He Take Me Away

We All Don't Know When Love is Grow

 

Ji mematut dirinya di dalam kaca. Ia melihat seorang wanita muda cantik dalam balutan wedding dress putih berbahan satin, lengkap dengan tudungnya di sekitar wajahnya. Hanya saja yang ia lihat adalah, mata wanita itu memancarkan keresahan, keraguan, ketakutan dan kebosanan yang mendalam. Wanita lipgloss merah maroon, yang membuat wanita muda berumur tidak sampai dua puluh tahun itu terlihat seperti umur awal dua-lima, itu meneteskan air mata, she doesn’t care her tears will ruin her black Chanel Imitable Multi-Dimensional Mascara. Ingin sekali ia membayangkan dirinya mengenakan pakaian seperti ini, berjalan di altar yang selama ini ia impikan dan mengucap janji seumur hidup. Tapi sayangnya ia takut membayangkannya. Takut mimpinya tidak akan terwujud. Takut akan bermimpi dan kecewa pada kenyataan. Takut mimpinya justru akan menjadi tombak yang menusuk dirinya sendiri.

 

                Ji’s POV                                                                   

 

                “Ji, sedang apa hah kau disitu? Kau pikir mereka akan membayar lebih hanya untuk menunggumu?” Mama-san meneriakiku dan mengomel. Membuat wajahnya mengerut dan keriput yang sudah ia tutupi dengan full make-up­-nya sekeras tenaga muncul ke permukaan. Sanggulnya bergoyang kesana-kemari seiring gerakan mukanya yang merah padam. Ia membanting rokoknya ke lantai kayu dan mengebulkan asapnya padaku.

                “Uhuk, uhuk,” aku berusaha untuk menyingkirkan asap itu agar tidak memasuki paru-paruku. Dipikir-pikir, untuk apa aku melindunginya padahal hatiku lebih jauh memilih untuk mati. “Awas kau kalau besok berani terlambat lagi. Memangnya kau pikir kau siapa?”

                Aku berusaha tidak mengindahkan perkataanya dan berusaha berjalan dengan wedding dress konyol ini. I was about to leave but I stopped as Mama-san touched my left-arm. “Dear, apa yang kau lakukan dengan mascara-nya? Cepat hapus bagian yang luntur itu dan segeralah tampil, segerombolan mata keranjang itu menantimu.”

                Dasar berkepribadian ganda. Cih, kau bukan peduli padaku atau mascara lunturku tapi kau peduli berapa besar uang yang kau keluarkan untuk mascara ber-ratus-ratus dollar itu. Padahal itu juga pemberian ahjussi-ahjussi* tua yang kaya raya yang ia berikan padaku. Lihat kan? Dia bahkan tidak menanyakan mengapa aku menangis tadi. Dasar wanita tua yang heartless. Dengan cepat aku menghapus mascara yang meleleh karena bekas menangis tadi dengan asal menggunakan punggung tanganku, tidak perduli akan membuat sarung tangan putih yang kukenakan akan bernoda hitam.

                Aku berjalan ke arah panggung dan mengalunkan lagu—lagu yang selalu kunyanyikan dipub ini selama hampir tiga tahun. Mama-san datang dari Jepang—ia berasal dari Roppongi, Tokyo, tidak heran ia mendirikan pub bukan restoran Jepang—untuk membangun night club di kawasan Itaewon dan memungutku di jalan yang sedang lantang-luntung tidak jelas. Ya, aku adalah orang miskin. Latar belakangku tidak jelas, aku tidak tahu apapun tentang orangtuaku yang tega membuangku di jalan—begitulah asumsiku selama ini. Selama enam belas tahun hidupku aku habiskan di jalan, mencari keberuntungan dengan cara membantu pedagang di taman walau gaji yang kuterima tidak layak. Aku menghapus bayang-bayang tadi. Aku hanya butuh fokus selama empat menit untuk bernyanyi di di depan sini.

                Setelah aku selesai menyanyi para Oom-Oom tua itu bersorak sambil mengacung-acungkan botol soju-nya. Dasar pria tua mabuk. Perlahan aku turun dari panggung. Lima menit. Sepuluh menit. Aku diam di ruang ganti. Terdiam walau di luar sana keras sekali akibat sorakan dari para orang tua karena penari streaptease itu yang berani taruhan sampai kapanpun aku tidak sudi melihatnya. Perlahan aku menghapus make-up dengan cleansing cream.

                Heullin nunmuri, cleansing creame noga yo.

                (The fallen tears melt with the cleansing cream)

                -Clensing Cream (Brown Eyed Girls)

 

                “Dear, keluarlah sebentar. Ada yang penting,” Mama-san menyibakkan kain yang berguna sebagai penutup dan keluar setelag menyalakan rokoknya. Betapa miskin pub menjijikkan ini. Aku menyeka cleansing cream yang sudah bercampur dengan air mataku. Setelah mendapat pemberitahuan dari Mama-san aku cepat-cepat membersihkan wajah dan berganti baju.

                Aku keluar dari ruang ganti dan mendapati Mama-san menjetikkan jarinya. Menyuruhku untuk mendatanginya. Seperti aku anjing saja untuknya. Aku melihat seorang lelaki berbadan tegap dengan rambut pirang halusnya memakai jaket besar dengan corak tengkorak tidak jelas dan kalung besar yang tidak aku mengerti mengapa ia mau saja memakai kalung yang berat seperti itu. Tapi aku tidak dapat melihat mukanya karena ia membelakangiku. Ada satu pertanyaan, apa orang ini dari luar negeri? Mau-maunya ia datang jauh-jauh hanya untuk ke pub murah seperti ini.

                “Kau memanggilku, Mama-san?” Mama-san memutar bola matanya dan melempar pandangan ya-iyalah-aku-memanggilmu-dasar-bodoh-nya padaku dan wajahnya terpancar seolah ingin memprotes mengapa aku memakai kaos dan celana training butut tapi kemudian ia menemukan solusi yang tepat, mengalihkan pandangannya dariku. Ia segera melempar senyum pada lelaki yang—kini aku melihatnya dari samping—memiliki rambut pirang halus yang sedang bermain koin sen. Dua bodyguard berpakaian hitam berada di kanan kirinya, bisa kutambahkan. Aku harus menelan kekecewaanku bulat-bulat karena, yah, pria rambut pirang halus itu bukan foreigner. Hanya rambutnya saja yang di cat pirang. Tapi bisa dibilang wajahnya cukup—sangat lebih malah jika dibanding dengan pengunjung yang lain—tampan walau aku baru melihatnya dari samping.

                “Cepat bereskan barang-barangmu, Say,” Mama-san memegang pundakku dengan lembut—oke, ini mengejutkan—dan tersenyum lebar padaku membuatku terpaksa mengalihkan pandanganku dari pria rambut pirang itu. “Ya?” Mungkin aku terdengar dungu, tapi, ya, Mama-san menyuruhku berkemas untuk apa? Lagi pula club sedang ramai sekali jadi mungkin saja aku salah dengar. Mana mungkin Mama-san menyuruhku liburan—kalau aku tidak salah tangkap. Selama tiga tahun aku di sini, sejak aku menginjakkan kaki ke sini tidak pernah sekali pun Mama-san mengijinkanku keluar walau pub sedang tutup.

                Wajah Mama-san sangat ingin menamparku atau memaki-makiku atau bahkan keduanya, tapi ia harus jaga image anggunnya di depan customer. Apalagi customer muda di sebelahnya—si pria rambut pirang tadi. Cih, di pikirnya ia akan terlihat lebih muda apa, batinku. Kalau aku berani mengatakannya mungkin ini adalah hari terakhirku di dunia ini.

                “Tidak usah, Nyonya. Kami sudah membereskan semuanya, kami hanya perlu membawa wanita ini,” salah satu dari bodyguarditu berbicara pada Mama-sansambil menunjukku. Apa membawaku pergi? Kemana? Si pria rambut pirang tadi berhenti bermain koin sen dan menatapku sekilas. Tatapan yang... tajam dan menusuk. Rasanya aku seperti tidak memiliki otot dan tidak mampu bergerak saat ia menatap mataku. Mata cokelatnya menusukku dalam. Ia berdiri dan berjalan keluar pub,sebelum ia berjalan keluar ia menggerakkan kepalanya mengarah ke pintu keluar pubkepada dua bodyguard-nya. Seperti bilang, “ayo cepat  keluar.”

                “Mama-san, apa yang terjadi? Jelaskan padaku,” bukannya menjawab pertanyaanku Mama-san justru sibuk menghitung uang dari amplop tebal yang bodyguard tadi berikan untuknya. Belum sempat Mama-sanmenjawab pertanyaanku aku sudah dikepit dan ditarik oleh dua bodyguarditu. Seolah mendapatkan pencerahan, rasanya aku mulai mengerti apa yang terjadi.

                “Kau.... menjualku?” Aku tidak percaya, Mama-sanmenjualku ke pria rabut pirang tadi? Ia malah tersenyum penuh kemenangan dan menatap para bodyguard untuk cepat membawaku pergi dari hadapannya. Seolah aku ini sampah. Seolah aku ini... barang lama yang sudah tidak laku lagi dan akan dibuang. Bodyguard itu menyeretku keluar, sesuai keinginan tatapan Mama-san. Hatiku teriris. Walau aku sangat benci Mama-san yang hanya mengeruk keuntungan dariku tapi ialah satu-satunya orang yang kupercaya dan yang kukenal selama ini. Ialah orang yang mengangkatku dan membebau dari kemiskinan yang membelungguku selama aku hidup. Walau ia mengambil hampir seluruh keuntunganku tetapi ia tidak pernah menyuruhku melayani pengunjung seperti pelacur yang lain. Tapi kali ini aku dikhianati oleh orang yang paling kupercaya. Dan untuk kedua kalinya, aku dibuang..

 

Author’s note: to anwer your question. No, Zico is not 25 years old he’s 20 years old (Korean age) but in here Zico’s 25 years old because in this story he’d being almost a billionaire and it sounds impossible if someone who in twenty-years is the owner of the hotel (Luxurious Hotel is just a fiction) and almost billionaire. So I made Zico is in 25 yeard old (I know his face pretty young to be the one who is in 25 xD). This couple is random, not based on Zico’s past that Zico was close with IU. Another question, should I make the adult-scene for this because I don’t know why I made a plot that ALMOST like a ff that rated-M XD *throw away my ert thought*

 

 

I appreciate your comments and I need it for my future fanfiction. Kamshahamnida for reading this ^_^

 

COMMENTS AND SUBSCRIPTIONS ARE LOVED!!

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
--venissa #1
update soon :)