejutkan dirinya sendiri yang tiba-tiba merasa egonya dicubit keras. “Maksudku lihat kita sekarang. Semua pekerjaan di kantor berjalan dengan lancar, bukan? Kita membuat hubungan ini profesional.”

Tangan Seokjin mendorong pundaknya ringan. “Tapi kita berteman, Yoongi—jangan menatapku seperti itu—bukan memiliki hubungan khusus seperti yang aku maksud.”

Yoongi terdiam selama beberapa saat, meresapi sesak yang tiba-tiba mendera di dalam dadanya. “Coba saja ajak anak itu makan siang bersama besok.”

“Apakah aku harus melakukannya?”

Melihat senyum lembut di wajah Seokjin, Yoongi merutuk dalam hati, sialan, sialan, sialan, sial—apa yang sudah kulakukan? Ia tidak mungkin memutar balik waktu dan menarik omongannya, penyesalan perlahan menggerogotinya hingga bernapas pun sulit ia lakukan.

Tunggu. Otaknya berhenti bekerja untuk sesaat. Kenapa ia merasa kecewa? Kenapa penyesalan menghampirinya? Sepasang mata sipitnya melebar menyadari apa yang tengah terjadi sekarang. Celaka. Kini Seokjin tengah berbicara di sampingnya, namun tidak sepatah kata pun berhasil singgah di telinganya.

Menatap nanar Seokjin yang tidak berhenti menyuapkan popcorn ke dalam mulut di sela kalimatnya, Yoongi merasakan kepalanya pening dan jantungnya mulai berdebar cepat. Ia mereka ulang adegan tiap tidakan afeksi kecil yang pernah ia tujukan pada Seokjin dan sial, menyadari banyak hal yang tak pernah dilakukannya pada siapa pun sebelumnya.

“Seokjin, berhenti mengunyah dan berbicara,” ia memberi perintah, menunggu Seokjin menelan sisa popcorn di mulutnya. Sebelum lelaki lebih tinggi darinya itu bertanya kenapa, Yoongi meraih tengkuk Seokjin dan menariknya ke dalam sebuah ciuman.

Astaga, aku benar-benar mencintainya, batinnya mengambil kesimpulan. Perutnya terasa digelitik dari dalam, sesuatu yang kerap ia rasakan sejak pertama kali menyentuhkan bibirnya di atas bibir Seokjin—sensasi yang selalu ia abaikan hingga berkembang terlampau nyata.

Popcorn yang Seokjin letakkan di antara mereka jatuh berhamburan di atas sofa, namun Yoongi tak lagi mempedulikan kepala gula bergelimpangan yang besok dapat dipastikan menjadi sarang semut menggelikan. Ia mengangkat Seokjin ke atas pangkuannya, mendengar pekikan kecil yang dengan segera terbungkam oleh terliminasinya jarak di antara mereka.

Lingkaran tangan Seokjin di lehernya terasa begitu mendebarkan, menimbulkan sisi posesif yang selama ini selalu terpendam. Ia menarik tubuh Seokjin untuk lebih merapat ke tubuhnya, memeluk pinggang berukuran terlampau kecil yang tidak masuk akal. Semua hal tentang Seokjin terasa amat tidak masuk akal sekarang.

Ketika cumbuan mereka terlepas, Yoongi menatap dalam iris hazel indah yang bertubrukan dengan miliknya. “Firasatku benar, kau bukan orang yang merepotkan dan kita benar-benar menjadi teman baik sekarang,” ia tidak melepaskan padangannya ketika melanjutkan, “Dan sekarang aku memiliki firasat bahwa kita bisa menjadi pasangan yang menyenangkan.”

Bermaksud mengejek pemilihan kata Yoongi mengenai pasangan yang menyenangkan, Seokjin membiarkan Yoongi menyamankan dahi di atas dadanya. Kemudian ia dapat mendengar bisikan lirih, “Jangan pergi makan siang dengan siapa pun besok.”

“Tunggu, Yoongi? Kau serius?” Nada penuh keterkejutan itu dapat ditebak oleh Yoongi layaknya mereka teman sejak kecil. Ia hanya ingin mencegah resiko, tak mau membuang waktu dan membiarkan situasi menjadi runyam karena menunda mengakui perasaannya.

“Kurasa aku menyukaimu.”

“Kurasa?! Kau bahkan tak yakin dengan perasaanmu sendiri?”

Yoongi mengangkat wajahnya, menatap datar Seokjin yang dalam situasi seperti ini pun masih memiliki kapasitas memancing emosinya. “Kau serius mau mengajakku berdebat di saat seperti ini?”

Tangan Seokjin yang bertengger di pundaknya bergerak menyentuh wajahnya. “Aku… kurasa aku juga menyukaimu, Yoongi. Sebenarnya aku merasa kecewa ketika kau menyuruhku mengajak Jungkook makan siang bersama,” jeda yang ada menciptakan ruang untuk merangkai kata. “Tapi kita tidak mungkin menjalin hubungan ketika kita sama-sama tidak yakin akan apa yang kita rasakan.”

Meraih tangan Seokjin di wajahnya, Yoongi menggenggam erat tangan tersebut di depan dadanya. “Aku menyukaimu, Seokjin,” ia menghela napas dan memejamkan mata. “Mungkin ini terlalu tiba-tiba tapi aku baru saja menyadarinya dan aku tidak ingin membuat kesalahan bodoh seperti membiarkanmu pergi berkencan dengan orang lain.”

Tidak berhasil menemukan kalimat yang tepat untuk merespon kejujuran Yoongi, Seokjin berakhir mendesah dengan senyuman di wajahnya. “Apa yang bisa kulakukan padamu setelah mendengar kejujuran itu, Min Yoongi?”

Apapun, Yoongi ingin menjawab, namun mengurunkan niatnya menyadari betapa banyak ia mengatakan hal yang memalukan dalam waktu kurang dari setengah jam. Setidaknya Seokjin terlihat akan memberi kesempatan untuk mereka dan menyelamatkannya dari harga diri yang tersisa seperempat.

“Kita harus menjalaninya dengan perlahan. Sudah hampir sepuluh tahun sejak terakhir kali aku memiliki pacar,” Seokjin mengecup ringkas bibir kekasih barunya. “Aku bergantung padamu.”

“Hampir sepuluh tahun?” Yoongi mengangkat salah satu sudut bibirnya, rasa percaya diri untuk menggoda Seokjin kembali muncul tanpa aba-aba. “Jangan bilang kau benar-benar mengencani dosenmu dulu—”

“Astaga, kau benar-benar.”

###

“Jadi, tentang skandalmu dan Park Jimin.”

Seokjin baru saja memasuki ruangan Yoongi ketika sang Min langsung menembaknya dengan gosip lama yang begitu ingin ia lupakan. “Aku tidak tahu kau se- itu.”

Menahan diri untuk tidak melemparkan dokumen di tangannya pada wajah Yoongi, Seokjin berusaha mengatur emosi meski kekesalan terdengar kentara dalam suaranya. “Apa maksudmu dengan ? Lagipula lihat siapa yang berbicara!”

“Di dalam kamar mandi umum, Seokjin? Yang benar saja—”

“Yoongi, aku hanya menjahit celananya.”

Kalimat Yoongi menggantung di udara dan Seokjin memilih untuk membersihkan namanya dalam kesempatan langka ini. “Aku dan Jimin memang masuk ke dalam bilik kamar mandi yang sama tapi itu dikarenakan aku mau menjahit celananya yang robek di bagian paha,” tangannya bergerak memijat pelipisnya yang terasa keram. “Jimin duduk di atas kloset, aku berlutut menjahit celananya, seseorang masuk dan membuka bilik kami. Orang itu melihat dengan jelas apa yang sedang aku lakukan, aku bahkan tidak tahu kenapa gosip vulgar itu menyebar esok harinya!”

“Sekarang berhenti membicarakan skandal itu atau aku benar-benar akan melemparmu dengan dokumen ini,” ancam Seokjin seraya melangkah mendekati meja untuk menyerahkan tumpukan kertas di tangannya.

“Seokjin-ah,” panggil yang lebih muda ketika Seokjin telah membuka pintu ruangan. “Setelah ini mau pergi ke kamar mandi bersamaku?”

Suara pintu dibanting menggunakan kekuatan yang tidak diperlukan terdengar menggema di lantai 19 setelahnya.

Persetan profesionalitas

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet